Read More >>"> Love Like Lemonade (Part 2) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love Like Lemonade
MENU
About Us  

Vanta menyusuri koridor kampus sambil merogoh kantong ransel yang disampirkan ke sebelah bahu. Ia mengeluarkan ponselnya dan memijat layar sentuh itu beberapa kali sebelum menempelkannya ke telinga. Setelah terdengar nada sambung telepon dua kali, seseorang di ujung telepon menjawab dengan berbisik. ”Gue belum keluar, Ta. Lo ke lapangan aja duluan. Tunggu gue di sana, ya.”

“Oh, oke.” Vanta pun membalas sekenanya dan segera mengakhiri telepon. Tidak mau temannya kena masalah.

Sesekali Vanta melirik sekitar, bersikap waspada. Gara-gara ucapan Jessi waktu itu, ia jadi ikutan gusar. Vanta tidak tahu kalau di kampusnya ada anak rektor. Kepalanya sempat dijejalkan prasangka buruk yang akan terjadi setelah melawan cowok itu.

Membayangkan kalau tiba-tiba staf admisi memanggilnya, lalu mengumumkan pencabutan beasiswa hanya karena telah mengusik anak rektor. Atau yang lebih parah, langsung di-Drop Out. Bagaimana dia bisa menjelaskan pada orang tuanya? Mama pasti kecewa berat.

Vanta mengembuskan napas untuk menepis semua pikiran-pikiran buruk dari benaknya. Tidak ada rambu-rambu bahaya sejak tadi pagi. Seharusnya ia tidak perlu terlalu ambil pusing. Masa hanya karena segelas lemonade, Vanta dikeluarkan dari kampus? Jika demikian, moralitas kampus ini patut dipertanyakan.

Vanta terus melangkah memasuki lift yang siang itu tidak terlalu ramai. Keluar di lantai enam menuju lapangan basket indoor. Sesuai janji, Vanta akan menunggu Jessi di sana. Menonton para mahasiswa UKM basket latihan.

Kalau niat Jessi menonton anak basket adalah buat cari kecengan, Vanta justru tidak tertarik. Niatnya murni karena iseng dan merasakan keseruan orang-orang yang bermain basket dari bangku penonton. Waktu SMA dulu, Vanta sangat menikmati pertandingan basket di sekolah berkat seseorang. Kebiasaan itu jadi terbawa hingga sekarang.

Bukan hanya mampir ke lapangan basket, kadang-kadang Vanta berkeliling kampus. Mulai dari perpustakaan, student lounge, area Akademi Pariwisata, lab komputer, hingga lorong-lorong kelas. Maklum, dia mahasiswi baru yang masih kepo akan berbagai hal.

Vanta duduk di salah satu bangku di pinggir lapangan. Sambil menunggu Jessi, ia memerhatikan anak-anak tim basket yang sedang latihan.

Bagaimana Vanta bisa berteman akrab dengan Jessi yang beda jurusan dan angkatan dengannya? Perkenalan mereka diawali peristiwa sepele. Saat itu Vanta mengikuti kegiatan orientasi di kampus, dia harus mencatat jadwal orientasi hari berikutnya tetapi lupa membawa alat tulis. Banyak orang yang berlalu-lalang, namun entah kenapa Jessi menjadi satu-satunya orang yang disapa Vanta. Dia meminjam pulpen dari Jessi dan mencari gadis itu untuk mengembalikannya. Dari sana mereka berkenalan, saling sapa waktu bertemu.

Suatu kali Vanta makan sendirian di kantin. Jessi yang sedang mencari tempat duduk melihat Vanta dan meminta izin untuk gabung di mejanya. Vanta yang semula bicara sopan pada Jessi mulai menghilangkan embel-embel panggilan ‘Kak’ setelah nyaman mengobrol dengan cewek itu. Sifat supel dan ramah Jessi bikin mereka cepat akrab. Apalagi Jessi yang hobi cerita tanpa ditanya setiap kali bertemu.

“Lo itu pendiem, nggak ada temen, apa gimana sih? Kok gue lihat sendirian melulu?” tanya Jessi waktu itu.

Vanta menanggapinya tanpa tersinggung, malah terkekeh. “Males aja kalo ke kantin tunggu-tungguan, keburu laper.”

“Oh, kalo gitu lo tipe yang pas kelas selesai langsung ngilang ya? Boleh dong, gue minta jagain tempat di kantin? Kalo jam maksi, suka nggak kebagian tempat, nih.”

Sejak itu, mereka sering makan siang bersama. Vanta tidak punya teman cewek yang akrab dengannya. Jessi pun tampak senang dengan keberadaan Vanta di dekatnya. Karena Vanta orang yang cuek, nggak banyak tanya, dan nggak banyak argumen juga.

Menurut Jessi, Vanta pendengar yang baik. Kadang Jessi mengajak Vanta jalan-jalan. Jadi walaupun mereka beda angkatan dan beda jurusan, tidak menutup kemungkinan untuk menghabiskan waktu bersama.

”Ke mana si Jessi? Kok belum nongol juga?” gumam Vanta celingukan.

Setelah beberapa menit perhatiannya terpusat di lapangan, Vanta menoleh ke akses masuk lapangan. Belum ada tanda-tanda kedatangan Jessi. Vanta pun memutuskan untuk memainkan ponselnya. Gadis itu tidak tahu kalau sejak tadi ada seseorang yang memerhatikannya.

 

***

 

”Dia anak DKV juga. Semester satu,” ujar seorang cowok, menghampiri Alvin dari belakang.

”Oh, ya? Bagus kalo gitu, chance ketemunya jadi lebih banyak. Sewaktu-waktu pasti gue bakal lihat dia di workshop. Siapa namanya?”

Workshop adalah sebutan suatu ruang khusus yang dibuat untuk mahasiswa-mahasiswi jurusan DKV berkumpul mengerjakan tugas, memajang hasil karya, dan saling pinjam peralatan yang dibutuhkan. Biasanya anak-anak jurusan DKV pasti sering ke sana, karena workshop menjadi semacam basecamp bagi mereka.

“Belum tau,” jawab Toto sambil ikut melihat ke arah cewek yang duduk di seberang lapangan. “Nggak ikut UKM dia, susah nyari taunya.”

Sering mengikuti kegiatan dan organisasi di kampus membuat Toto memiliki banyak kenalan. Dibandingkan Alvin, dia juga lebih ramah dan bersahabat dengan mahasiswa lain. Tidak heran kalau Toto dijuluki sang informan oleh kawan-kawannya.

Fokus Alvin masih tertuju pada cewek di seberang lapangan. Cewek itu kini sibuk memainkan ponsel. Alvin tersenyum miring sekilas, kemudian menghampiri kenalannya yang kebetulan anggota tim basket. Latihan mereka sedang berhenti sejenak untuk istirahat.

”Bola dong,” pinta Alvin mendekat ke pinggir lapangan.

”Lo mau maen Vin?” tanya Nino, anak tim basket.

”Semenit aja, temenin gue bentar.”

Nino agak bingung, tapi mengikuti kemauan Alvin. Paling-paling Alvin lagi iseng seperti biasa. Cari hiburan buat mengusir suntuk. Alvin itu memang orangnya sulit ditebak, ada saja ulahnya kalau lagi bosan. Tapi kalau sudah mau atau suka sesuatu, bakal dia kejar terus sampai dapat. Makanya Alvin cukup berprestasi di bidang yang diminatinya.

Setelah men-drible bola, Nino mengoper bola ke Alvin. Alvin menangkap dengan cekatan, membawa bola lalu mengarahkannya ke ring. Dan ... bola itu melesat tepat ke dalam ring! Cewek-cewek yang ada di sana, termasuk para mahasiswi yang kebetulan lewat, seketika bersorak keras menyerukan nama Alvin. Buat mereka Alvin penuh pesona dan multi talenta. Mereka mengidolakan Alvin hingga taraf memuja!

Meski terkenal iseng dan suka bikin onar, Alvin cukup populer di kalangan mahasiswa-mahasiswi. Ganteng, nggak usah ditanya. Keahlian, sudah tidak diragukan lagi. Alvin yang jurusan DKV terkenal jago melukis, jago fotografi. Video-video buatannya pun tampil sinematik, sekelas iklan-iklan di televisi dan video pendukung musik yang sering ada di Youtube.

Banyak cewek dari jurusan lain minta difoto oleh Alvin buat diunggah ke media sosialnya. Tidak jarang juga yang minta Alvin membuat lukisan atau sketsa untuk mereka. Bahkan kabarnya gadis-gadis itu rela membayar dengan ‘apa pun’. Tapi Alvin selalu menolak, dia tidak butuh uang dari mereka, apa lagi rayuan. Seorang Alvin Geraldy hanya akan melakukan apa yang dia sukai dan menarik perhatiannya.

Setelah satu kali bola masuk ke dalam ring, Alvin menangkap bola dan mengoper ke arah Nino. Bola basket itu ditangkap dengan satu gerakan gesit.

Mereka kembali saling berebut bola. Nino menghadang dan merebut bolanya, lalu berlari mendekati ring. Ketika dia sudah dalam posisi mencetak angka, Alvin menepis bola dengan satu tangan.

Sasaran sudah ditentukan sebelumnya. Bola yang ditepis bergerak tepat ke arah sang target. Alvin tersenyum puas, nyaris bersiul ketika mendengar suara pekikan.

Gadis yang menjadi target pun meringis.

 

***

 

Vanta mengusap-usap kepalanya yang sakit. Tiba-tiba saja bola basket mencium kepalanya. Padahal tadi anak-anak basket memutuskan istirahat. Kenapa masih ada yang main?

Selama beberapa saat Vanta memandangi bola yang telah menggelinding di lantai, sebelum mencari-cari siapa pelaku yang melempar bola. Di seberang lapangan terlihat dua orang cowok yang sedang memerhatikannya. Salah satu cowok menatap khawatir dan merasa bersalah, sedangkan satu cowok lagi melihatnya dengan sudut bibir terangkat, menyeringai.

Sialan! Udah meleset, malah cengengesan lagi! Batin Vanta jengkel.

Saat bertemu pandang dengan cowok yang menyeringai, Vanta menatapnya kesal. Kemudian cowok itu melangkah. Ke arahnya.

Semula Vanta mengira akan mendapatkan permintaan maaf. Namun nyatanya, bukan itu yang diucapkan oleh si cowok. ”Ini masih belum apa-apa.”

Tidak mengerti apa yang diucapkan cowok itu, Vanta menyuarakan protes. ”Oh, jadi lo yang ngelempar bola ke gue? Bukannya minta maaf, malah ngomong nggak jelas. Nggak sopan banget!”

”Kayaknya lo lebih nggak sopan, deh. Lo nggak inget yang kemarin lo lakuin?” Sebelah alis cowok itu terangkat. Satu tangannya berkacak pinggang.

Vanta mengernyitkan kening. Untuk sesaat ia kaget karena baru ingat kalau cowok di hadapannya ini si anak rektor, Alvin. Vanta berusaha menutupi keterkejutannya, tapi sepertinya dia terlambat.

Cowok itu geleng-geleng kepala sambil mendengkus setelah membaca ekspresi Vanta. ”Tuh, kan. Sama orang yang udah jadi korban lo aja, lo nggak inget. Bener-bener nggak sopan.”

Masih duduk bergeming, Vanta berusaha menelan kejengkelannya. Ingin sekali melempar balik bola yang tergeletak di lantai ke kepala batu itu. Tapi satu-satunya jalan terbaik untuk Vanta saat ini adalah mengikat kesabarannya agar tetap bisa kuliah di kampus swasta ternama dengan beasiswa.

Ya, begitu saja. Vanta harus mencegah mulut dan tangannya supaya nggak menyerang lelaki itu dengan brutal. Masalah bola biarkan berlalu.

Setelah bertekad mengabaikan lelaki itu, Vanta bangkit berdiri, hendak meninggalkan lapangan. Baru selangkah berjalan, Alvin menahannya.

”Gue nggak bakal lepasin lo gitu aja buat masalah yang kemarin,” ujar Alvin.

”Maksudnya apa? Lo ngancem gue?”

”Nggak juga, tapi mungkin bisa jadi pelajaran berharga buat lo.” Lelaki itu menyunggingkan senyum liciknya. Lantaran Vanta menatap dengan tajam.

Vanta mencoba menenangkan diri. Dia harus lebih bersabar. Cowok itu hanya ingin menggertaknya, membuatnya takut. Setelah berhasil mengatur emosi, Vanta menarik tangannya dari cekalan cowok itu kemudian pergi meninggalkan lapangan.

 

***

 

“Dia bilang gitu sama lo??” pekik Jessi mengunyah kentang gorengnya.

Vanta segera mengangkat jari telunjuk ke bibir. “Ssstt ...! Pelanin dong suaranya!” Menengok ke kiri dan kanan untuk memastikan tidak ada siapa-siapa di sana.

Setelah keluar dari lapangan basket, Vanta menelepon Jessi yang kebetulan baru keluar kelas dan mengubah tempat janjian. Kini mereka duduk di pojok anak tangga lantai tiga. Menjauhkan diri dari jangkauan Alvin.

“Wah, gila sih .... Fix, lo udah ditandain Alvin!” Jessi mengacungkan kentangnya.

Vanta tidak pernah menyangka masalahnya akan jadi panjang begini. “Gimana nih, Jes?”

“Tau, deh,” ucap Jessi mengangkat bahu. “Lo juga sih, cari perkara sama anak rektor.”

“Mana gue tau kalo dia anak rektor?”

Hening sejenak. Jessi sibuk mencomoti kentang gorengnya sebelum berkata, “Tapi lo beruntung tau. Bisa di-notice gengnya Alvin.”

“Apanya yang beruntung coba? Buntung iya.”

“Eh, dengerin ya. Faktanya cewek-cewek banyak yang ngemis perhatian ke mereka, terutama sama Alvin.”

Vanta mencebik malas. Sudah bosan dengan drama Miss and Mr Populer. “Apa bagusnya dia?”

Tetapi Jessi memutar bola mata tak sabaran, mengubah posisi duduknya dan memasang raut serius. “Satu—dia tajir. Dua—dia anak rektor. Tiga—lo liat aja mereka, super supeerr ganteng. Ibarat berlian di kubangan lumpur, mereka bersinarrr banget!”

“Lumpurnya mungkin maksud lo,” desis Vanta sinis.

“Ish, dengerin dulu! Kalo Alvin itu bukan cuma ganteng, tapi prestasi akademiknya juga bagus. Sering menang lomba fotografi dan desain.”

“Masa?” Masih dengan nada bosan, Vanta menanggapi.

“Suwerrr!” Jessi mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V. “Tapiiiii, ada satu kurangnya.”

Sebelah alis Vanta terangkat. Penasaran dengan kelemahan cowok itu. Barangkali bisa dijadikan senjata. “Apa?”

“Meski banyak yang naksir Alvin, meski cewek paling cantik di kampus terang-terangan tertarik sama dia, Alvin nggak peduli sama sekali! Sepanjang kuliah, nggak ada sejarahnya dia punya pacar.” Sambil geleng-geleng kepala, Jessi memasang wajah prihatin.

“Sampe-sampe ada kabar kalau dia ... maho,” lanjut Jessi.

Kali ini Vanta menganga. Bukan karena informasi yang didengarnya. Tapi, bagaimana Jessi, yang beda jurusan dengan mereka sampai bisa tahu serba-serbi tentang Alvin? Ya, nggak salah sih cewek ini masuk jurusan Ikom, koneksinya aja bisa seluas ini sampai bisa tahu detail tentang orang yang bahkan beda jurusan dan beda angkatan dengannya.

“Kok lo tau amat info nggak penting gitu?” tanya Vanta heran.

“Yee ... dia kan legend di kampus. Apa lagi di gedung ini.”

“Bodo amat ah. Yang gue peduli nasib gue setelah ini.” Vanta menangkup wajahnya dengan dua tangan mengepal.

Keduanya lalu terdiam. Suasana di tangga saat itu cukup sepi karena bukan jam sibuk mahasiswa. Biasanya pada jam kuliah pagi, mahasiswa yang tidak kebagian masuk lift akan berbondong-bondong menggunakan tangga. Tapi menjelang sore jadwal perkuliahan lebih sedikit. Sehingga mereka berdua bisa leluasa menjadikan tangga sebagai tempat persembunyian.

Di tengah keheningan, Jessi melirik gadis di sebelahnya. Tanpa Vanta sadari, gadis itu tersenyum tipis.

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Seiko
359      258     1     
Romance
Jika tiba-tiba di dunia ini hanya tersisa Kak Tyas sebagai teman manusiaku yang menghuni bumi, aku akan lebih memilih untuk mati saat itu juga. Punya senior di kantor, harusnya bisa jadi teman sepekerjaan yang menyenangkan. Bisa berbagi keluh kesah, berbagi pengalaman, memberi wejangan, juga sekadar jadi teman yang asyik untuk bergosip ria—jika dia perempuan. Ya, harusnya memang begitu. ...
Jelita's Brownies
2902      1246     11     
Romance
Dulu, Ayahku bilang brownies ketan hitam adalah resep pertama Almarhum Nenek. Aku sangat hapal resep ini diluar kepala. Tetapi Ibuku sangat tidak suka jika aku membuat brownies. Aku pernah punya daun yang aku keringkan. Daun itu berisi tulisan resep kue-kue Nenek. Aku sadar menulis resep di atas daun kering terlihat aneh, tetapi itu menjadi sebuah pengingat antara Aku dan Nenek. Hanya saja Ib...
SORRY
14393      2704     11     
Romance
Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tiga) sahabat cowok yang super duper ganteng, baik, humoris nyatanya belum untuk terbilang cukup aman. Buktinya dia malah baper sama Kale, salah satu cowok di antara mereka. Hatinya tidak benar-benar aman. Sayangnya, Kale itu lagi bucin-bucinnya sama cewek yang bernama Venya, musuh bebuyutan...
Call Kinna
3895      1564     1     
Romance
Bagi Sakalla Hanggra Tanubradja (Kalla), sahabatnya yang bernama Kinnanthi Anggun Prameswari (Kinna) tidak lebih dari cewek jadi-jadian, si tomboy yang galak nan sangar. Punya badan macem triplek yang nggak ada seksinya sama sekali walau umur sudah 26. Hobi ngiler. Bakat memasak nol besar. Jauh sekali dari kriteria istri idaman. Ibarat langit dan bumi: Kalla si cowok handsome, rich, most wante...
Allura dan Dua Mantan
2954      944     1     
Romance
Kinari Allura, penulis serta pengusaha kafe. Di balik kesuksesan kariernya, dia selalu apes di dunia percintaan. Dua gagal. Namun, semua berubah sejak kehadiran Ayden Renaldy. Dia jatuh cinta lagi. Kali ini dia yakin akan menemukan kebahagiaan bersama Ayden. Sayangnya, Ayden ternyata banyak utang di pinjol. Hubungan Allura dan Ayden ditentang abis-abisan oleh Adrish Alamar serta Taqi Alfarezi -du...
Negeri Tanpa Ayah
8608      1925     0     
Inspirational
Negeri Tanpa Ayah merupakan novel inspirasi karya Hadis Mevlana. Konflik novel ini dimulai dari sebuah keluarga di Sengkang dengan sosok ayah yang memiliki watak keras dan kerap melakukan kekerasan secara fisik dan verbal terutama kepada anak lelakinya bernama Wellang. Sebuah momentum kelulusan sekolah membuat Wellang memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dia memilih kuliah di luar kota untuk meng...
Palette
3918      1575     6     
Romance
Naga baru saja ditolak untuk kedua kalinya oleh Mbak Kasir minimarket dekat rumahnya, Dara. Di saat dia masih berusaha menata hati, sebelum mengejar Dara lagi, Naga justru mendapat kejutan. Pagi-pagi, saat baru bangun, dia malah bertemu Dara di rumahnya. Lebih mengejutkan lagi, gadis itu akan tinggal di sana bersamanya, mulai sekarang!
RUMIT
4124      1399     53     
Romance
Sebuah Novel yang menceritakan perjalanan seorang remaja bernama Azfar. Kisahnya dimulai saat bencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang menimpa kota Palu, Sigi, dan Donggala pada 28 September 2018. Dari bencana itu, Azfar berkenalan dengan seorang relawan berparas cantik bernama Aya Sofia, yang kemudian akan menjadi sahabat baiknya. Namun, persahabatan mereka justru menimbulkan rasa baru d...
Aku Benci Hujan
4934      1401     1     
Romance
“Sebuah novel tentang scleroderma, salah satu penyakit autoimun yang menyerang lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.” Penyakit yang dialami Kanaya bukan hanya mengubah fisiknya, tetapi juga hati dan pikirannya, serta pandangan orang-orang di sekitarnya. Dia dijauhi teman-temannya karena merasa jijik dan takut tertular. Dia kehilangan cinta pertamanya karena tak cantik lagi. Dia harus...
Hujan Paling Jujur di Matamu
5403      1482     1     
Romance
Rumah tangga Yudis dan Ratri diguncang prahara. Ternyata Ratri sudah hamil tiga bulan lebih. Padahal usia pernikahan mereka baru satu bulan. Yudis tak mampu berbuat apa-apa, dia takut jika ibunya tahu, penyakit jantungnya kambuh dan akan menjadi masalah. Meski pernikahan itu sebuah perjodohan, Ratri berusaha menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik dan tulus mencintai Yudis. Namun, Yudis...