Vanta menyusuri koridor kampus sambil merogoh kantong ransel yang
disampirkan ke sebelah bahu. Ia mengeluarkan ponselnya dan memijat layar sentuh
itu beberapa kali sebelum menempelkannya ke telinga. Setelah terdengar nada
sambung telepon dua kali, seseorang di ujung telepon menjawab dengan berbisik. ”Gue
belum keluar, Ta. Lo ke lapangan aja duluan. Tunggu gue di sana, ya.”
“Oh, oke.” Vanta pun membalas sekenanya dan segera mengakhiri
telepon. Tidak mau temannya kena masalah.
Sesekali Vanta melirik sekitar, bersikap waspada. Gara-gara ucapan
Jessi waktu itu, ia jadi ikutan gusar. Vanta tidak tahu kalau di kampusnya ada
anak rektor. Kepalanya sempat dijejalkan prasangka buruk yang akan terjadi
setelah melawan cowok itu.
Membayangkan kalau tiba-tiba staf admisi memanggilnya, lalu mengumumkan
pencabutan beasiswa hanya karena telah mengusik anak rektor. Atau yang lebih
parah, langsung di-Drop Out. Bagaimana
dia bisa menjelaskan pada orang tuanya? Mama pasti kecewa berat.
Vanta mengembuskan napas untuk menepis semua pikiran-pikiran buruk
dari benaknya. Tidak ada rambu-rambu bahaya sejak tadi pagi. Seharusnya ia tidak
perlu terlalu ambil pusing. Masa hanya karena segelas lemonade, Vanta dikeluarkan dari kampus? Jika demikian, moralitas
kampus ini patut dipertanyakan.
Vanta terus melangkah memasuki lift
yang siang itu tidak terlalu ramai. Keluar di lantai enam menuju lapangan
basket indoor. Sesuai janji, Vanta
akan menunggu Jessi di sana. Menonton para mahasiswa UKM basket latihan.
Kalau niat Jessi menonton anak basket adalah buat cari kecengan,
Vanta justru tidak tertarik. Niatnya murni karena iseng dan merasakan keseruan
orang-orang yang bermain basket dari bangku penonton. Waktu SMA dulu, Vanta
sangat menikmati pertandingan basket di sekolah berkat seseorang. Kebiasaan itu
jadi terbawa hingga sekarang.
Bukan hanya mampir ke lapangan basket, kadang-kadang Vanta berkeliling
kampus. Mulai dari perpustakaan, student
lounge, area Akademi Pariwisata, lab komputer, hingga lorong-lorong kelas. Maklum,
dia mahasiswi baru yang masih kepo akan berbagai hal.
Vanta duduk di salah satu bangku di pinggir lapangan. Sambil
menunggu Jessi, ia memerhatikan anak-anak tim basket yang sedang latihan.
Bagaimana Vanta bisa berteman akrab dengan Jessi yang beda jurusan
dan angkatan dengannya? Perkenalan mereka diawali peristiwa sepele. Saat itu
Vanta mengikuti kegiatan orientasi di kampus, dia harus mencatat jadwal
orientasi hari berikutnya tetapi lupa membawa alat tulis. Banyak orang yang
berlalu-lalang, namun entah kenapa Jessi menjadi satu-satunya orang yang disapa
Vanta. Dia meminjam pulpen dari Jessi dan mencari gadis itu untuk
mengembalikannya. Dari sana mereka berkenalan, saling sapa waktu bertemu.
Suatu kali Vanta makan sendirian di kantin. Jessi yang sedang mencari
tempat duduk melihat Vanta dan meminta izin untuk gabung di mejanya. Vanta yang
semula bicara sopan pada Jessi mulai menghilangkan embel-embel panggilan ‘Kak’
setelah nyaman mengobrol dengan cewek itu. Sifat supel dan ramah Jessi bikin
mereka cepat akrab. Apalagi Jessi yang hobi cerita tanpa ditanya setiap kali
bertemu.
“Lo itu pendiem, nggak ada temen, apa gimana sih? Kok gue lihat
sendirian melulu?” tanya Jessi waktu itu.
Vanta menanggapinya tanpa tersinggung, malah terkekeh. “Males aja
kalo ke kantin tunggu-tungguan, keburu laper.”
“Oh, kalo gitu lo tipe yang pas kelas selesai langsung ngilang ya?
Boleh dong, gue minta jagain tempat di kantin? Kalo jam maksi, suka nggak
kebagian tempat, nih.”
Sejak itu, mereka sering makan siang bersama. Vanta tidak punya
teman cewek yang akrab dengannya. Jessi pun tampak senang dengan keberadaan Vanta
di dekatnya. Karena Vanta orang yang cuek, nggak banyak tanya, dan nggak banyak
argumen juga.
Menurut Jessi, Vanta pendengar yang baik. Kadang Jessi mengajak
Vanta jalan-jalan. Jadi walaupun mereka beda angkatan dan beda jurusan, tidak
menutup kemungkinan untuk menghabiskan waktu bersama.
”Ke mana si Jessi? Kok belum nongol juga?” gumam Vanta celingukan.
Setelah beberapa menit perhatiannya terpusat di lapangan, Vanta menoleh
ke akses masuk lapangan. Belum ada tanda-tanda kedatangan Jessi. Vanta pun
memutuskan untuk memainkan ponselnya. Gadis itu tidak tahu kalau sejak tadi ada
seseorang yang memerhatikannya.
***
”Dia anak DKV juga. Semester satu,” ujar seorang cowok,
menghampiri Alvin dari belakang.
”Oh, ya? Bagus kalo gitu, chance
ketemunya jadi lebih banyak. Sewaktu-waktu pasti gue bakal lihat dia di workshop. Siapa namanya?”
Workshop adalah sebutan suatu ruang khusus yang dibuat untuk
mahasiswa-mahasiswi jurusan DKV berkumpul mengerjakan tugas, memajang hasil
karya, dan saling pinjam peralatan yang dibutuhkan. Biasanya anak-anak jurusan
DKV pasti sering ke sana, karena workshop
menjadi semacam basecamp bagi mereka.
“Belum tau,” jawab Toto sambil ikut melihat ke arah cewek yang
duduk di seberang lapangan. “Nggak ikut UKM dia, susah nyari taunya.”
Sering mengikuti kegiatan dan organisasi di kampus membuat Toto
memiliki banyak kenalan. Dibandingkan Alvin, dia juga lebih ramah dan
bersahabat dengan mahasiswa lain. Tidak heran kalau Toto dijuluki sang informan
oleh kawan-kawannya.
Fokus Alvin masih tertuju pada cewek di seberang lapangan. Cewek
itu kini sibuk memainkan ponsel. Alvin tersenyum miring sekilas, kemudian
menghampiri kenalannya yang kebetulan anggota tim basket. Latihan mereka sedang
berhenti sejenak untuk istirahat.
”Bola dong,” pinta Alvin mendekat ke pinggir lapangan.
”Lo mau maen Vin?” tanya Nino, anak tim basket.
”Semenit aja, temenin gue bentar.”
Nino agak bingung, tapi mengikuti kemauan Alvin. Paling-paling
Alvin lagi iseng seperti biasa. Cari hiburan buat mengusir suntuk. Alvin itu
memang orangnya sulit ditebak, ada saja ulahnya kalau lagi bosan. Tapi kalau
sudah mau atau suka sesuatu, bakal dia kejar terus sampai dapat. Makanya Alvin
cukup berprestasi di bidang yang diminatinya.
Setelah men-drible bola,
Nino mengoper bola ke Alvin. Alvin menangkap dengan cekatan, membawa bola lalu
mengarahkannya ke ring. Dan ... bola itu melesat tepat ke dalam ring!
Cewek-cewek yang ada di sana, termasuk para mahasiswi yang kebetulan lewat, seketika
bersorak keras menyerukan nama Alvin. Buat mereka Alvin penuh pesona dan multi
talenta. Mereka mengidolakan Alvin hingga taraf memuja!
Meski terkenal iseng dan suka bikin onar, Alvin cukup populer di
kalangan mahasiswa-mahasiswi. Ganteng, nggak usah ditanya. Keahlian, sudah
tidak diragukan lagi. Alvin yang jurusan DKV terkenal jago melukis, jago
fotografi. Video-video buatannya pun tampil sinematik, sekelas iklan-iklan di
televisi dan video pendukung musik yang sering ada di Youtube.
Banyak cewek dari jurusan lain minta difoto oleh Alvin buat
diunggah ke media sosialnya. Tidak jarang juga yang minta Alvin membuat lukisan
atau sketsa untuk mereka. Bahkan kabarnya gadis-gadis itu rela membayar dengan
‘apa pun’. Tapi Alvin selalu menolak, dia tidak butuh uang dari mereka, apa
lagi rayuan. Seorang Alvin Geraldy hanya akan melakukan apa yang dia sukai dan
menarik perhatiannya.
Setelah satu kali bola masuk ke dalam ring, Alvin menangkap bola
dan mengoper ke arah Nino. Bola basket itu ditangkap dengan satu gerakan gesit.
Mereka kembali saling berebut bola. Nino menghadang dan merebut
bolanya, lalu berlari mendekati ring. Ketika dia sudah dalam posisi mencetak
angka, Alvin menepis bola dengan satu tangan.
Sasaran sudah ditentukan sebelumnya. Bola yang ditepis bergerak
tepat ke arah sang target. Alvin tersenyum puas, nyaris bersiul ketika
mendengar suara pekikan.
Gadis yang menjadi target pun meringis.
***
Vanta mengusap-usap kepalanya yang sakit. Tiba-tiba saja bola
basket mencium kepalanya. Padahal
tadi anak-anak basket memutuskan istirahat. Kenapa masih ada yang main?
Selama beberapa saat Vanta memandangi bola yang telah
menggelinding di lantai, sebelum mencari-cari siapa pelaku yang melempar bola. Di
seberang lapangan terlihat dua orang cowok yang sedang memerhatikannya. Salah
satu cowok menatap khawatir dan merasa bersalah, sedangkan satu cowok lagi melihatnya
dengan sudut bibir terangkat, menyeringai.
Sialan! Udah meleset, malah cengengesan lagi! Batin Vanta jengkel.
Saat bertemu pandang dengan cowok yang menyeringai, Vanta menatapnya
kesal. Kemudian cowok itu melangkah. Ke arahnya.
Semula Vanta mengira akan mendapatkan permintaan maaf. Namun
nyatanya, bukan itu yang diucapkan oleh si cowok. ”Ini masih belum apa-apa.”
Tidak mengerti apa yang diucapkan cowok itu, Vanta menyuarakan
protes. ”Oh, jadi lo yang ngelempar bola ke gue? Bukannya minta maaf, malah
ngomong nggak jelas. Nggak sopan banget!”
”Kayaknya lo lebih nggak sopan, deh. Lo nggak inget yang kemarin
lo lakuin?” Sebelah alis cowok itu terangkat. Satu tangannya berkacak pinggang.
Vanta mengernyitkan kening. Untuk sesaat ia kaget karena baru
ingat kalau cowok di hadapannya ini si anak rektor, Alvin. Vanta berusaha
menutupi keterkejutannya, tapi sepertinya dia terlambat.
Cowok itu geleng-geleng kepala sambil mendengkus setelah membaca
ekspresi Vanta. ”Tuh, kan. Sama orang yang udah jadi korban lo aja, lo nggak inget.
Bener-bener nggak sopan.”
Masih duduk bergeming, Vanta berusaha menelan kejengkelannya. Ingin
sekali melempar balik bola yang tergeletak di lantai ke kepala batu itu. Tapi satu-satunya
jalan terbaik untuk Vanta saat ini adalah mengikat kesabarannya agar tetap bisa
kuliah di kampus swasta ternama dengan beasiswa.
Ya, begitu saja. Vanta harus mencegah mulut dan tangannya supaya
nggak menyerang lelaki itu dengan brutal. Masalah bola biarkan berlalu.
Setelah bertekad mengabaikan lelaki itu, Vanta bangkit berdiri, hendak
meninggalkan lapangan. Baru selangkah berjalan, Alvin menahannya.
”Gue nggak bakal lepasin lo gitu aja buat masalah yang kemarin,”
ujar Alvin.
”Maksudnya apa? Lo ngancem gue?”
”Nggak juga, tapi mungkin bisa jadi pelajaran berharga buat lo.”
Lelaki itu menyunggingkan senyum liciknya. Lantaran Vanta menatap dengan tajam.
Vanta mencoba menenangkan diri. Dia harus lebih bersabar. Cowok
itu hanya ingin menggertaknya, membuatnya takut. Setelah berhasil mengatur
emosi, Vanta menarik tangannya dari cekalan cowok itu kemudian pergi
meninggalkan lapangan.
***
“Dia bilang gitu sama lo??” pekik Jessi mengunyah kentang
gorengnya.
Vanta segera mengangkat jari telunjuk ke bibir. “Ssstt ...!
Pelanin dong suaranya!” Menengok ke kiri dan kanan untuk memastikan tidak ada
siapa-siapa di sana.
Setelah keluar dari lapangan basket, Vanta menelepon Jessi yang kebetulan
baru keluar kelas dan mengubah tempat janjian. Kini mereka duduk di pojok anak
tangga lantai tiga. Menjauhkan diri dari jangkauan Alvin.
“Wah, gila sih .... Fix, lo udah ditandain Alvin!” Jessi
mengacungkan kentangnya.
Vanta tidak pernah menyangka masalahnya akan jadi panjang begini. “Gimana
nih, Jes?”
“Tau, deh,” ucap Jessi mengangkat bahu. “Lo juga sih, cari perkara
sama anak rektor.”
“Mana gue tau kalo dia anak rektor?”
Hening sejenak. Jessi sibuk mencomoti kentang gorengnya sebelum
berkata, “Tapi lo beruntung tau. Bisa di-notice
gengnya Alvin.”
“Apanya yang beruntung coba? Buntung iya.”
“Eh, dengerin ya. Faktanya cewek-cewek banyak yang ngemis
perhatian ke mereka, terutama sama Alvin.”
Vanta mencebik malas. Sudah bosan dengan drama Miss and Mr Populer. “Apa bagusnya dia?”
Tetapi Jessi memutar bola mata tak sabaran, mengubah posisi
duduknya dan memasang raut serius. “Satu—dia tajir. Dua—dia anak rektor. Tiga—lo
liat aja mereka, super supeerr ganteng. Ibarat berlian di kubangan lumpur,
mereka bersinarrr banget!”
“Lumpurnya mungkin maksud lo,” desis Vanta sinis.
“Ish, dengerin dulu! Kalo Alvin itu bukan cuma ganteng, tapi
prestasi akademiknya juga bagus. Sering menang lomba fotografi dan desain.”
“Masa?” Masih dengan nada bosan, Vanta menanggapi.
“Suwerrr!” Jessi mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah
membentuk huruf V. “Tapiiiii, ada satu kurangnya.”
Sebelah alis Vanta terangkat. Penasaran dengan kelemahan cowok itu.
Barangkali bisa dijadikan senjata. “Apa?”
“Meski banyak yang naksir Alvin, meski cewek paling cantik di kampus
terang-terangan tertarik sama dia, Alvin nggak peduli sama sekali! Sepanjang
kuliah, nggak ada sejarahnya dia punya pacar.” Sambil geleng-geleng kepala,
Jessi memasang wajah prihatin.
“Sampe-sampe ada kabar kalau dia ... maho,” lanjut Jessi.
Kali ini Vanta menganga. Bukan karena informasi yang didengarnya.
Tapi, bagaimana Jessi, yang beda jurusan dengan mereka sampai bisa tahu
serba-serbi tentang Alvin? Ya, nggak salah sih cewek ini masuk jurusan Ikom,
koneksinya aja bisa seluas ini sampai bisa tahu detail tentang orang yang
bahkan beda jurusan dan beda angkatan dengannya.
“Kok lo tau amat info nggak penting gitu?” tanya Vanta heran.
“Yee ... dia kan legend
di kampus. Apa lagi di gedung ini.”
“Bodo amat ah. Yang gue peduli nasib gue setelah ini.” Vanta
menangkup wajahnya dengan dua tangan mengepal.
Keduanya lalu terdiam. Suasana di tangga saat itu cukup sepi
karena bukan jam sibuk mahasiswa. Biasanya pada jam kuliah pagi, mahasiswa yang
tidak kebagian masuk lift akan
berbondong-bondong menggunakan tangga. Tapi menjelang sore jadwal perkuliahan
lebih sedikit. Sehingga mereka berdua bisa leluasa menjadikan tangga sebagai
tempat persembunyian.
Di tengah keheningan, Jessi melirik gadis di sebelahnya. Tanpa
Vanta sadari, gadis itu tersenyum tipis.