Sore itu Alvin sedang melangkah menuju tempat parkir. Tidak terasa waktu berjalan cepat ketika mengobrol dengan teman-temannya. Tiba-tiba sudut matanya menangkap hal yang menarik perhatiannya. Seorang perempuan—berambut panjang sepunggung dengan kuncir kudanya yang khas—berada di parkiran motor. Menaiki motor berwarna biru dan siap menancap gas.
Segera terbesit ide di kepala Alvin. Sudut bibirnya terangkat. Setelah sosok yang dipandanginya menjauh, Alvin memainkan kunci mobilnya seembari meneruskan langkah ke parkiran.
***
Entah mengapa suasana hati Vanta hari ini kurang bagus. Sejak tadi pagi, Vanta merasa sesuatu akan terjadi. Vanta berjalan ke kantin dengan malas. Jessi tidak ada kelas hari ini, jadi terpaksa Vanta harus menghadapi apa pun yang akan terjadi sendirian.
Vanta memilih tempat kosong di samping jendela, ia menghela napas sambil membuka kotak makanannya. Tiba-tiba Vanta teringat Nathan. Waktu dia menyeret cowok itu keluar dari perbudakan yang dilakukan Alvin, mereka berkenalan dan bertukar kontak. Vanta juga tidak ragu menyapa saat mereka bertemu. Kadang-kadang Vanta mengajaknya ngobrol bareng Jessi.
Vanta lalu mengirim pesan pada Nathan. Yang langsung dibalas oleh cowok itu.
Vanta: Nath, lagi di mana? Ngampus gak?
Nathan: Iya, ni. Mau ke kantin.
Vanta: Gue udah di kantin. Sini, bareng aja.
Tidak lama kemudian Nathan memasuki area kantin, mengambil tempat duduk berhadapan dengan Vanta setengah terengah.
“Kenapa? Lo abis dikerjain lagi?” tanya Vanta cemas.
“Nggak. Cuma capek jalan ke kantin.”
Vanta menganga, nyaris tertawa. Tapi dia berhasil menahannya. Memandangi cowok gempal yang bercucuran keringat.”Lo nggak pesen makan?”
“Mau, nih.”
“Ya udah, gue jagain tempat duduknya. Tenang aja.”
Tanpa aba-aba Nathan menghambur untuk hunting makan siang. Selang beberapa menit cowok itu kembali dengan nampan berisi semangkuk soto ayam, sepiring nasi yang menggunung, dan sekantong kertas berisi burger ukuran besar.
Lagi-lagi Vanta dibuat tercengang. Gadis itu terkekeh. “Kayaknya laper banget, nih.”
“Iya, tadi Alvin sama temen-temennya nyuruh gue bawain barang-barang mereka,” jawab Nathan polos.
Tawa Vanta langsung berhenti dan berubah jutek. “Dia lagi? Heran, deh. Cowok jahat gitu kok bisa populer sih? Kalo dia nyuruh-nyuruh, tolak dong, jangan diem aja.”
“Tapi dia—”
“Apa lo anak beasiswa juga, makanya nggak bisa ngelawan dia?” tanya Vanta menunjuk Nathan dengan garpunya. Lelaki itu menjawab dengan gelengan kepala.
“Ohh ... gue kira sama kayak gue, makanya lo nggak berani sama dia. Gue kesel banget lihatnya, mentang-mentang berkuasa jadi menggunakan kekuasaan seenak jidat. Lain kalo kalo dia semena-mena lagi, cuekin aja, Nath! Kebiasaan dia nanti. Kalo lo butuh bantuan, hubungin gue. Gue bantuin lo kabur sebisa gue.”
Nathan menyendok sotonya dan melirik Vanta sebelum akhirnya mengangguk.
“Lo masih ada kelas nggak?” tanya Vanta mengubah topik.
“Nggak ada, sih.”
“Temenin gue yuk, cari peralatan gambar.”
“Ke mana?” tanya Nathan dengan mulut penuh.
“Lo biasa beli dimana?” Vanta balik bertanya. Merapikan kotak makannya.
“Ada satu toko, tempat anak-anak desain belanja peralatan. Di situ biasanya lebih murah dari toko-toko lain. Ada diskon juga kalo unjukin kartu pelajar.”
“Wahh, beneran?? Boleh yuk, temenin gue ke sana!” ujar Vanta antusias karena mendengar kata murah dan diskon. Lumayan kan, Vanta jadi bisa berhemat.
Selesai makan mereka langsung berjalan ke parkiran motor. Ketika Vanta membuka jok motor dan mengambil helm yang talinya dikaitkan di bawah jok, ia terperangah. “Yah, kok bannya bocor?”
Nathan ikut melihat ban belakang motor Vanta.
“Kenapa nih, tadi pagi nggak pa-pa padahal. Lo tau tempat tambal sekitar sini, Nath?”
“Kayaknya ada deh, pas keluar kampus ke arah kanan.”
“Gue tambal dulu, deh. Mau ikut?”
“Iya, sekalian jalan aja.”
Sadar diri kalau ia cowok dan berbadan lebih besar, Nathan menawarkan untuk mendorong motor Vanta. Kemudian gadis itu menyejajarkan langkahnya dengan Nathan. Belum sempat mereka keluar dari area kampus, sebuah mobil mengadang mereka. Membuat keduanya berhenti melangkah. Seseorang keluar dari mobil berwarna merah terang, sosok yang sangat dikenal oleh Nathan. Dan juga Vanta.
“Kok didorong? Punya motor itu ya dikendarain lah. Manusia primitif nggak ngerti cara kerja yang namanya motor ya?” ejek cowok itu.
Teman-temannya yang berada di sekitarnya tertawa, sementara beberapa orang yang melintas di halaman kampus berhenti untuk menyaksikan kehebohan itu.
Benar saja. Firasat Vanta menjadi kenyataan. Layaknya makhluk lemah yang memiliki insting untuk bertahan hidup dari hewan buas, seharusnya Vanta tidak mengabaikan instingnya. Kejadian juga kan, saat di mana ia berhadapan dengan Alvin lagi.
“Ayo dong, nyalain mesinnya,” kata Alvin, berkacak pinggang dengan lagak menyebalkan.
Karena Vanta dan Nathan hanya berdiri diam, cowok itu kembali beraksi. “Oh iya! Kan manusia primitif, emang ngerti starter?”
Teman-teman Alvin tertawa sejadi-jadinya. Kemudian Rio menimpali, “Bisa aja lo, Vin. Makanya lo ajarin mereka, dong.”
Mendengar Alvin cs menertawakannya dan Nathan, darah Vanta hampir naik ke kepala. Tetapi sekali lagi, Vanta tidak bisa berbuat banyak.
Kemudian Alvin mengusap-usap dagunya. “Hmm ... gitu, ya?” Menghampiri Nathan dan Vanta.
“Ehem ...” Dengan jemawa Alvin berdeham keras. “ Gini ya, ini namanya kunci.” Tanpa seizin si pemilik, dia menyambar kunci motor. Mengangkat dan menunjukkannya seolah sedang mengajari balita bicara.
Vanta berusaha merebut kunci motornya dari tangan Alvin, namun dengan cepat cowok itu menghindar. Sepertinya bukan hanya ban motor Vanta saja yang perlu ditambal. Tapi kepala cowok itu juga! Biar tidak kehilangan akal sehat terus-menerus.
“Eits, tunggu dulu ...” Kembali Alvin memasukan kunci motor ke lubang kunci dan memutarnya sampai tanda ‘on’.
“Pertama-tama masukin kuncinya, jangan masukin ke mulut lo, ya. Ntar kayak Patrick Star, lagi.” Tunjuk Alvin pada Nathan. “And then, starter deh! Gampang kan?”
Andre, Edo, Rio, dan yang lainnya menahan tawa, sementara Toto geleng-geleng kepala, sedikit prihatin. Tapi masih setia menonton.
“Tanya Vin, udah bisa belom?” teriak Edo.
“Udah bisa belom??” Alvin mengikuti saran Edo sambil menyunggingkan seringai lebar mengejek.
Raut Vanta sudah berubah ganas sejak tadi. Sorot matanya memancarkan emosi yang meluap-luap. Kalau bukan karena status cowok itu, Vanta mungkin sudah maju meninju wajah muka tengilnya yang menyebalkan.
“Minggir!” ketus Vanta.
“Wow, galak banget. Udah ngerti belom? Atau masih belom ngerti juga?”
“Dia nggak ngerti sama penjelasan lo kali, Vin! Payah ni Alvin jelasinnya.” Kali ini Andre ikut berulah.
“Ah, jangan-jangan orang primitif ini malah nggak ngerti sama sekali apa yang gue omongin. Yah, percuma deh.”
Vanta sudah jengah melihat sikap Alvin. Akhirnya ia berkata lantang, “Minggir lo! Mau gue tabrak? Jangan halangin jalan gue! Singkirin mobil lo dari depan gue, bikin SAKIT MATA, tau nggak?!”
Setidaknya Vanta tidak menyentuh atau melukai cowok itu. Tapi kalau Alvin bertindak lebih jauh, mungkin Vanta akan tergoda untuk mencekiknya.
Mungkin.
Dalam sekejap mahasiswa dan teman-teman Alvin yang menonton jalannya insiden tersebut ber-wow ria mendengar Vanta yang dengan berani menantang Alvin. Sorakan mereka turut meramaikan suasana seperti suporter timnas di lapangan.
Alis Alvin berkerut. “Siapa lo berani perintah-perintah gue?”
“Siapa lo, berani halangin jalan gue? Presiden juga bukan,” balas Vanta tidak mau kalah.
“Ta, jalan yuk.” Sementara Nathan yang sudah mengeluarkan keringat dingin mencoba membujuk Vanta untuk beranjak dari tempat itu.
“Jadi lo masih belum nyerah? Oke kalo gitu, tunggu aja yang selanjutnya. Ban lo bocor, itu baru permulaan.”
Vanta lalu tersentak. “Jadi lo yang bocorin ban motor gue?”
“Gue nggak main-main dengan omongan gue.” Alvin menatap mata Vanta lurus-lurus dibalas dengan tatapan menantang dari gadis itu.
Runtuh sudah sisa kesabaran Vanta. Tangannya menyentuh starter, hendak menabrak lelaki itu. Meskipun bannya bocor, Vanta tidak peduli!
Sekali lagi Nathan menahan Vanta. “Ta, ayo ....”
Sampai akhirnya cewek itu menuruti permintaan Nathan untuk meninggalkan area kampus bersama kegeramannya yang memuncak. Vanta berjalan melewati Alvin. Menabrak bahu cowok itu dengan sengaja.
Tidak marah, Alvin malah tersenyum miring.
“Gila lo, besok-besok adegan apa lagi?” tanya Andre di sela-sela tawanya.
“Apa, ya? Gue juga belom kepikiran, nih. Ada ide nggak? Puas banget gue bikin tu cewek diketawain.”
“Kayaknya Alvin punya hobby baru selain makan permen karet,” tukas Edo tiba-tiba.
“Apa tuh?” Semua kompak bertanya.
“Ngerjain cewek itu,” jawab Edo disusul gelak tawa dari Alvin dan yang lainnya.
“Ngomong-ngomong permen karet, ada yang mau rasa blackcurrant?”