“Ya elah, mana enak sih makan bakso nggak pake sambel?” Suara tengil
seorang cowok terdengar lantang.
Di sebelah mejanya, berdiri cowok gemuk yang merunduk takut-takut.
“K-kan, tadi kata lo jangan pedes?”
“Hah? Kapan gue ngomong gitu? Lo salah denger kali! Ya, kan?” ujar
cowok berkemeja denim itu memandang satu per satu temannya yang lain. Kemudian
mengibas tangan, “Hushh ... sana, sana ... pakein sambel dulu baru bawa lagi ke
sini.”
Cowok bertubuh gemuk itu putar balik, mengikuti kemauan temannya. Selagi
dia menuju kios bakso, si cowok berkemeja denim menertawakannya bersama
sekumpulan teman-temannya di meja.
Vanta yang sedang menikmati makan siangnya di kantin kampus, mau
tak mau ikut menyaksikan kejadian itu. Keisengan anak-anak cowok pada temannya,
begitu pikir Vanta. Dia pun tak ambil pusing dan melanjutkan santap siang
dengan teman beda jurusannya.
“Gue kira cuma anak sekolahan aja yang masih malak temen kayak
gitu. Ternyata di kampus ternama gini ada juga ya, Jes? Childish amat,” komentar Vanta pada temannya yang sudah kuliah di
kampus ini setahun lebih lama darinya.
“Oh, bukan malak itu. Nggak usah dipeduliin, nanti juga akur
sendiri,” sahut Jessi sambil memainkan ponsel. “By the way, gimana tugas lo?”
Vanta memegangi kepala dengan kedua tangannya. “Masih bingung gue
sama perspektif. Terus pas matkul Teori—”
“Pedes banget, woyy! Lo mau ngeracunin gue?!” Kalimat Vanta
terinterupsi.
Si cowok kemeja denim lagi, batin Vanta malas.
“Ng-nggak, Vin ....” Dan cowok tambun yang sama.
Vanta menghela napas, baru membuka mulut hendak melanjutkan
cerita. Tetapi lagi-lagi harus terhenti karena orang yang sama.
“Udahlah, nggak selera gue makan bakso. Pesenin yang laen!”
“Mau ... makan apa, Vin?”
“Pake nanya lagi! Apa, kek! Inisiatif dong!” seru cowok yang
dipanggil Vin itu.
Salah satu temannya ikut menimpali, “Tau nih. Anak DKV masa nggak
kreatif?!”
Asal tahu saja, mood
Vanta hari ini sedang buruk. Tugas kampusnya—yang untuk mengerjakan saja butuh
waktu beberapa hari dan sampai bergadang pula—baru selesai tadi pagi. Rasa
kantuk dan lelah bercampur. Harapan Vanta duduk santai di kantin sambil makan
siang musnah gara-gara keributan itu. Apalagi mendengar jurusannya
disebut-sebut, mendadak Vanta jadi super sesitif.
Memang apa hubungannya mahasiswa DKV dengan menu makanan?
Kewajiban mahasiswa DKV adalah bisa menggambar rupa dasar dan berbekal
keterampilan desain, bukan membaca pikiran orang. Apalagi menebak selera makan
seseorang. Cowok-cowok itu tampaknya sudah keterlaluan.
“Yang gendut itu anak DKV, Jes?”
“Lah, mereka pada itu *kating
lo, Ta. Lo nggak tau?” Jessi memang bukan jurusan DKV. Dia semester tiga
jurusan Ilmu Komunikasi. Mungkin karena setahun lebih lama kuliah di sini,
Jessi banyak mengenal wajah-wajah jurusan lain. Termasuk gosip-gosip terkini di
tiap jurusan.
(*kating = kakak tingkat)
Tatapan Vanta kembali terarah ke tengah kantin, salah satu meja di
dekat pilar. Tempat sekumpulan cowok-cowok tukang bully itu duduk. Vanta terus mengamati mereka, lalu alisnya
berkerut.
“Mm ... sorry, ya Vin.
Bentar deh, gue liat-liat dulu yang sekiranya bisa lo makan.”
“Nah, gitu dong! Gue suka nih, yang kayak gini. Pinter!” Cowok
bernama Vin menepuk-nepuk pundak temannya yang tambun, kemudian mengacak
rambutnya. Tertawa dengan teman-teman yang duduk bersamanya. “Eh, jangan lupa
bawa pergi nih baksonya. Terserah mau lo makan apa kasih siapa.”
Untuk berbagai alasan, Vanta merasa kesal. Entah karena sikap
semena-mena lelaki itu, entah karena tugas semester awal yang mati satu tumbuh
seribu. Rasa solidaritas terhadap mahasiswa sejurusan yang ditindas, atau
pelampiasan emosi karena kurang tidur, yang mana pun itu, membuat Vanta
tiba-tiba berdiri dari bangkunya.
“Jes, gue beli lemonade dulu.”
Tanpa menunggu jawaban sahabatnya, Vanta bangkit dari kursi dan
berjalan meninggalkan mejanya. Dan tanpa bisa dicegah, keributan lain pun
terjadi.
***
“LO SENGAJA?!” Bentak Alvin pada cewek yang berdiri di sebelah
bangkunya. Cewek itu memegangi segelas yang hampir kosong. Separuh lebih isinya
sudah mendarat sempurna membasahi kemeja Alvin.
Alvin sangat yakin cewek itu tidak terpeleset. Jika matanya tak
salah lihat, cewek itu menyeringai tipis sebelum rautnya berubah panik. “Ya
ampun, sorry! Tangan gue licin.”
“Bersihin. Sekarang!” perintah Alvin dengan penuh penekanan.
Jelas-jelas cewek itu sengaja menumpahkan minumannya.
Perempuan dengan kuncir ekor kuda itu meletakkan gelas minumannya
di meja, mendekati Alvin dan mengulurkan tangannya. Alvin langsung membelalak
ketika cewek itu tiba-tiba nekat membuka satu kancing kemejanya.
“Ngapain lo?!” sentak Alvin beranjak dari bangku.
“Fans lo itu, Vin.” Andre, salah satu teman Alvin yang paling
jangkung berceletuk.
Kontan teman-teman lain di mejanya ber-wow ria, ada juga yang
bersiul. Wajah-wajah haus akan gosip di penjuru kantin mulai memandang Alvin
dan cewek itu. Dalam sekejap mereka jadi bahan tontonan.
“Gue mau bersihin kemeja lo,” sahut si cewek santai.
“Gila, ya?! Siapa yang suruh lo buka baju gue?”
“Loh, katanya minta dibersihin?” Tanpa meminta izin, cewek itu
mengincar kancingnya lagi.
Alvin buru-buru menepis tangannya. Menatap cewek yang tingginya
hanya sebatas dagunya dengan sorot tajam. “Cewek sinting mana lagi sih, ini??
Nggak usah modus deh, bilang aja lo mau pegang-pegang!”
“Idiiih, PD banget. Coba liat, siapa yang pegang siapa? Sekarang
siapa yang modus?”
Sesaat setelah menyadari dia sedang mencengkeram pergelangan
tangan cewek itu, Alvin segera menghempasnya. Perasaan jengkel membuncah karena
baru pertama kali ada yang berani menentangnya.
Tangan Alvin sudah terkepal, menyusun rencana di otak untuk
menyingkirkan cewek sableng itu ketika ekor matanya menangkap sosok lain yang
berjalan terburu ke arah mereka. Gadis berambut ash brown serta-merta menarik tangan cewek ekor kuda di depannya.
“Sorry, sorry ...! Temen
gue ngigo gara-gara kurang tidur ngerjain tugas!”
“Tiati Sista, temennya kandangin dulu biar nggak jadi umpan macan
laper.” Edo cekikikan di sebelah Alvin. Sementara otot-otot rahang Alvin masih
mengencang. Emosi.
Baru dua langkah, cewek yang menumpahkan minuman padanya berhenti
melangkah dan berbalik. “Oh iya.”
“Apaan lagi?” Alvin berkacak pinggang. Bahkan tinggi badannya
tidak mampu mematahkan nyali perempuan itu. Dia tetap memandang Alvin dengan tubuh
tegak dan dagu terangkat. Bukan jenis tatapan memuja atau kagum seperti yang
sering didapatnya dari para mahasiswi. Kilat matanya tangguh dan menantang.
Tangan cewek itu melewati Alvin, mengambil gelas minuman dari
mejanya. “Gue emang sengaja. Hadiah, buat cowok tukang bully yang hobi caper. Gue bantuin sekalian biar capernya nggak
nanggung.”
“Sialan!” Alvin menggebrak meja dengan keras. Semua orang yang ada
di kantin menahan napas serempak. Mendadak suasana kantin berubah sunyi. “Anak jurusan
mana sih, lo?!”
Seperti tersengat, cewek modis berambut ash brown menggamit lengan temannya. “Ta, udah ... keluar, yuk.”
Selama beberapa saat sambil menjauh, pandangan Alvin dan cewek itu
terkunci. Masing-masing menyiratkan perasaan tersendiri di balik tatapannya.
Alvin yang menyimpan dendam, dan gadis yang terlihat puas.
Dari tempatnya berdiri, Alvin melihat Nathan tampak kebingungan.
Cewek tadi menarik Nathan, hiburanya hari ini. Alvin langsung sadar, perlakuan
cewek itu padanya adalah bentuk protes dan dendam. Entah apa hubungannya cewek
itu dan Nathan. Yang pasti, Alvin tidak suka orang lain ikut campur urusannya.
Dia harus buat perhitungan dengan ccewek itu!
Selang beberapa detik dari kepergian mereka, suasana kantin
kembali seperti semula. Beberapa pasang mata ada yang curi-curi pandang ke arah
Alvin. Tapi saat tertangkap basah oleh Alvin, mereka segera berpaling.
“Siapa sih tu cewek?! Elo-elo pada ada yang tau, nggak?” tanya
Alvin seraya mengibaskan lengan kemejanya yang basah. Dia mengambil tisu di
meja, mengelap wajahnya yang terasa lengket karena ketumpahan minuman.
Tidak. Bukan ketumpahan.
Cewek itu sudah mengaku dia sengaja.
“Nggak tau,” jawab Andre mengendikkan bahu.
“Apa sih, ni?” Alvin mengendus kemejanya.
Edo memanjangkan kepala ikut mengendus. “Bau lemon, lemonade
berarti. Gue juga nggak kenal. B aja sih mukanya.”
“Kayaknya anak semester satu. Gue baru lihat.” Toto yang sejak
tadi hanya menyaksikan pertumpahan lemonade di kantin akhirnya bersuara.
“Masih semester satu??” Sebelah alis Alvin terangkat. Tidak
percaya. ”Baru semester satu aja udah belagu banget!”
“Gila, gila ... kayaknya dia nggak tau siapa Alvin. Berani bikin
masalah sama seorang Alvin.” Edo geleng-geleng kepala.
“Jurusan apa, To?” tanya Andre menyiku lengan Toto.
Yang ditanya hanya mengangkat bahu, tanda tak tahu.
“Cari tau, To!” sergah Alvin penuh rasa tak terima. Bagaimana dia
tidak murka jika tiba-tiba disiram lemonade seperti itu. “Kali ini dia bisa
lolos. Awas aja sampe gue lihat dia lagi, nasibnya nggak bakal seberuntung
sekarang.”
“Mau lo apain emang?” tanya Toto penasaran.
Alvin tersenyum licik. “Ngapain ya enaknya? Pokoknya gue mesti
kasih peringatan tu cewek. Jangan ikut campur urusan orang. To, Ndre, lo cari
tau ya info tentang cewek itu.”
“Gue usahain deh, kalo masih inget mukanya. Abis standar banget.”
“Lo kira sepeda, pake standar segala.” Edo menimpali sambil
terkekeh.
“Ya emang kata lo dia cantik? Biasa aja kan? Cuma modal nekatnya yang
bikin gue salut. Seorang Alvin, ada yang ngelawan? Wah ... punya sembilan nyawa
doi kayaknya.” Andre lalu melirik Alvin menyambar tas laptopnya. “Nggak lanjut
kelas, Vin?”
“Ya menurut lo aja! Mesti banget gue ikut kelas basah-basahan
gini?” Dia lalu melempar kartunya pada Toto, ditangkap gesit oleh cowok itu.
“Titip absen, To.”
Alvin bersumpah dalam hati, saat berpapasan dengan cewek itu lagi,
bukan kilatan menantang yang akan dilihatnya pada sepasang mata bulat cewek
itu. Melainkan sorot penyesalan.
***
“Lo nggak pa-pa? Lain kali jangan mau disuruh-suruh beliin makan
gitu, apalagi diutangin. Nanti malah makin bertambah tukang bully di kampus.”
Jessi langsung melotot pada Vanta. “Aduhh Ta, ini bukan waktunya
lo khawatirin orang lain! Udah gue bilang, Alvin bukan malakin nih orang. Ya kan?”
Lalu beralih pada cowok asing yang ditarik sahabatnya itu. “Alvin tadi bayar,
kan?”
Cowok gemuk itu melirik Vanta dan Jessi bergantian sebelum
mengangguk ragu.
“Tuh kan!” seru Jessi. “Nggak mungkin seorang Alvin ngutang,
apalagi malak. Dia emang gayanya gitu, tapi dia nggak pernah main fisik.”
“Kok lo malah jadi belain tu cowok sih, Jes? Biar ngasih duit pun
tetap aja dia nggak boleh semena-mena gitu dong sama orang! Emangnya dia siapa?
Bossy banget lagaknya.”
“Astagaa ... udah sebulan kuliah di sini, lo nggak tau siapa
dia??” Wajah Jessi berubah panik, mondar-mandir di depan Vanta sambil
bersedekap. “Mampus kita. Mampus ...” gumam gadis cantik itu. Reaksinya tampak
berlebihan.
“Kenapa sih?” Dahi Vanta berkerut bingung. “Kok jadi heboh banget?”
“Gimana gue nggak heboh, lo nyari gara-gara tanpa tau siapa dia.”
“Emangnya siapa dia?” Sampai saat itu, Vanta masih bersikap tak
peduli.
Jessi berhenti mondar-mandir dan memasang tampang sok misterius.
Gadis itu mengatur napas beberapa kali sebelum menatap tepat manik mata Vanta.
Kalimat Jessi berikutnya penuh dengan penekanan.
“Dia ... anak rektor!”