Read More >>"> Love Like Lemonade (Part 1) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love Like Lemonade
MENU
About Us  

“Ya elah, mana enak sih makan bakso nggak pake sambel?” Suara tengil seorang cowok terdengar lantang.

Di sebelah mejanya, berdiri cowok gemuk yang merunduk takut-takut. “K-kan, tadi kata lo jangan pedes?”

“Hah? Kapan gue ngomong gitu? Lo salah denger kali! Ya, kan?” ujar cowok berkemeja denim itu memandang satu per satu temannya yang lain. Kemudian mengibas tangan, “Hushh ... sana, sana ... pakein sambel dulu baru bawa lagi ke sini.”

Cowok bertubuh gemuk itu putar balik, mengikuti kemauan temannya. Selagi dia menuju kios bakso, si cowok berkemeja denim menertawakannya bersama sekumpulan teman-temannya di meja.

Vanta yang sedang menikmati makan siangnya di kantin kampus, mau tak mau ikut menyaksikan kejadian itu. Keisengan anak-anak cowok pada temannya, begitu pikir Vanta. Dia pun tak ambil pusing dan melanjutkan santap siang dengan teman beda jurusannya.

“Gue kira cuma anak sekolahan aja yang masih malak temen kayak gitu. Ternyata di kampus ternama gini ada juga ya, Jes? Childish amat,” komentar Vanta pada temannya yang sudah kuliah di kampus ini setahun lebih lama darinya.

“Oh, bukan malak itu. Nggak usah dipeduliin, nanti juga akur sendiri,” sahut Jessi sambil memainkan ponsel. “By the way, gimana tugas lo?”

Vanta memegangi kepala dengan kedua tangannya. “Masih bingung gue sama perspektif. Terus pas matkul Teori—”

“Pedes banget, woyy! Lo mau ngeracunin gue?!” Kalimat Vanta terinterupsi.

Si cowok kemeja denim lagi, batin Vanta malas.

“Ng-nggak, Vin ....” Dan cowok tambun yang sama.

Vanta menghela napas, baru membuka mulut hendak melanjutkan cerita. Tetapi lagi-lagi harus terhenti karena orang yang sama.

“Udahlah, nggak selera gue makan bakso. Pesenin yang laen!”

“Mau ... makan apa, Vin?”

“Pake nanya lagi! Apa, kek! Inisiatif dong!” seru cowok yang dipanggil Vin itu.

Salah satu temannya ikut menimpali, “Tau nih. Anak DKV masa nggak kreatif?!”

Asal tahu saja, mood Vanta hari ini sedang buruk. Tugas kampusnya—yang untuk mengerjakan saja butuh waktu beberapa hari dan sampai bergadang pula—baru selesai tadi pagi. Rasa kantuk dan lelah bercampur. Harapan Vanta duduk santai di kantin sambil makan siang musnah gara-gara keributan itu. Apalagi mendengar jurusannya disebut-sebut, mendadak Vanta jadi super sesitif.

Memang apa hubungannya mahasiswa DKV dengan menu makanan? Kewajiban mahasiswa DKV adalah bisa menggambar rupa dasar dan berbekal keterampilan desain, bukan membaca pikiran orang. Apalagi menebak selera makan seseorang. Cowok-cowok itu tampaknya sudah keterlaluan.

“Yang gendut itu anak DKV, Jes?”

“Lah, mereka pada itu *kating lo, Ta. Lo nggak tau?” Jessi memang bukan jurusan DKV. Dia semester tiga jurusan Ilmu Komunikasi. Mungkin karena setahun lebih lama kuliah di sini, Jessi banyak mengenal wajah-wajah jurusan lain. Termasuk gosip-gosip terkini di tiap jurusan.

(*kating = kakak tingkat)

Tatapan Vanta kembali terarah ke tengah kantin, salah satu meja di dekat pilar. Tempat sekumpulan cowok-cowok tukang bully itu duduk. Vanta terus mengamati mereka, lalu alisnya berkerut.

“Mm ... sorry, ya Vin. Bentar deh, gue liat-liat dulu yang sekiranya bisa lo makan.”

“Nah, gitu dong! Gue suka nih, yang kayak gini. Pinter!” Cowok bernama Vin menepuk-nepuk pundak temannya yang tambun, kemudian mengacak rambutnya. Tertawa dengan teman-teman yang duduk bersamanya. “Eh, jangan lupa bawa pergi nih baksonya. Terserah mau lo makan apa kasih siapa.”

Untuk berbagai alasan, Vanta merasa kesal. Entah karena sikap semena-mena lelaki itu, entah karena tugas semester awal yang mati satu tumbuh seribu. Rasa solidaritas terhadap mahasiswa sejurusan yang ditindas, atau pelampiasan emosi karena kurang tidur, yang mana pun itu, membuat Vanta tiba-tiba berdiri dari bangkunya.

“Jes, gue beli lemonade dulu.”

Tanpa menunggu jawaban sahabatnya, Vanta bangkit dari kursi dan berjalan meninggalkan mejanya. Dan tanpa bisa dicegah, keributan lain pun terjadi.

 

***

 

“LO SENGAJA?!” Bentak Alvin pada cewek yang berdiri di sebelah bangkunya. Cewek itu memegangi segelas yang hampir kosong. Separuh lebih isinya sudah mendarat sempurna membasahi kemeja Alvin.

Alvin sangat yakin cewek itu tidak terpeleset. Jika matanya tak salah lihat, cewek itu menyeringai tipis sebelum rautnya berubah panik. “Ya ampun, sorry! Tangan gue licin.”

“Bersihin. Sekarang!” perintah Alvin dengan penuh penekanan. Jelas-jelas cewek itu sengaja menumpahkan minumannya.

Perempuan dengan kuncir ekor kuda itu meletakkan gelas minumannya di meja, mendekati Alvin dan mengulurkan tangannya. Alvin langsung membelalak ketika cewek itu tiba-tiba nekat membuka satu kancing kemejanya.

“Ngapain lo?!” sentak Alvin beranjak dari bangku.

“Fans lo itu, Vin.” Andre, salah satu teman Alvin yang paling jangkung berceletuk.

Kontan teman-teman lain di mejanya ber-wow ria, ada juga yang bersiul. Wajah-wajah haus akan gosip di penjuru kantin mulai memandang Alvin dan cewek itu. Dalam sekejap mereka jadi bahan tontonan.

“Gue mau bersihin kemeja lo,” sahut si cewek santai.

“Gila, ya?! Siapa yang suruh lo buka baju gue?”

“Loh, katanya minta dibersihin?” Tanpa meminta izin, cewek itu mengincar kancingnya lagi.

Alvin buru-buru menepis tangannya. Menatap cewek yang tingginya hanya sebatas dagunya dengan sorot tajam. “Cewek sinting mana lagi sih, ini?? Nggak usah modus deh, bilang aja lo mau pegang-pegang!”

“Idiiih, PD banget. Coba liat, siapa yang pegang siapa? Sekarang siapa yang modus?”

Sesaat setelah menyadari dia sedang mencengkeram pergelangan tangan cewek itu, Alvin segera menghempasnya. Perasaan jengkel membuncah karena baru pertama kali ada yang berani menentangnya.

Tangan Alvin sudah terkepal, menyusun rencana di otak untuk menyingkirkan cewek sableng itu ketika ekor matanya menangkap sosok lain yang berjalan terburu ke arah mereka. Gadis berambut ash brown serta-merta menarik tangan cewek ekor kuda di depannya.

Sorry, sorry ...! Temen gue ngigo gara-gara kurang tidur ngerjain tugas!”

“Tiati Sista, temennya kandangin dulu biar nggak jadi umpan macan laper.” Edo cekikikan di sebelah Alvin. Sementara otot-otot rahang Alvin masih mengencang. Emosi.

Baru dua langkah, cewek yang menumpahkan minuman padanya berhenti melangkah dan berbalik. “Oh iya.”

“Apaan lagi?” Alvin berkacak pinggang. Bahkan tinggi badannya tidak mampu mematahkan nyali perempuan itu. Dia tetap memandang Alvin dengan tubuh tegak dan dagu terangkat. Bukan jenis tatapan memuja atau kagum seperti yang sering didapatnya dari para mahasiswi. Kilat matanya  tangguh dan menantang.

Tangan cewek itu melewati Alvin, mengambil gelas minuman dari mejanya. “Gue emang sengaja. Hadiah, buat cowok tukang bully yang hobi caper. Gue bantuin sekalian biar capernya nggak nanggung.”

“Sialan!” Alvin menggebrak meja dengan keras. Semua orang yang ada di kantin menahan napas serempak. Mendadak suasana kantin berubah sunyi. “Anak jurusan mana sih, lo?!”

Seperti tersengat, cewek modis berambut ash brown menggamit lengan temannya. “Ta, udah ... keluar, yuk.”

Selama beberapa saat sambil menjauh, pandangan Alvin dan cewek itu terkunci. Masing-masing menyiratkan perasaan tersendiri di balik tatapannya. Alvin yang menyimpan dendam, dan gadis yang terlihat puas.

Dari tempatnya berdiri, Alvin melihat Nathan tampak kebingungan. Cewek tadi menarik Nathan, hiburanya hari ini. Alvin langsung sadar, perlakuan cewek itu padanya adalah bentuk protes dan dendam. Entah apa hubungannya cewek itu dan Nathan. Yang pasti, Alvin tidak suka orang lain ikut campur urusannya. Dia harus buat perhitungan dengan ccewek itu!

Selang beberapa detik dari kepergian mereka, suasana kantin kembali seperti semula. Beberapa pasang mata ada yang curi-curi pandang ke arah Alvin. Tapi saat tertangkap basah oleh Alvin, mereka segera berpaling.

“Siapa sih tu cewek?! Elo-elo pada ada yang tau, nggak?” tanya Alvin seraya mengibaskan lengan kemejanya yang basah. Dia mengambil tisu di meja, mengelap wajahnya yang terasa lengket karena ketumpahan minuman.

Tidak. Bukan ketumpahan.

Cewek itu sudah mengaku dia sengaja.

“Nggak tau,” jawab Andre mengendikkan bahu.

“Apa sih, ni?” Alvin mengendus kemejanya.

Edo memanjangkan kepala ikut mengendus. “Bau lemon, lemonade berarti. Gue juga nggak kenal. B aja sih mukanya.”

“Kayaknya anak semester satu. Gue baru lihat.” Toto yang sejak tadi hanya menyaksikan pertumpahan lemonade di kantin akhirnya bersuara.

“Masih semester satu??” Sebelah alis Alvin terangkat. Tidak percaya. ”Baru semester satu aja udah belagu banget!”

“Gila, gila ... kayaknya dia nggak tau siapa Alvin. Berani bikin masalah sama seorang Alvin.” Edo geleng-geleng kepala.

“Jurusan apa, To?” tanya Andre menyiku lengan Toto.

Yang ditanya hanya mengangkat bahu, tanda tak tahu.

“Cari tau, To!” sergah Alvin penuh rasa tak terima. Bagaimana dia tidak murka jika tiba-tiba disiram lemonade seperti itu. “Kali ini dia bisa lolos. Awas aja sampe gue lihat dia lagi, nasibnya nggak bakal seberuntung sekarang.”

“Mau lo apain emang?” tanya Toto penasaran.

Alvin tersenyum licik. “Ngapain ya enaknya? Pokoknya gue mesti kasih peringatan tu cewek. Jangan ikut campur urusan orang. To, Ndre, lo cari tau ya info tentang cewek itu.”

“Gue usahain deh, kalo masih inget mukanya. Abis standar banget.”

“Lo kira sepeda, pake standar segala.” Edo menimpali sambil terkekeh.

“Ya emang kata lo dia cantik? Biasa aja kan? Cuma modal nekatnya yang bikin gue salut. Seorang Alvin, ada yang ngelawan? Wah ... punya sembilan nyawa doi kayaknya.” Andre lalu melirik Alvin menyambar tas laptopnya. “Nggak lanjut kelas, Vin?”

“Ya menurut lo aja! Mesti banget gue ikut kelas basah-basahan gini?” Dia lalu melempar kartunya pada Toto, ditangkap gesit oleh cowok itu. “Titip absen, To.”

Alvin bersumpah dalam hati, saat berpapasan dengan cewek itu lagi, bukan kilatan menantang yang akan dilihatnya pada sepasang mata bulat cewek itu. Melainkan sorot penyesalan.

 

***

 

“Lo nggak pa-pa? Lain kali jangan mau disuruh-suruh beliin makan gitu, apalagi diutangin. Nanti malah makin bertambah tukang bully di kampus.”

Jessi langsung melotot pada Vanta. “Aduhh Ta, ini bukan waktunya lo khawatirin orang lain! Udah gue bilang, Alvin bukan malakin nih orang. Ya kan?” Lalu beralih pada cowok asing yang ditarik sahabatnya itu. “Alvin tadi bayar, kan?”

Cowok gemuk itu melirik Vanta dan Jessi bergantian sebelum mengangguk ragu.

“Tuh kan!” seru Jessi. “Nggak mungkin seorang Alvin ngutang, apalagi malak. Dia emang gayanya gitu, tapi dia nggak pernah main fisik.”

“Kok lo malah jadi belain tu cowok sih, Jes? Biar ngasih duit pun tetap aja dia nggak boleh semena-mena gitu dong sama orang! Emangnya dia siapa? Bossy banget lagaknya.”

“Astagaa ... udah sebulan kuliah di sini, lo nggak tau siapa dia??” Wajah Jessi berubah panik, mondar-mandir di depan Vanta sambil bersedekap. “Mampus kita. Mampus ...” gumam gadis cantik itu. Reaksinya tampak berlebihan.

“Kenapa sih?” Dahi Vanta berkerut bingung. “Kok jadi heboh banget?”

“Gimana gue nggak heboh, lo nyari gara-gara tanpa tau siapa dia.”

“Emangnya siapa dia?” Sampai saat itu, Vanta masih bersikap tak peduli.

Jessi berhenti mondar-mandir dan memasang tampang sok misterius. Gadis itu mengatur napas beberapa kali sebelum menatap tepat manik mata Vanta. Kalimat Jessi berikutnya penuh dengan penekanan.

“Dia ... anak rektor!”

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Luka atau bahagia?
3201      1022     4     
Romance
trauma itu sangatlah melekat di diriku, ku pikir setelah rumah pertama itu hancur dia akan menjadi rumah keduaku untuk kembali merangkai serpihan kaca yang sejak kecil sudah bertaburan,nyatanya semua hanyalah haluan mimpi yang di mana aku akan terbangun,dan mendapati tidak ada kesembuhan sama sekali. dia bukan kehancuran pertama ku,tapi dia adalah kelanjutan dari kisah kehancuran dan trauma yang...
River Flows in You
698      401     6     
Romance
Kean telah kehilangan orang tuanya di usia 10 tahun. Kemudian, keluarga Adrian-lah yang merawatnya dengan sepenuh hati. Hanya saja, kebersamaannya bersama Adrian selama lima belas tahun itu turut menumbuhkan perasaan lain dalam hati. Di satu sisi, dia menginginkan Adrian. Di sisi lain, dia juga tidak ingin menjadi manusia tidak tahu terima kasih atas seluruh kebaikan yang telah diterimanya dar...
KataKu Dalam Hati Season 1
3859      1124     0     
Romance
Terkadang dalam hidup memang tidak dapat di prediksi, bahkan perasaan yang begitu nyata. Bagaikan permainan yang hanya dilakukan untuk kesenangan sesaat dan berakhir dengan tidak bisa melupakan semua itu pada satu pihak. Namun entah mengapa dalam hal permainan ini aku merasa benar-benar kalah telak dengan keadaan, bahkan aku menyimpannya secara diam-diam dan berakhir dengan aku sendirian, berjuan...
Let's See!!
1492      727     1     
Romance
"Kalau sepuluh tahun kedepan kita masih jomblo, kita nikah aja!" kata Oji. "Hah?" Ara menatap sahabat kentalnya itu sedikit kaget. Cowok yang baru putus cinta ini kenapa sih? "Nikah? lo sama gue?" tanya Ara kemudian. Oji mengangguk mantap. "Yap. Lo sama gue menikah."
KILLOVE
3336      1098     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...
Lily
1184      554     4     
Romance
Apa kita harus percaya pada kesetiaan? Gumam Lily saat memandang papan nama bunga yang ada didepannya. Tertulis disana Bunga Lily biru melambangkan kesetiaan, kepercayaan, dan kepatuhan. Lily hanya mematung memandang dalam bunga biru yang ada didepannya tersebut.
Play Me Your Love Song
3070      1251     10     
Romance
Viola Zefanya tidak pernah menyangka dirinya bisa menjadi guru piano pribadi bagi Jason, keponakan kesayangan Joshua Yamaguchi Sanjaya, Owner sekaligus CEO dari Chandelier Hotel and Group yang kaya raya bak sultan itu. Awalnya, Viola melakukan tugas dan tanggung jawabnya dengan tuntutan "profesionalitas" semata. Tapi lambat laun, semakin Viola mengenal Jason dan masalah dalam keluarganya, sesu...
Manuskrip Tanda Tanya
3976      1347     1     
Romance
Setelah berhasil menerbitkan karya terbaru dari Bara Adiguna yang melejit di pasaran, Katya merasa dirinya berada di atas angin; kebanggaan tersendiri yang mampu membawa kesuksesan seorang pengarang melalui karya yang diasuh sedemikian rupa agar menjadi sempurna. Sayangnya, rasa gembira itu mendadak berubah menjadi serba salah ketika Bu Maya menugaskan Katya untuk mengurus tulisan pengarang t...
Negeri Tanpa Ayah
8608      1925     0     
Inspirational
Negeri Tanpa Ayah merupakan novel inspirasi karya Hadis Mevlana. Konflik novel ini dimulai dari sebuah keluarga di Sengkang dengan sosok ayah yang memiliki watak keras dan kerap melakukan kekerasan secara fisik dan verbal terutama kepada anak lelakinya bernama Wellang. Sebuah momentum kelulusan sekolah membuat Wellang memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dia memilih kuliah di luar kota untuk meng...
Demi Keadilan:Azveera's quest
692      384     5     
Mystery
Kisah Vee dan Rav membawa kita ke dalam dunia yang gelap dan penuh misteri. Di SMA Garuda, mereka berdua menemukan cinta dan kebenaran yang tak terduga. Namun, di balik senyum dan kebahagiaan, bahaya mengintai, dan rahasia-rasasia tersembunyi menanti untuk terungkap. Bersama-sama, mereka harus menghadapi badai yang mengancam dan memasuki labirin yang berbahaya. Akankah Vee menemukan jawaban yang ...