Bagian Pertama
✧
Dia tertawa menyeramkan. "Kenapa kalian di sini?"
Afuya memilih bersembunyi di balik punggung Winter. Gadis itu merasa merinding ketika melihat anak kecil di tengah jalan yang gelap itu. Menggunakan payung warna merah. Tanpa adanya penerangan, membuat Afuya maupun Winter tidak bisa melihat wajah anak kecil tersebut. Bahkan Afuya sempat menganggapnya hantu tanpa muka.
"Jangan takut begitu, aku juga manusia seperti kalian, kok." Anak kecil itu berjalan semakin mendekat.
Barulah tepat berjarak kurang dari satu meter, wajah anak itu terlihat. Afuya membuang napas lega. Winter juga sama, ia sempat panik sebentar ketika anak kecil itu muncul. Malam-malam begini, kenapa anak itu dibiarkan sendirian di tengah sepi dan gelap. Afuya dan Winter kemudian membuka ruang untuk anak itu ikut duduk di gazebo. Bukannya naik, anak itu menolaknya. Namun, ia berniat baik sesungguhnya.
"Siapa namamu?" tanya Afuya mendekati anak tersebut.
"Rumuri, kalian bisa memanggilku Rum," jawab Rumuri diiringi senyumnya yang begitu menggemaskan.
"Rum, Kamu sendirian? Di mana rumahmu?" Berganti Winter melontarkan pertanyaannya.
"Kalian tidak melihatnya?" Rum berbalik arah lalu menunjuk tepat lurus dengan gazebo tempat mereka duduk. "Itu, rumahku lurus dengan kalian, lho!"
Afuya dan Winter seketika langsung mengikuti arah jari Rum. Tidak terhitung berapa kali mereka dibuat terkejut. Pertama kali saat mereka masuk lewat pintu di toko kelontong, yang tertangkap oleh mata mereka adalah jalanan sempit dan ladang begitu luas. Tidak ada satupun rumah. Bahkan gazebo bambu saja dapat mereka temui setelah meneruskan perjalanan lebih masuk lagi. Saat duduk lama menunggu hujan juga tidak ada apa-aoa selain ladang yang luas. Sungguh aneh.
"Hah! Sejak kapan?" Afuya bagai dirundung berjuta pertanyaan yang menimpa kepalanya.
Daripada semakin tidak percaya, Winter ingin membuktikan langsung. "Rum, apakah kita boleh berteduh di rumahmu?"
"Boleh, mari ikut denganku." Rum memberikan atu payung yang dibawanya lalu berbalik badan dan siap memimpin jalan.
Winter turun dari gazebo sembari membuka payung tersebut. Afuya yang ragu untuk mengikuti Rum, sempat menghentikan Winter. Namun, lagi-lagi usahanya gagal. Winter tetap teguh dan antusias mengikuti semua jalan cerita yang ia ambil. Pada akhirnya, mau tak mau Afuya harus kembali mengalah dan mengikuti pemuda tersebut. Tidak jauh, hanya beberapa langkah saja, Rum telah berhenti di depan rumahnya. Winter meletakkan payung di sebelah payung Rum yang tergeletak.
Anak kecil berusia tujuh tahun itu mengetok pintu rumah. Beberapa detik kemudian, suara dari ganggang pintu yang diturunkan terdengar jelas. Selepas terbuka sebesar empat puluh lima derajat, muncullah seorang wanita paruh baya berusia sekitar empat tahunan. Wanita itu bisa dikatakan sedikit lebih tua dibandingkan usianya. Bertubuh sedang berisi, tidak terbilang kurus. Rambutnya keriting diikat sanggul pada bagian belakang.
"Siapa, Rum?" tanyanya pada anak kecil tersebut.
"Mereka seperti tersesat, Mak."
Wanita itu membuka pintunya menjadi lebar. Ia keluar dan memberikan jalan agar Afuya dan Winter masuk ke rumahnya. "Mari, sini. Kita makan malam bersama, ya. Kebetulan saya masak banyak."
Winter menoleh pada Afuya. Ia tersenyum tengil ketika teringat perut gadis yang bersamanya itu sering kali keroncongan. Akhirnya ada orang baik yang tak terduga menolong mereka. Afuya sempat melepas kau kakinya dan meletakkan di dekat rak sepatu pemilik rumah. Rum masuk duluan diikuti Winter lalu Afuya di belakang. Anak kecil itu membimbing mereka langsung ke meja makan. Ibu dari Rum menutup pintu kemudian bergabung bersama di meja makan.
Mereka berempat duduk saling berhadapan. Rum dan ibunya mulai membuka semua penutup pada wadah-wadah makanan. Aroma harum dan lezat begitu menggugah selera Afuya. Mata Afuya membulat lebar ketika ada tumis tofu udang kesukaannya. Sudah begitu lama ia tidak menyantap menu makanan itu. Bahkan bisa dikatakan tiga bulan sekali akan Meira masakkan. Keadaan setelah pindah dari kota memang mengajarkan Afuya untuk semakin menerima apa adanya.
"Makanlah yang banyak, ya, daripada sisa," ucap wanita pemilik rumah.
Winter tersenyum lalu mengambilkan beberapa lauk dan diletakkan di piring Afuya. "Terima kasih, anak ayam warna-warni," ejek Afuya membuat Winter semakin tersenyum lebar.
"Rum mau itu, Mak."
"Iya, Sayang, ambilah."
Interaksi antara Rum dengan ibunya membuat Afuya semakin iri. Faktanya, ia bahkan tidak pernah mendengar Meira memanggilnya dengan sebutan 'sayang'. Bahkan bisa diingat saat terakhir makan bersama ketika masih di rumah Surabaya. Itu pula Afuya membuat Meira marah karena membahas rasa rindu dengan sang ayah.
Afuya terdiam sembari mengunyah pelan makanan di mulutnya. Winter menengok gadis di sebelahnya. Ia merasa ada yang janggal dengan Afuya. Agar tidak membiarkan gadis tersebut terus melamun menyaksikan Rum dengan ibunya, Winter mencoba untuk mengalihkan pandangan Afuya. Remaja lelaki itu berulang kali mencolek paha Afuya yang tertup rok sebetis.
Afuya menyadarinya, langsung memasang wajah kesal. "Apasih!" Meski dengan nada pelan, cercaan itu masih terdengar oleh Rum dan ibunya.
"Kanapa, Nak?" tanya pemilik rumah.
"Ee... enggak, Bu." Afuya langsung meraih rambut di kepala Winter kemudian menariknya. "Dia ganggu makan."
"Aduh!"
Rum tertawa, diikuti wanita paruh baya di sebelahnya. Afuya melepas genggamannya pada rambut Winter. Mereka berempat menghabiskan porsi makanannya tanpa menyisakan sebulir nasi di piring masing-masing. Afuya meneguk air mineral di gelas yang telah disiapkan. Winter pun sama. Seusai mereka menyelesaikan agenda makan malam, wanita pemilik rumah tidak langsung beranjak berdiri. Kesempatan inilah yang akan digunakan untuk bertanya.
"Tujuan kalian mau ke mana?"
Afuya antusias. "Toko kelontong desa sebelah."
"Malam-malam begini? Hujan juga lumayan jauh dari sini kalau jalan kaki," jelas wanita itu dengan tujuan mengurungkan niat dua muda-mudi agar melanjutkan perjalanan besok dini hari saja.
"Besok saja, bareng saya. Saya bekerja di toko kelontong itu," lanjut wanita pemilik rumah.
Afuya dan Winter saling mengangguk. Sebelumnya, mereka berduabsaling tatap seakan berbicara melalui kontak telepati. Obrolan mereka berempat diakhiri dengan membersihkan alat makan kemudian bersantai di depan televisi. Ketika Rum tertidur, wanita tersebut segera menyuruh Afuya dan Winter segera berkelana dalam mimpi juga. Mengingat mereka berdua pasti terlalu lelah serta letih karena tersesat.