Bagian Ketiga
✧
"Ladang?"
Winter mengembuskan napas pelan. "Hoo...."
Mereka masih berdiri mematung hingga tetesan air dari langit mulai jatuh membasahi mereka. Mending, sunyi, senyap, hampa, dan abu-abu pekat. Hanya itu yang digambarkan oleh Afuya maupun Winter di sana. Seperti tidak ada sebuah kehidupan. Bahkan warna tanaman padi di ladang pun tidak terlihat hijau. Tidak terlihat satupun rumah di sana. Hanya jalan kecil yang diapit oleh ladang-ladang yang begitu luas. Winter melengkungkan lengannya di atas kepala Afuya, gna memberikan sebuah peneduhan. Namun, sama saja mereka berdua masih berpotensi basah kuyup.
Winter mengajak Afuya untuk tetap jalan ke depan, siapa tahu mereka menemukan tempat untuk berteduh. Akan tetapi, gadis itu tetap ingin ke arah yang berlawanan. Suasana yang dirasakan mereka sekarang begitu mengerikan. Afuya ingin segera kembali ke toko kelontong kakek. Beberapa kali Winter menjelaskan, bahwa kembali pun mereka tidak pasti akan menemukan pintu itu lagi. Semaksimal mungkin remaja lelaki tersebut tetap memaksa Afuya terus berjalan ke arah depan sebelum mereka semakin basah.
Firasat Winter tak meleset. Baru berlari kecil beberapa langkah, di sebelah kiri jalan ada sebuah gazebo yang terbuat dari kayu bambu. Langsung tanpa menunggu lagi, mereka naik ke gazebo tersebut. Gelap. Tidak ada penerangan seperti lampu. Meskipun kesal, Afuya tidak berani duduk dengan jarak terlalu jauh dari Winter. Bagaimanapun juga, pemuda itu yang tetap berani maju paling depan.
Winter melepas kaus kaki. "Sudah basah itu, lepaslah. Nanti masuk angin."
Afuya menggeleng. "Kita tidak membawa sandal atau sepatu. Nanti kakiku sakit terkena kerikil."
"Nanti aku gendong. Sini lepas, daripada masuk angin." Winter meraih pergelangan kaki Afuya untuk memaksa gadis itu melepas kaus kakinya yang telah basah kuyup.
"Sini, Fu." Afuya menarik kakinya kuat-kuat hingga Winter tidak bisa menahannya dan memilik melepas. "Masih marah sama aku, ya?"
"Kalau saja tadi aku nggak menuruti Kamu, pasti kita nggak akan tersesat begini!"
"Ya maaf... sudah telanjur juga, terus maunya gimana?" Winter menggaruk rambutnya yang tak gatal, tetapi basah.
"Tadi seharusnya kita persiapan bawa bekal sama tas sekolah. Lumayan ada ponsel kita juga. Kalau begini jadi repot 'kan, kita hanya bawa badan sama nyawa."
Winter memilih diam, membiarkan Afuya mengomel. Ia sadar posisinya memang salah. Mau pembelaan sebagaimana mungkin, dia yang telah memaksa Afuya untuk ikut bersamanya. Langit semakin gelap dan hujan juga semakin deras. Tidak ada tanda-tanda akan reda dalam waktu singkat. Di gazebo bambu tersebut tidak ada penerangan. Pengelihatan mereka mulai samar-samar. Winter sedikit tak jelas ketika memandang Afuya dari jarak yang lumayang terbilang dekat.
Afuya menyudahi sesi merajuknya. Ia lebih memilih menggeser posisi duduk lebih ke tengah supaya dekat lagi dengan Winter. Hawa dingin malam semakin mencengkram. Afuya memikirkan apakah kakeknya sudah kembali ke toko kelontong? Apakah beliau melihat pintu di balik rak kayu? Lalu bagaimana dengan bundanya? Apakah Meira khawatir dan mencarinya ke mana-mana? Tidak hanya Afuya, Winter juga sama demikian. Dipikirnya, apakah bibi Eryn akan mencarinya juga?
Demi mencairkan suasana agar Afuya tidak semakin takut, sekarang Winter memulai obrolan dengan menceritakan sebuah dongeng singkat. Entah bisa dikatakan sebuah dong atau tidak, dulu saat Winter kecil, ia selalu mendengarnya dari sang nenek yang sekarang telah memilih tempat indah untuk bertemu Sang Pencipta. Winter membiarkan bahunya untuk menopang Afuya yang mulai lemas karena kelaparan.
"Fu, tau cerita pengembala anak sapi?"
"Nggak."
"Kalau pengembala anak domba?"
"Nggak."
"Pengembala anak kambing?"
"Nggak. Pengembala mulu, dah. Terus apa lagi? Pengembala anak ayam warna-warni?"
Winter tertawa renyah. "Mana ada begitu?"
"Coba aja, siapa tau laku jadi cerita di pasaran."
"Ngomong-ngomong, Fu, sepertinya aku nggak asing dengan tempat ini." Winter mengubah mimik wajahnya dari tertawa menjadi serius.
Afuya mengembalikan posisi duduknya menjadi tegak, tidak bersandar lagi di bahu Winter. "Aku juga." Gadis itu mulai masuk dan serius dalam obrolan mereka.
Mereka berdua saling tatap. Meskipun dalam keadaan gelap gulita, walau sedikit mereka masih bisa mengenali wajah masing lawan bicaranya. Tidak ada kalimat lanjuta setelah itu. Mereka masih saling kontak mata diselimuti diam seribu bahasa. Beberapa detik berjalan, barulah apa yang mereka pikirkan sekan tersambung. Mereka berdua seperti sedang melakukan sebuah telapati.
"Gazebo kakek!" ucap Afuya dan Winter secara bersamaan.
"Benar, nggak salah lagi," Winter melanjutkan.
"Berarti kita sebenarnya sudah dekat dengan toko kelontong." Afuya beranjak berdiri. "Ayo, aku ingin segera pulang."
Mata Winter mengikuti arah mata Afuya. Pemuda itu mengembuskan napas besar. "Fu, aku rasa tidak semudah itu. Ini juga masih hujan deras."
Afuya tidak ingin mengulangi sikap kekanak-kanakannya lagi. Ia memilih bersikap bijak seperti Winter yang selalu berani ambil risiko dan selalu menjaganya. Afuya memilih kembali duduk di sebelah pemuda tersebut. Meskipun kondisi yang tidak menjamin, perut juga sudah membunyikan alarm sedari tadi. Setidaknya, bersabar sebentar mungkin akan menghasilkan pilihan yang benar. Winter juga belajar dari kesalahannya agar tidak terlalu tergesa-gesa memutuskan sesuatu tanpa dipikirkan terlebih dahulu.
Mereka berdua kembali hening. Suara katak bersahutan. Afuya dan Winter semakin yakin, bahwa mereka berdua tidak berada di bawah kendali suatu ilusi. Masih ada tanda-tanda kehidupan di sana. Hujan yang semakin deras,embuat air di selokan meluber ke jalanan. Kaus kaki yang masih dikenakan Afuya sedikit mengering. Mereka berdua masih diam sembari memandangi kegelapan yang tiada ujungnya. Tanpa diduga, tiba saja ada sesuatu yang mengagetkan mereka.
"Hai...."
Afuya melotot. "Hantu!"