Bagian Keempat
✧
Afuya melongo ketika Winter merebut semua roti yang diberikannya. Sedangkan pemuda yangemegang roti tersebut tidak langsung memakannya, tetapi disobek menjadi dua bagian. Setengah bagian diberikannya pada Afuya yang sebelumnya sempat berprasangka buruk terhadap Winter karena tidak membagi roti miliknya.
"Nih, aku kembalikan," kata Winter.
"Ini punyaku!" Afuya ngotot.
"Lah, iya, aku kembalikan ke Kamu, Afufu. Bukan Kamu yang aku kasih." Winter menggigit setengah roti lalu melahapnya dalam satu kali suapan.
Afuya kembali mengarahkan pandangannya ke ladang. Berbeda dengan Winter, gadis itu menggigit setengah roti menjadi beberapa kali suapan. Hening seketika hadir di antara mereka. Gemericik air yang mengalir di selokan terdengar begitu syahdu. Embusan angin sore menyapu dedaunan padi hijau yang kian menguning. Orang-orangan sawah seakan menonton dua remaja SMP itu. Tiada satupun orang di sana selain mereka berdua yang duduk saling berdampingan.
Afuya mengembuskan napas pelan. Ia teringat pada kondisi Winter yang berubah ketika pulang sekolah. Gadis itu menyiapkan mental untuk bertanya. Sebenarnya bukan takut, tetapi Afuya lebih mimikirkan ketidak sopanan jika saja Winter menganggap privasi, Afuya malah penasaran menanyakannya. Ujung mata gadis tersebut masih bisa melihat dengan jelas ekspresi remaja lelaki di sebelahnya. Begitu datar dan tatapan yang terlalu kosong. Entah apa yang membuat Winter seketika berubah drastis dari semula ceria menjadi seakan lebih tertutup.
Afuya menelan kunyahan roti di suapan terakhirnya. Diam sejenak sembari memastikan makanan itu benar benar turun ke perut. "Ada apa? Kau seperti ada masalah?" tanya Afuya.
"Oh...." Winter mengembuskan napasnya kasar sebelum menjawab pertanyaan adik kelasnya itu. "Lagi mood jelek aja," lanjutnya.
"Lah, iya, kenapa? Karena aku, kah?"
"Nggak, kok. Mama tadi telepon...," jawab Winter yang tanpa disangka oleh Afuya akan menceritakan masalahnya meskipun kalimatnya belum rampung.
✧
Ketika pulang sekolah, Winter teringat bahwa hari ini adalah hari di mana mamanya menelepon. Tinggal dengan bibinya baru beberapa hari memang mempunyai kesan menyenangkan tersendiri, terutama bisa bertemu dengan Afuya yang satu kota dengannya harus bersekolah beda kota. Dapat berkenalan dengan gadis itu membuat Winter semakin semangat bersekolah. Namun, ketika teringat bahwa hari ini mamanya akan telepon, membuat mood pemuda itu menjadi berantakan.
Sebenarnya Winter tidak ingin membagi masalahnya yang sepele tersebut pada gadis yang baru dikenalnya. Oleh karena itu, saat pulang sekolah Winter tidak menunggu Afuya di bawah tangga maupun duduk di kursi dan gerbong kereta yang sama. Sesampainya di rumah Eryn kurang lebih jam setengah empat sore, langsung disambut oleh sebuah telepon masuk dari sang mama. Sebelumnya Winter menolak, tetapi Eryn terus memaksanya dan menasehatinya bagaimanapun dia adalah ibunya.
Winter
"Halo, Ma?"
Mama Winter
"Halo, Sayang! Gimana kabarnya beberapa hari ini tinggal dengan bibimu?"
Winter
"Jauh lebih baik dibandingkan dengan Mama."
Mama Winter
"Syukurlah kalau begitu. Oh iya, Mama mau ngasih kabar ke Kamu. Maaf ya, Nak, kemungkinan setelah Kamu lulus dari SMP, Kamu akan tetap tinggal di sana dengan bibimu."
Winter
"Maksud Mama, aku SMA juga di kampung?"
Mama Winter
"Iya, Nak. Nanti jika kamu sudah lulus SMA, Kamu bisa pilih mau kuliah bebas di mana, asalkan selama SMA Kamu tetap di kampung."
Winter
"Kok gitu? Kemarin bilangnya cuma sampai aku lulus SMP aja di kampung. Kenapa jadi diperpanjang? Papa bangkrut, ya, sampai harus sekolahin aku di kampung dan numpang tinggal sama bibi?"
Mama Winter
"Ngomong apa Kamu ini.... Bukan begitu, Nak. Papa dan Mama masih belum bisa pulang ke Indonesia sampai kemungkinan empat atau lima tahun ke depan."
Winter
"Mama sama Papa cuma alasan aja. Rumah di Surabaya juga sudah kalian jual, kan? Memang kalian lebih betah di Malaysia dibandingkan ngurus Winter."
Mama Winter
"Winter! Jaga mulut Kamu, ya!"
Winter
"Mama marah? Marah aja, Ma! Nggak usah hubungin Winter lagi."
Winter memutuskan obrolan di teleponnya dengan paksa. Eryn di ruang keluarga tanpa sengaja sempat menguping percakapan keponakannya dengan kakaknya itu. Dibandingkan dengan Winter, Eryn jauh lebih dewasa dan mengerti tentang kondisi sesungguhnya kedua orang tua pemuda SMP yang tinggal bersamanya. Bukannya tidak mau ikut campur, Eryn tanpa bertanya membiarkan Winter menenangkan diri. Wanita tersebut secara tidak langsung mengajarkan kemandirian terhadap keponakannya di masa pubertas.
✧
Afuya antusias mendengarkan cerita Winter secara runtut. Tanggapan gadis itu hampir sama dengan Eryn, yaitu membiarkan pemuda itu menenangkan diri. Namun, Afuya berbeda tujuan, sebenarnya gadis itu tak ingin ikut campur urusan Winter. Akan tetapi ia takut jika suatu saat terlibat malasah orang. Afuya sungguh paham apa yang dirasakan remaja di sampingnya, karena sebumnya, ia juga dilarang oleh bundanya bersekolah di kota Surabaya. Untung ada kakeknya yang selalu mendukung impiannya.
Demi memberi ruang ketenangan untuk Winter, ide-ide cemerlang milik Afuya tiba-tiba muncul. Daripada merasa canggung, gadis itu mulai melontarkan pertanyaan absurd, tetapi kemungkinan besar masih bisa mencairkan suasana dingin. Seperti sebuah tembok es kokoh yang dibangun mengelilingi Winter.
"Jangan sedih, ya... tetap semangat! Ngomong-ngomong, kenapa namamu Winter?"
Winter menoleh pada Afuya sembari mengerutkan keningnya. "Entah. Lahir bulan terakhir mungkin. Sebagian negara ada yang memiliki musim dingin, makannya namaku Winter," jelas remaja lelaki tersebut.
Afuya hanya mengangguk seakan paham betul. Dia memang paham, sebab itulah dia bisa masuk ke SMP di Surabaya tanpa menggunakan sistem zonasi. Obrolan itu terputus sejenak. Afuya bingung harus tanya apa lagi untuk tetapembangun suasana yang tidak terlalu canggung. Untung saja, Winter adalah pemuda yang peka. Ia menanyakan balik pada gadis di sampingnya tentang sebab apa Afuya diberikan mana tersebut.
"Lalu namamu?"
"Bunda ingin merasakan salju. Salju adanya di musim dingin. Dalam bahasa Jepang, musim dingin berarti 'fuyu', kemudian bunda mengadaptasinya menjadi 'fuya'. Tambahan huruf 'A' di depan karena aku anak pertama. Tidak... lebih tepatnya aku anak tunggal. Kalau kata kakek, namaku diambil dari bahasa Jawa. Dari kata 'koya' atau 'poya' yang berarti serbuk pelengkap pada makanan soto. Kemudian kakek lebih akrab memanggilku 'puya'. Entahlah mana yang benar."
Winter mulai menarik kedua ujung bibirnya, sehingga menghasilkan senyum tipis yang singkat mengiringi berakhirnya penjelasan Afuya. "Yang benar itu, Afufu."
"Ih! Apaan coba? Jelek banget Afufu. Aku bukan pupu!" protes Afuya tak terima.
"Ya, siapa juga yang bilang Kamu paha ayam. Aku bilang Afufu soalnya lucu aja di Kamu."
Pipi Afuya seketika memerah. Bagi anak kelas satu SMP, hal yang tak terduga seperti ejekan terkadang memberikan kesan ala-ala cinta monyet. Afuya tidak ingin lebih dalam menyiksa dirinya, ia lebih takut jika Meira murka, sebab gadis itu mulai luluh terhadap seorang remaja laki-laki yang berusia dua tahun lebih tua. Afuya tahu bahwa feeling seorang ibu pasti tidak akan salah. Ia juga tahu bahwa tak lama, bundanya tersebut pasti mengetahui siapa itu Winter yang telah membuat hati putrinya dag-dig-dug. Afuya masih berusaha sekuat mungkin untuk menyembunyikan Winter dari Meira.