Pergi mejauh adalah keputusan yang terbaik yang pernah aku buat. Tidak penah aku merasa mantap melangkah meskipun harus membunuh gengsi. Hubunganku dengan ayah tak banyak berubah. Ayah keluar dari pekerjaannya dan bekerja serabutan dari tempat ke tempat lain. Sejak pertemuan terakhir kami, ayah tetap berusaha memperbaiki kesalahannya. Jujur saja, aku merasa tersentuh dengan usaha yang ayah lakukan, meskipun belum sepenuhnya memaafkan. Mungkin aku perlu waktu.
Beberapa tahun sebelum kepergianku, disela-sela berita kesedihan yang datang bertubi-tubi, ada kabar baik dari keluarga kecil Om Hari. Tante Asih mengandung anak perempuan. Setelah bertahun-tahun menantikan kabar bahagia itu, akhirnya Impian itu terwujud juga. Aku ikut berbahagia.
Hakim memutuskan 9 tahun kurungan penjara pada Aksa. Ketika mendengar itu, hatiku terasa hancur. Hari di mana kami melanjutkan kuliah telah berbeda. Bahkan aku dan Ethan pun tak lagi sama. Bersama Gisel, Ethan benar-benar menata kembali masa depannya yang tak pernah ia bayangkan. Ia sibuk dengan kehidupannya yang terjadwal dengan rapih. Sementara aku hanya menghabiskan waktu tanpa melakukan banyak hal. Dan semenjak itu juga, Mentari benar-benar hilang dalam kehidupanku, begitu pun dengan Babeh dan Ibu.
‘Setelah lulus kuliah, kamu bisa susul Ibu ke Amerika, Niel.’ Tawaran yang menarik di kala aku sendiri tak pernah tahu akan melangkah ke mana lagi. Maka, aku pun benar-benar pergi ke Amerika. Di sana aku tak tinggal bersama keluarga Ibu, melainkan tinggal di flat murah pinggiran kota dan bekerja di salah satu kantor advertisement. Beberapa kali dalam sebulan aku pasti menyempatkan waktu untuk berkunjung ke rumah Ibu. Hubunganku dengan Ibu bisa dibilang biasa-biasa saja. Tetapi aku berusaha untuk mulai mencoba mengerti posisinya saat ini. Yah, mungkin lagi-lagi, mungkin butuh waktu untuk itu.
Awal kehidupanku di Amerika banyak menemukan kesulitan, termasuk soal bahasa karena aku tak pandai Bahasa Inggris. Di Amerika, aku merasa tak perlu banyak teman. Karena jujur saja, aku kurang bisa berbaur dengan orang baru. Seperti halnya kuliah, aku hanya bekerja dan pulang. Hari-hari aku lalui begitu saja tanpa perubahan berarti. Demikian juga dengan perihal memiliki kekasih, aku tak berniat untuk itu.
Beberapa minggu lalu Ethan memberi kabar jika sebulan lagi Aksa akan keluar dari penjara. Berita baru yang membuat semangatt hidupku muncul. Berita lainnya pun menyusul, Ethan juga akan menikah dengan Gisel beberapa hari setelah keluarnya Aksa dari penjara. Setelah mendengar berita itu, aku memutuskan untuk membeli tiket pulang ke Indonesia.
“Daniel, Ethan.”
Dan di sinilah aku berada sekarang, di depan kantor polisi--tempat di mana Aksa di tahan--bersama Ethan. Aksa keluar dari pintu pesakitan itu. Wajahnya berubah lebih tirus, tetapi badannya masih tegap dan kekar. Ia tersenyum ketika melihat orang yang ia lihat pertama kali adalah aku dan Ethan. Kami bertiga tak bisa lagi membendung rasa rindu dan saling memeluk satu sama lain. Lelaki tak seharusnya menangis, tetapi kami tak peduli. Air mata kami pecah, seolah-olah mengeluarkan kerinduan yang selama bertahun-tahun tak tersalurkan.
“Gue bersyukur bisa ngeliat kalian lagi. Banyak hal yang pengen banget gue ceritain selama berada dalam tahanan.” Aksa berusaha mencairkan suasana dengan banyak bicara, tetapi aku tak begitu serius menanggapi. Karena hari ini aku sedang Bahagia. Hari ini aku merasa utuh ketika melihat sahabat-sahabatku.
Tak lama, mobil sedan warna merah keluaran terbaru masuk ke parkiran kantor kepolisian. Pengemudinya memarkiran kendaraan roda empat itu tepat di samping kami berada. Seorang anak perempuan yang usianya kira-kira 4 tahun keluar dari mobil itu dan langsung memeluk Aksa.
“Om Aksa … akhirnya kita ketemu lagi!” ujarnya bersemangat. Ucapannya masih belum terlalu jelas, tetapi masih bisa dimengerti. Aku melihat senyum Aksa makin lebar. Ia bahkan mengusap air mata kerinduan itu menjadi senyum kebahagiaan.
“Iya dong, kan Om sudah bilang. Nah, setelah ini, Om akan banyak waktu buat bermain sama Yasna. Yasna nggak perlu nunggu waktu besuk lagi.”
“Waaaah, asik. Om, nanti kita jadi kan ke dufan? Mama bilang waktu kecil Om itu berani banget naik kora-kora.”
“Om berani dong! Oke, nanti kita sama-sama pergi ke dufan, ya?”
Ethan yang gemas mencubit pipi anak perempuan yang Bernama Yasna itu. Hanya aku sendiri yang tak mengetahui siapa anak perempuan ini?
Seseorang Wanita keluar dari mobil itu. Aku tertegun beberapa detik ketika mendapati Mentari di sana. Ia nampak cantik dan anggun menggunakan jilbab. Sangat berbeda dengan saat terakhir kami bertemu. Ia tersenyum ke arahku, lalu diam-diam menyeka air matanya. Butuh beberapa saat untuk ia memberanikan diri keluar dari mobil dan berjalan menghampiri kami.
“Mama … Lihat! Om Aksa udah keluar. Kita bisa main sama-sama.”
Saat itu, rasanya duniaku terhenti. ‘mama’. Anak kecil itu memanggil Mentari dengan sebutan Mama. Itu artinya Mentari sudah menikah, tetapi selama ini tidak ada satu pun orang yang memberitakannya padaku. Membuat aku seperti orang bodoh yang tak tahu apa-apa di sini. Membuat aku bingung harus berekspersi bagaimana.
“Kayaknya aku baru melihat Om ini deh. Ini siapa?” Yasna menunjuk ke arahku. Anak-anak memang terlalu jujur dan ceplas-ceplos sehingga membuatku yang mematung berubah jadi gelagapan menjawab pertanyaannya.
“Aku … saya … eh, maksudnya Om. Nama Om Daniel.” Aku kikuk sendiri. Yasna hanya balas ‘ohhhh’ mengerucutkan bibirnya. Untung saja ia tak tanya lagi tentang aku.
“Om Daniel itu sahabat baik Om Aksa dari zaman sekolah dulu, Na. Di ini baru aja datang dari Amerika. Keren, kan?” sambung Aksa dengan luwes. Aku tak menyangka ia bisa basa-basi seperti ini dengan anak-anak. Perasaan dulu ia selalu bilang anak-anak itu berisik, banyak tanya, dan menyebalkan. Baru aku sadari bahwa ucapannya tak benar-benar dari hati. Sama ponakan saja seperti ini, bagaimana dengan anak sendiri.
“Ya udah, kita semua ke kafe aja, yuk! Biar enak ngobrolnya,” timpal Mentari.
Ketika mereka hendak melangkah masuk ke dalam mobil, aku pun refleks berkata, “Terus, Babeh dan Ibu bagaimana?”
Semua langkah mereka bertiga terhenti, kecuali Yasna yang langsung masuk ke dalam mobil. Semua orang terdiam, tak ada yang mau menjawab pertanyaanku barusan. Padahal itu bukan suatu pertanyaan yang sulit untuk dijawab.
Ethan menepuk pundak Aksa, menuntunya agar masuk ke dalam mobil. Melihat situasi seperti ini, perasaanku jadi tak enak. Dadaku sesak, rasanya ingin menangis, entah karena apa. Mungkin karena pikiranku sendiri yang sedang melantur pada sesuatu yang belum tentu terjadi.
Mentari mendekatiku sambil berkata, “Kita antar Mas Aksa dulu ke kafe, ya? Nanti aku akan mengantarkan Kak Daniel ketemu sama Babeh dan Ibu.”
Tidak ada kata-kata yang ganjil. Mentari mengatakannya dengan tenang, selayaknya tak ada hal besar yang terjadi. Namun, perasaanku tak berkata begitu. Aku sangat yakin dengan intuisi yang aku miliki bahwa ia sedang berusaha menutupi sesuatu. Dan benar saja, setelah mengantarkan Yasna, Aksa, dan Ethan ke kafe, Wanita itu mengantarkanku ke rumah keabadian Babeh dan Ibu.
Beberapa saat tubuhku mematung. Ketika melihat nama Babeh dan Ibu terukir di batu nisan yang bersebelahan, kakiku langsung berlutut, menyentuh tanah. Aku tak bisa membendung lagi air mataku yang keluar deras membasahi pipi. Bayangan kebersamaanku dengan Babeh dan Ibu menari-menari di kepala. Aku sangat terpukul, memeluk dua nisan itu, menangis, dan berkali-kali meminta maaf karena tak tahu kabar mereka.
Kebaikan yang Babeh dan Ibu berikan padaku tak bisa ku hitung dengan jari. Aku bahkan belum membalas segala kebaikan mereka, meskipun sama akhir pun tak pernah bisa. Babeh dan Ibu bukan orang lain bagiku. Sedikit banyaknya, perhatian mereka membuatku tubuh menjadi orang yang seperti sekarang. Petuah yang mereka berikan membuat aku berusaha tak membenci keputusan kedua orang tuaku, meskipun aku sangat ingin sekali.
Aku meraung-raung, seperti kehilangan kesempatan bertubi-tubi. Lalu, Mentari mengelus pundakku lembut. Ia tak berkata apa-apa sampai aku merasa tenang sendiri.
Butuh waktu lama untuk aku tersadar bahwa segalanya telah terjadi. Sampai pada akhirnya Mentari memapah tubuhku agar pergi dari sini. Ia membawaku masuk ke dalam mobilnya. Hanya berdua.
Kami terdiam cukup lama. Sesekali aku menyadari ia melirik ke arahku tanpa mengatakan apa pun. Lalu, kesunyian itu berakhir ketika Wanita itu berani mengatakan sesuatu.
“Pasti banyak pertanyaan yang ada di dalam kepala Kak Daniel. Kabar baik dan buruk datang dalam suatu waktu. Pasti buat perasaan Kak Daniel jadi campur aduk.”
“Begitulah,” jawabku singkat, masih memandang lurus ke depan.
“Aku nggak tahu harus cerita dari mana?”
“Cerita saja apa yang ingin kamu ceritakan.”
Mentari tersenyum kecil, menghirup udara sebanyak-banyaknya sebelum menceritakan apa yang terjadi setelah 7 tahun kepergianku. “Waktu berlalu begitu cepat. Banyak hal yang terjadi setelah Mas Aksa masuk penjara dan kamu pergi ke Amerika. Babeh meninggal karena jantung, setahun setelah kamu pergi. Tiga bulan selanjutnya Ibu menyusul.”
“Kenapa nggak ada yang ngabarin aku?”
“Karena kita semua tahu, kondisi kamu pun sedang nggak baik-baik saja. Di sana kamu juga sedang berjuang untuk berdamai dengan keadaan.”
“Tapi nggak selama itu juga kalian menyembunyikan!”
“Aku tahu salah. Tetapi ini yang terbaik.”
“Terbaik untuk siapa? Kayaknya di sini hanya aku yang nggak tahu apa-apa. Tentang kematian Babeh dan Ibu, tentang pernikahan kamu!”
Aku terlalu terbawa emosi dan menggebu-gebu. Mentari terdiam, terlihat sedang berpikir keras kata yang pas untuk menjabarkan alasannya.
“Banyak hal yang nggak kamu tahu dalam hidupku, Kak.” Mentari membuka ujung lengan gamisnya, memperlihatkan bekas luka di urat-urat nadi tangannya. Membuat aku tersentak dan gemetar memegang tangan mungil itu. “Semenjak kematian Babeh dan Ibu, sudah lebih dari tiga kali aku mencoba mengakhiri hidup. Aku merasa hidupku berantakan, aku tak punya siapa-siapa lagi. Kak Ethan dan Gisel dua kali mengagalkan aksiku, terakhir Mas Hilmy. Sejak saat itu, Mas Hilmy yang menjaga dan menolongku—”
“Jadi suamimu, Hilmy?”
Mentari mengangguk. “Aku merasa banyak hutang budi. Maka, ketika Mas Hilmy melamarku, tanpa ragu aku pun menerimanya. Mungkin kedengarannya menyedihkan karena waktu itu aku tak punya perasaan apa pun pada Mas Hilmy. Perasaanku sudah untuk seseorang. Tapi aku sadar bahwa keadaan memang tak mengizinkan untuk bersama. Jika kami bersama, aku yakin kita berdua hanya akan saling menyakiti. Aku yang menderita, sedangkan seseorang itu punya luka.”
“Seseorang itu—”
“Ya, seseorang itu Mas Daniel.”
“Tapi waktu itu kamu bilang kalau—”
“Waktu itu emosiku belum stabil. Aku begitu hancur. Aku sadar kalau mulutku itu jahat. Jahat sekali. Maka, aku tak ingin menyiakan kesempatan ini. Aku mau meminta maaf atas segala ucapanku yang menyakitkan. Aku tak bermaksud begitu. Semua yang aku ucapkan waktu itu bohong. Aku sungguh-sungguh sayang sama Kak Daniel. Tetapi aku merasa akan begitu banyak hal yang akan kita lewati. Kita sedang memperjuangkan sesuatu yang berbeda, dan aku tak yakin bisa melewatinya bersama.”
“Gimana kamu bisa bilang begitu kalau belum mencoba?”
Mentari mengangguk paham. “Semua salahnya di aku, Kak. Aku yang salah. Aku tahu bagaimana kamu berusaha mendekat, tetapi aku memilih menjauh.”
Aku menghela napas Panjang. Semuanya terlalu rumit untukku mengerti. Untuk apa dia mengatakannya sekarang sementara ia sudah punya kehidupan baru.
“Dan setelah Yasna lahir, pemikiranku mulai berubah. Aku berubah menjadi orang yang berbeda. Mentari yang berbeda dari sebelumnya. Perasaanku pada Kak Daniel terasa salah. Perlahan aku mulai melupakan, meskipun awalnya sangat sulit. Tapi aku tak boleh egois, bukankah pria baik seperti Kak Daniel pantas mendapatkan yang lebih baik dariku?”
Aku tak perlu lagi membalas kata-katanya. Semuanya sudah terlihat jelas, bukan? Dan aku juga tak menyalahkan keputusanya. Sama seperti pemikiran Mentari, aku pun berpikiran bahwa ia juga pantas mendapat pria yang jauh lebih baik. Dan Hilmy adalah pilihan yang tepat.
“Aku tahu ini terlalu mendadak untuk kamu dengar dan terima. Tapi aku harap setelah ini hubungan kita akan baik-baik saja. Kita bisa memulainya dengan sebuah pertemanan,” ujar Mentari. Aku tak pernah menyangka akan sesakit ini mendengarnya.
“Apa kamu hidup Bahagia dengan Hilmy?”
Mentari mantap mengangguk menjawabnya sehingga membuatku tak ragu untuk menjawab tawarannya. “Ya, berteman tidak buruk juga.”
Perasaanku pada Mentari tak pernah berubah. Aku masih menyimpan itu di dalam lubuk hatiku paling dalam. Entah mengapa, hanya dengan menatap wajahnya, perasaanku jauh lebih tenang. Dan aku tak bisa lebih Bahagia ketika mendengar ia Bahagia bersama keputusan yang ia pilih. Biarlah seperti ini dulu. Sampai aku benar-benar bisa melupakannya.
“Terima kasih, Kak. Yuk kita ke kafeku. Mereka pasti udah menunggu.”
-end-