Dadaku tersentak kaget hingga membuat kakiku bergetar ketika semua orang berteriak histeris dari bawah sana. Beberapa dosen yang kebetulan saja ada di sana sudah unjuk suara, mencegahku untuk tidak melakukan tindakan yang bisa menghilangkan nyawaku sendiri. Lalu beberapa dosen lainnya menyuruh para mahasiswa untuk memasang matras dan menelepon pihak berwajib.
Derap langkah kaki Iren terdengar makin cepat dan dekat. Ia mendobrak pintu roftoop, lalu merasa lega ketika aku masih berada di tempat. Dengan langkah hati-hati, Iren berjalan menghampiriku. Kedua tangannya siaga ke depan, siap untuk menangkapku jika aku nekad loncat ke bawah. Wajah Iren terlihat pucat, keringat mengucur membasahi seluruh tubuhnya. Aku bahkan bisa mendengar suara napasnya yang menderu hebat.
Aku masih mematung di tempat dengan perasaan asing. Suara-suara berisik di bawah sana seolah makin kecil tanpa makna. Yang kulihat hanya wajah Iren yang kusut dengan mata sembab. Tanpa bilang apa-apa, ia membuka kedua tangannya agar aku bisa mendekat dan memeluknya. Seperti mantra, aku pun berjalan menedekat, lalu balas memeluknya erat. Tangisan Iren makin pecah, membuatku berpikiran bahwa ini bukan hanya perkara "bunuh diri."
"Gue capek terus-terusan bersembunyi untuk menghindar. Sampai akhirnya gue memutuskan ikut orang tua gue pindah ke Jepang. Butuh waktu lama untuk gue mengumpulkan keberanian ketemu sama lo lagi. Tapi gue nggak menyangka keadaan lo sekarang lebih buruk daripada dugaan gue. Dan itu ngebuat gue makin buruk," ucap Iren sambil menangis. Suaranya tak begitu jelas, tetapi aku bisa mengerti maksudnya.
Kami melepaskan pelukan. Iren tak berani menatapku barang sedetik. "Kalau yang lo maksud tentang Irgi ... lupain aja, Ren."
"Jadi, bener lo tahu siapa dalang sebenarnya?"
Aku menganggukan kepala dengan ekspresi tenang. Tentu aku tahu. Aku bahkan melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa Iren yang mengambil uang kas dari bendahara, lalu memasukannya ke dalam tasku. Ia bahkan tega menyebar fitnah bahwa akulah pencurinya. Aku tak pernah tahu apa alasan Iren melakukan itu sehingga aku berpura-pura tak tahu. Namun, tidak dengan Irgi. Ia merasa Tindakan Iren sudah sangat keterlaluan. Beberapa kali ia mencoba untuk membeberkan kejadian sebenarnya kepada guru, tetapi aku memohon agar ia tak melakukannya.
Kejadian beberpa tahun silam, tepatnya ketika aku dan Iren naik ke kelas 4 SD-lah yang jadi alasannya. Saat itu, Babeh membelikanku mainan baru. Rumah-rumahan Barbie, lengkap dengan aksesoris dan perintilan lainnya. Karena hanya Iren temanku satu-satunya, aku pun mengajak ia main ke rumah. Tubuh Iren ketika SD sangat kurus, tetapi tetap cantik karena dibalut pakaian yang bagus dan mahal. Pokoknya, apa pun yang ia kenakan selalu pantas. Kami bermain Barbie tak kenal waktu. Rasanya waktu begitu sangat cepat berlalu. Sampai akhirnya aku tak sengaja menumpakan jamu beras kencur yang dibelikan oleh ibu ke baju Iren.
Ibu marah padaku dan menawarkan Iren baju ganti. Namun, Iren menolak. Tidak ada yang tahu ekspresinya ketika itu kecuali aku. Iren begitu sangat ketakutan dan terlihat sangat kesakitan. Ia terus menutupi baju lengan panjangnya dengan telapak tangan. Baru aku tahu bahwa sekujur tubuh Iren penuh luka. Luka dari ayahnya. Sekecil apa pun kesalahan yang dilakukan Iren, ayahnya pasti akan menghadiahi pukulan dengan benda tumpul atau pun sabetan ikat pinggang. Bagaimana bisa aku mengadu bahwa itu perbuatannya? Dan bagaimana jika ayahnya tahu? Ah, aku tak ingin Iren terluka.
"Kenapa selama ini lo diem aja? Harusnya lo bilang kalau gue pelakunya. Kenapa lo mengorbankan diri lo sendiri, Tar?" cecar Iren terus menerus.
"Karena lo satu-satunya teman yang gue punya, Ren. Sejak pertama masuk sekolah dasar, gue merasa terasingkan. Cuma lo satu-satunya orang yang mau kenal gue lebih dulu."
Tangisan Iren makin pecah saja. Membuat aku tersadar bahwa banyak pasang mata yang bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Suasana begitu hening, tidak ada satu pun yang bicara. Beberapa kali aku mendengar isak tangis orang yang terharu dengan kejadian yang begitu mendramatisir ini.
"Lo nggak nanya kenapa gue melakukan ini?"
Aku menggelengkan kepala lagi.
Iren terlihat frustrasi dan merasa sangat bersalah. Ia menyisir rambut depannya ke belakang, lalu menjambaknya keras-keras. "Itu semua karena kecemburuan yang konyol. Karena gue suka sama Irgi, tetapi Irgi lebih memilih lo. Gue nggak menyangka kalau perbuatan gue bisa mencelakai Irgi dan buat hidup lo menderita kayak sekarang. Lo bahkan hampir bunuh diri gara-gara perbuatan gue."
"Ini semua bukan salah lo—"
"Tentu ini salah gue. Selama ini lo hidup dalam kesepian. Lo menderita karena jadi bulan-bulanan teman-teman, bahkan di sini lo ketemu Lolly. Hidup lo nggak mudah, Tar. Lo terus lari dan bersembunyi."
Aku tak pernah berpikiran buruk terhadap Iren, berusaha percaya penuh jika yang ia lakukan demi kebaikannya. Tidak apa-apa, setiap manusia memang berhak untuk hidupnya sendiri. Aku terlalu percaya sehingga memaklumi apa yang ia lakukan. Padahal ia salah, apa pun alasannya. Namun, nasi sudah jadi bubur, semuanya sudah terlambat. Tidak ada gunanya lagi Iren mengakui perbuatannya. Semuanya tak akan mengembalikan keadaan.
Dari arah pintu rooftop keluarlah Lolly dengan mata memerah penuh amarah. Kutebak ia sudah mendengar semua percakapan kami. Tanpa aba-aba lagi ia menampar Iren hingga tersungkur ke bawah tanah. Kaki Lolly yang jenjang menginjak kaki Iren yang langsung meringis kesakitan. Lolly menendang Iren sampai ujung rooftop. Semua orang di bawah berteriak histeris, termasuk Iren yang terus-terusan meminta ampun pada Lolly.
"Harusnya lo yang menderita, bukan adik gue!" Teriak Lolly penuh amarah. Iren tersentak dan makin menangis. Berkali-kali Iren memohon, tetapi tak pernah Lolly gubris. Pandangan Lolly beralih padaku. Tak seperti sebelumnya yang memandangku penuh kebencian, ia memandang penuh rasa iba. Ia juga terlihat merasa sangat bersalah atas perbuatan yang ia lakukan padaku. "Gue pernah ada di posisi lo. Gue juga hampir nyerah karena terus diselimuti amarah. Tetapi gue sadar, orang yang sakit butuh mendengar kabar-kabar yang baik dari kita. Mereka akan makin menderita bila kita kalah. Bunuh diri nggak menyelesaikan masalah, Tar. Seberat apa pun masalah yang sedang lo hadapi, bertahanlah! Dan gue minta maaf. Atas nama keluarga dan diri gue pribadi. Mulai detik ini, gue berjanji nggak akan pernah lagi ganggu lo. Karena orang yang seharusnya menerima ini semua, sudah ada di bawah kaki gue."
Sejak saat itu, pembalasan dendam yang sebenarnya baru dimulai. Lolly menjambak rambut Iren, lalu menariknya agar berdiri. Iren terus berteriak minta ampun dan minta tolong, tetapi tak ada satu orang pun yang bergerak. Hanya Bapak dan Ibu dosen saja yang berteriak untuk mengentikan pertengkaran mereka. Harusnya aku menolongnya, tetapi aku malah melangkahkan kaki dari sini. Menjauh dari garis yang bisa merenggang nyawaku.
Detik ini saja, rasanya aku ingin egois. Karena seharusnya aku harus terus hidup.
**
Hari sudah hampir gelap. Sudah lebih dari 3 jam aku menunggu kedatangan Mentari di belokan gang dekat komplek perumahannya. Rencananya aku akan menjemputnya di kampus, tetapi pesanku belum di balasnya dari kemarin sore sehingga aku putuskan untuk menunggu di sini saja. Suasananya sangat sepi, tidak ada motor bahkan orang yang lewat. Sampai ketika suara derap langkah kaki seseorang—yang ternyata milik Mentari—membuyarkan lamunanku. Perempuan itu terlihat murung, menundukan kepalanya ke bawah tanah. Aku tak yakin ia menyadari eksistensiku. Aku pun berdiri dari jok motor, lalu berjalan mengahampirinya. Wajah Mentari mengadah, lalu menatapku dalam. Aku tersenyum kikuk, sementara ia tak membalasnya.
"Ada apa?"
Tidak ada yang salah dengan pertanyaan itu, tetapi tetap terdengar ganjil. Tidak pernah Mentari berkata sedemikian ketus dan dinginnya. Entahlah, mungkin dia sesang lelah. Aku tak ingin berpikiran negatif karena sebenarnya aku memiliki maksud tersediri untuk menemuinya.
"Kemarin gue ketemu sama Aksa dan kita udah baikan." Aku berusaha menampilkan senyum terbaik, berharap agar perasaan Mentari jauh lebih baik. Tetapi nyatanya tidak, ia malah berkata 'terus?' dengan wajah yang sama sekali tak berubah. Sejak saat itu, senyumku jadi berubah.
Kami seperti dua orang asing. Suasana hening, di bawah rindang pohon serta lampu jalanan yang memberikan sedikit pencahayaan, kami berdiri saling berhadapan. Dulu kami pernah secanggung ini, tapi kami pernah lebih dekat daripada ini. Topik pembicaraan yang biasanya selalu ada, mendadak beku tak ada gaungnya. Setelah melewati banyak hal, aku menyadari bahwa hubungan ini makin jauh dan berubah. Meskipun perasaanku pada Mentari semakin kuat.
"Gue nggak mau menyembunyikan apa pun dari lo, Tar. Tapi kakak lo menitipkan pesan ke gue dan gue harap lo bisa mengerti. Beberapa hari lagi sidang putusan akan digelar ... Aksa pengen lo, Babeh, dan Ibu nggak perlu datang. Aksa cuma nggak mau ngeliat kalian sedih. Apalagi pasti akan berpengaruh ke keadaan Babeh."
"Gue juga nggak cukup kuat untuk jujur sama Babeh tentang berita ini. Tapi gue ini adiknya ... sudah sepantasnya gue datang untuk mewakili keluarga."
"Tapi, Tar--"
"Tanpa perlu persetujuan siapa pun, gue tetap berangkat ketika sudah punya tekad. Jadi tolong ... jangan ikut campur lagi." Mentari tak terlihat sedang main-main. Ia begitu tegas dan vokal ketika mengatakannya. Selayaknya seseorang yang terjamah, ia terlihat begitu berbeda. Membuatku mematung, memandang sosok itu dengan wajah kesedihan.
"Kalau begitu, rasa bersalah gue sama Aksa makin besar."
"Biar saja. Itu urusan lo."
"Kenapa lo berubah? Apa salah gue? Kenapa tiba-tiba lo jadi kayak menghidar begini sih?"
"Bukan "kayak" tetapi gue memang menghindari lo. Atau siapa pun yang berkaitan dengan keluarga gue."
"Terus gimana sama "hubungan" kita?"
"Kita?" Mentari tertawa sarkas, memandangku jijik tak berarti. Aku tak pernah tahu jika wanita sependiam dan pemalu seperti dia, punya sisi yang sangat berbeda. "Lo nggak mau tanya begitu? Jelas-jelas kita nggak punya hubungan apa pun. Apa yang perlu diperjelas?"
Secara tak langsung, ucapan Mentari membuat aku tertampar. Hubungan kami memang tak jelas, tetapi aku yakin bahwa kami punya perasaan yang sama. Setelah memutuskan hubungan dengan Mara, aku berencana memperjelas hubungann kami. Aku akan menyatakan perasaan cinta padanya, tetapi aku tak menyangka akan mendapat respons seperti ini.
"Lo pasti menderita banget selama ini, Tar. Gue minta maaf karena kesannya kayak cowok plin-plan. Berita yang beredar di kalangan anak kampus pasti buat lo ngerasa nggak nyaman. Gue udah berusaha untuk memperbaiki itu semua ... karena sebenarnya dalam hal ini, bukan cuma lo yang salah. Setelah masalah ini selesai, ayo kita mulai hubungan dari awal!"
"Gue nggak pernah mengharapkan status hubungan atau apa pun itu. Yang dibilang Mara nggak ada yang salah kok. Gue memang cewek murahan yang mau sama cowok orang."
"Lo kok ngomongnya gitu sih!"
"Ya, memang iya. Dan setelah ini gue juga nggak mengharapkan hubungan sehat sama lo. Gue rasa semuanya cukup sampai di sini."
Mentari berjalan melewatiku. Buru-buru aku mencehahnya agar makin tak menjauh. Aku pegang tangannya, tetapi ia menghindar tak mau dipegang. "Please, jangan kayak gini. Gue tahu lo lagi banyak masalah ... hal-hal kayak gini pasti diluar kendali lo, Tar."
Mentari menghela napas gusar, tak tahan lagi dengan sikapku yang membuatntya jengah. "Gue bicara dengan sadar. Ada kepuasan tersediri ketika cowok yang punya pacar bisa tertarik sama gue. Apalagi cewek itu Mara. Selama ini gue merasa terasingkan karena terlahir miskin dan aneh. Tapi sejak mendapatkan lo, untuk pertama kalinya gue menang."
"What the fuck!" Aku hampir kehilangan kata-kata. Tak pernah aku sebuta ini. Selama ini aku menyangka perempuan di hadapanku inu tulus, tak pernah aku berpikiran buruk. "Lo boleh bilang nggak cinta sama gue ... tapi perkataan lo barusan bener-bener buat hati gue sakit!"
"Ya, gue nggak pernah benar-benar cinta sama lo. Jadi, daripada kita semakin saling menyakiti, kita akhiri saja sampai di sini. Mulai sekarang, jangan pernah ikut campur sama masalah gue apalagi masalah keluarga gue!"
Mentari benar-benar pergi meninggalkan aku sendiri. Sementara itu, aku tak berniat ingin mengejarnya lagi. Hatiku terlampau sakit, hingga rasanya sulit sekali bernapas. Ternyata rasanya ditinggalkan dan diabaikan masih sesakit ini. Aku pulang dengan langkah berat, menyalahkan diriku sendiri, seolah-olah aku tak pantas untuk siapa pun.
**
Harusnya aku turuti semua kemauan Mentari untuk tak ikut campur, tetapi tak bisa. Aku tetap datang ke persidangan Aksa. Aku datang atas nama sahabatnya sejak SMA. Tak banyak yang hadir di acara persidangan itu. Hanya ada aku, Ethan, Hilmy, Gisel, dan beberapa perwakilan keluarga termasuk Mentari.
Aksa telah duduk di kursi pesakitan. Ia didampingi oleh pengacara yang dikirim oleh keluarga Hilmy.
Aksa terbukti melanggar pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Ia terbukti membawa narkotika jenis sabu seberat 50 gram.
Jaksa penuntut umum meminta kepada Majelis Hakim untuk menyidangkan perkara ini dan menjatuhkan pidana kepada Aksa--yang statusnya sebagai terdakwa--selama 11 tahun penjara dan denda 1 Miliar atau subsider 6 bulan kurungan.
Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada pengacara Aksa untuk memberikan nota pembelaan pada siadang pekan depan.
Setelah sidang pertama selesai, suara isak tangis keluarga Aksa terdengar menyeruak seluruh ruangan. Mungkin mereka tak menyangka bahwa ada keluarganya yang terlibat urusan hukum. Apalagi perkaranya tentang narkoba.
Mentari duduk persis di sampingku, ia nampak lebih tenang selama persidangan berlangsung. Meskipun matanya tak bisa bohong kalau ia sedang sangat terpukul. Aku berusaha melupakan kata-kata yang menyakitkan yang pernah ia ucapkan beberapa hari lalu, kemudian memberanikan diri menggenggam tangannya. Namun dengan cepat, Mentari menepis tanganku kasar. Ia nampak kesal. Lalu, wajahnya maju ke depan wajahku untuk membisikan sesuatu.
"Lo masih nggak ngerti apa yang gue bilang kemarin?"
"Gue memposisikan diri sebagai sahabat Aksa."
"Terserah. Tapi setelah ini, jangan coba muncul lagi di depan muka gue! Hidup gue udah hancur. Jadi, kalau lo masih punya perasaan itu untuk gue, atau masih menghargai Babeh, Ibu, dan Mas Aksa ... tolong jauhi keluarga gue."
"Tapi kenapa? Gue salah apa sampai harus menjauh. Gue bisa jaga jarak tanpa perlu meninggalkan kalian."
"I beg you, Niel. Gue nggak pernah memohon sama seseorang," ujar Mentari lirih dengan nada yang lemah. Ia seperti tulus sekali mengatakannya. Ia tak pernah menangis ketika Majelis Hakim membacakan tuntutan terhadap Aksa, tapi kini, aku melihat sosoknya yang rapuh.
Aku tak pernah tahu apa yang ada di dalam pikirannya. Mungkin tak bisa menjamah karena tak pernah ada di posisinya. Namun tetap saja, Mentari mengingkan aku pergi. Aku tak diinginkan lagi.
Itu lah saat aku terakhir melihatnya. Sampai aku lulus kuliah hingga pergi ke Amerika menemui Ibu.