“Lily memberitahuku semuanya.”
Itu hal pertama yang dikatakan Matt ketika duduk di sofa ruang tamu Will. Jenna dan Jeremy sudah pergi, Matt yang menyuruhnya dengan alasan Jane dan Madison pasti mencari mereka. Namun, Will tahu bukan hanya itu saja alasannya.
“Wilhelmina. Kau bisa memanggilnya Mina atau apapun yang kau mau.” Will memberitahu. Ia masih tidak bisa menatap kakeknya. Sedari tadi dirinya hanya menatap lantai seperti ada sesuatu yang menarik tentang bentuk lantai itu.
“Nama yang bagus,” balas Matt. Ia tahu betul apa nama tengah Hayley.
Will akhirnya mendongak. Guratan kesedihan tergambar jelas di wajahnya. “Aku bukan ayahku. Aku tidak menelantarkannya.”
Matt menggeleng, menatap Will penuh pengertian. “Kau memang bukan. Seharusnya aku lebih tahu siapa dirimu. Kau tidak perlu membuktikannya demi aku, Will. Kau hanya perlu melakukannya karena kau mencintainya.”
Will menahan diri untuk tidak memeluk tubuh yang semakin hari semakin terlihat renta itu. Tidak berbicara dengan Matt bukan berarti tidak mengamatinya dari kejauhan. Ia selalu, hampir setiap hari, berjalan melewati peternakan hanya untuk melihat keadaan Matt. Matt tidak pernah tahu tentang hal itu, tentu saja.
“Aku minta maaf. Aku tidak benar-benar bermaksud mengatakan sumpah sampah itu. Aku hanya emosi karena kau menyamakanku dengan pria brengsek itu.” Will memainkan jari-jarinya dengan gugup. Ia menyesali sumpahnya itu setiap hari. Sumpah bahwa ia tidak akan menginjakkan kaki di sini lagi selama Matt masih hidup.
Matt mengangguk. Tanpa Will duga, tubuh Matt sudah memeluk tubuhnya erat. Ia mendengar suara tangisan—tangisan Matt. Tangisan penuh kerinduan dan rasa bersalah. Tangisan pilu karena merasa gagal menjaga cucunya.
Will balas memeluk Matt. Ia tidak menyangka akan berdekatan dengan kakeknya seperti ini lagi. Ia mengira akan terus sendirian, dihantui rasa bersalah, dan menyesal di sisa hidupnya. Namun, sekarang ia kembali merasa dicintai. Hanya saja, masih ada yang terasa kurang.
Ia masih membutuhkan kehadiran Hayley di hidupnya.
***
“Kau yakin? Ini pesta private, tidak akan ada paparazzi atau penguntit gila yang akan menganggumu. Tamu-tamu bahkan dilarang membawa ponsel.” Yasmine menatap pantulan dirinya dan Hayley yang duduk di belakangnya melalui cermin. Ia sedang bersiap untuk pergi ke salah satu pesta sosialita yang akan dihadiri banyak sekali artis Hollywood, influencer, tiktoker, dan masih banyak lagi.
Hayley terkekeh. Ia mengunyah snack rasa jagung milik Yasmine. “Apakah tidak terdengar aneh? Bahkan semua tamunya saja hampir menghabiskan seluruh hidup mereka memegang ponsel. Yang ada, baru sepuluh menit aku di dalam, ribuan paparazzi sudah menungguku di luar. Tidak, aku tidak ikut.”
Yasmine memasang kalung emas kesayangannya sambil membalas, “Kau benar. Better safe than sorry.”
Suara klakson mobil yang bersahutan terdengar dari arah luar. Hayley merindukan ini, suara keramaian kota New York yang tidak pernah tidur. Tetapi ia berbohong jika tidak merindukan kedamaian The Cotswolds. Kedamaian berada di samping Will.
Will.
Sedang apa Will dan Lily sekarang? Mereka pasti sibuk mengurus bayi, mengurus rumah tangga. Dia pasti menjadi ayah yang baik.
Tidak seperti dirinya yang sedang duduk di sofa kediaman manajernya dan menolak ajakan pesta.
“Hayley, kau mendengarku tidak?” kesal Yasmine.
Hayley mengerjap, tersadar dari lamunannya. “Ya, kau terlihat luar biasa.”
Yasmine terang-terangan memutar bola matanya malas. Ia mengambil tas Chanel putih dari atas ranjang dan berjalan mendekati Hayley. “Aku bertanya, sepatu mana yang harus kupakai? Tapi sepertinya kau terlalu larut memikirkan keluarga kecil di The Cotswolds.”
“Ya, aku merindukan Madison dan anak-anaknya,” balas Hayley.
“Kau tahu betul bukan keluarga itu yang kumaksud.” Yasmine akhirnya memilih sepatu sendiri. Pilihannya jatuh pada sepatu slingback Chanel berwarna pink muda yang dihiasi imitasi permata di sisi-sisinya. Sangat cocok dengan warna kulitnya.
Hayley tidak mengelak. Ini menakutkan, Yasmine seolah selalu tahu isi pikirannya. Bahkan ketika dirinya sendiri tidak tahu. Hayley lagi-lagi larut dalam lamunannya sehingga tidak menyadari Yasmine yang sudah berjalan ke luar kamar. Ia buru-buru menyusul manajernya itu menuju pintu rumah.
“Yas, tidak ada yang ketinggalan?” tanya Hayley pada Yasmine yang masih sibuk merapikan tatanan rambut.
Yasmine mengecek kembali isi tas nya lalu menggeleng. “Tidak ada. Tetap di rumah ya, Hay. Jangan kemana-mana untuk malam ini. See you!”
“See you! Jangan bawa pulang lelaki asing ya,” goda Hayley. “Apalagi suami orang.”
Yasmine hanya mengedipkan sebelah mata lalu hilang dari pandangan bersamaan dengan pintu rumah yang tertutup. Hayley bisa bernafas lega setelahnya. Ia berusaha sebisa mungkin untuk menutupi kegugupannya di hadapan Yasmine. Karena jika Yasmine sadar bahwa ia gugup, rencananya malam ini pasti akan terbongkar.
Hayley berlari kecil ke dalam kamarnya untuk berganti baju dan mengambil barang-barang yang dibutuhkan seperti pisau lipat tersembunyi, chili spray, senter, TASER, dan obat tidur. Ia sudah menyiapkan semua ini selama beberapa hari terakhir secara diam-diam. Dan malam ini adalah waktunya.
Dirinya tahu bahwa Logan akan berada di pesta yang dihadiri Yasmine dan kesempatan itu akan digunakan olehnya untuk masuk ke apartemen Logan dan mencari kaset terlarang itu. Sendiri. Ini bahkan lebih gila dari ide Yasmine, tapi lebih baik seperti ini daripada orang lain ikut terkena akibatnya.
Beruntungnya, Hayley masih hafal kode sandi apartemen Logan. Itupun jika pria itu belum menggantinya.
Setelah selesai berpakaian dengan serba hitam dan penutup wajah, Hayley merasa seperti Jessica Jones dalam misi, ia keluar dari rumah Yasmine secara hati-hati dan menghindari wilayah CCTV sebisa mungkin. Rumah Yasmine dan apartemen Logan berjarak sekitar dua puluh menit dan mau tak mau ia harus menggunakan taksi untuk sampai ke sana.
Ia akhirnya masuk ke dalam taksi dan mulai berakting rileks seperti beberapa jam lalu di hadapan Yasmine. Hanya dalam waktu dua menit, supir taksi itu langsung mengenali siapa dirinya dan mulai melontarkan banyak pertanyaan layaknya wartawan.
“Ms. Lexington, kemana saja kau selama lima bulan ini? Apa kau di Las Vegas seperti yang orang-orang kira? Atau di Vermont? Terakhir kudengar, kau berada di London. Gadisku, Elthea, sangat mengidolakanmu. Dia bahkan sangat sedih ketika kau menghilang begitu saja dari publik. Tapi kuyakin kau pasti akan kembali. Dan di sinilah kau sekarang, di taksiku. Aku harus menghubungi gadisku—“
Hayley buru-buru memotong pembicaraan supir taksi itu dengan menyentuh pundaknya. “Maaf, tapi aku tidak punya waktu untuk ini. Bisakah kau percepat laju mobil dan tidak bertanya apapun apalagi memberitahu orang-orang jika aku sudah kembali dan berada di taksimu? Aku akan sangat menghargai itu.”
Dengan ragu, supir taksi itu mengangguk kaku. Dan di sisa perjalanan hanya ada keheningan, seperti yang Hayley inginkan. Mereka sampai di depan bangunan apartemen Logan lebih cepat dari yang Hayley kira. Ia meninggalkan banyak tip dan berterima kasih pada supir itu sebelum akhirnya turun dan masuk ke dalam apartemen dengan santai. Lagi-lagi berakting.
Logan memang kaya, tapi ia tinggal di apartemen yang berkeamanan rendah. Tidak ada penjaga yang menghadang langkah Hayley selama ia berjalan masuk. Poin tambahan untuknya. Ia tersenyum manis pada resepsionis yang balas menatapnya kaget namun buru-buru menetralkan diri dan tersenyum kaku.
Apartemen Logan berada di lantai lima belas. Ia harus menaiki lift terlebih dahulu. Berjalan di lobby ini mengingatkannya pada malam itu, malam yang membuat hidupnya berubah total. Malam di mana ia merasa bodoh karena telah mencintai orang yang hanya mempermainkan dirinya. Memanfaatkannya demi karir pria iblis itu sendiri.
Nomor lima belas terukir di pintu berwarna putih. Dengan tangan gemetar, Hayley memencet kode yang ia hafal di luar kepala. Ia hampir putus asa ketika pintu tersebut tidak membuka, tetapi selang beberapa detik kemudian ia hampir memekik senang karena akhirnya pintu itu terbuka.
Bodohnya Logan, tidak mengganti kode sandi apartemennya. Jika Hayley berada di posisi Logan, ia akan mengganti kode sandi seminggu sekali.
Di dalam apartemen itu sangat gelap. Hanya ada pancaran sinar dari lampu jalan di luar. Hayley berjalan mengendap-endap dengan hati-hati. Ia mengikuti saran Jessie untuk mencari kaset itu di laci nakas yang terletak di kamar Logan. Hayley sadar jika Jessie bisa saja bekerja sama dengan Logan untuk menjebaknya, tetapi lebih baik membuktikannya sendiri daripada berdiam diri di rumah Yasmine memikirkan hal terburuk.
Kamar Logan tidak terkunci. Namun, bukan itu yang menurutnya aneh, melainkan tempat tidur yang rapi. Selama Hayley berkencan dengan Logan, ia tidak pernah melihat tempat tidur Logan rapi seperti ini. Mungkin Logan menyewa seseorang untuk merapikan dan membersihkan apartemennya.
Hayley menyingkirkan pikiran-pikiran buruk di otaknya dan fokus pada nakas yang berada tepat di samping tempat tidur. Ia mengeluarkan senter untuk menyorot isi laci nakas. Jessie benar, banyak sekali kaset-kaset lama yang menumpuk. Tapi sayangnya, Jessie tidak memberitahu bagaimana bentuk kaset video terlarang itu. Jadi, mau tak mau Hayley harus mengamati kaset itu satu per satu.
Di antara banyaknya kaset lama, hanya ada satu kaset yang masih terlihat baru. Kaset itu dibungkus kain hitam. Tidak diragukan lagi, kaset itulah yang ia cari. Hayley buru-buru memasukkan kaset itu ke saku dalam jaketnya dan hendak berdiri untuk berjalan keluar ketika sebuah tangan membekap mulutnya dari belakang.
Hayley berusaha melepaskan diri tetapi semakin ia bergerak, semakin lemah pula tubuhnya. Selang beberapa detik kemudian, ia merasakan punggungnya menyentuh tempat tidur dan suara terakhir yang ia dengar sebelum semuanya menjadi hitam adalah,
“Nice to see you again, my darling.”
Logan.
Hanya Logan yang memanggilnya dengan sebutan itu.
***