Tiga
hari berlalu, Jane dan Matthew sudah kembali tetapi Will tidak. Pria itu
bagaikan butiran debu yang terbawa angin—hilang begitu saja tanpa jejak. Setiap
pulang kerja, Hayley selalu menyempatkan diri melewati kediaman Will hanya untuk
sekedar mengecek apakah lelaki itu sudah kembali atau belum. Dan hasilnya
selalu sama, rumah itu, yang menurut Will bukan rumah, masih terlihat tak
berpenghuni.
Jane yang saat ini duduk di kursi
makan sebrang Hayley mengamati wanita itu dengan raut wajah khawatir. Ia baru
saja kembali sore tadi, dan saat ini mereka sedang makan malam bersama Matthew.
“Hayley,” panggil Jane pelan. Hayley
langsung tersadar dari lamunannya tentang Will.
“Ya?” sahutnya.
“Kau bisa ceritakan pada kami jika
kau mau.” Jane menatap Hayley hangat. Ia tahu sesuatu sedang menganggu pikiran
Hayley.
“Harusnya kalian yang bercerita
padaku. Apa yang terjadi akhir-akhir ini yang kalian sembunyikan dariku?” tanya
Hayley menatap Jane dan Matthew secara bergantian.
Matthew menjauhkan piringnya yang
sudah kosong. Kedua tangannya berada di atas meja dengan tatapan mata yang
tertuju pada Hayley. “Nak, kami kira kau tak perlu tahu. Masalahmu sendiri sudah
cukup membebanimu. Kami tak mau semakin memperburuk keadaan.”
“Apapun yang terjadi pada kalian,
aku sudah sepatutnya tahu. Kalian keluargaku sekarang. Keluarga saling
memberitahu pada satu sama lain. Kalian percaya padaku, kan?” tanya Hayley
lagi.
Sebenarnya ia ingin mengalihkan
pikirannya dari pikiran tentang Will dengan pembahasan lain. Dan apapun yang
akan dikatakan Matthew dan Jane cukup membuat pikirannya teralihkan.
“Papamu dipenjara,” ujar Jane tanpa
jeda. Ia tidak berani menatap Hayley ketika mengatakan itu, hanya memfokuskan
pandangannya pada gelas air.
Matthew hanya diam, menunggu reaksi
Hayley.
“Bagus. He deserves it.” Reaksi yang benar-benar diluar dugaan Matthew
maupun Jane, membuat keduanya melongo.
“Kau tidak marah?” tanya Matthew bingung.
Hayley menuangkan air putih dari
teko ke gelasnya. “Untuk apa? Seharusnya dia sudah dipenjara sejak sepuluh
tahun lalu.” Ia meneguk habis air putih itu. “Bagaimana keadaan Madison dan
anak-anaknya?” lanjut Hayley.
“Mereka baik. Untuk sementara,
mereka akan disini selama liburan,” jelas
Jane.
Hayley mengangguk lalu berdiri dari
kursinya. “Aku ingin tidur cepat malam ini. Sampai jumpa besok.” Ia menghampiri
Jane dan Matthew lalu mengecup masing-masing pipi mereka.
“Selamat malam,” ucap Matthew.
“Hayley, everything is gonna be okay. We’re here for you.” Jane balas
mengecup kening Hayley dengan penuh kasih sayang.
Hayley mengangguk lalu memeluk Jane
singkat. “Thank you. Thank you for
everything you’ve done for me,” bisiknya di telinga Jane.
Matthew dan Jane sama-sama terdiam
ketika Hayley sudah masuk ke kamarnya di lantai atas. Mereka berdua tahu apa
yang menyebabkan Hayley terlihat muram. Tetapi, berpura-pura tidak tahu adalah
jalan terbaik untuk saat ini.
“Dia melakukan hal itu lagi, kan?
Pergi?” tanya Matthew pelan sembari menatap kosong ke arah luar jendela.
“Dia selalu kembali, Matt,” jawab
Jane.
“Iya. Dan terkadang dia kembali pada
waktu yang tidak tepat,” balas Matthew mengusap wajahnya kasar. “Aku gagal,
Jane. Kalau saja beberapa tahun lalu aku tidak—“
“Cukup, Matt. Tidak ada gunanya
menyesal sekarang,” potong Jane sambil berdiri membawa piring kotor ke
wastafel. “Pulanglah, besok kau harus ke peternakan pagi buta.”
Matthew menurut. Ia berjalan menuju pintu
keluar. “Terima kasih makan malamnya, Janie.”
Jane mengangguk. “Selamat malam,
Matt.”
Matt sudah hendak berjalan keluar
ketika ia berkata, “Aku akan mengantar Hayley bekerja besok, beritahu dia.”
“Hayley akan sangat senang
mendengarnya.” Senyuman Jane mengiringi kepergian Matthew menuju rumahnya di
malam yang tenang itu.
***
“Aku ingin rekomendasi novel roman
darimu. Kyla bilang dia datang kesini tempo hari lalu dan mendapatkan
rekomendasi novel bagus darimu. Oh iya, Kyla itu temanku, tapi kami sudah cukup
lama tidak bertegur sapa dan kemarin dia tiba-tiba meneleponku untuk
memberitahu novel yang sedang dibacanya, aneh bukan?” cerocos gadis muda
bertopi coklat susu itu di depan meja kasir.
Hayley memaksakan senyuman di
bibirnya selama mendengar ocehan gadis itu. Ia terlalu lelah untuk menanggapi
obrolan seperti biasanya. Ia tidak bisa tidur tadi malam. Pandangannya terus
terpaku pada jendela, berharap jika Will muncul dari situ secara tiba-tiba
seperti di film-film roman yang dibintanginya.
Seminggu sudah lelaki itu hilang
dari pandangan. Waktu terus berjalan, namun Will tak kunjung kembali. Tiada
hari tanpa bertanya-tanya tentang kemanakah Will pergi.
“Hayley, Hayley!” panggil Ronnie.
Hayley langsung tersentak dari lamunannya. “Pelanggan bertanya padamu,
seharusnya kau jawab. Bukan malah memikirkan hal lain yang tak penting.”
Hayley mengerjap-ngerjap. “Maaf.”
Lalu kembali memfokuskan diri pada gadis
di depannya. “Aku punya rekomendasi untukmu. Ini, Perhaps It Never True karya
James Petterson.” Hayley menyodorkan novel Will pada gadis itu.
James Petterson itu tidak ada. Yang ada
hanya Will. Will-nya yang sekarang entah di mana. Ia menatap nanar novel yang
sekarang ada pada genggaman pelanggannya. Pelanggan itu tampak membaca paragraf
awal dari novel itu sebelum akhirnya tersenyum senang.
“Aku ambil ini. Terima kasih atas
rekomendasinya.” Gadis itu membayar dan berjalan keluar dengan senyum yang
masih menempel di wajahnya.
Berbanding terbalik dengan Hayley yang
kembali muram, melepas topengnya ketika tidak ada pelanggan. Ronnie yang
melihat itu pun agak kesal. Bukan apa-apa, kinerja Hayley menjadi menurun
seminggu kebelakang. Dan ia tahu betul penyebabnya.
“Aku sudah memperingatkanmu. Ini memang
harus terjadi supaya kau tahu siapa dia sebenarnya,” ucap Ronnie sembari
mengecek mesin kasir.
Hayley menoleh ke samping, menatap
Ronnie dengan intens. “Aku tidak tahu apa-apa tentangnya. Setelah ini terjadi
pun aku masih tidak tahu. Kau seharusnya memberitahuku, bukan hanya
memperingatkan. Kalau kau benar-benar peduli.”
Ronnie menggeleng. “Kau tidak mengerti.”
“Buat aku mengerti,” balas Hayley tajam.
“Bukankah kalian teman dekat? Will berkata seolah-olah kalian teman yang sangat
akrab, tapi selama ini aku tidak pernah melihat kalian mengobrol. Jika Will datang,
kau buru-buru masuk ke gudang atau ke ruanganmu. Kau menghindar, Ronnie.”
Hening. Ronnie membeku di tempatnya.
Seperti maling yang tertangkap basah.
“Percaya atau tidak, Will selalu ada
setiap aku membutuhkannya tanpa diminta. Dan sekarang dia menghilang tanpa
kabar, rasanya tak adil. Rasanya kosong. Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya
dan aku tidak ada disana untuk membantunya?” lanjut Hayley yang sudah frustasi.
Ronnie mundur dari mesin kasir.
Punggungnya ia sandarkan pada rak buku di belakangnya. Matanya menari-nari
kesana kemari berusaha mencari kata-kata yang cocok untuk menjelaskan semuanya
pada Hayley. Tapi, tidak ada. Ia tidak tahu harus mulai darimana.
“Will bukan orang yang mudah untuk
dicintai. Dia terlalu rumit. Dia akan kembali, itu pasti, tapi aku tidak tahu
kapan waktunya.” Ronnie menatap mata Hayley. “Untuk saat ini, hanya itu yang
perlu kau tahu.”
Hayley menatap kosong ke arah depan. Itu
tidak cukup, penjelasan dari Ronnie masih meninggalkan banyak lubang. Akan
tetapi, ia tahu, Ronnie tidak akan berkata apa-apa lagi.
Malam itu, Hayley pulang ke rumah dengan
melewati kediaman Will lagi. Seperti malam-malam sebelumnya. Rumah itu masih
gelap dan tak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Hayley masuk ke pekarangan
melewati pagar, ia memandang jendela di lantai atas, tempat Will biasa duduk
dan menghasilkan karya-karyanya, dengan tatapan penuh harap.
Dengan tangan yang gemetar ia
mengeluarkan selembar kertas dan pulpen dari tas. Lalu mulai menulis,
Willy,
di manapun kau berada saat ini, aku ingin kau kembali. Aku punya banyak bahan
obrolan yang sayang jika tidak dikeluarkan.
With
love,
Teman
Hening.
Setelah selesai, Hayley melipat kertas
itu menjadi ukuran yang lebih kecil dan menyelipkannya ke dalam rumah melalui
celah bawah pintu. Tidak ada perasaan lega seperti yang diharapkannya setelah
menuliskan surat itu. Yang ada ia malah semakin cemas.
Karena tidak mau terus berlarut sedih di
depan rumah yang kosong, Hayley memutuskan untuk meneruskan langkahnya pulang
ke rumah Jane. Sambil sesekali menengok ke belakang, takut-takut sosok Will
tiba-tiba kembali.
Namun, tidak ada.
Will tetap tidak kembali.
Bahkan sampai dua minggu setelahnya.
***
Hari-hari
terus berlanjut, mau tak mau, suka tak suka. Seolah semesta tidak peduli pada
apa yang sedang Hayley hadapi dan tetap memilih untuk terus memaksanya maju
melewati hari-hari.
Ini hari Minggu, yang berarti hari
liburnya. Ia mengawali hari liburnya dengan membuat sarapan, menyiram tanaman,
membaca buku, dan lari pagi. Ia berusaha menjalani hidup dengan normal.
Mengubur dalam-dalam rasa cemasnya yang menghantuinya setiap hari.
Jane sedang duduk santai di sofa
ketika Hayley pulang dari kegiatan lari paginya dengan nafas yang tidak
teratur.
“Wow, ini tidak adil. Kau tetap
terlihat sangat cantik dengan cucuran keringat seperti itu,” puji Jane sambil
menyodorkan segelas air putih pada Hayley.
Hayley menerimanya lalu meneguk air
itu sampai habis. “Sejak kapan kau jadi pandai memuji? Siapa yang mengajarimu?”
Jane terkekeh pelan. “Tidak ada.
Hanya berdasarkan fakta yang kulihat.” Jane lalu beranjak dari sofa dan
mengambil sebuah amplop berisi surat di atas meja makan. “Ada kiriman untukmu
di kotak surat,” lanjutnya menyodorkan amplop itu pada Hayley.
“Terima kasih.”
Hayley hendak membuka amplop itu
ketika Jane berkata, “Kau mau aku pergi? Privasi.”
Hayley menggeleng sambil tersenyum
geli. “Tidak perlu. Kau terdengar seperti pengantar surat sungguhan.”
Dalam hati Hayley berharap apapun
itu yang berada di dalam amplop, tidak akan merusak hari-harinya kedepan yang
sudah cukup buruk. Ketika amplop sudah terbuka, terdapat sebuah surat. Butuh
waktu beberapa detik untuk menyiapkan diri membaca tulisan itu.
Hayley,
Bagaimana kabarmu di sana? Kuharap semuanya baik-baik
saja. Aku benar-benar merindukanmu. Tiga bulan tanpa suara anehmu benar-benar
terasa asing.
Begini, aku dan tim sepakat untuk membawa kasus ini ke
jalur hukum. Karena secara hukum, Logan melakukan pencemaran nama baik. Kami
sudah menghubungi salah satu pengacara terbaik. Maka dari itu, kuharap minggu
depan kau dapat kembali ke New York untuk sementara, untuk mendiskusikan
persoalan ini secara langsung dengannya. Soal keamanan sudah seratus persen
terjamin, tidak akan ada paparazzi atau siapapun itu yang mendekatimu tanpa
persetujuan tim penjaga yang sudah kusewa. Lalu soal tiket, hubungi aku setelah
kau membaca surat ini dan siap untuk pulang meskipun hanya dalam beberapa
waktu.
Kami semua mencintaimu.
Yours truly,
Yasmine W.
Manhattan, New York.
Siap untuk pulang.
Tidak, Hayley belum siap untuk
kembali. Namun, sepertinya lagi-lagi ia tidak memiliki pilihan. Meskipun hanya
untuk sementara waktu, tapi tetap saja rasanya begitu berat meninggalkan
keluarga barunya disini.
Meninggalkan Will yang entah di
mana.
Kembali ke New York berarti kembali
ke kehidupan aslinya. Ia tidak tahu apakah ia siap atau tidak menghadapi hiruk
pikuk kota itu tanpa merindukan kedamaian The Cotswolds. Namun, cepat atau
lambat hal itu pasti terjadi dan tidak ada hal yang dapat menghentikannya.
“Semua baik-baik saja?” tanya Jane
yang khawatir melihat tatapan kosong Hayley.
“Ya,” jawab Hayley cepat-cepat.
“Hanya surat dari manajerku di New York.”
“Hayley—“
“Aku akan ke New York selama
beberapa hari.” Hayley tidak mau Jane khawatir sehingga ia mengeluarkan
kebenaran itu secara spontan.
“Oh.” Jane terlihat kaget. “Kau...
kau sudah siap?”
Itu dia. Hayley belum siap.
“Aku tidak tahu,” jawab Hayley
sembari menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa. Ia memejamkan matanya.
Jane berpindah menjadi duduk di
sebelah Hayley. Ia mengusap lembut pundak wanita yang sudah menjadi sahabatnya
itu. “Jujur, aku tak mau kau pergi. Ya, walaupun hanya sebentar, tapi aku tak
rela. Kau merasakannya juga, bukan?”
Hayley menatap Jane sembari
mengangguk pelan.
“Hayley, sayang. Aku tidak tahu
apakah seseorang sudah pernah mengatakan ini padamu atau belum, tapi kau adalah
salah satu wanita paling kuat yang pernah kutemui. Kau menghadapi semua
masalah-masalahmu dengan berani. Aku sendiri heran darimana kau mendapatkan
kekuatan untuk melakukan itu semua.
“Kau rapuh, tapi kau sama sekali tak
pernah menunjukkannya pada dunia. Jika kau berhasil melewati cobaan-cobaan
selama tiga bulan ke belakang, kau pasti bisa menghadapi apapun yang ada di New
York nanti. Just know that I’m here, we’re
here. If something falls apart, come home to us. If they destroy you into pieces, let us help you rebuild yourself. Just come home.” Jane memeluk Hayley
erat-erat.
Hayley tak pernah sadar sejak kapan
air mata itu sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia balas memeluk Jane tak
kalah erat. Jane bukan lagi nenek tiri yang baru dikenalnya selama beberapa
bulan, Jane adalah keluarganya. Jane sudah Hayley anggap sebagai Ibu kedua
baginya.
Yasmine,
I miss you too. So much.
I’m ready, book me a ticket and send it to my email.
See you soon. Love you.
Hayley L.
Castle Combe, The Cotswolds.
***