Read More >>"> Perhaps It Never Will (Chapter 11) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Perhaps It Never Will
MENU 0
About Us  

Tiga hari berlalu, Jane dan Matthew sudah kembali tetapi Will tidak. Pria itu bagaikan butiran debu yang terbawa angin—hilang begitu saja tanpa jejak. Setiap pulang kerja, Hayley selalu menyempatkan diri melewati kediaman Will hanya untuk sekedar mengecek apakah lelaki itu sudah kembali atau belum. Dan hasilnya selalu sama, rumah itu, yang menurut Will bukan rumah, masih terlihat tak berpenghuni.

            Jane yang saat ini duduk di kursi makan sebrang Hayley mengamati wanita itu dengan raut wajah khawatir. Ia baru saja kembali sore tadi, dan saat ini mereka sedang makan malam bersama Matthew.

            “Hayley,” panggil Jane pelan. Hayley langsung tersadar dari lamunannya tentang Will.

            “Ya?” sahutnya.

            “Kau bisa ceritakan pada kami jika kau mau.” Jane menatap Hayley hangat. Ia tahu sesuatu sedang menganggu pikiran Hayley.

            “Harusnya kalian yang bercerita padaku. Apa yang terjadi akhir-akhir ini yang kalian sembunyikan dariku?” tanya Hayley menatap Jane dan Matthew secara bergantian.

            Matthew menjauhkan piringnya yang sudah kosong. Kedua tangannya berada di atas meja dengan tatapan mata yang tertuju pada Hayley. “Nak, kami kira kau tak perlu tahu. Masalahmu sendiri sudah cukup membebanimu. Kami tak mau semakin memperburuk keadaan.”

            “Apapun yang terjadi pada kalian, aku sudah sepatutnya tahu. Kalian keluargaku sekarang. Keluarga saling memberitahu pada satu sama lain. Kalian percaya padaku, kan?” tanya Hayley lagi.

            Sebenarnya ia ingin mengalihkan pikirannya dari pikiran tentang Will dengan pembahasan lain. Dan apapun yang akan dikatakan Matthew dan Jane cukup membuat pikirannya teralihkan.

            “Papamu dipenjara,” ujar Jane tanpa jeda. Ia tidak berani menatap Hayley ketika mengatakan itu, hanya memfokuskan pandangannya pada gelas air.

            Matthew hanya diam, menunggu reaksi Hayley.

            “Bagus. He deserves it.” Reaksi yang benar-benar diluar dugaan Matthew maupun Jane, membuat keduanya melongo.

            “Kau tidak marah?” tanya Matthew bingung.

            Hayley menuangkan air putih dari teko ke gelasnya. “Untuk apa? Seharusnya dia sudah dipenjara sejak sepuluh tahun lalu.” Ia meneguk habis air putih itu. “Bagaimana keadaan Madison dan anak-anaknya?” lanjut Hayley.

            “Mereka baik. Untuk sementara, mereka akan disini selama liburan,” jelas Jane.

            Hayley mengangguk lalu berdiri dari kursinya. “Aku ingin tidur cepat malam ini. Sampai jumpa besok.” Ia menghampiri Jane dan Matthew lalu mengecup masing-masing pipi mereka.

            “Selamat malam,” ucap Matthew.

            “Hayley, everything is gonna be okay. We’re here for you.” Jane balas mengecup kening Hayley dengan penuh kasih sayang.

            Hayley mengangguk lalu memeluk Jane singkat. “Thank you. Thank you for everything you’ve done for me,” bisiknya di telinga Jane.

            Matthew dan Jane sama-sama terdiam ketika Hayley sudah masuk ke kamarnya di lantai atas. Mereka berdua tahu apa yang menyebabkan Hayley terlihat muram. Tetapi, berpura-pura tidak tahu adalah jalan terbaik untuk saat ini.

            “Dia melakukan hal itu lagi, kan? Pergi?” tanya Matthew pelan sembari menatap kosong ke arah luar jendela.

            “Dia selalu kembali, Matt,” jawab Jane.

            “Iya. Dan terkadang dia kembali pada waktu yang tidak tepat,” balas Matthew mengusap wajahnya kasar. “Aku gagal, Jane. Kalau saja beberapa tahun lalu aku tidak—“

            “Cukup, Matt. Tidak ada gunanya menyesal sekarang,” potong Jane sambil berdiri membawa piring kotor ke wastafel. “Pulanglah, besok kau harus ke peternakan pagi buta.”

            Matthew menurut. Ia berjalan menuju pintu keluar. “Terima kasih makan malamnya, Janie.”

            Jane mengangguk. “Selamat malam, Matt.”

            Matt sudah hendak berjalan keluar ketika ia berkata, “Aku akan mengantar Hayley bekerja besok, beritahu dia.”

            “Hayley akan sangat senang mendengarnya.” Senyuman Jane mengiringi kepergian Matthew menuju rumahnya di malam yang tenang itu.

***

 

            “Aku ingin rekomendasi novel roman darimu. Kyla bilang dia datang kesini tempo hari lalu dan mendapatkan rekomendasi novel bagus darimu. Oh iya, Kyla itu temanku, tapi kami sudah cukup lama tidak bertegur sapa dan kemarin dia tiba-tiba meneleponku untuk memberitahu novel yang sedang dibacanya, aneh bukan?” cerocos gadis muda bertopi coklat susu itu di depan meja kasir.

            Hayley memaksakan senyuman di bibirnya selama mendengar ocehan gadis itu. Ia terlalu lelah untuk menanggapi obrolan seperti biasanya. Ia tidak bisa tidur tadi malam. Pandangannya terus terpaku pada jendela, berharap jika Will muncul dari situ secara tiba-tiba seperti di film-film roman yang dibintanginya.

            Seminggu sudah lelaki itu hilang dari pandangan. Waktu terus berjalan, namun Will tak kunjung kembali. Tiada hari tanpa bertanya-tanya tentang kemanakah Will pergi.

            “Hayley, Hayley!” panggil Ronnie. Hayley langsung tersentak dari lamunannya. “Pelanggan bertanya padamu, seharusnya kau jawab. Bukan malah memikirkan hal lain yang tak penting.”

            Hayley mengerjap-ngerjap. “Maaf.”

Lalu kembali memfokuskan diri pada gadis di depannya. “Aku punya rekomendasi untukmu. Ini, Perhaps It Never True karya James Petterson.” Hayley menyodorkan novel Will pada gadis itu.

James Petterson itu tidak ada. Yang ada hanya Will. Will-nya yang sekarang entah di mana. Ia menatap nanar novel yang sekarang ada pada genggaman pelanggannya. Pelanggan itu tampak membaca paragraf awal dari novel itu sebelum akhirnya tersenyum senang.

“Aku ambil ini. Terima kasih atas rekomendasinya.” Gadis itu membayar dan berjalan keluar dengan senyum yang masih menempel di wajahnya.

Berbanding terbalik dengan Hayley yang kembali muram, melepas topengnya ketika tidak ada pelanggan. Ronnie yang melihat itu pun agak kesal. Bukan apa-apa, kinerja Hayley menjadi menurun seminggu kebelakang. Dan ia tahu betul penyebabnya.

“Aku sudah memperingatkanmu. Ini memang harus terjadi supaya kau tahu siapa dia sebenarnya,” ucap Ronnie sembari mengecek mesin kasir.

Hayley menoleh ke samping, menatap Ronnie dengan intens. “Aku tidak tahu apa-apa tentangnya. Setelah ini terjadi pun aku masih tidak tahu. Kau seharusnya memberitahuku, bukan hanya memperingatkan. Kalau kau benar-benar peduli.”

Ronnie menggeleng. “Kau tidak mengerti.”

“Buat aku mengerti,” balas Hayley tajam. “Bukankah kalian teman dekat? Will berkata seolah-olah kalian teman yang sangat akrab, tapi selama ini aku tidak pernah melihat kalian mengobrol. Jika Will datang, kau buru-buru masuk ke gudang atau ke ruanganmu. Kau menghindar, Ronnie.”

Hening. Ronnie membeku di tempatnya. Seperti maling yang tertangkap basah.

“Percaya atau tidak, Will selalu ada setiap aku membutuhkannya tanpa diminta. Dan sekarang dia menghilang tanpa kabar, rasanya tak adil. Rasanya kosong. Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya dan aku tidak ada disana untuk membantunya?” lanjut Hayley yang sudah frustasi.

Ronnie mundur dari mesin kasir. Punggungnya ia sandarkan pada rak buku di belakangnya. Matanya menari-nari kesana kemari berusaha mencari kata-kata yang cocok untuk menjelaskan semuanya pada Hayley. Tapi, tidak ada. Ia tidak tahu harus mulai darimana.

“Will bukan orang yang mudah untuk dicintai. Dia terlalu rumit. Dia akan kembali, itu pasti, tapi aku tidak tahu kapan waktunya.” Ronnie menatap mata Hayley. “Untuk saat ini, hanya itu yang perlu kau tahu.”

Hayley menatap kosong ke arah depan. Itu tidak cukup, penjelasan dari Ronnie masih meninggalkan banyak lubang. Akan tetapi, ia tahu, Ronnie tidak akan berkata apa-apa lagi.

Malam itu, Hayley pulang ke rumah dengan melewati kediaman Will lagi. Seperti malam-malam sebelumnya. Rumah itu masih gelap dan tak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Hayley masuk ke pekarangan melewati pagar, ia memandang jendela di lantai atas, tempat Will biasa duduk dan menghasilkan karya-karyanya, dengan tatapan penuh harap.

Dengan tangan yang gemetar ia mengeluarkan selembar kertas dan pulpen dari tas. Lalu mulai menulis,

 

Willy, di manapun kau berada saat ini, aku ingin kau kembali. Aku punya banyak bahan obrolan yang sayang jika tidak dikeluarkan.

 

With love,

Teman Hening.

 

Setelah selesai, Hayley melipat kertas itu menjadi ukuran yang lebih kecil dan menyelipkannya ke dalam rumah melalui celah bawah pintu. Tidak ada perasaan lega seperti yang diharapkannya setelah menuliskan surat itu. Yang ada ia malah semakin cemas.

Karena tidak mau terus berlarut sedih di depan rumah yang kosong, Hayley memutuskan untuk meneruskan langkahnya pulang ke rumah Jane. Sambil sesekali menengok ke belakang, takut-takut sosok Will tiba-tiba kembali.

Namun, tidak ada.

Will tetap tidak kembali.

Bahkan sampai dua minggu setelahnya.

 

***

Hari-hari terus berlanjut, mau tak mau, suka tak suka. Seolah semesta tidak peduli pada apa yang sedang Hayley hadapi dan tetap memilih untuk terus memaksanya maju melewati hari-hari.

            Ini hari Minggu, yang berarti hari liburnya. Ia mengawali hari liburnya dengan membuat sarapan, menyiram tanaman, membaca buku, dan lari pagi. Ia berusaha menjalani hidup dengan normal. Mengubur dalam-dalam rasa cemasnya yang menghantuinya setiap hari.

            Jane sedang duduk santai di sofa ketika Hayley pulang dari kegiatan lari paginya dengan nafas yang tidak teratur.

            “Wow, ini tidak adil. Kau tetap terlihat sangat cantik dengan cucuran keringat seperti itu,” puji Jane sambil menyodorkan segelas air putih pada Hayley.

            Hayley menerimanya lalu meneguk air itu sampai habis. “Sejak kapan kau jadi pandai memuji? Siapa yang mengajarimu?”

            Jane terkekeh pelan. “Tidak ada. Hanya berdasarkan fakta yang kulihat.” Jane lalu beranjak dari sofa dan mengambil sebuah amplop berisi surat di atas meja makan. “Ada kiriman untukmu di kotak surat,” lanjutnya menyodorkan amplop itu pada Hayley.

            “Terima kasih.”

            Hayley hendak membuka amplop itu ketika Jane berkata, “Kau mau aku pergi? Privasi.”

            Hayley menggeleng sambil tersenyum geli. “Tidak perlu. Kau terdengar seperti pengantar surat sungguhan.”

            Dalam hati Hayley berharap apapun itu yang berada di dalam amplop, tidak akan merusak hari-harinya kedepan yang sudah cukup buruk. Ketika amplop sudah terbuka, terdapat sebuah surat. Butuh waktu beberapa detik untuk menyiapkan diri membaca tulisan itu.

            Hayley,

            Bagaimana kabarmu di sana? Kuharap semuanya baik-baik saja. Aku benar-benar merindukanmu. Tiga bulan tanpa suara anehmu benar-benar terasa asing.

            Begini, aku dan tim sepakat untuk membawa kasus ini ke jalur hukum. Karena secara hukum, Logan melakukan pencemaran nama baik. Kami sudah menghubungi salah satu pengacara terbaik. Maka dari itu, kuharap minggu depan kau dapat kembali ke New York untuk sementara, untuk mendiskusikan persoalan ini secara langsung dengannya. Soal keamanan sudah seratus persen terjamin, tidak akan ada paparazzi atau siapapun itu yang mendekatimu tanpa persetujuan tim penjaga yang sudah kusewa. Lalu soal tiket, hubungi aku setelah kau membaca surat ini dan siap untuk pulang meskipun hanya dalam beberapa waktu.

            Kami semua mencintaimu.

           

            Yours truly,

            Yasmine W.

 

            Manhattan, New York.

 

            Siap untuk pulang.

            Tidak, Hayley belum siap untuk kembali. Namun, sepertinya lagi-lagi ia tidak memiliki pilihan. Meskipun hanya untuk sementara waktu, tapi tetap saja rasanya begitu berat meninggalkan keluarga barunya disini.

            Meninggalkan Will yang entah di mana.

            Kembali ke New York berarti kembali ke kehidupan aslinya. Ia tidak tahu apakah ia siap atau tidak menghadapi hiruk pikuk kota itu tanpa merindukan kedamaian The Cotswolds. Namun, cepat atau lambat hal itu pasti terjadi dan tidak ada hal yang dapat menghentikannya.

            “Semua baik-baik saja?” tanya Jane yang khawatir melihat tatapan kosong Hayley.

            “Ya,” jawab Hayley cepat-cepat. “Hanya surat dari manajerku di New York.”

            “Hayley—“

            “Aku akan ke New York selama beberapa hari.” Hayley tidak mau Jane khawatir sehingga ia mengeluarkan kebenaran itu secara spontan.

            “Oh.” Jane terlihat kaget. “Kau... kau sudah siap?”

            Itu dia. Hayley belum siap.

            “Aku tidak tahu,” jawab Hayley sembari menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa. Ia memejamkan matanya.

            Jane berpindah menjadi duduk di sebelah Hayley. Ia mengusap lembut pundak wanita yang sudah menjadi sahabatnya itu. “Jujur, aku tak mau kau pergi. Ya, walaupun hanya sebentar, tapi aku tak rela. Kau merasakannya juga, bukan?”

            Hayley menatap Jane sembari mengangguk pelan.

            “Hayley, sayang. Aku tidak tahu apakah seseorang sudah pernah mengatakan ini padamu atau belum, tapi kau adalah salah satu wanita paling kuat yang pernah kutemui. Kau menghadapi semua masalah-masalahmu dengan berani. Aku sendiri heran darimana kau mendapatkan kekuatan untuk melakukan itu semua.

            “Kau rapuh, tapi kau sama sekali tak pernah menunjukkannya pada dunia. Jika kau berhasil melewati cobaan-cobaan selama tiga bulan ke belakang, kau pasti bisa menghadapi apapun yang ada di New York nanti. Just know that I’m here, we’re here. If something falls apart, come home to us. If they destroy you into pieces, let us help you rebuild yourself. Just come home.” Jane memeluk Hayley erat-erat.

            Hayley tak pernah sadar sejak kapan air mata itu sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia balas memeluk Jane tak kalah erat. Jane bukan lagi nenek tiri yang baru dikenalnya selama beberapa bulan, Jane adalah keluarganya. Jane sudah Hayley anggap sebagai Ibu kedua baginya.

            Yasmine,

            I miss you too. So much.

            I’m ready, book me a ticket and send it to my email.

 

            See you soon. Love you.

 

            Hayley L.

            Castle Combe, The Cotswolds.

 

*** 


Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Play Me Your Love Song
3664      1389     10     
Romance
Viola Zefanya tidak pernah menyangka dirinya bisa menjadi guru piano pribadi bagi Jason, keponakan kesayangan Joshua Yamaguchi Sanjaya, Owner sekaligus CEO dari Chandelier Hotel and Group yang kaya raya bak sultan itu. Awalnya, Viola melakukan tugas dan tanggung jawabnya dengan tuntutan "profesionalitas" semata. Tapi lambat laun, semakin Viola mengenal Jason dan masalah dalam keluarganya, sesu...
Dapit Bacem and the Untold Story of MU
6713      2009     0     
Humor
David Bastion remaja blasteran bule Betawi siswa SMK di Jakarta pinggiran David pengin ikut turnamen sepak bola U18 Dia masuk SSB Marunda United MU Pemain MU antara lain ada Christiano Michiels dari Kp Tugu To Ming Se yang berjiwa bisnis Zidan yang anak seorang Habib Strikernya adalah Maryadi alias May pencetak gol terbanyak dalam turnamen sepak bola antar waria Pelatih Tim MU adalah Coach ...
SORRY
16942      2985     11     
Romance
Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tiga) sahabat cowok yang super duper ganteng, baik, humoris nyatanya belum untuk terbilang cukup aman. Buktinya dia malah baper sama Kale, salah satu cowok di antara mereka. Hatinya tidak benar-benar aman. Sayangnya, Kale itu lagi bucin-bucinnya sama cewek yang bernama Venya, musuh bebuyutan...
Sebelas Desember
3783      1183     3     
Inspirational
Launa, gadis remaja yang selalu berada di bawah bayang-bayang saudari kembarnya, Laura, harus berjuang agar saudari kembarnya itu tidak mengikuti jejak teman-temannya setelah kecelakaan tragis di tanggal sebelas desember; pergi satu persatu.
Under a Falling Star
841      503     7     
Romance
William dan Marianne. Dua sahabat baik yang selalu bersama setiap waktu. Anne mengenal William sejak ia menduduki bangku sekolah dasar. William satu tahun lebih tua dari Anne. Bagi Anne, William sudah ia anggap seperti kakak kandung nya sendiri, begitupun sebaliknya. Dimana ada Anne, pasti akan ada William yang selalu berdiri di sampingnya. William selalu ada untuk Anne. Baik senang maupun duka, ...
START
275      180     2     
Romance
Meskipun ini mengambil tema jodoh-jodohan atau pernikahan (Bohong, belum tentu nikah karena masih wacana. Hahahaha) Tapi tenang saja ini bukan 18+ 😂 apalagi 21+😆 semuanya bisa baca kok...🥰 Sudah seperti agenda rutin sang Ayah setiap kali jam dinding menunjukan pukul 22.00 Wib malam. Begitupun juga Ananda yang masuk mengendap-ngendap masuk kedalam rumah. Namun kali berbeda ketika An...
Bumi yang Dihujani Rindu
6174      2126     3     
Romance
Sinopsis . Kiara, gadis bermata biru pemilik darah Rusia Aceh tengah dilanda bahagia. Sofyan, teman sekampusnya di University of Saskatchewan, kini menjawab rasa rindu yang selama ini diimpikannya untuk menjalin sebuah ikatan cinta. Tak ada lagi yang menghalangi keduanya. Om Thimoty, ayah Kiara, yang semula tak bisa menerima kenyataan pahit bahwa putri semata wayangnya menjelma menjadi seorang ...
Titip Salam
3237      1296     15     
Romance
Apa kamu pernah mendapat ucapan titip salam dari temanmu untuk teman lainnya? Kalau pernah, nasibmu hampir sama seperti Javitri. Mahasiswi Jurusan Teknik Elektro yang merasa salah jurusan karena sebenarnya jurusan itu adalah pilihan sang papa. Javitri yang mudah bergaul dengan orang di sekelilingnya, membuat dia sering kerepotan karena mendapat banyak titipan untuk teman kosnya. Masalahnya, m...
LUKA TANPA ASA
6970      1997     11     
Romance
Hana Asuka mengalami kekerasan dan pembulian yang dilakukan oleh ayah serta teman-temannya di sekolah. Memiliki kehidupan baru di Indonesia membuatnya memiliki mimpi yang baru juga disana. Apalagi kini ia memiliki ayah baru dan kakak tiri yang membuatnya semakin bahagia. Namun kehadirannya tidak dianggap oleh Haru Einstein, saudara tirinya. Untuk mewujudkan mimpinya, Hana berusaha beradaptasi di ...
Between the Flowers
594      330     1     
Romance
Mentari memilih untuk berhenti dari pekerjaanya sebagai sekretaris saat seniornya, Jingga, begitu menekannya dalam setiap pekerjaan. Mentari menyukai bunga maka ia membuka toko bersama sepupunya, Indri. Dengan menjalani hal yang ia suka, hidup Mentari menjadi lebih berwarna. Namun, semua berubah seperti bunga layu saat Bintang datang. Pria yang membuka toko roti di sebelah toko Mentari sangat me...