Astagiri tidak menuju kantin seperti yang dia katakan pada Riko dan Dhafin, dia menuju ruang ganti wanita untuk menetralisir detak jantungnya sendiri. Gila! Padahal Dhafin hanya duduk dan menyapanya, tapi efeknya sungguh luar biasa. Meskipun begitu Astagiri tetap menampik perasaaannya sendiri, yang dia rasakan pada Dhafin hanya perasaaan kagum bukan cinta seperti yang dia dengar dari Cintya atau dari novel yang sering dia baca.
Astagiri membuka kunci lokernya kemudian mengambil beberapa buku yang dia pinjam di perpustakaan dua hari yang lalu. Buku itu ia pinjam sebagai referensi tugas kelompoknya waktu itu dan dia harus segera mengembalikan buku tersebut jika tidak mau terkena denda karena terlambat mengembalikannya.
Begitu merasa sudah tenang Astagiri segera keluar ruang ganti dengan membawa beberapa bukunya. Nahasnya, saat ia berjalan keluar, dia tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang yang membuatnya hampir jatuh. Bersyukur orang tersebut cekatan dan langsung menangkapnya. Dan yang lebih parah lagi, orang itu adalah dia yang beberapa saat lalu membuat jantungnya berdebar kuat. Dhafin.
Dhafin sedang berjalan menuju ruang ganti pria yang posisinya memang bersebelahan dengan ruang ganti wanita. Bahkan pria itu sudah melepas kaosnya karena keringat yang membanjiri tubuhnya dan membuatnya tidak nyaman. Dia pikir suasana ruang ganti akan kosong karena hari ini tidak ada jadwal olah raga. Ternyata ia justru bertemu dengan perempuan yang tadi sempat mengabaikannya. Astagiri.
"Sorry, aku kira nggak ada orang," ucap Dhafin setelah melepaskan tangannya dari pinggang Astagiri.
Sementara yang dilakukan Astagiri hanya menggaruk tengkuknya dengan pandangan menghindari Dhafin, dia merasa malu karena saat ini Dhafin bertelanjang dada di depannya.
"Asta." Bersyukur teriakan Cintya menyelamatkannya dari situasi canggung antara dia dan Dhafin. Tanpa mengatakan apapun Astagiri langsung melewati Dhafin dan menghampiri Cintya di ujung lorong. Astagiri segera membalikan tubuh Cintya kemudian mendorong gadis itu pergi.
"Aak, aak, rambutku ketarik," kata Cintya saat Astagiri tidak sengaja menarik beberapa helai rambut sahabatnya.
"Sorry." Astagiri langsung melepas tangannya dan beralih menggandeng lengan Cintya.
Sekolahnya memang membolehkan siswa mengenakan jilbab, meskipun sebenarnya aturan dalam seragam sekolah adalah lengan pendek. Hanya ada beberapa siswa yang mengenakan jilbab seperti Astagiri, bahkan dalam kelasnya hanya ada dirinya saja. Namun Astagiri sama sekali tidak merasa minder dengan penampilannya, ia justru merasa nyaman dan aman. Dia merasa terlindungi dengan pakaian tersebut.
Lagipula memang kewajiban seorang muslim mengenakan jilbab kan. Ayat itu sudah sangat jelas disebutkan dalam Al-Qur'an. Meskipun Astagiri sadar bahwa dirinya pun masih jauh dari kata baik, seperti peristiwa tadi contohnya. Astagiri ngeri ketika mengingatnya.
"Tadi itu Dhafin ya?" Pertanyaan Cintya membuyarkan lamunannya.
"Iya. Aku nggak sengaja nabrak dia, kurang lihat jalan," sesalnya.
"Cieee, yang tabrakan sama pujaan hati," ejek Cintya pelan yang hanya terdengar seperti bisikan.
"Apaan sih." Astagiri memukul lengan sahabatnya. "Mending temenin aku ke perpus sebelum bel masuk." Astagiri yakin wajahnya sekarang ini sudah seperti kepiting rebus karena manahan malu.
"Cieee." Cintya meneruskan ejekannya sambil mengikuti langkah sahabatnya, Astagiri tetap mengabaikannya.
***
Di dalam perpustakaan, setelah Astagiri menyelesaikan proses pengembalian buku di meja administrasi, dia langsung menuju rak buku untuk mengembalikan buku tersebut seperti semula. Dia dibantu oleh Cintya yang membawa beberapa bukunya, mengekor seperti bodyguard.
Perpustakaan itu masih cukup ramai padahal waktu istirahat hanya tinggal lima menit saja. Mereka yang berada di sana biasanya adalah siswa kutu buku yang akan menghabiskan seluruh waktunya di dalam perpustakaan. Berbeda dengan Astagiri yang lebih suka meminjam dan membacanya di rumah.
Tidak dipungkiri bahwa perpustakaan sekolah adalah tempat ternyaman di SMAN 1 Harapan Bangsa. Perpustakaan itu cukup luas dengan sekat-sekat rak buku tinggi di ujung ruangan, lima buah komputer di pojok ruangan yang diperuntukkan bagi siswa yang ingin melihat beberapa referensi tugas mereka lewat jaringan sosial.
Pada bagian tengah perpustakaan terdapat beberapa meja bundar tanpa kursi yang biasanya digunakan untuk membaca buku. Sementara di sebelah pintu masuk ada meja administrasi yang cukup besar, di sana lah segala aktifitas keluar-masuk siswa akan dicatat.
"Asta, setelah ini kamu mau lanjut kuliah nggak?" tanya Cintya yang membuat Astagiri menghentikan gerakan tangannya.
Astagiri sudah pernah mengatakan pada Cintya bahwa ia tidak akan melanjutkan pendidikannya karena ingin segera membantu kakaknya mencari uang untuk keluarganya. Sudah empat tahun Kayla bekerja di luar negeri tanpa pulang sama sekali, membuatnya merasa bersalah. Dia berpikir, jika dirinya sudah bekerja maka Kayla bisa pulang ke kampung halaman mereka.
"Nggak Cintya, kan aku udah pernah ngomong waktu itu," ucap Astagiri.
Astagiri melihat Cintya menghembuskan napas berat. "Kenapa Cin? Kamu ada masalah ya?"
"Aku nggak mau kemana-mana, Asta. Aku mau tetep di sini sama kamu." Astagiri bingung dengan apa yang dikatakan sahabatnya, tapi ia tetap mendengarkan tanpa menginterupsi Cintya. "Ayah nyuruh aku kuliah di Autralia, aku nggak mau, itu jauh banget kan Asta. Semalam orang tuaku berantem gara-gara aku."
Jadi karena inilah hembusan napas Cintya terdengar berat tadi, perempuan itu sedang menghadapi masalah keluarga. Astagiri merasa prihatin dengan sahabatnya. Cintya memang serba kecukupan, tapi ia sering kali tertekan dengan permintaan kedua orang tuanya yang tidak pernah sama. Jika ayahnya meminta A, maka ibunya akan minta B. Hal itulah yang sering membuat orang tuanya bertengkar. Kasihan Cintya.
Cintya menutup wajahnya dengan buku perpustakaan, malu karena selalu mengeluh pada Astagiri mengenai masalah pribadinya. Padahal masalahnya tidak ada apa-apanya dibanding masalah Astagiri yang orang tuanya memiliki banyak hutang, ayahnya sakit, kakaknya tidak pernah pulang, dia juga harus membantu ibunya di kebun.
Astagiri yang melihat Cintya menangis langsung memeluknya. Masalah memang selalu menghampiri setiap manusia yang bernyawa. Besar dan kecilnya permasalahan pasti akan terasa jua. Astagiri tidak mengatakan apa-apa, ia membiarkan Cintya menangis dalam dekapannya
"Mau ke belakang sekolah nggak? Atau ke rooftop?"
Cintya menjauhkan tubuhnya dari Astagiri, wajahnya sudah basah terkena air matanya sendiri. Bersyukur Cintya tidak sampai sesenggukan karena posisi mereka masih di dalam perpustakaan.
"Tapi bentar lagi bel masuk."
"Ya udah kita bolos aja, sekali-kali kan nggak pa-pa." Astagiri memainkankan matanya, padahal ia tidak pernah bolos selama ini.
"Biasanya kamu nolak kalau aku ajakin bolos," kata Cintya.
"Ya kan sekarang suasananya beda. Lagian aku malu kalau masuk kelas sama temen yang matanya merah kayak gini. Tar dikira aku ngapa-ngapain kamu lagi. Bisa dipanggil BP aku," candanya.
Cintya berpikir sejenak sebelum menerima tawaran sahabatnya. "Beneran nggak pa-pa nih."
"Apa sih yang nggak buat sahabatku," kata Astagiri dengan senyum lebar.
"Ke belakang sekolah aja yuk," kata Cintya pada akhirnya.
"Yuk!" Astagiri mengambil buku di tangan Cintya kemudian meletakkannya pada rak buku sebelum menggandeng tangan sahabatnya keluar perpustakaan.
Tanpa mereka sadari bahwa sejak tadi sepasang mata sedang mengawasi dan mendengarkan pembicaraan mereka dari sekat rak buku yang ada di belakang mereka. Dhafin berdiri di sana setelah membersihkan diri dan berganti seragam sekolahnya, ia berencana meminjam buku perpustakaan untuk materi tugasnya. Dia tidak sengaja mendengar pembicaraan kedua sahabat tersebut.
Dhafin tersenyum melihat bagaimana simpatinya Astagiri pada sahabatnya, perempuan itu memang selalu mengesankan di matanya. Dia bisa bersikap sangat dingin pada orang lain dan bersikap lembut pada orang terdekatnya. Jujur saja, Dhafin memang kagum pada Astagiri karena kepribadiannya. Perlu digaris bawahi, hanya kagum karena ia telah memiliki Nanda yang begitu mencintainya.
Dhafin mulai berpacaran dengan Nanda saat ia duduk di kelas sebelas, setelah ulangan kenaikan kelas. Berarti jika dihitung, ia sudah berpacaran selama tujuh bulan dengan perempuan itu. Dhafin sedikit terkejut dengan sifat Nanda yang jauh berbeda saat mereka menjalin hubungan. Nanda sering kali marah karena cemburu dengan teman perempuannya di kelas, padahal Dhafin tidak melakukan apa-apa. Nanda juga manja dan tidak bisa dibantah, tapi dia masih bisa mengatasinya selama ini. Hubungan mereka juga berjalan baik, Nanda sering menemaninya latihan basket.