Astagiri dan Cintya hanya membolos satu jam pelajaran. Setelah tangis Cintya mereda mereka segera kembali ke dalam kelas karena tidak ingin ketinggalan pelajaran di detik-detik mendekati Ujian Nasional. Apalagi Cintya harus lebih giat belajar untuk mendapat nilai terbaik, dia harus mendaftar kuliah di Australia seperti keinginan ayahnya.
Astagiri banyak memberi motivasi pada sahabatnya dan berjanji akan membantu Cintya belajar. Tadi Cintya sempat tidak percaya diri, namun Astagiri segera menasehatinya. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini jika kita mau berusaha. Usaha tidak akan menghianati hasil, meskipun kita harus mendapatkannya dengan rasa kecewa, sedih dan tangis. Tapi, suatu saat nanti kita pun akan sampai pada titik itu juga.
Kini mereka sedang mendengarkan materi bahasa jerman yang terbilang sulit, bahkan untuk Astagiri sekalipun. Bersyukur guru bahasa Jerman tersebut tidak pelit nilai, sehingga Astagiri masih bisa mendapat nilai di atas rata-rata meskipun otaknya pas-pasan.
Begitu bel pulang berbunyi mereka segera menutup pembelajaran hari ini, sebagian dari siswa langsung bersorak karena terbebas dari pelajaran yang terbilang sulit dalam jurusan bahasa.
"Asta, aku duluan ya soalnya ayahku yang jemput. Pasti ayah marah-marah kalau aku lama," pamit Cintya.
"Iya. Hati-hati ya," kata Astagiri.
Astagiri memasukkan bukunya ke dalam tas juga memeriksa kolong mejanya, siapa tahu ada barangnya yang tertinggal di sana. Setelah dirasa semua masuk baru dia berjalan keluar kelas. Dia memang lebih suka pulang di akhir-akhir, terlalu banyak siswa di koridor di jam-jam pulang sekolah seperti ini. Astigiri kurang nyaman jika berjubel sendiri di tengah keramaian, beda hal jika ia sedang bersama Cintya.
Di area parkiran masih ada beberapa siswa yang berbincang dengan temannya, tapi Astagiri sama sekali tidak mengenali mereka. Jelas, siapa yang bisa mengenal siswa yang jumlahnya bisa menjapai ribuan itu jika mereka bukan teman satu kelas atau orang yang pernah mengikuti kegiatan bersama.
Astagiri menaiki motornya, memakai helm dan menghidupkan motor. Ketika Astagiri menghidupkan stater motornya entah kenapa motor tersebut tidak mau hidup. Dia turun dari motor untuk melihat bensinnya, khawatir ia lupa mengisi besin. Namun, kondisi besinnya masih penuh. Astagiri mencoba keberuntungannya sekali lagi, berulang kali, hingga akhirnya dia menyerah.
Astagiri mencoba untuk dongkrak dua meskipun butuh perjuangan, dia coba stater kaki, tapi tetap tidak bisa. Atau mungkin memang tenaganya yang tidak sekuat itu untuk melakukan stater kaki. Pasrah, Astagiri menuntun motornya menuju jalan raya. Siapa tahu dia menemukan bengkel di dekat sekolahnya. Tiba-tiba_
"Asta, kenapa motornya?" Dhafin yang sedang mengendarai motornya melihat seorang perempuan menuntun motor seorang diri, ia berinisiatif menghampiri perempuan tersebut. Dan dia mendapati Astagiri sedang mendorong motor yang beratnya bahkan melebih berat badan perempuan itu.
"Oh, ini nggak bisa distater," jawab Astagiri kemudian menghentikan langkahnya.
"Udah coba stater kaki?" saran Dhafin.
"Udah, tapi tetep nggak bisa. Nggak tahu sih, kayaknya aku yang nggak bisa stater kaki," jujurnya.
"Sini coba aku bantu." Dhafin turun dari motornya kemudian menghampiri Astagiri. Dia coba melakukan stater kaki seperti yang dilakukan Astagiri sebelumnya. Berulang kali dia coba, namun tetap tidak berhasil.
"Asta, coba kamu tarik gasnya sementara aku yang stater kaki," perintah Dhafin.
Astagiri mengikuti perintah pria itu, ia menarik gas saat Dhafin melakukan stater kaki.
"Alhamdulillah," kata Astagiri begitu motornya mau hidup. "Makasih ya Dhaf," ucapnya tulus.
"Kamu pakek motorku aja, aku pakek motormu. Khawatir mati lagi," perintah Dhafin yang langsung menaiki motor Astagiri.
"Ih, nggak usah Dhaf. Nggak pa-pa kok aku bisa sendiri," jawabnya cepat, dia tidak ingin merepotkan Dhafin.
"Bisa sendiri gimana, buktinya tadi dorong motor sendirian," kata Dhafin tidak ingin dibantah. "Udah nggak pa-pa, kita coba cari bengkel di depan sana. Aku nggak mungkin tega ninggalain cewek sendirian dengan motor bermasalah kayak gini."
Astagiri menggigit bibirnya_bingung. Apa tidak masalah jika dia menerima bantuan Dhafin? Karena jika ada yang melihat mereka berdua dan melaporkannya pada Nanda, maka sama saja dia membuat masalah baru dengan perempuan itu. Astagiri memang tidak mengenal Nanda karena mereka berbeda jurusan. Nanda anak IPS sementara dia anak Bahasa. Tapi, Astagiri mendengar rumor bahwa gadis itu memiliki kecemburuan level dewa jika mengenai kekasihnya.
Nanda juga berasal dari keluarga berada yang bisa melakukan apapun jika ada yang mengganggunya. Rumor itu sudah menyebar ke seluruh antero sekolah, bahkan ke telinga Astagiri. Nanda bahkan pernah melakukan pembullyan saat mendapati temannya yang diam-diam memberikan coklat pada Dhafin, meskipun wanita itu sudah mendapat skorsing atas tindakannya.
"Udah, nggak pa-pa Asta. Ini keburu malem lho."
Astagiri menghirup udara kemudian menghembuskannya cepat sebelum menerima tawaran Dhafin. Dia tidak punya pilihan karena sepertinya pria itu juga tidak mau turun dari motornya yang tetap menyala. Astagiri menaiki motor Dhafin kemudian mengikuti pria itu dari belakang sambil berdoa, semoga tidak ada teman sekolahnya yang melihat mereka pulang bersama.
***
Ternyata untuk memperbaiki motor Astagiri membutuhkan waktu yang cukup lama, dia tidak mungkin menunggu motornya selesai karena akan sampai malam. Dhafin yang memang sudah mengenal bengkel tersebut menyarankan untuk meninggalkan motornya di sana, sementara dia akan mengantar Astagiri ke rumahnya. Lagipula, rumahnya juga melewati rumah Astagiri. Hanya berjarak satu desa dengan desa Astagiri.
"Nggak pa-pa Asta bareng aku aja."
Lagi-lagi Astagiri harus berpikir dua kali. Masalahnya, jika dia pulang bersama Dhafin artinya besok dia harus menunggu angkot di pagi buta karena sekarang ini angkutan umum sudah jarang sekali beroperasi. Maklum, sudah banyak yang memiliki kendaraan pribadi.
Tapi, jika Astagiri memaksa menunggu motornya selesai, dia tidak akan berani pulang sendiri di malam hari karena dia harus melewati jalanan yang cukup membahayakan bagi seorang gadis sepertinya. Astagiri yakin Dhafin pun akan menunggunya jika dia memilih menunggu motornya selesai, tapi dia tidak ingin merepotkan Dhafin lagi.
"Tenang aja, besok pagi aku jemput kalau nggak mau naik angkot. Lagian kan aku ngelewatin rumah kamu," tutur Dhafin.
"Hah? Oh, nggak gitu maksudku." Astagiri gelagapan, bagaimana Dhafin bisa membaca pikirannya.
"Gitu juga nggak pa-pa kok Asta." Dhafin hanya tersenyum menanggapi ucapan Astagiri. Memang terlihat sekali dia grogi.
Tunggu dulu! Bukankah itu jahat? Dia sudah memiliki Nanda, tapi masih saja menggoda Astagiri. Terlepas dari apapun motifnya. Bagaimana jika Astagiri baper dengan godaannya? Akan bahaya kan.
"Ayo!" Dhafin menghidupkan motornya kemudian menunggu Astagiri naik.
"Makasih ya Dhaf."
"Makasihnya nanti aja Asta, kalau udah sampek rumah," kata Dhafin sebelum menjalankan motornya. "Kamu bisa pegangan jaketku Asta!" perintahnya.
"Iya." Astagiri memang tidak mungkin memeluk Dhafin. Selain mereka tidak memiliki hubungan juga tidak baik jika dia memeluk Dhafin yang belum halal baginya, berboncengan seperti ini saja sudah salah.
Astaga, kenapa Astagiri berpikir belum halal, memangnya mereka akan menikah? Tentu saja tidak. Ralat. Dhafin tidak halal baginya. Tunggu dulu! Kenapa kalimat itu terdengar kurang enak di telinga? Ah, sudahlah.