"Asta, nanti pulang sekolah bantu emak cari kayu bakar di hutan ya!" perintah seorang wanita paruh baya dengan wajah yang sudah keriput dibeberapa bagian.
"Iya, Mak," jawab Astagiri sambil memasukkan buku sekolahnya.
Bahkan gadis berkerudung dengan tinggi sekitar 152 cm itu belum berangkat sekolah, namun pekerjaan sudah lebih dulu menantinya, seolah tiada hari esok saja. Astagiri Dwi Ningrum, nama yang keindahannya laksana senja yang sering dia lihat dari belakang rumahnya itu ternyata tidak memiliki kehidupan indah. Di usianya yang masih tergolong belia, ia harus banting tulang untuk membantu orang tuanya.
Ketidakberdayaan ekonomi keluarga terpaksa harus membuatnya menahan diri atas segala keinginannya. Meskipun Kayla, kakaknya yang bekerja menjadi TKW di Negeri Jiran itu selalu mengiriminya uang. Namun, uang itu hanya cukup untuk biaya sekolah juga berobat ayahnya yang menderita penyakit liver dan jantung.
Meskipun begitu Astagiri tidak pernah mengeluh, ia hanya memiliki satu cita-cita, yaitu menyelesaikan pendidikan SMA yang sekarang dia tempuh setelah itu keluar kota untuk bekerja sebagai pegawai pabrik seperti teman-temannya yang sudah lebih dulu berada di sana.
Jika kata orang masa SMA adalah masa indah bagi anak remaja, sepertinya teori itu tidak berlaku baginya. Astagiri tetaplah Astagiri, yang tampil sederhana dengan balutan jilbab, gadis polos yang tidak pernah mengenal cinta. Bagaimana bisa ia memiliki waktu untuk cinta, jika makan sehari-hari saja sudah susah.
"Mak, aku berangkat ya." Astagiri berpamitan dengan Arum, ibunya, dengan cara mencium tangannya.
"Hati-hati," kata Arum sambil mengusap rambut sang anak yang berbalut jilbab.
Astagiri mengendarai motor Vario pemberian kakaknya, motor itu sengaja Kayla belikan untuk transportasi sekolah adiknya setiap hari. Setidaknya motor itu bisa mengurangi uang sakunya yang harus habis jika ia pulang-pergi dengan angkutan umun.
Sesampainya Astagiri di sekolah, dia segera memarkirkan motornya di parkiran sekolah karena sebentar lagi bel akan berbunyi. Ia tentu tidak ingin namanya tercatat dalam buku keterlambatan.
"Asta, tunggu!"
Astagiri berhenti untuk menunggu satu-satunya sahabatnya di bangku SMA tersebut. Cintya berlari menghampiri Astagiri yang berdiri di dekat trali, kemudian menggandeng tangannya menuju ruang kelas. Jika Astagiri berasal dari keluarga kurang mampu, beda hal dengan Cintya yang selalu berkecukupan. Bahkan, keluarganya memiliki mobil Alphard yang harganya mencapai ratusan juta, yang membuat Astagiri hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Eh, kamu udah tahu kalau nilai ulangan Riko lebih tinggi daripada kamu?" tanya Cintya saat mereka berjalan menuju ruang kelas.
"Iya," jawab Astagiri, sedikit kecewa dengan kemampuannya yang menurun akhir-akhir ini.
"Sabar, nilai kamu pasti bisa lebih tinggi di ulangan berikutnya. Lagipula ini hanya ulangan harian."
"Tetep aja, kita udah kelas 12. Aku harus ngejer nilaiku supaya bisa lulus dengan nilai yang bagus. Aku nggak mau ngecewain kakakku," jawab Astagiri sungguh-sungguh.
Kelas 12-3 Bahasa sudah penuh dengan siswa-siswi di dalam kelas, meskipun bel sekolah belum berbunyi. Tentu saja mereka tidak duduk manis di bangku masing-masing, ada yang sedang merumpi di bangku belakang, melempar kertas kesana-sini, juga sekretaris yang sedang mengabsen kehadiran.
"Aww." Astagiri merintih kesakitan ketika salah satu dari kepalan kertas itu melayang mengenai pipinya.
"Nah, Riko itu Riko," teriak salah satu teman kelasnya.
Riko yang meresa bersalah karena lemparan kertasnya mengenai Astagiri segera berlari menghampirinya.
"Sorry ya, aku nggak sengaja."
Sayangnya Astagiri bukan gadis pendiam yang akan dengan mudah memaafkan orang, dia terkenal dengan sifatnya yang cuek dan garang. Astagiri menatap nyalang pada Riko yang berada di sampingnya.
"Makanya kalau mau lempar itu lihat-lihat, ada orang apa nggak. Lagian udah SMA masih aja kayak anak kecil," ketus Astagiri menjawab permintaan maaf Riko.
"Haduh, nyesel aku minta maaf," keluh Riko yang bisa jelas didengar olehnya.
"Nggak usah minta maaf kalau nyesel," kata Astagiri sebelum meninggalkan Riko di tempatnya. Sementara Cintya hanya diam saja dan mengikuti langkah sahabatnya. Dia sudah tahu bagaimana temperamennya Astagiri, terlebih jika dia merasa terganggu.
"Pipimu merah," kata Cintya begitu mereka duduk di bangkunya.
"Banget ya? Sakit tahu." Astagiri mengusap-usap pipinya yang terasa panas.
Cintya mengangguk untuk menjawab pertanyaan sahabatnya. Tidak berselang lama tiba-tiba satu botol aqua dingin mendarat tepat di atas mejanya. Astagiri mendongak untuk mengetahui siapa yang memberinya air tersebut. Lagi-lagi wajah Riko yang dia lihat.
"Kompres pipimu dengan ini," ucap Riko yang langsung meninggalkan mejanya sebelum sempat ia jawab.
"Makasih." Astagiri tetap mengatakannya meskipun Riko sudah pergi dan mungkin saja tidak mendengar ucapannya.
"Riko itu baik lho. Ya, setidaknya bertanggung jawab," bisik Cintya yang langsung mendapat tatapan tajam dari Astagiri. Dia tahu apa maksud perkataan sahabatnya.
Astagiri pernah mendengar rumor bahwa Riko menyukainya, tapi tidak berani mengungkapkan padanya karena sifat garang yang dia miliki. Tentu saja dia tidak serta merta percaya pada rumor tersebut, mengingat status sosial mereka yang sangat berbeda, pria itu tidak mungkin menaruh hati padanya. Lagipula, tidak ada faedahnya percaya pada rumor.
"Udah baik, ganteng, pinter lagi. Nggak aneh-aneh," tambah Cintya.
"Bisa diem nggak! Nggak aku kasih contekan nih."
Mendengar ancaman yang diberikan sahabatnya, Cintya langsung mengatupkan bibir dengan gerakan mengunci. Tidak mungkin dia berani jika Astagiri sudah mengancamnya seperti itu, apalagi hari ini akan ada ulangan matematika. Bidang studi yang bisa membuat bulu kuduknya berdiri tegak.
***
Duduk di pinggir lapangan basket, dibawah rindangnya pohon, menjadi tempat favorit bagi Astagiri dan Cintya. Terkadang mereka akan memakan bekal yang mereka bawa dari rumah atau hanya sekedar ngobrol ringan. Atau mungkin, mencuri pandang pada salah satu pemain basket yang bisa sedikit menarik perhatian Astagiri. Tidak! Dia bukan seorang captain basket, ketua OSIS, atau cowok populer di sekolahnya. Hanya anggota dari tim basket yang sering kali mengikuti Olimpiade Bahasa Inggris seperti dirinya. Muhammad Dhafin Prasetyo.
Padahal, siswa kelas 12-1 Bahasa itu sudah memiliki kekasih hati. Entah kenapa Astagiri bisa menyukainya. Astagiri mulai tertarik pada Dhafin ketika ia duduk di kelas sebelas, saat itu dia melihat sendiri bagaimana usaha Dhafin untuk meraih beasiswa di sekolah mereka. Dan baru dia ketahui bahwa Dhafin juga berasal dari keluarga biasa-biasa saja, pria itu juga tidak banyak gaya seperti temannya yang lain. Hal itulah yang membuatnya kagum.
"Asta." Tiba-tiba Riko berdiri di samping Astagiri yang sedang duduk sendiri memperhatikan tim basket yang sedang berlatih. "Aku minta maaf soal tadi, aku bener-bener nggak sengaja."
"Iya, nggak pa-pa."
"Dimana Cintya?" tanya Riko yang hanya melihat Astagiri sendirian tanpa Cintya di sampingnya. Karena biasanya, mereka sudah seperti perangko dan amplop surat yang tidak terpisahkan.
"Lagi beli makanan di kantin," jawab Astagiri.
"Aku duduk sini ya?"
"Silahkan, ini juga tempat umum."
Astagiri bukan gadis pemalu, menutup diri pada lingkungan sosial, dia bisa bersosialisasi dengan baik. Buktinya dia bisa memiliki teman dari berbagai macam jurusan. Dan terlebih, banyak juga yang mengenalinya. Hanya saja Astagiri memang terkenal cuek dan tidak peduli. Dia tidak bisa terlalu dekat dengan orang lain yang belum mengenal wataknya, khawatir mereka akan tersinggung mendengar nada bicaranya. Karena itu Astagiri hanya dekat dengan Cintya yang memang sudah tahu bagaimana dirinya.
Astagiri melihat Riko yang sedang melambaikan tangan dengan tatapan mata ke lapangan basket. Ia menoleh untuk melihat siapa yang sedang pria itu sapa. Ah, ternyata Dhafin. Dia tidak tahu bahwa Riko dan Dhafin saling kenal karena ia tidak pernah melihat keduanya dekat atau mengobrol selama di sekolah.
Dhafin yang sepertinya telah menyelesaikan latihan basketnya berjalan menghampiri mereka, membuat jantung Astagiri berdetak cepat karena mereka tidak pernah bertegur sapa setelah Olimpiade Bahasa Inggris enam bulan yang lalu. Tidak ada alasan bagi Astagiri untuk menegur Dhafin, begitu pun sebaliknya. Terlebih, Dhafin sudah memiliki pacar yang selalu menempel padanya. Tentu Astagiri tidak ingin mendapat julukan perusak hubungan orang. Hidupnya sudah susah, dia tidak ingin mempersulitnya.
Begitu langkah Dhafin mulai mendekat pada mereka, Astagiri bisa melihat peluh keringat di kaos pria itu juga di wajah tampannya_ menurut Astagiri. Ya, seperti yang kita tahu, cantik dan tampan itu relatif. Padahal sebenarnya, jika diperhatikan antara Riko dan Dhafin. Riko memiliki kulit lebih putih dari Dhafin, Riko juga memiliki lesung pipi yang menambah kesan manis pria itu. Sementara Dhafin, dia memiliki kulit sawo matang dengan wajah tegas dan mata yang terbilang tajam. Seolah mata itu bisa membunuh gadis-gadis di sekolahnya hanya dengan melihat tatapan pria itu.
"Hai bro, giat banget latihan. Mau tanding lagi ya?" tanya Riko begitu Dhafin duduk di depannya.
"Iya. Lawan SMAN 2," jawab Dhafin. Matanya tertuju pada Astagiri yang sedang menekuni buku bacaan, seolah mengabaikan keberadaannya.
"Asta, kok tumben sendirian, biasanya sama Cintya?" tanya Dhafin pada Astagiri.
"Hah?" Copot sudah jantung Astagiri dari tempatnya. Dia terkejut begitu Dhafin bertanya padanya.
Kalimat "biasanya" yang barusan diucapkan Dhafin menandakan bahwa pria itu memperhatikannya selama ini. Padahal dia kira Dhafin tidak peduli padanya karena pria itu tidak pernah menyapanya meskipun mereka sedang berpapasan. Astagiri juga melihat Dhafin yang hanya memperhatikan Nanda, pacar pria itu.
"Kemana Cintya? Biasanya kalian berdua duduk di sini."
"Oh, dia lagi belanja di kantin. Bentar lagi juga dateng." Astagiri menutup buku bacaannya. "Kalau gitu aku permisi dulu deh, mau nyusul Cintya."
"Loh kenapa? Tunggu sini aja! Katanya bentar lagi dateng," tahan Dhafin.
"Iya. Emmm. Biasanya anak itu lelet kalau nggak disusul. Aku duluan ya," pamitnya pada Riko dan Dhafin yang hanya bisa melihat punggungnya karena dia segera pergi setelah berpamitan pada mereka.