Loading...
Logo TinLit
Read Story - Susahnya Jadi Badboy Tanggung
MENU
About Us  

Setiap perbuatan pasti ada sebab akibat.
Salah sedikit, akan menghapus semua benar.
Meski benarmu segunung, salahmu setitik.
Rusaklah semua benarmu.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚

 

Dama terbangun dengan perasaan sedikit tak enak. Ia memikirkan mimpi semalam, yang diingatnya adalah perdebatan kedua orang tuanya. Di alam bawah sadarnya ternyata perdebatan nyata itu masuk dan mempengaruhi mimpinya.

Si bungsu merasa ada yang aneh. Ia berpikir itu hanya mimpi saja, tetapi saat mengendus bau tubuhnya, ia mencium bau minyak kayu putih yang kuat. Begitu juga dengan keberadaan segelas air di samping tempat tidurnya.

Bisa jadi apa yang di mimpi semalam itu sebenarnya adalah nyata. Sayangnya aku nggak sadar. Itu ngapain juga Bapak sama Ibu berdebat malah di sini, batin Dama.

Lelaki pemilik mata sipit itu akhirnya berhenti bertanya-tanya karena tidak ingin terlambat lebih lama lagi untuk salat subuh. Begitu selesai, ia langsung mempersiapkan diri untuk ke sekolah.

"Dam, hari ini ke sekolahnya sama Bapak. Kakak ada acara MGMP guru di SMA Bina Bangsa."

"I-iya, Kak."

Suara gugup Dama terdengar oleh Satya. Ia kembali lagi ke kamar sang adik dan masuk tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu. Satya langsung duduk di kasur sambil mengamati si bungsu yang mondar-mandir mengambil dan memasukkan barang ke dalam tasnya.

"Nanti kalau ditanya jawab saja kamu ke mana saja. Kalau Bapak kayaknya nggak akan tanya-tanya lagi. Kakak sudah jelaskan semuanya."

"Semobil sama Bapak, selama setengah jam lebih. Aku harus gimana?"

"Duduk, diam, napas. Udah gitu aja dah cukup."

Dama menatap tajam sang kakak yang sedang bercanda mode on, sementara dirinya sedang tidak berniat untuk bercanda. Beginilah biasanya yang terjadi, saat saling bertengkar, tidak ada yang bertegur sapa. Namun, saat semua sudah terasa biasa, maka bercanda adalah jalan ninja untuk mengembalikan suasana.

"Nggak gitunya, Kak. Aku canggung kalau sama Bapak. Apalagi ini dalam rangka memenuhi panggilan sidang. Kenapa nggak Kakak yang mewakili."

"Sudah dibilang nggak bisa. Itu sudah final dari bagian kesiswaan. Nggak bisa dan nggak boleh diwakili."

"Hmm ..."

"Selamat berjuang. Makanya nggak usah sok jadi anak nakal."

Sekali lagi, tatapan tajam Satya dapatkan dari adik bungsunya itu. Bukannya marah, ia malah tertawa dan meninggalkan kamar si bungsu. Sepeninggal sang kakak, Dama menarik napas dan mengembuskannya, hal ini terjadi berkali-kali, tetapi rasa gugupnya tidak juga hilang.

Sarapan sudah selesai, Pak Renan juga tidak mengeluarkan sepatah kata apapun. Baru saat sampai di teras, si kepala keluarga meminta Dama untuk membawa jaket sebelum naik mobil.

Mau tak mau Dama berlari lagi ke kamar dan memenuhi perintah bapaknya. Begitu didapat, si bungsu langsung menuju pintu sisi penumpang sebelah sopir.

"Pakai jaketnya! Bapak mau nyalakan AC mobil. Nanti batukmu nggak sembuh-sembuh."

"I-iya, Pak."

"Sudah berapa kali dibilang, kalau naik motor pakai jaket. Kamu memang suka dingin, tapi kalau sudah kedinginan, ya begitu itu."

Dama tidak ingin memperpanjang percakapan canggung itu lagi. Di satu sisi ia merasa masih mendapat perhatina, sementara sisi satunya ia merasa bersalah karena kebersamaan kali ini justru dipicu oleh kesalahannya sendiri.

Setelah beberapa menit berlalu, suasana hening masih menyelimuti perjalanan keduanya. Bahkan sampai pintu gerbang SMA Patriot Pancasila terlihat, keduanya tidak bersuara.

Pak Renan langsung disambut oleh satpam dan diantarkan ke ruang BK untuk bertemu guru BK dan bagian kesiswaan. Sementara Dama hanya mengekor di belakang bapaknya.

Bel sudah berbunyi begitu Dama sampai di ruangan yang dituju. Jantungnya berdegup kencang sampai dia sendiri kesusahan untuk menentukan bagaimana seharusnya jantung berdetak.

Ia mengamati beberapa siswa yang berlarian di lorong berlomba dengan guru yang sudah susul-menyusul keluar kantor untuk menjalankan tugas mengajarnya.

"Dam, masuk sini, Nak!" panggil guru BK.

Perlahan Dama masuk dan duduk di sebelah bapaknya. Tangannya saling bertaut, pandangannya tertunduk. Selama ia sekolah, baru kali ini Dama terjebak dalam dinginnya ruang BK bersama orang tua pula.

"Begini Pak Renan. Untuk di kelas, Dama termasuk anak yang penurut. Hanya saja saya mendapat laporan dari beberapa guru bahwa saat jam pelajaran Dama ini tiba-tiba menghilang."

Guru BK menjelaskan kapan dan jam berapa saja Dama menghilang. Semuanya masuk akal, karena Dama pergi meninggalkan kelas saat pergantian jam, jam istirahat pertama, atau jam istirahat kedua. Tentunya saat pengawasan dari guru sedikit longgar.

Bagaimanapun, maling tentu lebih pandai dari pemilik tempat. Selalu ada cara untuk membaca situasi dan menganalisa bagaimana cara yang tepat untuk menghindar dari pengawasan. Begitu juga Dama, dari si cupu yang biasa saja menjelma menjadi seorang yang mahir dalam meloloskan diri untuk kabur.

"Saya sebagai orang tua meminta maaf atas pelanggaran yang anak saya lakukan. Saya harap sekolah bisa memberikan sanksi yang sesuai. Saya serahkan semuanya pada pihak sekolah."

"Iya, Pak. Dan satu lagi, saya kenal dengan Asa, saya juga kenal dengan Satya apalagi sama Dama. Mereka memang berbeda. Setiap anak itu berbeda, Pak. Jadi saya mohon pengertiannya untuk tidak menyamakan mereka. Saya tahu, posisi Dama ini sangat tidak enak."

"Terima kasih atas pengertiannya. Saya masih mengharapkan bimbingan dari pihak sekolah untuk putra saya."

"Kami juga berterima kasih atas perhatian dan kerjasamanya."

Pak Renan pamit undur diri, sementara Dama sudah diizinkan untuk kembali ke kelasnya. Beberapa yang melihat kedatangan Dama langsung menyerbunya dengan berbagai pertanyaan. Seperti biasanya ia hanya berkelit dan tidak berkomentar apa-apa.

🍁🍁🍁

Selama beberapa Minggu, Dama benar-benar menjadi anak penurut. Ia sudah tidak lagi kabur di jam pelajaran, tetapi terlambat masuk masih sering ia lakukan. Satu kebiasaan barunya, saat istirahat ia akan mengunjungi warung Mang Rizal, dan itu alasan keterlambatannya.

Lain lagi dengan kisah pertemanannya dengan Rico dan teman mainnya di kampung kumuh. Ia masih berteman baik dan saling bertukar kabar. Kadang juga Dama menyisihkan uangnya untuk dititipkan kepada anak-anak di sana.

Sejak pemanggilan orang tua itu, Dama lebih menjaga sikapnya. Terlebih lagi guru-guru sudah mulai jarang membahas keluarganya. Mungkin ini berkat bantuan dari Guru BK yang pernah menanyainya bermacam pertanyaan.

"Guys, hari ini kita pulang lebih awal, guru-guru mau ada kegiatan Bimtek bersama di kantor Cabang Dinas Kota," Suara ketua kelas memberikan info terbaik dan yang paling dinantikan.

Respon terbaik yang disampaikan oleh penerima pesan adalah gemuruh dan bersorak dengan kelas. Tidak hanya di kelas Dama, kelas-kelas lain pun seperti itu. Mereka sangat bahagia mendapat jatah pulang lebih awal.

Berikutnya, sebuah pengumuman mulai terdengar seantero sekolah. Disusul dengan bunyi bel yang menandakan sekolah usai.

Siswa berdesakan menuju aren parkir, mereka harus bersabar untuk mencapai tempat parkir sepeda masing-masing. Dama yang mendapat izin sang kakak untuk pulang naik bus justru memilih berjalan menuju warung Mbak Yam.

"Dam, mau ikut?" Rico yang berdiri di depan pintu warung langsung menawari Dama untuk bergabung.

"Ke mana?"

"Ke kampung yang waktu itu. Anak-anak pada nanyain kamu!"

"Iya, Dam. Nih kita udah patungan buat beli buah, permen, sama camilan untuk mereka." Irza menunjukkan beberapa lembar uang yang terkumpul pada Dama.

"Oke, aku ikut! Kebetulan aku ada helm, nih."

Kalau sebelumnya hanya ada lima motor, kini sudah tersedia kurang lebih delapan motor. Segerombolan anak lelaki itu sudah persis seperti pawai ketika merayakan kemenangan. Canda tawanya memenuhi jalan seolah itu jalan pribadi.

Mereka menuju ke salah satu swalayan untuk berbelanja oleh-oleh yang akan diberikan pada anak-anak. Setelah selesai, barulah perjalanan berlanjut.

Gang sudah ada di depan mata. Beberapa anak yang mengenali mereka akhirnya bersorak bahagia melihat kedatangan rombongan ini.

"Kakak-kakak sudah datang, yeay!"

Lahan kosong tetap menjadi sasaran utama. Anak-anak kecil duduk melingkar sementara siswa SMA Patriot Pancasila memilih membagi rata makanan yang ada, dan kemudian duduk berteduh di bawah pohon.

"Mainnya nanti sore saja, sekarang kita cerita-cerita sambil neduh. Biar apa?"

"Biar nggak gosong kultnya, Kak!" sahut mereka serempak.

Rupanya, orang tua dari anak-anak itu menitipkan salam dan ucapan terima kasih pada Rico dan teman-temannya yang sudah meluangkan waktu. Hal ini disampaikan oleh setiap anak. Betapa bahagianya orang tua mereka melihat masih ada sekelompok pemuda yang peduli pada kedamaian.

"Kak, mereka nggak tahu kalau kita juga jago tawuran?" tanya Dama.

"Ya, mana tahu? Kalaupun tahu, habislah kita." Rico menimpali dengan sedikit berbisik.

Saat matahari sudah mulai turun, dan anak-anak juga sudah mulai kembali ke rumah masing-masing, kelompok ini membubarkan diri. Sebagian saja yang pulang, sedangkan sisanya memilih untuk pulang bersama karena jalurnya juga berada di jalur yang sama.

Entah sebuah kesialan atau bagaimana, begitu keluarg gang dari tempat kampung kumuh, mereka dihadapkan dengan situasi yang memanas. Ada dua kelompok pendukung bola yang saling berhadapan.

Dari sisi kiri dominan warna hijau, dan sebelah kanan dominan berwarna biru. Bak ring tinju raksasa, suasana berubah menjadi kacau. Rico, Dama, dan beberapa temannya bukan memihak salah satu dari mereka, melainkan fokus pada warga, pelajar, dan beberapa pejalan kaki yang terjebak di tengah gejolak yang memanas ini.

Dama melihat seorang pelajar berbaju putih biru tengah berjongkok berusaha menghindari orang-orang yang membawa balok kayu dan rantai motor. Ini sudah mirip kejadian di depan sekolahnya beberapa waktu lalu.

"Dam, bisa bawa tu anak ke sini? Aku mau bantu ibu yang itu."

"Siap, Kak. Aku coba sebisaku. Semoga sukses."

Dama langsung berlari menuju pada orang yang ditunjuk Rico. Ia mendekati gadis itu tepat saat seseorang hendak mengayunkan balok kayu. Dama langsung merengkuhnya dan menjadikan tubuhnya sebagai tameng.

Tak pelak, kepalanya yang menjadi sasaran pukul. Tidak terlalu keras, tetapi menyebabkan denyutan dan meninggalkan benjol di kepala bagian belakangnya. Pandangannya seketika berkunang-kunang.

"Dam, Oke?" Rico mendekatinya dan merengkuh si gadis berseragam SMP dan Dama sekaligus.

"Oke, Kak. Cuma agak pening."

"Ayah, pulang! Mau pulang, aku nggak mau di sini!"

Sosok gadis kecil itu tampak ketakutan. Ia masih menundukkan kepala dan menutup telinganya.

Dama berusaha berdiri, tetapi dikagetkan dengan datangnya gerobak es milik warga yang mengarah kepadanya. Para perusuh itu mendorongnya dengan asal-asalan. Ia tak dapat mengelak, sehingga gerobak itu menabrak bagian depan tubuh dengan gagang dorongan menyenggol dadanya.

"Dama!" teriak Rico. "Woi, bantuin singkirin ini dulu," perintahnya pada sebagian teman yang sudah kembali dan menyelamatkan beberapa orang.

Perlahan, kerumunan kerusuhan itu akhirnya tertangani berkat kehadiran sekompi polisi. Mereka fokus menggiring orang-orang yang mengenakan seragam pendukung bola.

Situasi kembali terkendali, meski beberapa kerugian sudah pasti ada, Setidaknya tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu. Beberapa kios dan lapak penjual yang ditinggal pemiliknya juga terlihat berantakan.

Dama tampak kesakitan karena benturan di dadanya, ia hanya merintih kecil dan mengusap peluh yang menetes di dahinya. Sesekali ia mencuri pandang pada gadis yang terus menundukkan kepalanya.

"Dek, rumahnya di mana? Mau kita antar?"

Gadis berambut hitam pekat itu akhirnya mengangkat kepalanya. Ia menatap Dama dengan saksama. Sampai akhirnya ia menyadari seseorang dihadapannya itu adalah orang yang ia kenal.

"Mas Dama ..., Tasya mau pulang. Mau ketemu Ayah!" Si gadis itu memeluk Dama dengan erat dan membuatnya meringis merasakan bekas benturan di dadanya berdenyut.

"Iya, pulang sama Mas Dama, ya?" ucap Dama sambil mengelus rambut hitam milik Tasya.

"Dam, kita anter bareng-bareng. Kondisimu nggak memungkinkan nganter dia balik."

"Santuy, Kak. Aku kenal sama ayahnya. Anterin sampai terminal saja. Kalau diantar rame-rame nanti malah bikin keluarganya cemas."

"Ta-tapi kamu sendiri kan ..."

"Nggak apa-apa, aman, Kak."

Sesuai kesepakatan, Rico memenuhi permintaan Dama dan mengantarkannya ke terminal. Tidak perlu menunggu lama akhirnya bus yang ditunggu datang juga. Dama menggenggam tangan Tasya dan menariknya untuk naik ke bus.

Dama melambaikan tangan dan mengucap terima kasih pada Rico juga teman-teman yang lainnya.

"Sya, Mas Dama tidur sebentar, ya. Ini untuk ongkosnya, ntar kalau mau sampai bangunin, ya."

Dama menyentuh kepalanya yang benjol dan beralih meraba dadanya yang terasa panas dan nyeri. Kedua luka itu sama-sama menyakitkan. Saat terbatuk juga menimbulkan tarikan napas yang menyiksa.

Si bungsu rupanya tidak bisa tidur seperti yang ia inginkan. Perutnya justru mual. Ia membuka mata dan merasakan tubuhnya sudah basah kuyup karena keringat.

"Sya, bisa minta tolong ambilkan kantong kresek?"

"Mas Dama mabuk kendaraan?"

Hanya sebuah anggukan yang menjawab pertanyaan Tasya. Si gadis bergegas mengambilkan kantong kresek dan menyodorkannya pada Dama. Begitu sudah di tangan, Dama langsung mengeluarkan isi perutnya. Sayangnya hanya cairan saja yang sanggup ia keluarkan.

"Mas, sudah mau sampai."

Dama berteriak dan meminta sopir untuk berhenti di pertigaan jalan ke rumahnya. Tasya, gadis berambut hitam legam itu adalah sosok yang Dama kenal. Ayahnya adalah kerabat keluarganya. Kerabat yang sering memberikan komentar pedas, nyinyir, dan kadang tidak berperasaan.

Tasnya merupakan putri sulung dari Om Tito. Lelaki yang terlalu banyak bicara ketika bertemu keluargnya. Meski begitu, Dama tidak melihat bagaimana perlakuan Om Tito padanya, yang ia lihat, Tasya dalam keadaan bahaya dan harus ditolong.

Mereka berjalan perlahan, rumah Om Tito lebih dekat dari jalan besar dibanding rumah Dama. Lebih tepatnya hanya berjarak empat rumah dari rumah Om Tito ke rumahnya.

Dama mengantar Tasya sampai depan pintu dan orang rumah membukakan pintu. Begitu tahu Om Tito yang membuka pintu, Tasya langsung memeluk sang ayah dan menangis dengan keras.

"Tasya kenapa, Dam? Kamu apakan dia"

"Nggak diapa-apain, Om. Nanti kalau sudah tenang tanyakan saja sama Tasya. Aku pamit dulu."

Si bungsu berbalik dan langsung menuju rumah. Jika biasanya tidak membutuhkan waktu lama, kini perjalanan ke rumahnya terasa lebih melelahkan. Tubuh Dama sudah terasa berat dah ingin istirahat.

Ia berjalan dengan sangat pelan. Bahkan tas sekolahnya sudah tak sanggup ia bawa dipunggung. Tas ranselnya itu ia seret, tidak peduli kotor karena debu, yang ia pikirkan hanya ingin istirahat.

Bahagia itu ketika Dama melihat pintu rumahnya terbuka. Ia berusaha mempercepat langkahnya, bayangan kasur dan teman-temannya sudah terbayang. Belum juga sampai, perutnya kembali bergejolak dan tidak dapat ditahan Dama muntah untuk kedua kalinya.

Suara motor mengalihkan perhatiannya. Ia melihat sang kakak datang bersamaan dengan azan magrib yang berkumandang. Dama tersenyum, matanya memicing karena cahaya lampu motor yang menyorot tepat di wajahnya.

"K-kak ..."

"Kenapa berantakan banget, Dek?" tanya Satya sambil mematikan motor dan mengambil beberapa barang dari bawah jok motornya.

"K-kak, to-long ..." Suara lirih Dama membuat Satya mengangkat kepalanya tepat saat Dama  mulai oleng.

"Dama!" teriak Satya sambil merengkuh tubuh adiknya.

Tubuh Dama terkulai, tetapi rasa mual membuatnya terduduk dan berusaha mengeluarkan isi perutnya untuk ketiga kalinya. Masih sama, hanya cairan asam dan pahit yang bisa ia keluarkan.

🍁🍁🍁

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
JAR OF MEMORIES
619      415     1     
Short Story
and story about us a lot like a tragedy now
Bersyukurlah
429      301     1     
Short Story
"Bersyukurlah, karena Tuhan pasti akan mengirimkan orang-orang yang tulus mengasihimu."
Beyond Expectations
405      271     3     
Short Story
Unexpected things could just happen.
Lingkaran Ilusi
10129      2166     7     
Romance
Clarissa tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Firza Juniandar akan membawanya pada jalinan kisah yang cukup rumit. Pemuda bermata gelap tersebut berhasil membuatnya tertarik hanya dalam hitungan detik. Tetapi saat ia mulai jatuh cinta, pemuda bernama Brama Juniandar hadir dan menghancurkan semuanya. Brama hadir dengan sikapnya yang kasar dan menyebalkan. Awalnya Clarissa begitu memben...
Selepas patah
204      167     1     
True Story
Tentang Gya si gadis introver yang dunianya tiba-tiba berubah menjadi seperti warna pelangi saat sosok cowok tiba-tiba mejadi lebih perhatian padanya. Cowok itu adalah teman sebangkunya yang selalu tidur pada jam pelajaran berlangsung. "Ketika orang lain menggapmu tidak mampu tetapi, kamu harus tetap yakin bahwa dirimu mampu. Jika tidak apa bedanya kamu dengan orang-orang yang mengatakan kamu...
Dissolve
445      295     2     
Romance
Could you tell me what am I to you?
Daniel : A Ruineed Soul
574      336     11     
Romance
Ini kisah tentang Alsha Maura si gadis tomboy dan Daniel Azkara Vernanda si Raja ceroboh yang manja. Tapi ini bukan kisah biasa. Ini kisah Daniel dengan rasa frustrasinya terhadap hidup, tentang rasa bersalahnya pada sang sahabat juga 'dia' yang pernah hadir di hidupnya, tentang perasaannya yang terpendam, tentang ketakutannya untuk mencintai. Hingga Alsha si gadis tomboy yang selalu dibuat...
TO DO LIST CALON MANTU
1525      693     2     
Romance
Hubungan Seno dan Diadjeng hampir diujung tanduk. Ketika Seno mengajak Diadjeng memasuki jenjang yang lebih serius, Ibu Diadjeng berusaha meminta Seno menuruti prasyarat sebagai calon mantunya. Dengan segala usaha yang Seno miliki, ia berusaha menenuhi prasyarat dari Ibu Diadjeng. Kecuali satu prasyarat yang tidak ia penuhi, melepaskan Diadjeng bersama pria lain.
Kafa Almi Xavier (update>KarenaMu)
741      437     3     
Romance
Mengapa cinta bisa membuat seseorang kehilangan akal sehatnya padahal prosesnya sesederhana itu? Hanya berawal dari mata yang mulai terpikat, lalu berakhir pada hati yang perlahan terikat. °°°°##°°°° Berawal dari pesan berantai yang di kirim Syaqila ke seluruh dosen di kampusnya, hingga mengakibatkan hari-harinya menjadi lebih suram, karena seorang dosen tampan bernama Kafa Almi Xavier....
Negeri Tanpa Ayah
15100      2509     1     
Inspirational
Negeri Tanpa Ayah merupakan novel inspirasi karya Hadis Mevlana. Konflik novel ini dimulai dari sebuah keluarga di Sengkang dengan sosok ayah yang memiliki watak keras dan kerap melakukan kekerasan secara fisik dan verbal terutama kepada anak lelakinya bernama Wellang. Sebuah momentum kelulusan sekolah membuat Wellang memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dia memilih kuliah di luar kota untuk meng...