Katanya jangan marah-marah.
Katanya jadi manusia harus sabar
Katanya sabar itu tidak ada batasannya.
Marahlah, tidak ada yang melarang.
Bersabarlah, sampai kau bosan.
Sebab marah dan sabar itu ada tempatnya.
πππ
Kaki kecil Yashinta membawa langkahnya untuk keluar dari supermarket. Tanpa peduli apakah Danendra mengikutnya atau tidak. Sesaat setelah berjumpa dengan mantan rekan kerjanya itu, wajahnya menjadi memerah. Danendra yang peka dengan perubahan sang gadis berusaha untuk mengejarnya
"Bang, minta tolong urus belanjaannya, aku mau ngejar Mbak Yas dulu," pinta Danendra setelah memberikan kartu kredit dan menyerahkannya pada sang manajar.
Belum juga Bang Didi menjawab, Danendra sudah melesat mengejar Yashinta. Band Didi menatap wajah perempuan di belakang meja kasir. Tidak jauh berbeda, wajah Nita juga merah padam. Hanya saja, pekerjaan menuntutnya untuk tetap tersenyum pada pelanggan yang datang.
"Semua berapa, Mbak?" tanya Bang Didi.
Bukannya menjawab, Nita justru membanting beberapa barang dan memasukkannya dengan sangat kasar ke dalam kantong belanja. Beberapa pengunjung menjadikannya pusat perhatian. Beberapa bahkan merekam dengan ponsel mereka.
"Mbak, maaf, antrian masih panjang. Minta tolong disegerakan yang ini." Bang Didi masih berusaha untuk berujar dengan pelan.
"Kalau nggak sabaran jangan belanja di sini. Cari tempat lain!" bentak Nita sambil membanting satu kantong sampai terdengar satu benda seperti pecah.
Petugas laki-laki yang berada di meja lain akhirnya mendekat. Ia mendorong Nita untuk keluar dari balik meja dan memintanya pergi sebelum keadaan semakin runyam.
"Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini, biar saya ganti untuk barang yang rusak, mohon tunggu sebentar." Si petugas laki-laki itu bahkan sampai melipat kedua tangannya di depan dada sebagai ucapan permohonan maaf.
Bang Didi mengikuti ke mana arah Nita pergi. Ia melihat gadis itu masih dilingkupi dengan amarah. Apalagi perlawanan dari Yashinta terbilah pedas dan cerdas.
Di area parkir, Danendra berusaha mengejar Yashinta yang ternyata sudah sampai lebih dahulu. Pak Aji yang tidak tahu apa-apa hanya berani menyodorkan tisu kepada gadis berambut cokelat itu.
"Makasih, Pak. Pak Aji bisa turun sebentar?" pinta Danendra setelah mengambil alih sekotak tisu yang dipegang Pak Aji.
"Siap, Mas." Pak Aji langsung turun dan memberikan ruang untuk sepasang kekasih itu.
Danendra mendekati Yashinta yang masih memalingkan wajahnya. Pipinya tampak basah dengan air mata. Tetesan air mata itu terus mengalir meski tanpa suara. Danendra mengambil selembar tisu dan menghapus aliran yang membasahi pipi Yashinta.
"Kalau nangisnya sudah selesai, saya siap dengerin ceritanya. Kalau misal Mbak Yas mau marah, marah saja. Kalau kesabaran Mbak Yas sudah sampai batasnya, nggak apa-apa."
Yashinta menoleh. Bibirnya mengerucut diiringi dengan isakan yang semakin keras. Semula tiada suara, kini isakan mulai terdengar. Danendra mendekat, ia mengelus kepala Yashinta sambil menatap ke dalam manik mata sang kekasih.
"Ya udah, selesaikan nangisnya."
Merasa tidak enak, Yashinta mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tidak peduli bila bedaknya luntur, maskara mbleber, begitu juga dengan lipstiknya yang memudar. Ia menahan isakannya dan balik menatap manik mata sang kekasih.
"Saya sakit hati, Mas Dan. Saya nggak terima. Meski fitnah dan pemecatan itu membawa saya ke jalan lain yang jauh lebih baik, hati saya tetap sakit. Saya tidak melakukan apa yang dituduhkan."
Danendra masih setia dengan tatapan lembutnya. Begitu juga dengan tangan yang terus saja mengusap kepala Yashinta untuk menenangkan sang gadis.
"Dia seenaknya. Bahkan cerita juga sama orang-orang di kampung sampai-sampai ibu ikut kepikiran. Kalau memang merasa tersaingin, bilang. Saya juga nggak akan merebut apa yang bukan menjadi hak saya. Intinya saya kesal ketemu sama dia."
"Tapi tadi Mbak Yas hebat, loh. Bisa membalas dia dengan tenang. Itu jadi pukulan telak. Karma itu akan berlaku untuk mereka yang bersalah, Mbak."
"Saya nggak tahu kenapa tiba-tiba mulut ini nyeplos begitu. Nggak nyangka bisa balas dia. Dia juga fans-nya Mas Dan."
"Oh, ya? Wah, pasti salah tingkah dia. Orang yang difitnah malah pacaran sama idolanya."
Yashinta mulai tampak tenang. Ia mengambil ponsel dan melihat seberapa berantakan wajahnya. Ia lantas panik karena wajahnya tampak mengerikan setelah menangis. Ia mengeluarkan tisu basah yang kemudian diambil oleh Danendra.
Sang idola langsung mengusap perlahan jejak-jejak air mata di pipi Yashinta. Ia melipat tisu dan mulai membersihkan bercak kehitaman bekas maskara yang luntur.
"Jelek banget, ya?" tanya Yashinta sambil berusaha merebut tisu basah dari tangan sang kekasih.
"Masih cantik. Biar saya saja," tolak Danendra dengan halus.
Setelah merasa sedikit tenang, Yashinta menarik napasnya beberapa kali lalu mengembuskannya perlahan. Tidak seharusnya ia memperlihatkan sisi lain dari dirinya yang memang tidak bisa menahan amarah.
Alih-alih bisa membelas dengan rentetan panjang kata-kata, amarah Yashinta seringkali berakhir dengan air mata. Sebab kerongkongannya tercekat ketika ia menahan emosi.
"Saya nggak bisa kontrol emosi. Kalau nggak bisa balas ngomong, pasti nangis. Padahal dulu saya sudah balas perlakuan Nita. Berharap Allah nggak capek buat balaskan apa yang saya terima. Ternyata, masih ada kelanjutannya."
"Memang Mbak Yas ngapain dia?"
"Saya belanja sebanyak-banyaknya, terus saya bikin dia sibuk melayani di meja kasir, saya kerjain habis-habisan, tapi ujung-ujungnya saya nangis juga."
"Mbak Yas tahu sabar itu tidak ada batasnya?" Yashinta hanya mengangguk menanggapinya. "Sabar itu memang nggak ada batasnya, tapi ada tempatnya. Begitu juga dengan marah."
Yashinta mulai paham dengan arah pembicaraan Danendra. Meski dari segi usia sang idola lebih muda, tetapi pemikirannya sudah jauh lebih dewasa.
"Makasih, Mas Dan. Maaf malah ngerepotin."
"Nggak apa-apa. Tenang saja. Setelah ini pulang, terus istirahat. Atau Mbak Yas mau pulang ke rumah Mama."
Gadis yang sudah menghapus total riasannya itu menggeleng. Ia memilih untuk mengikat rambutnya karena merasa panas. "Kalau misal saya ambil libur dua hari, boleh?"
"Kenapa nggak? Mbak Yas mau jalan-jalan? Saya antar. Berdua saja, hanya saya dan Mbak Yas."
Sang kekasih menggeleng, ia menggigit bibirnya kemudian tersenyum. "Pengin pulang kampung dua hari," ujarnya sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya."
"Aish, manis banget!" Danendra mencubit pipi Yashinta dengan pelan. "Boleh, dengan syarat Mbak Yas diantas sama Pak Aji. Nggak ada penolakan."
Mendengar ucapan sang kekasih, mau tidak mau Yashinta akhrinya mengangguk. ia menyetujui permintaan Danendra. Meski dalam hatinya sedikit tidak enak karena terkesan sangat merepotkan.
Setelah beberapa saat, Bang Didi datang membawa troli yang penuh belanjaan. Ia dibantu Pak Aji memasukkan barang belanjaan tersebut. Keduanya masuk ke mobil dan langsung disuguhi dengan pemandangan Danendra yang duduk sambil memandangi wajah kekasihnya yang tengah mengepang rambut cokelatnya.
"Kedip, Ndra. Jangan kelamaan. Ntar disambit setan baru tahu rasa!" ujar Bang Didi.
"Ayang is number one, Mas Didi, liyane hanya penumpang gelap," ucap Pak Aji sambil membawa mobil keluar dari area parkit supermarket.
Mobil minibus itu akhirnya membawa mereka menuju indekos Yashinta. Begitu sampai, hampis seluruh barang diturunkan dan diletakkan di gazebo. Tidak menunggu terlalu lama, Danendra dan yang lainnya berpamitan.
Begitu memasuki mobil, Danendra langsung menyampaikan kesepakatannya dengan Yashinta.
"Pak Aji besok anterin Mbak Yas balik ke kampung halamannya. Nanti kalau sudah dapat lokasinya, share ke saya. Saya mau nyusul."
"Whoa, sendiri? Niat amat sampai mau nyusul. Adakah rencana yang daku lewatkan?" tanya Bang Didi sambil menaik-turunkan alisnya.
"Nanggung kalau sendiri. Mau bawa keluarga sekalian."
"Eh, serius? Beneran mau diseriusin?" tanya Bang Didi sambil membalikkan tubuhnya karena merasa tidak yakin dengan ucapan Danendra.
"Kalau sudah nyaman, ngapain kelamaan? Seriusin saja sekalian. Jangan kelamaan, nanti keburu diembat sama yang lain," ucap Danendra dan langsung mendapat hadiah dua jempol dari Bang Didi.
πππ