Ada hal yang tidak kuharapkan, ternyata terjadi.
Apa yang sedang aku ingin, justru tidak pernah tercapai.
Itulah misteri kehidupan.
Kemarin, hari ini, dan esok, tidak akan bisa ditebak
πππ
Hari rupanya begitu cepat berlalu. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih sembilan puluh menit, mobil yang disopiri oleh Pak Aji kini membawanya ke sebuah pekarangan yang terjaga keasriannya. Banyak pepohonan rindang mengelilingi rumah yang teramat ia rindukan.
Begitu mobil berhenti, ia langsung turun dengan tergesa. Ia mengucap salam dan memasuki rumah. Yashinta yakin keluarganya pasti sedang di rumah karena akhir pekan. Dan seperti yang diperkirakan, ayah, ibu, dan adiknya tengah menikmati sarapan yang kesiangan.
Jam sudah menunjukkan pulul setengah sembilan pagi, ini termasuk siang karena mereka terbiasa sarapan pukul tujuh pagi.
"Yas pulang, Yah, Bu!" teriaknya dari ruang tengah.
Ia berlari memeluk sang ayah yang tengah duduk di kursi meja makan, kemudian beralih pada sang ibu. Selanjutnya, ia menghampiri sang adik yang tengah bersusah payah untuk menggunakan kruk untuk membantu menopang tubuh karena kakinya masih belum pulih benar.
"Sudah, Mbak Yas saja yang ke situ. Tetap duduk," ujar Yashinta sambil berjalan menghampiri sang adik. Ia langsung memeluk erat sambil mengacak rambut adiknya. "Perkembangannya gimana? Sudah lebih baik?"
Ken mengangguk sambil mengeratkan pelukan pada sang kakak. Rasanya sudah lama kakak-beradik ini tidak berjumpa. Rindunya sudah tidak tertahankan. Yashinta menepuk jidatnya ketika ia mengingat telah meninggalkan seseorang di luar rumah.
"Yah, Yas diantar sama sopirnya Mas Dan. Bisa sekalian diajak sarapan? Mau Yas buatin kopi dulu."
"Loh, kamu tinggali di mana? Kenapa nggak langsung diajak masuk?" ujar sang ayah yang langsung menaruh sendok dan berjalan menuju pintu depan.
Yashinta langsung menuju dapur ditemani oleh sang ibu.
"Jam berapa berangkatnya?"
"Tadi Pak Aji nyampe kosan memang pagi banget, Bu. Mungkin disuruh sama Mas Dan biar nggak kelamaan di jalan dan cepat sampai. Padahal mah, semakin pagi makin padat kendaraan, kan weekend?"
"Ini buat nemenin kopinya Pak Aji. Ibu ndak masak apa-apa, kamu sih, ndak bilang kalau mau pulang."
"Yas juga baru dapat izin kemarin, Bu, itupun boleh pulang kalau diantar sama Pak Aji."
"Y-yas! Yashinta! Nduk?"
Suara teriakan sang ayah dari arah depan membuat sang ibu dan Yashinta saling menoleh. Begitu juga dengan Ken yang sedang menikmati makanannya langsung membanting sendok di tangannya karena suara sang ayah terdengar panik.
Yashinta lebih dulu sampai di ruang tamu, disusul sang ibu dan terakhir adiknya yang berjalan tertatih dengan mengapit dua buah kruk di bawah ketiaknya.
Keluarga berencana dengan sepasang orang tua dengan dua anak itu berdiri di depan pintu dengan tatapan mata yang sama-sama kaget. Di hadapan mereka kini terparkir dua mobil.
"Kenapa nggak bilang kalau ke sini sama keluarganya Endra?" tanya sang ayah sambil menatap rombongan yang tengah sibuk mengeluarkan beberapa barang.
"Sumpah demi Allah Yas nggak tahu, Yah. Beneran, deh. Mas Dan juga nggak bilang apa-apa."
Danendra berjalan di depan ditemani oleh manajer setianya. Kemudian di belakangnya ada Mbak Dena, Papa dan Mama yang tampak serasi dengan warna pakaian senada. Disusul dengan Pak Aji yang menenteng beberapa bawaan di tangan kanan dan kirinya.
Yashinya menganga, ia benar-benar tidak menyangka kekasihnya itu membawa full team untuk datang ke rumahnya. Begitu juga dengan ibu Yashinta yang tidak hentinya menyenggol lengan sang anak.
"Ayah nggak tahu harus bagaimana kali ini, Nduk. Kita nggak ada persiapan apa-apa."
"Yah, Ibu harus gimana?"
Sepasang orang tua itu sama putus asanya. Karena biasanya ketika rumah seorang gadis didatangi oleh keluarga pemuda, setidaknya ada persiapan untuk menjamu tamu yang hadir. Setidaknya ada penghormatan yang perlu dilakukan jika tidak ingin mendapat gunjingan dari mulut-mulut tetangga julid.
Kaki Yashinta lemas, ia terduduk di anak tangga terbawah teras rumahnya. Sang ibu lekas memegang lengan putri sulungnya dan mencoba untuk membantunya kembali berdiri.
"Bu, ini Yas nggak mimpi 'kan? Mas Dan sama keluarganya ada di rumah kita?" Tangan kananannya mengarah ke lengan kiri dan mencubitnya dengan keras. Sensasi panas langsung menyebar dan menimbulkan bekas kemerahan.
"Sakit 'kan?" tanya sang ibu memastikan bahwa yang dilakukan Yashinta terasa menyakitkan.
Yashinta mengangguk dan langsung berdiri. Perjalanan keluarga Danendr untuk sampai di teras rumah seperti gerakan yang diperlambat. Hal ini membuat jantung Yashinta semakin berdetak kencang.
Ayah Yashinta menyambut uluran tangan Danendra. Begitu juga dengan sang ibu yang begitu takjub ketika lelaki itu mencium tangannya. Berbeda dengan Ken yang langsung melepas kruk dan memeluk erat idola kakaknya itu.
"Bapak, Ibu, ini Papa, Mama, kakak, dan manajer saya," ujar Danendra memperkenalkan anggota keluarganya.
Orang-orang yang disebutkan itu langsung saling berjabat tangan. Meski suasana terasa canggung karena keadaan yang terlalu tiba-tiba, tetapi sang tuan rumah sebisa mungkin untuk mengontrol setiap gerakannya.
"Mari silakan masuk, kita ngobrol di dalam saja."
Setelah memasuki rumah, Yashinta yang menerima barang yang dibawa Pak Aji langsung beranjak ke dalam. Ternyata, Mbak Dena dan mamanya mengekor di belakangnya. Mereka meninggalkan para lelaki untuk berbincang di ruang tamu.
"Yas, Mbak mau pakai kamar mandinya, ya, bisa minta tolong ditunjukkan tempatnya?" ujar Mbak Dena.
"I-iya, Mbak. Ini kamar mandinya. Maaf, Mbak jangan kaget, ya?"
"Santai aja, Yas."
"Ibunya Yashinta, ini mau diapakan? Biar saya bantu."
"Haduh, Mbak. Nggak usah, Mbak di depan saja sama yang lainnya. Biar saya sama Yas saja yang kerjakan."
"Oh, nggak. Ini sudah saya siapkan. Nggak usah repot-repot, justru kehadiran kami yang mendadak ini yang merepotkan. Sudah, ini saja yang ada di meja makan, ditambah dengan yang saya bawa. Ini sudah lebih dari cukup."
Ibu Yashinta mengangguk. Ia lantas setuju dan mulai menata makanan yang ada di meja dan beberapa bungkus makanan yang dibawa keluarga Danendra.
"Mbak Dena sama Mama tunggu di depan saja, biar Yas yang lanjutkan," ujar Yashinta setelah kembali dari mengantar Mbak Dena.
"Sudah, nggak apa-apa. Biar cepat selesai. Itu Endra dari tadi sudah ngeluh kelaparan. Siapa suruh dia sendiri yang kesiangan. Habis ngoprak-ngoprak Pak Aji buat nganterin kamu, dia tidur lagi," balas Mbak Dena.
Yashinta menoleh ke arah meja makan. Di sana hanya ada sebuah meja yang mulai penuh dengan nasi bekas sarapan keluarganya, nasi uduk beserta beberapa pelengkap, teh hangat. Sementara jajanan pasar dan buah-buahan diletakkan di atas bufet karena meja sudah terlalu penuh.
"Bu, mejanya nggak cukup. Ada sepuluh orang, Bu," bisik Yashinta.
Ia yakin suaranya sudah cukup pelan, ternyata mama Danendra masih mendengarnya. Calon Mama mertua—anggap saja begitu—menghampiri Yashinta dan langsung merangkulnya. Ia memeluk dan membelai lembut kepala gadis yang dicintai putra bungsunya itu.
"Punya alas? Tikar, karpet, atau sejenisnya? Kita makan lesehan pasti lebih nikmat. Papa Danendra juga paling suka kalau makan rame-rame sambil lesehan."
"Emangnya nggak apa-apa, Ma?" Yashinta berusaha meyakinkan wanita di hadapannya itu.
"Bu, apa sudah siap? Ini sudah pada kela—paran," ujar ayah Yashinta dengan intonasi menurun di bagian akhir ucapannya karena melihat bukan hanya anak dan istrinya yang menguasai ruang makan.
Belum juga Yashinta menjawab, Bang Didi dan Danendra rupanya sudah menyusul. Danendra menatap Yashinta dan menyebut kata lapar sambil mengelus perutnya perlahan.
Akhirnya, sebuah tikar sudah terhampar, semua masakan yang tertata di meja dipindah ke atas tikar. Dua keluarga akhirnya duduk membentuk lingkaran mengelilingi makanan yang disajikan. Termasuk Ken yang berhasil duduk selonjor dengan bantuan Danendra dan Bang Didi.
"Ya, menyambung yang kita bicarakan tadi, kalau saya ngikut apa keputusan dari Endra dan Yashinta. Kalau dari keluarga di sini bagaimana?" tanya Papa Danendra saat yang lainnya sudah mulai fokus menyantap makanan.
"Saya setuju, Mas. Saya serahkan semuanya sama Yashinta. Dia sudah dewasa, sudah bisa menentukannya, menurut Ibu bagaimana?" Ayah Yashinta menoleh pada perempuan di sebelahnya.
Meski ini percakapan dadakan, ibu Yashinta sudah paham ke mana arah pembicaraan ini akan berlabuh. "Saya juga begitu. Apa kata anaknya saja."
"Kalau Endra nggak perlu ditanya lagi. Dia sudah pasti, yes!" ujar Mbak Dena sambil mengedipkan sebelah matanya pada sang adik. "Ndra, berani kamu macem-macem sama Yas, kamu bakal ngadepin Mbak Dena. Awas, ya?" Mbak Dena menunjuk Danendra dengan sendok di tangannya.
"Jadinya, tunangan dulu apa langsung nikah? Kalau nikah, sekalian bareng saya sama Mbak Dena biar irit pengeluaran. Satu pelaminan dua pasang."
Pertanyaan spontan dari Bang Didi membuat Yashinta tersedak. Danendra yang berada di sebelahnya langsung menyodorkan air dan lanjut mengusap pelan punggung Yashita.
"Loh, Bang Didi sama Mbak Dena? Kok bisa?" tanya Yashinta penuh keheranan.
"Kok bisa Mbak Dena mau sama saya? Kok bisa mau nikah? Itulah hebatnya saya, Mbak Yas. Diam terlihat cupu, bergerak seperti suhu. Dan ilmunya sudah saya turunkan sama adik ipar," ujar Bang Didi.
"Sudah, dilanjut setelah makan sambil bersantai saja," pinta Mama Danendra.
Yashinta menoleh pada Danendra. Tatapannya seperti mengintimidasi Danendra. "Mas Dan hutang banyak penjelasan sama saya," ujarnya sambil mengarahkan sendok ke dekat hidung kekasihnya itu.
πππ