Loading...
Logo TinLit
Read Story - Gantung
MENU
About Us  

-Bukankah, berani jatuh cinta artinya berani menyicipi sakitnya rindu dan pahitnya kehilangan? Lalu, kenapa pengecut sepertiku masih melakukannya?-

 

Agustus 2007.

Dengan tergopoh-gopoh Rania menenteng dua plastik putih besar berisi 3 liter cat gabus, cutter dan gunting berbagai ukuran, alat pemotong gabus, sepuluh kuas, belasan botol lem kertas dan lem gabus, serta 10 gulung kertas asturo warna warni. Ah, tidak lupa juga, dua botol air mineral 1,5 L titipan Miskha. Mendung yang bergelayut manja di atas kepalanya seolah-olah sedang ikut bersekongkol dengan Miskha, senior di Klub Jurnalistiknya yang sangat menyebalkan itu!

Tega-teganya Miskha menyuruh Rania untuk berbelanja sendiri di toko alat tulis dengan daftar belanja yang panjangnya mungkin melebihi tinggi badan Rania. Yah, apalah daya…  Rania hanya anak baru yang harus senantiasa menerima nasibnya sebagai “Pembantu Umum” di Klub Jurnalistik.

Rania menarik napas panjang dan berat untuk membantunya melupakan kekesalannya dan kemudian mulai berlari-lari kecil. Kalau tidak seperti itu, tentu Rania akan basah kuyup kehujanan. Bukan, bukan Rania masalahnya, tetapi kertas-kertas yang baru saja Ia beli. Kalau sampai basah dan tidak bisa digunakan, tamatlah karir Jurnalistik yang baru dimulainya 3 hari yang lalu itu!

Rania berhenti sejenak di bawah pohon tanjung di pinggir jalan. Ditariknya napas dalam dan panjang sebelum menghembuskannya keras dan pelan untuk mengatur degup jantungnya akibat aerobik yang baru saja dilakukannya. Kedua tas plastik putih itu diletakkannya di samping kedua kakinya. Jari-jarinya mulai terasa pedih dan memerah akibat beban berat yang dibawanya sedari tadi.

Suara gemuruh mulai bergema, berlomba-lomba dengan kilatan petir dan langit yang semakin gelap, mengisyaratkan bahwa sebentar lagi pertandingan antara Rania vs hujan akan segera dimulai.

“Oh tidakkk….” Rania mengeluh pelan sembari mengambil kembali kedua tas plastik yang penuh dengan beban kehidupan itu. Gerbang sekolah tinggal lima ratus meter lagi. Sedikit lagi!

Rania mengambil ancang-ancang dan mulai berlari lebih kencang dibandingkan tadi. Mendung yang semakin tebal seolah-olah semakin berambisi untuk beradu balap dengannya. Aku pasti menang, ha! Rania berkata optimis pada mendung. Mendung menjawabnya dengan gemuruh.

“Hah… hah… hah… “ Rania ngos-ngosan begitu sampai di bawah lindungan gapura sekolahnya yang lebar. Ingin sekali Rania meletakkan kedua tas plastik berat itu sementara Ia menyeka keringat yang mengucur di dahinya, namun terasa tanggung. Ia harus segera masuk ke halaman sekolah, melewati belasan ruang kelas sebelum sampai ke Ruang Jurnalistik yang terletak di halaman belakang.

“Tes… Tes… Tess…” Suara rintik-rintik hujan mengagetkan Rania. Bau tanah basah mulai menyeruak perlahan. Arrgghhh, kenapa harus sekarang?!

Rania memerhatikan lapangan basket yang harus dilaluinya untuk sampai ke kompleks ruang kelas. Bagaimanapun caranya, Ia harus bisa melalui lapangan basket tanpa membuat barang-barang yang dibawanya basah. Rintik hujan yang baru turun masih tampak jarang-jarang, memberikan secelah tipis harapan untuk Rania.

Baiklah, Ran. Kamu pasti bisa!

Rania mengambil ancang-ancang dan mulai berlari kencang, lebih kencang dari yang tadi dilakukannya. Dan hujan pun rupanya tidak ingin kalah. Rintiknya mulai menebal, merapat lebat. Rasanya Rania ingin berhenti dan menangis saja saat itu.

Rania mengangkat kedua tas plastik ke depan dadanya, berusaha memeluk keduanya untuk melingdugi gulungan-gulungan kertas yang mencuat. Tapi sia-sia, tentu saja.

Apa yang akan terjadi padanya jika kertas-kertas itu basah? Tidak. Rania tidak ingin membayangkan kemurkaan Miskha padanya. Atau kekejaman apa yang akan Miskha timpakan padanya.

Rasa sesak di dadanya membuncah, naik mencekat lehernya, dan mendorong air mata ke kedua pelupuk matanya.

“Tess.. Tess, tess, tess, tesss, tessss…” Hujan turun semakin rapat dengan bulir-bulirnya yang semakin besar. Sebesar rasa nelangsa yang melanda Rania dan kertas-kertas asturonya.

Tidak ada gunanya lanjut berlari. Toh, kertas-kertas itu akan tetap basah terguyur hujan yang semakin deras. Iya, kan? Langkah Rania melambat. Rasa putus asa sudah menguasainya. Yang ingin Ia lakukan hanya berjongkok dan menangis di tengah lapangan. Ia tidak pernah membenci hujan seperti saat ini. Perjalanan tiga kilometernya untuk membeli semua barang itu terasa sia-sia saja.

“Sini!”

Tiba-tiba seseorang merampas kedua tas plastik penuh beban duniawi itu dari kedua tangannya yang pedih. Rania nyaris tersandung kakinya sendiri saking kagetnya. Hey! Siapa lagi sih yang ingin menambahkan masalahku hari ini?! Rania merutuk kesal dalam hati.

Belum sempat Rania mengeluarkan suara, sosok yang merampas barang-barangnya itu sudah berlari jauh di depannya sembari mendekap dua plastik besar itu erat. Rania mengerjap-ngerjapkan matanya, berusaha memperjelas pandangannya di antara butiran hujan yang lebat. Namun yang mampu dilihatnya hanya sesosok laki-laki tinggi tegap bertopi hitam yang berlari dengan langkah-langkah besar dan panjang. Jauh, sudah sangat jauh di depannya.

Siapa dia?

HEH? SIAPA DIA?!

Tersadar, Rania mulai panik. Kenapa Ia membiarkan sesosok laki-laki tidak dikenal merampas barang-barang penentu hidup dan matinya di Jurnalistik? AAAAHHH TIDAAAAK‼!

***

Dengan napas terengah dan gigi yang gemeletuk kedinginan, akhirnya Rania sampai di kompleks ruang kelas dengan koridor-koridor panjang berliku. Ditepuk-tepuknya sedikit celana jeansnya yang terasa berat dan basah, sebelum mulai berlari lagi menyusuri koridor menuju Ruang Jurnalistik.

Sambil berlari Rania memerhatikan setiap sudut dan belokan, barangkali dapat menemukan laki-laki yang mengambil barangnya tadi. Tapi nihil. Sosok itu sudah tidak tampak dimanapun. Setengah hatinya sudah pasrah akan nasib yang akan menimpanya nanti.

Apasih hal terburuk yang dapat terjadi padanya?

Dikeluarkan dari Klub Jurnalistik. Dan selama 1 tahun ke depan harus hidup tanpa nilai ekskul.

Ya Rania, itu buruk sekali!

Apakah aku bisa naik ke kelas VIII tanpa nilai ekskul? Kenapa aku lupa bertanya pada Bu Ira tentang syarat kenaikan kelas ya?

Rania menggelengkan kepalanya. Kalau Ia harus memohon ampun pada Miskha, mungkin Ia akan melakukannya. Walau kakak kelas berkuncir kuda tinggi dan ber-lipgloss pink mengkilat itu tentu akan membuat hidup Rania bak di neraka terlebih dahulu. Rania yakin tidak ada kata mudah dalam kamus Miskha. Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?

***

Rania berhenti tepat di depan pintu Ruang Jurnalistik yang tertutup rapat. Tirai hijau toska tampak menutupi semua jendela sehingga Rania tidak tahu siapa saja yang ada di dalam selain Miskha. Sebelum Ia diminta untuk berbelanja tadi, hanya ada lima orang senior dan dua teman angkatannya yang datang ke Ruang Jurnalistik menyelesaikan majalah dinding untuk diterbitkan besok pagi.

Rania menarik napas dalam dan panjang sambil berdoa agar hanya Miskha saja yang masih di dalam. Ia tidak ingin ada orang lain yang menyaksikannya basah dan pasrah menerima caci maki Miskha. Bagaimana tidak, sudah satu jam Rania pergi berbelanja namun pada akhirnya pulang dengan tangan kosong. Tanpa cat gabus, tanpa kertas warna warni. Mungkin majalah dinding besok akan bernasib sama buruknya dengan Rania hari ini.

Belum sempat Rania mengumpulkan nyalinya untuk mengetuk pintu, suara berdecit khas pintu Ruang Jurnalistik mengagetkannya.

“Ini dia.” Seorang laki-laki membuka pintu dari dalam sambil berkata pelan. Busana hitamnya dari ujung kepala hingga kaki mengingatkan Rania akan sesuatu. Rania melongo kaget.

Kalau dilihat dari penampilannya…. I… Ini kan orang yang merampas barang-barangku tadi? Siapa dia?

Belum sempat Rania tersadar dari rasa kagetnya, laki-laki itu menyodorkan sehelai handuk kecil berwarna hitam.

“Pakailah. Tenang saja, handuk ini baru selesai dicuci, belum sempat aku pakai.” Masih tanpa ekspresi, laki-laki itu memerhatikan Rania yang mengambil handuk dari tangannya dengan ragu.

“Ma.. Makasih… Ka.. Kak?” Rania bingung. Apakah dia senior?

Laki-laki itu tersenyum tipis, memperlihatkan lesung pipi kirinya. Entah apa yang membuatnya tersenyum seperti itu. Senyuman terkutuk yang membuat jantung Rania nyaris melompat keluar dari rongganya.

Rania menunduk sambil menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan handuk. Juga untuk menyembunyikan mukanya yang memerah malu karena laki-laki di hadapannya baru saja tersenyum dan hingga saat ini masih menatapnya lekat. Apa aku tampak seburuk dan sekonyol itu hingga orang ini tersenyum geli? Apakah aku tampak seperti tikus yang baru saja habis tercebur ke dalam got?

“Masuklah, Miskha sudah menunggu.” Laki-laki itu membuka pintu lebih lebar dan membiarkan Rania masuk ke Ruang Jurnalistik yang rasanya jauh lebih dingin dibanding suasana di luar. Rania melangkah pelan menuju Miskha yang sedang sibuk mengetik di laptopnya di sudut ruangan.

Lamat-lamat Rania melangkah. Menghitung setiap ubin yang dilewatinya. Pelan dan berusaha tidak menimbulkan suara. Bukan saja karena celana jeansnya yang berat menyerap air hujan, tetapi karena setiap sendi kakinya terasa semakin lemas seiring dengan langkahnya, jantungnya pun berdegup makin kencang.

“Ouch…” Rania yang terus berjalan sambil menunduk kini menabrak sesuatu yang keras di depannya.

Punggung orang tadi!

“Ma.. Maaf kak!” Rania berkata lirih. Kenapa cowok itu sudah berada di depanku? Tapi syukurlah, Rania merasa ada sebuah tameng yang memisahkan dirinya dengan Miskha yang masih sibuk mengetik di laptop tanpa bergeming sedikitpun.

“Mis, ingat janjimu.” Laki-laki itu berkata pelan. Miskha akhirnya mendongak dari laptopnya, menaikkan kacamata bergagang macan tutul yang bertengger bersahaja di hidung mungilnya, kemudian menatap Dewa Penyelamat itu dengan mata lebarnya selama beberapa detik sebelum akhirnya berdehem pelan.

“Aku gak yakin, Bas. Minggir!” Miskha berkata tajam sambil bangun dari tempat duduknya dan berdiri bersandar di depan meja.

Laki-laki yang dipanggil “Bas” itu melangkah ke kanan, membuat Rania berhadapan langsung dengan Miskha yang kini telah menyilangkan kedua tangan dan kakinya.

Rania menelan ludah. Takut. Tidak bisakah “Bas” itu kembali ke posisinya semula dan menutupiku?

Rania kembali menelan ludah.

“Ma… Maaf, Kak Miskha…” Dengan susah payah Rania mengeluarkan suara. Ia tidak yakin akan kesalahannya, tetapi tidak ada ruginya meminta maaf duluan di saat-saat menegangkan seperti ini. Kesalahan satu-satunya adalah kalah dengan hujan!

Hening.

Miskha hanya menatap Rania lurus, tajam.

Bagi Rania, rasanya satu tahun telah berlalu sebelum akhirnya Miskha mulai berbicara.

“Kesalahan pertama: Kamu kembali ke sini setelah satu jam enam belas menit lima detik! Apa instruksiku tadi? Belanja dan kembalilah dalam lima puluh menit, kan? Bukannya itu instruksi yang sangat jelas dan mudah?”

Rania menggigit bibir bawahnya untuk menahan dirinya dari membalas perkataan Miskha. Bagaimana mungkin dirinya bisa kembali dalam waktu lima puluh menit jika jarak yang harus ditempuhnya dengan berjalan kaki adalah tiga kilometer bolak-balik? Belum lagi Toko Bintang yang menjual alat tulis terlengkap di kotanya itu begitu penuh sesak di hari Minggu seperti ini. Antre di kasir saja bisa memakan waktu lebih dari tiga puluh menit! Bagaimana mungkin?!

Rania hanya menunduk memandangi sepatu putihnya yang basah dan berlumpur.

“Kesalahan kedua: Delapan dari sepuluh gulungan kertas yang kamu beli memiliki bercak basah! Gimana sih kamu bawanya?! Mana bisa kita pakai kertas-kertas basah itu!” Suara Miskha yang awalnya datar dan pelan kini mulai meninggi. Rania bisa merasakan beberapa pasang mata mulai memerhatikannya.

Anggota tim Jurnalistik yang sedari tadi sibuk dengan pekerjaannya masing-masing; ada yang sedang mengetik, memotong-motong kertas, mengecat gabus dan sebagainya kini sudah menghentikan semua kegiatannya dan terpaku melihat kejadian menegangkan yang sedang berlangsung di ruangan itu. Masing-masing memikirkan hukuman terburuk apa yang akan menimpa Rania setelah ini. Ada pula yang bernostalgia tentang hukuman yang pernah diterimanya dari Miskha. Tidak ada yang pernah selamat dari macan betina itu. Catat, tidak ada seorang pun!

Rania tetap menggigit bibir bawahnya dan menunduk. Bagaimana agar tidak basah? Hujan di luar sana begitu lebatnya! Dengan Rania yang berlari hampir sepanjang seluruh perjalanan pulangnya pun, Rania masih kalah dengan hujan.

“Kesalahan ketiga dan paling fatal: Kenapa barang-barangmu malah dibawa oleh Baskara?! Bisa-bisanya kamu meminta senior untuk membawa barang-barangmu!” Miskha berhenti sebentar untuk mengambil napas, “Keterlaluan kamu…”

“Miskha!” Laki-laki yang dipanggil Baskara itu menyela.

“Kamu jangan ikut campur, Bas!”

Baskara melangkah ke kiri, kembali membuat Rania terlindung di balik punggungnya. “Aku udah bilang berkali-kali sama kamu, Mis. Gak ada yang menyuruhku membawa barang-barang itu! Aku yang mengambilnya dari Rania! Lagipula, tega-teganya kamu menyuruh Rania membeli semua barang-barang itu sendiri! Lihat!” Baskara berbalik dan mengambil tangan kanan Rania, menunjukkan telapak tangan gadis itu pada Miskha. Garis-garis merah masih membekas di telapak tangan dan buku-buku jari Rania.

Perih. Rania menarik tangannya dari Baskara.

“Kamu gak tau bagaimana sulitnya membawa semua barang yang kamu pesan dan berjalan kaki pulang sejauh 1,5 kilometer kan? Kamu gak tau bagaimana rasanya berlari sepanjang jalan dan kehujanan, dengan beban seberat itu!” Baskara menatap tajam Miskha. Kekesalan yang sedari tadi ditahannya sudah tidak dapat dibendung lagi. Miskha sungguh keterlaluan kali ini. Miskha memang selalu merundung anak-anak baru di Klub mereka, tetapi ini sudah di luar batas. Baskara sudah muak menyaksikannya dalam diam selama ini.

Pembelaan Baskara membuat segala kekesalan dan kesedihan Rania akan kesialannya hari ini semakin terasa nyata. Deksripsi Baskara akan semua kesulitan yang dialaminya hari ini hanya memperdalam rasa nelangsa yang dirasakannya. Air mata kini sudah menumpuk lagi di kedua matanya, siap jatuh kapanpun Rania mengedipkan mata.

“Kamu tau kan, Bas, aku gak pernah peduli! Belanja keperluan Jurnalistik memang tugas anak-anak baru! Kalau tidak sanggup, maka hukuman sebagai gantinya! Atau, keluar saja sekalian!”

“Enggak, Mis. Itu hanya peraturan yang kamu buat-buat! Kita gak pernah setuju, dan kita gak melakukannya saat menjadi anak baru dulu. Jangan mengada-ada! Semua orang seharusnya mendapatkan giliran yang adil untuk berbelanja! Seperti dulu!”

“Ini Klub-ku, Bas! Aku Ketuanya! Dan aku yang membuat peraturannya.” Miskha masih tidak terpengaruh. Sama sekali. Dagunya diangkat angkuh.

“Dengar, Rania. Apapun yang Baskara katakan, kamu akan tetap dihukum!”

“Miskha!”

“Kamu lihat teras Ruang Jurnalistik kita tadi? Becek dan berlumpur, kan? Dan ini! Lihat apa yang sudah kamu perbuat! Ruangan ini jadi berlumpur karena sepatu kotormu!”

“Miskha!”

“Kamu paham kan, Rania? Itu artinya, kamu gak boleh ada di ruangan ini.” Miskha mengangkat dagu Rania dengan jari-jarinya yang dingin. “Tapi kamu juga gak boleh pulang sebelum kami pulang, karena ruangan ini juga perlu dibersihkan.” Miskha tersenyum licik.

“BRAKK!” Baskara menggebrak meja Miskha, membuat laptop Miskha nyaris jatuh ke lantai.

Miskha hanya menatap Baskara. Menantang. Baskara mengepalkan kedua tangannya. Geram.

“Ayo, aku antar kamu pulang.” Baskara menggamit lengan Rania dan menariknya menuju pintu. Memaksa Rania yang sedari tadi seperti sedang menumbuhkan akar di lantai untuk turut bergerak.

“Terserah, Rania! Pulang artinya tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di Ruang Jurnalistik ini. Aku akan meminta Ibuku mencoret namamu.” Miskha berjalan kembali ke kursinya. “Dan jangan harap kamu bisa masuk ekskul lainnya.”

Baskara mendadak berhenti dari aksi walk-out-nya yang nyaris keren itu. Bu Rita, Ibu Miskha, tidak peduli sedikitpun akan Klub Jurnalistik yang dibimbingnya. Apapun yang Miskha katakan, dikabulkannya. Dan itulah cikal bakal carut marutnya Klub Jurnalistik ini.

Baskara semakin mengepalkan kedua tangannya, lupa bahwa tangan kananya sedang memegang tangan kiri Rania. Rania meringis diam-diam, takut pada Baskara yang sedang kesal.

Sungguh, Baskara membenci Miskha lebih dari apapun saat ini. Miskha memang selalu semena-mena semenjak dirinya menjadi ketua Klub Jurnalistik. Dulu Klub Jurnalistik adalah rumah kedua bagi Baskara. Tempat yang aman, menyenangkan, dan penuh kehangatan. Kreatifitas menjadi tali pemersatunya, bukan rasa takut akibat tidak mendapatkan nilai ekskul seperti sekarang.

***

Rania berjongkok di teras Ruang Jurnalistik yang sempit. Tidak ada tempat duduk yang bisa didudukinya. Lantai pun basah dan berlumpur akibat air hujan yang tertiup angin untuk menyapa lantai. Dipeluknya kedua lututnya erat. Giginya gemeletuk kedinginan. Rasa dingin mulai merasuk ke tulang akibat bajunya yang basah kuyup sedari tadi. Air mata yang tadinya sudah mengumpul di pelupuk mata, kini sudah berhasil ditelannya kembali. Tidak mungkin rasanya Ia menangis di depan orang yang tidak dikenalnya ini.

Baskara berdiri bersandar di samping Rania tanpa sepatah kata. Hanya helaan napas berat yang sesekali bisa didengarnya. Sepertinya dia sangat marah. Rania bisa merasakan panasnya amarah menyelimuti tubuhnya yang tinggi. Dan Rania tidak ingin berbuat apapun lagi yang bisa memicu emosinya.

Rania melirik jam tangan cokelatnya. Pukul 16.22.

“Majalah dinding kita baru 60% rampung. Akan butuh waktu lama untuk menyelesaikannya hari ini. Mungkin, lewat pukul 20.00,” tiba-tiba Baskara berkata pelan, seolah-olah menjawab pertanyaan Rania mengenai sampai kapan dirinya harus menunggu disitu. “Orang tuamu gak apa-apa?”

“Ga.. Gak apa-apa kak.. Tadi udah aku SMS.” sahut Rania canggung. Tanpa perkenalan, tanpa basa-basi, tapi kini Ia terdampar berdua di teras Ruang Jurnalistik yang sempit.

“Aku Baskara, kelas IX A.” Tiba-tiba Baskara berjongkok dan mengulurkan tangannya yang keriput dan dingin. Rania baru menyadari bahwa Baskara sama basah kuyupnya dengannya. Dan lagi-lagi, Baskara seperti bisa membaca pikiran Rania.

“Rania, kak.. Kelas VII A.” Rania menyambut tangan Baskara dengan ragu sambil mengangguk dan tersenyum malu. Sungguh tidak pernah dibayangkannya Ia akan berkenalan dengan seorang senior tampan dalam situasi yang buruk seperti ini. Dengan rambut yang lepek, wajah yang acak-acakan, dan baju yang basah lusuh.

Menyentuh tangan Baskara yang dingin, Rania cepat-cepat menarik tangannya kembali. Tanpa sadar Ia meremas ruas-ruas jarinya yang masih kemerahan. Perih yang sempat dilupakannya kini dirasakannya kembali.

“Kenapa? Apa masih sakit?” Baskara meraih tangan kanan Rania. Namun tiba-tiba tubuhnya menegang, matanya terpejam. Dengan susah payah Baskara menelan ludahnya kemudian menarik napas dalam dan panjang.

Baskara segera melepaskan tangan Rania dan memalingkan wajahnya. Dibenamkannya wajahnya pada kedua tangannya.

“Kak? Kak Baskara kenapa?”

“Ng.. Nggak. Aku gak pa-pa.” Suara Baskara lemah. Wajahnya masih disembunyikannya dalam kedua telapak tangannya. Rania menyadari tubuh Baskara bergetar. Rania hendak menyentuh pundak Baskara ketika tiba-tiba sebuah suara menyelanya.

 “Baskara!” Suara cempreng sampai di telinga Rania, diikuti dengan suara langkah kaki yang semakin mendekat.

Baskara seketika berdiri. Seseorang tampak sedang berlari di koridor menuju Ruang Jurnalistik.

Sesosok gadis berlegging hitam dan berjaket abu-abu menghampiri Rania dan Baskara. Setelah mengatur napasnya yang agak ngos-ngosan akibat berlari, gadis itu membuka tudung hoodie-nya, menampakkan rambut hitam yang diikat asal-asalan di belakang dan wajah yang sungguh cantik. Cantik bagai bidadari yang tersasar di neraka yang sedang Rania huni saat ini.

“Kamu bawa, Nis?”

“Tentu! Nih!” Gadis itu menyodorkan sebuah tas plastik hitam. Tanpa memeriksa isinya, Baskara menyodorkan tas itu kepada Rania. Dengan bingung dan ragu Rania menyambut tas situ. Apa ini?

“Tolong temani ya, Nis.”

“Ah, jelas! Masa kamu yang nemenin dia sih, hahaha!” Gadis itu tertawa kecil.

“Ayo, dik!”

Belum sempat Rania bertanya apapun, gadis itu menarik tangan Rania untuk berdiri dan mengajaknya menuju toilet perempuan terdekat.

“Dalam tas ini ada disposable panties, miniset baru yang belum pernah dipakai,” Gadis itu terhenti sesaat, “Eh anyway kamu pakai miniset kan?” Gadis itu berbisik di telinga Rania sambil membuka tas plastik yang dibawanya. Rania kaget, wajahnya memerah, namun mengangguk cepat.

“Baiklah. Selain itu ada satu kaos dan juga celana legging. Seharusnya ukurannya pas untukmu. Baju basahmu bisa kamu letakkan di dalam plastik ini. Sana, ganti!” Gadis itu mendorong Rania perlahan ke toilet. “Aku tunggu di sini ya!”

Rania bergegas masuk ke toilet dan melakukan instruksi gadis yang belum dikenalnya itu.

“Sisir rambutmu!” Gadis itu kini menyodorkan sisir kecil pada Rania. Ahh, akhirnya Rania merasa sedikit pantas setelah berpenampilan bak tikus kehujanan sedari tadi.

Mereka berjalan dalam hening saat kembali menuju teras Ruang Jurnalistik. Baskara tampak masih berdiri bersandar di dinding. Kedua tangannya dilipat di depan dada. Wajahnya tertutup bayangan topi hitamnya. Entah apa yang dipikirkannya saat itu.

Melihat kedua gadis itu mendekat, Baskara mengurai lipatan tangannya dan berjalan menyambut mereka.

“Makasih banyak, Nis.”

“Ah, bukan apa-apa, Bas!” Nissa tersenyum manis sambil menepuk lengan Baskara pelan. Senang bahwa untuk pertama kalinya dalam hampir tiga tahun mengenal Baskara, cowok itu mau menerima bantuannya, bahkan memintanya!

“Ya ampun, Bas! Kamu juga basah kuyup!” Gadis itu menyadari setelah tangannya merasakan lengan baju Baskara yang basah. “Kenapa kamu gak bilang, sih?”

Baskara tertawa kecil, “Kamu kan gak punya saudara laki-laki, gak akan ada baju yang pas untukku.”

“Yahhh, aku kan masih bisa mencari-cari baju bekas Papa yang udah kekecilan, Bas. Atau mungkin mampir ke toko?” Gadis itu masih menatap Baskara dengan alis berkerut khawatir. “Aku pulang sebentar trus kembali lagi kemari, oke?”

“Eh, jangan!” Baskara spontan menahan tangan gadis itu. “Aku sebentar lagi bakal pulang, gak usah repot-repot, Nis!”

“Beneran?” Gadis itu memandang Baskara dengan tidak yakin.

“Beneran!” Baskara berkata mantap. “Kamu pulang aja, Nis… Maaf udah ngerepotin. Aku pasti bayar semua kebaikanmu hari ini.”

“Dengan?”

“Soto Kantin Pak Nanto?”

“Taman Kota, Minggu pagi?” Gadis cantik itu mengerling jenaka.

“Ap… Apa?” Baskara kini tampak kebingungan.

“Bayar aku dengan jogging bareng hari Minggu di Taman Kota. Gimana?”

Setelah jeda beberapa detik, akhirnya Baskara mengangguk pelan. “Baiklah.”

“Bagus! Kalau gitu sampai jumpa besok di kelas! Dahhh!” Gadis itu melambai riang, dan kemudian mengenakan tudung hoodie-nya, berlari sepanjang koridor menjauhi Ruang Jurnalistik, meninggalkan Rania dan Baskara berdua lagi dalam hening.

Ada belasan pertanyaan di benak Rania.

Pertama, siapa gadis menawan yang rasanya ingin terus aku pandangi itu?

Kedua, darimana dia berasal? Kenapa dengan mudahnya membawakan baju kering untukku di Minggu sore seperti ini?

Ketiga, apakah hubungan di antara dia dan Kak Baskara? Apa mereka pacaran?

Keempat,…

“Namanya Nissa. Teman sekelasku. Rumahnya persis di seberang sekolah kita. Kamu tau rumah bertingkat dua dengan pagar putih? Itu rumahnya.” Baskara berkata kalem sambil melepas topi hitamnya. Diacak-acaknya rambut pendeknya yang sedikit lembab untuk kemudian dirapikannya kembali.

Ya, rumah mewah di seberang sekolah mereka. Siapa yang tidak pernah melihatnya? Rania mengangguk pelan. Dan oh, teman sekelas. Bukan pacar, kan?

Untuk kesekian kalinya Rania takjub akan reaksi Baskara yang selalu seperti dapat membaca pikirannya. Apakah Kak Baskara benar-benar dapat membaca pikiranku? Dengar-dengar, apabila ada seseorang yang dapat membaca pikiran di dekat kita, jika kita tidak ingin dibaca, maka kaki kita tidak boleh menyentuh lantai. Tapi bagaimana caranya agar kakiku tidak menyentuh lantai? Rania mulai memutar otaknya sambil berjinjit-jinjit. Aku kan tidak ingin dibaca terus-menerus!

Kini Baskara ikut berjongkok di sebelah kanan Rania. Rania menoleh sekilas dan sukses terpesona dengan wajah yang ada di sebelahnya. Tanpa topi hitam itu, Baskara tampak berbeda. Berbeda dalam artian yang lebih baik. Mudahnya, lebih tampan, walau hanya tampak samping.

“Ada apa?”

“Eh?” Rania kaget saat Baskara menoleh.

“Ada apa?” Baskara mengulang pertanyaannya, keningnya sedikit berkerut.

“Eh, gak apa-apa, Kak. Cu… Cuma mau bilang, makasih banyak…” Rania menunduk malu. Baskara sudah menyelamatkannya berkali-kali hari ini dan Rania hanya mampu mengucapkan terima kasih? Dan dengan lancang pula sibuk mengagumi wajahnya! Sungguh tidak sopan, Rania!

“Gak usah dipikirin.”

“Kak Baskara pulang sekarang?”

“Enggak.”

“Tapi… tadi… Ke Kak Nissa, kakak bilang…” Rania mulai bingung.

“Aku gak akan pulang sampai kita selesai bersih-bersih.” Baskara menjawab tenang sambil kembali memandang ke depan, “Sampai si macan tutul itu pulang.”

Tanpa sadar Rania tertawa kecil. Macan tutul Miskha.

Baskara ikut tertawa kecil. Lagi-lagi, memperlihatkan lesung pipi kirinya. Lagi-lagi, Rania terpesona.

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
RUMIT
6555      1868     53     
Romance
Sebuah Novel yang menceritakan perjalanan seorang remaja bernama Azfar. Kisahnya dimulai saat bencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang menimpa kota Palu, Sigi, dan Donggala pada 28 September 2018. Dari bencana itu, Azfar berkenalan dengan seorang relawan berparas cantik bernama Aya Sofia, yang kemudian akan menjadi sahabat baiknya. Namun, persahabatan mereka justru menimbulkan rasa baru d...
Gray November
3759      1296     16     
Romance
Dorothea dan Marjorie tidak pernah menyangka status 'teman sekadar kenal' saat mereka berada di SMA berubah seratus delapan puluh derajat di masa sekarang. Keduanya kini menjadi pelatih tari di suatu sanggar yang sama. Marjorie, perempuan yang menolak pengakuan sahabatnya di SMA, Joshua, sedangkan Dorothea adalah perempuan yang langsung menerima Joshua sebagai kekasih saat acara kelulusan berlang...
Story of April
2528      901     0     
Romance
Aku pernah merasakan rindu pada seseorang hanya dengan mendengar sebait lirik lagu. Mungkin bagi sebagian orang itu biasa. Bagi sebagian orang masa lalu itu harus dilupakan. Namun, bagi ku, hingga detik di mana aku bahagia pun, aku ingin kau tetap hadir walau hanya sebagai kenangan…
Toko Kelontong di Sudut Desa
5573      1956     3     
Fantasy
Bunda pernah berkata pada anak gadisnya, bahwa cinta terbaik seorang lelaki hanya dimiliki oleh ayah untuk anaknya. Namun, tidak dengan Afuya, yang semenjak usia tujuh tahun hampir lupa kasih sayang ayah itu seperti apa. Benar kata bundanya, tetapi hal itu berlaku bagi ibu dan kakeknya, bukan dirinya dan sang ayah. Kehidupan Afuya sedikit berantakan, saat malaikat tak bersayapnya memutuskan m...
Under a Falling Star
1049      613     7     
Romance
William dan Marianne. Dua sahabat baik yang selalu bersama setiap waktu. Anne mengenal William sejak ia menduduki bangku sekolah dasar. William satu tahun lebih tua dari Anne. Bagi Anne, William sudah ia anggap seperti kakak kandung nya sendiri, begitupun sebaliknya. Dimana ada Anne, pasti akan ada William yang selalu berdiri di sampingnya. William selalu ada untuk Anne. Baik senang maupun duka, ...
Demi Keadilan:Azveera's quest
1087      587     5     
Mystery
Kisah Vee dan Rav membawa kita ke dalam dunia yang gelap dan penuh misteri. Di SMA Garuda, mereka berdua menemukan cinta dan kebenaran yang tak terduga. Namun, di balik senyum dan kebahagiaan, bahaya mengintai, dan rahasia-rasasia tersembunyi menanti untuk terungkap. Bersama-sama, mereka harus menghadapi badai yang mengancam dan memasuki labirin yang berbahaya. Akankah Vee menemukan jawaban yang ...
AKSARA
6401      2180     3     
Romance
"Aksa, hidupmu masih panjang. Jangan terpaku pada duka yang menyakitkan. Tetaplah melangkah meski itu sulit. Tetaplah menjadi Aksa yang begitu aku cintai. Meski tempat kita nanti berbeda, aku tetap mencintai dan berdoa untukmu. Jangan bersedih, Aksa, ingatlah cintaku di atas sana tak akan pernah habis untukmu. Sebab, kamu adalah seseorang yang pertama dan terakhir yang menduduki singgasana hatiku...
Premium
SHADOW
6177      1839     0     
Fantasy
Setelah ditinggalkan kekasihnya, Rena sempat mencoba bunuh diri, tapi aksinya tersebut langsung digagalkan oleh Stevan. Seorang bayangan yang merupakan makhluk misterius. Ia punya misi penting untuk membahagiakan Rena. Satu-satunya misi supaya ia tidak ikut lenyap menjadi debu.
Luka atau bahagia?
4903      1418     4     
Romance
trauma itu sangatlah melekat di diriku, ku pikir setelah rumah pertama itu hancur dia akan menjadi rumah keduaku untuk kembali merangkai serpihan kaca yang sejak kecil sudah bertaburan,nyatanya semua hanyalah haluan mimpi yang di mana aku akan terbangun,dan mendapati tidak ada kesembuhan sama sekali. dia bukan kehancuran pertama ku,tapi dia adalah kelanjutan dari kisah kehancuran dan trauma yang...
(Un)Dead
856      445     0     
Fan Fiction
"Wanita itu tidak mati biarpun ususnya terburai dan pria tadi一yang tubuhnya dilalap api一juga seperti itu," tukas Taehyung. Jungkook mengangguk setuju. "Mereka seperti tidak mereka sakit. Dan anehnya lagi, kenapa mereka mencoba menyerang kita?" "Oh ya ampun," kata Taehyung, seperti baru menyadari sesuatu. "Kalau dugaanku benar, maka kita sedang dalam bahaya besar." "...