“Bukankah ini menyebalkan, Bas?” Nissa melempar batu kerikil ke arah kubangan air di hadapannya, menimbulkan percikan kecil yang mengenai sepatu olahraga putihnya.
“Apanya?”
“Hujan ini. Kita jadi nggak bisa menikmati keindahan taman karena hujan.” Nissa mengernyitkan hidungnya karena bau pesing yang sesekali tertiup angin ke arahnya. “Dan kenapa juga toilet menjadi satu-satunya pilihan kita untuk berlindung!”
Baskara tidak menyahut. Ia sibuk menggores-goreskan sesuatu pada tanah dengan ranting kecil yang dipungutnya, sama sekali tidak tertarik pada ocehan Nissa.
“Lagipula, kenapa sih hujan turun hampir sepanjang tahun di tempat ini? Bukankah ini sama sekali menyalahi materi IPA yang kita pelajari saat SD dulu?” Nissa masih mengomel. Satu-satunya hal yang disukainya dari kota kecil yang ditinggalinya itu adalah fakta bahwa Baskara juga tinggal di sana. Selebihnya, tidak ada yang menarik dari kota kecil yang sepi dengan cuaca yang semaunya sendiri ini. Kadang panasnya mengalahi api neraka (yah, begitulah kira-kira, Nissa belum tahu juga sepanas apa api neraka), kadang dingin seperti di pegunungan. Sialnya pun, hujan di tengah musim (yang seharusnya) kemarau ini mengacaukan acara nge-date-nya dengan Baskara hari ini! Sudah susah payah Ia membujuk Baskara untuk menemaninya jogging di Taman Kota hari ini, eh malah buyar begitu saja karena hujan menyebalkan ini!
Baskara masih enggan menyahut. Tangannya tetap sibuk menggoreskan gambar-gambar abstrak tidak berbentuk. Pikirannya mengembara entah kemana.
Sejenak mereka berdua terdiam, membiarkan suara rintik hujan yang jatuh pada daun-daun kamboja mengisi kekosongannya.
“Tapi aku menyukainya.” Baskara bergumam, lebih pada dirinya sendiri ketimbang menyahuti perkataan Nissa.
“Maaf?” Nissa mengernyitkan dahinya. Apa Baskara baru saja berkata sesuatu?
“Enggak. Bukan apa-apa.”
Aku menyukai hujan. Sangat menyukainya.
Baskara tersenyum kecil pada dirinya sendiri.
Karena hujan selalu mengingatkannya pada cinta pertama yang dilepasnya.