Loading...
Logo TinLit
Read Story - Gantung
MENU
About Us  

-Jarak waktu ternyata bukan jaminan, bahwa kau dan aku akan bertemu dengan saling merindu-

 

Agustus, 2010.

“Woooaahhh... Ckckck...” Rania berdecak kagum memandangi gambar dirinya di cermin panjang yang menempel di pintu lemarinya. Ia memutar badannya ke kanan, kemudian ke kiri, dan memutar tiga ratus enam puluh derajat dengan pelan, seolah-olah dirinya sedang berdiri di panggung peragaan busana.

“Kereeennn...!!!” Rania melompat-lompat kecil dengan bahagia, tapi kemudian berhenti sambil merapikan roknya yang kencang dan licin karena Rania memaksa Mama untuk menyetrikanya tiga kali. Sungguh dirinya tidak tertolong lagi. Sudah satu jam Ia berdiri mematut diri di depan cermin sambil senyam-senyum dan bergaya ini-itu. Sesekali Ia berdecak kagum, menghela napas panjang, atau berputar-putar senang, sementara senyum lebar tidak pernah lepas dari bibirnya. Akhirnya hari ini tiba!

Itu hari spesial. Hari yang bener-bener spesial karena pada akhirnya dirinya bisa mengenakan pakaian yang sudah diimpikannya sejak lama. Pakaian yang akan membawanya selangkah lebih dekat ke satu-satunya cowok yang pernah Ia sukai dalam 15 tahun hidupnya. Pakaian yang memiliki kekuatan seperti itu, tentu saja, tidak lain dan tidak bukan......

Seragam putih abu-abu.

“KAK RANIAAAAA!!! UDAH BELOM SIH DANDANNYA?! CEPETAN DOOONG NTAR TELAT!!!” Tommy, adik Rania yang baru kelas 2 SMP meneriakinya dari halaman depan.

“IYA BENTAR!! I’M COMIIINGG!!!” Rania balas berteriak sambil duduk di kasur untuk mengenakan kaos kaki dan sepatu hitam barunya.

“KALIAN BERDUA BISA NGGAK SIH NGGAK PAKE TERIAK-TERIAK??!! BERISIK TAU!” Kali ini kakak Rania yang udah kuliah, Tamara, teriak entah dari sudut rumah yang mana.

Kalo hari biasa sih Rania akan balas berteriak lagi, “KAKAK SENDIRI JUGA TERIAK-TERIAK! HUUUHHH!!” Kontes teriak-teriak itu pada akhirnya akan ditutup oeh teriakan maut Mama dari dapur, “SEMUANYA DIAM! DIAAAAAMMMM!!!”

Rumah Rania memang pagi-pagi persis kayak hutan hujan tropis. Semua penghuni rumah berasa bak tarzan yang harus selalu ngomong dengan suara kenceng karena takut orang yang diajak bicara tidak akan mendengar. Padahal pendengaran mereka sama sekali tidak adak masalah! Yang jadi masalah adalah Papa yang pagi-pagi senang mendengarkan berita dari radio yang suaranya disetel maksimum.

“Beres!” Rania berdiri dan mengambil tas gendong yang isinya cuma satu buku catatan, botol minum dan kotak pensil. Rania bergegas berlari menuju halaman depan sebelum Tommy punya kesempatan untuk meneriakinya lagi.

Ahh! Hari yang indah! Rania terus tersenyum sambil berlari kecil menghampiri Papa dan Tommy yang menunggunya di depan. Jantung Rania juga ikut berdebar dengan bersemangat. Tampaknya jiwa dan raga Rania sudah siap menyongsong lembaran hidup yang baru.

* * *

Rania menarik napas dalam-dalam sebelum memasuki gerbang sekolah barunya yang besar dan kokoh. Jantungnya yang sedari tadi ber-aerobik ria sekarang berdetak makin kencang.

“Woy!” Seseorang tiba-tiba menepuk pundak Rania dari belakang. Rania yang sedang mengagumi gedung sekolah impiannya itu terpaksa harus menoleh.

“Eh, SHASA‼!” Rania tersenyum lebar karena bertemu dengan sahabat sekaligus partner duduknya sejak SD. Tapi sebenernya Rania tidak perlu khawatir tentang hal itu. Hanya ada beberapa sekolah di kota kecil tempat Rania tinggal. Otomatis sebagian besar anak-anak yang sebaya akan satu sekolahan nyaris dari TK hingga SMA. Dan Shasa ini adalah salah satu teman Rania yang sudah dikenalnya semenjak masih unyu-unyu di TK dulu.

Shasa balas tersenyum dengan lebar, memperlihatkan gingsul kanannya yang manis. Rambutnya yang dikuncir tinggi bergoyang-goyang dengan semangat seolah-olah menyuarakan isi hati Shasa saat itu.

“Nggak nyangka ya kita sekarang udah pake seragam putih-abu! Rasanya baru kemarin kamu hampir mati keracunan gara-gara minum air yang dicampur bubuk kapur warna-warni!” Shasa mengusap-usap roknya dengan bangga sambil bernostalgia mengenang masa-masa TK mereka yang penuh tragedi unik. Mereka berdua kini berjalan berdampingan menuju kompleks bangunan kelas X.

Rania yang diingatkan lagi akan kejadian konyol sepuluh tahun yang lalu itu berusaha memasang wajah datar sambil berkata, “Lah, kita kan dulu juga udah pake seragam putih-abu kali! Biasa aja dong!”

“Huh? Ngaco ah! Jelas-jelas ini hari pertama kita jadi murid SMA resmi!”

“Kamu lupa ya, Sa, seragam kita waktu TK dulu kan juga putih abu!” Rania menyahut jayus.

Shasa yang baru nyadar kalo Rania lagi ngejayus kontan menjitak kepala Rania gemas. “Putih abu sih putih abu, tapi kan abu-abunya beda! Jangan disama-samain dong!”

Ngeliat Shasa yang dongkol Rania malah terkikik geli.

“Ganteng bangeeeetttt... Liat deh Ran!” Tiba-tiba Shasa merapat ke samping Rania sambil berbisik dan mencubit lengan Rania pelan untuk menarik perhatiannya.

“Aww! Apaan sih, Saa?” Rania mengusap-usap lengannya sambil mengikuti arah pandangan Shasa yang menuju arah jam 1.

Tapi Shasa tidak menjawab pertanyaan Rania. Ia malah sibuk memandangi sekumpulan cowok-cowok senior yang entah kelas XI atau XII--Rania tidak yakin--yang sedang duduk-duduk di taman sekolah menunggu jam bel masuk berbunyi. Rania tidak mau memandangi grup itu lama-lama. Peraturan pertama di SMA: Jangan pernah ketahuan sedang memandangi kakak kelas!

“Siapa yang ganteng, Sa?” Rania berusaha melihat dari sudut matanya sampai rasanya matanya bakal juling permanen. Tidak seperti Shasa yang terang-terangan berhenti dan berdiri menghadap cowok-cowok itu, Rania hanya berhenti sejenak dengan badan yang tetap lurus ke depan.

Tapi Shasa malah masih tidak menggubrisnya. Kalo seperti ini sih bisa-bisa mereka tidak akan sampai ke kelas baru mereka! Akhirnya Rania terpaksa menyeret Shasa untuk mulai berjalan lagi. Entah siapa yang Shasa katakan ganteng, Rania tidak peduli. Rania sendiri belum melihat ada cowok ganteng selama tiga hari MOS kemarin.

“Jangan cepet-cepet ah, Ran! Biarkan aku menikmati momen yang indah ini...” Shasa berusaha menahan tangan Rania sambil sok-sok mendramatisir. Drama Queen memang nama belakangnya.

“Bentar lagi bel loh, Saaa! Ayo cepetan!” Rania jadi makin tidak sabar sambil terus menarik Shasa untuk berjalan menuju ruang kelas mereka.  

“Itu, Ran.. Kak Baskara! Ganteng banget ya? Apalagi pas MOS. Widihhh wibawanya!” Akhirnya Shasa mulai berjalan dengan fase normal lagi sambil berbisik-bisik di dekat Rania, takut kalo-kalo ada senior cewek yang menangkap obrolan mereka.

Kak Baskara? Masa Kak Baskara ada di kumpulan cowok-cowok tadi sih? Gak mungkin aku gak menyadari kalau dia ada di sana! Gak mungkin! Rania berusaha melihat ke belakang, ke taman sekolah tempat senior cowok-cowok tadi nongkrong. Tapi sayang, pandangan mereka telah tertutupi semak-semak yang mengelilingi taman. Jantung Rania kini berdegup makin kencang lagi. Gelisah. Perasaan yang sudah tidak asing lagi untuk Rania karena inilah yang selalu dirasakannya tiap kali Ia mendengar nama Baskara.

“Kamu juga ngerasa Kak Baskara ganteng ya? Iya kan!!! Dia ganteng, baik, keren, T-O-P deh pokoknya!!” Shasa masih dengan semangat mengoceh di samping Rania. Wajah Rania seketika terasa panas. Pikirannya mendadak kosong.

Kompleks kelas X kini sudah terlihat, hanya tinggal beberapa meter lagi, tapi Rania jadi tidak ingin cepat-cepat masuk kelas. Rasanya Ia ingin berbalik lagi ke arah taman sekolah supaya Ia bisa memastikan kalau Baskara memang ada di sana. Kalau mulai hari ini, mereka berdua resmi berada di satu sekolah yang sama, lagi. Setelah penantian yang panjang, akhirnya Rania bisa melihat Baskara lagi setiap hari.

* * *

“Bas! Woi! Helloooo Earth to Baskara? Anybody there?” Rinto menjentikkan jarinya di depan muka Baskara.

“Eh?” Baskara yang kaget cuma membalas singkat sambil memalingkan mukanya dari arah gerbang sekolah dan menatap Rinto.

“Pagi-pagi udah melamun aja! Ntar ayam Pak Yusup pada mati semua lho!” Ujar Rinto sambil menepuk pundak Baskara. Teman-teman sekelas mereka lainnya yang sudah berkali-kali mendengar perkataan yang sama keluar dari mulut Rinto cuma mesem-mesem sambil menatap Baskara dengan pandangan bertanya-tanya, seolah-olah sedang menunggu jawaban Baskara. Pikir mereka, kasihan betul ayam-ayam penjaga sekolah yang selalu menjadi korban kejayusan Rinto.

“Eh? Ada apaan sih? Kok pada ngeliatin gitu?” Baskara menatap teman-temannya satu per satu dengan wajah bingung.

“Makanya, kalo temen lagi pada diskusi tuh jangan bengong aja! Nggak denger kan tadi kita-kita pada bilang apa?” Bukannya menjawab pertanyaan Baskara, Ia malah melanjutkan omelannya.

“Iya! Iya! Sori deh, sori. Emang ada apaan sih?”

“Nanti sore kita-kita mau main futsal, mau ikut nggak?”

“Oh itu...” Baskara menarik napas lega sambil pura-pura berpikir. Ia kira dirinya telah melewatkan sesuatu yang penting, ternyata cuma ajakan untuk main futsal. Baskara kembali melirik ke arah gerbang sekolah. Hilang! Dia sudah tidak ada di sana lagi. Sial! Baskara merutuk dalam hati. Hatinya mencelos. Kecewa karena telah melewatkan kesempatan yang jarang datang padanya. Sial! Baskara mengumpat lagi dalam hati, kali ini untuk dirinya sendiri. Harusnya perasaan kecewa itu tidak boleh Ia rasakan lagi. Apa gunanya selama ini berlari menjauh kalau setiap Ia melihatnya, hatinya selalu bergetar, berharap dan akhirnya berujung pada kekecewan?

Selalu begini.

So?” Rinto menaikkan alisnya, menunggu jawaban Baskara yang tak kunjung datang.

“Oke. Tapi mungkin agak telat, ada rapat OSIS.” Baskara menyahut tanpa bersemangat. Yang ada di benaknya kali ini hanya satu. Satu nama.

Dan tanpa dapat dicegahnya, pikirannya kembali mengembara ke masa dimana semuanya bermula.

* * *

“HATCHIUUUU‼!” Baskara tidak sanggup menahan rasa gatal di hidungnya. Ditutupnya hidungnya yang memerah dengan tissue. Ingus bening tidak henti-hentinya keluar dari hidungnya sejak pagi tadi.

Pasti karena hujan kemarin. Rutuk Baskara dalam hati.

“HAA… HATCHIUUUU‼!” Baskara kembali bersin. Sudah hampir 2 bungkus tissue dihabiskannya hari ini. Badannya mulai terasa hangat, kepalanya pening, namun waktu masih menunjukkan pukul 09.55. Masih ada tiga jam sebelum sekolah berakhir hari itu.

“Nih!” seseorang menyodorkan sekotak besar tissue pada Baskara.

“Eh? Gapapa, Niss, gak usah.” Baskara menolak halus sambil masih menutupi hidungnya dengan tissue.

“Bisa gak sih kamu terima pemberianku sekaliiii aja, Bas…” Nissa berkata pelan sambil duduk di bangku sebelah Baskara yang sedang kosong. Mata bulatnya tidak pernah lepas dari wajah Baskara.

Ditatap seperti itu, Baskara jadi kikuk.

“Bu.. Bukannya gitu, Niss. Aku masih punya, beneran deh.” Baskara masih berusaha menolak dengan suara bengeknya.

“Baiklah, gimana kalau kita buat perjanjian? Kalau kamu bersin sekali lagi, artinya kamu harus terima tissue dariku. Gimana?”

“Gak adil!”

“Apa? Deal? Deal ya!”

“Eh! Ak gak pernah setu… HA… HAT…..Nggrrkkk…” Baskara berusaha menahan bersinnya hingga menciptakan suara aneh yang membuat Nissa tertawa terbahak.

“Jangan nyiksa diri gitu dong, Bas!”

“Aku gak bersin lho tadi, Niss…” Baskara menjawab kalem, setengah memelas.

Nissa mengedikkan bahunya, “Terserah padamu, Bas!” dan pergi meninggalkan Baskara sendiri sambil mengambil kembali sekotak tissue yang disodorkannya tadi. Baskara gak pernah berubah!

Baskara berusaha menarik napas panjang dengan kondisi hidungnya yang nyaris mampet total. Di pandanginya siswa-siswi yang lalu lalang di luar kelasnya. Jam istirahat tinggal lima belas menit lagi. Sedari tadi tidak ditemukannya sosok yang sejak dua minggu terakhir menarik pandangannya itu. Tepatnya, sejak gadis itu mulai masuk di sekolahnya.

Bagaimana kabarnya gadis itu, ya?

Baskara mengambil helai terakhir dari bungkus tissuenya. Tampaknya Ia harus pergi ke kantin untuk membeli beberapa bungkus lagi agar bisa bertahan di sekolah hari ini.

Dengan lesu Baskara berjalan ke luar kelas. Dirapatkannya jaket biru tua yang sejak pagi tidak dilepaskannya itu. Kantin terletak tepat di sebelah kompleks kelas VII. Untuk sampai ke sana, Baskara harus melewati kelas VII A dan VII B, begitupun saat kembali ke kelasnya nanti.

“Haaa… Haaa… HATCHIUUUUU‼‼”

Baskara menoleh mendengar suara bersin dari kelas yang dilewatinya. Saat disadarinya siapa yang baru saja bersin dengan nyaring itu, Baskara tersenyum kecil. Itu dia.

Gadis itu tampak sibuk menyumpal hidungnya dengan tissue, kepalanya ditengadahkan. Pasti agar ingusnya tidak mengalir deras seperti air terjun kembar! Baskara kembali tersenyum geli. Tanpa disadarinya, Ia telah berhenti dan berdiri memandangi gadis itu lebih lama dari yang Ia kehendaki.

Tiba-tiba gadis itu menoleh ke arahnya. Oh, tidak! Terkesiap, Baskara cepat-cepat melanjutkan perjalanannya menuju kantin. Jantungnya berdegup aneh. Semoga Ia tidak melihatku, doa Baskara khusyuk dalam hati.

“Makasih, Bu.” Baskara menerima kotak tissue dan uang kembaliannya.

Tanpa disadarinya, kini di tangannya terdapat dua kotak besar tissue. Ia yakin 1 kotak akan cukup untuk hari ini. Lalu, kenapa Ia membeli dua??

Baskara menggelengkan kepalanya heran. Pasti ini akibat flu yang sedang dideritanya. Baskara memasukkan uang kembalian ke kantong jaketnya dan berjalan kembali ke kelasnya, sekali lagi melewati kelas VII A, tempat gadis itu….

“Dik, tunggu!” Refleks Baskara menepuk pundak seorang anak laki-laki yang akan berjalan masuk ke kelas VII A.

“Boleh titip ini? Untuk Rania.” Baskara menyodorkan sekotak besar tissue pada anak itu.

“Dari siapa, kak?”

“Kakaknya. Makasih ya!”

Belum sempat anak itu membalas, Baskara cepat-cepat berlalu. Kali ini tanpa menoleh lagi karena wajahnya telah memerah, dan jantungnya tidak berhenti berdegup aneh. Aku pasti sudah gila!

Kakak? Siapa aku?
***

Rania mengedarkan pandangannya ke seisi kelas yang sedang sibuk mengobrol dalam kelompok-kelompok kecil. Rania bisa mengenali hampir sebagian besar teman-teman sekelasnya itu. Antara mereka pernah menjadi teman sekelas Rania dulu, atau Rania pernah melihat mereka saat di SMP atau SD dulu.

Tiba-tiba Rania menangkap sosok yang begitu familiar di salah satu pojok kelas mereka. Rangga? Rania mengucek-ucek matanya tidak percaya. Itu beneran Rangga atau aku cuma sedang berhalusinasi?

“Sa, itu Rangga bukan sih?” Rania menepuk lengan Shasa tapi matanya tidak lepas dari satu sosok yang dari samping benar-benar mirip dengan Rangga, takut-takut kalau dipalingkan wajahnya, sosok itu akan menghilang!

“Iya lah, Ran! Itu Rangga, siapa lagi?” Shasa menjawab santai.

“Sialan! Aku ditipu!” Rania menggerutu gemas. Sama seperti Shasa, Rangga adalah teman yang telah dikenalnya sejak SD dulu. Rania sih sebenernya ogah mengakui Rangga sebagai sahabatnya, karena cowok itu lebih sering membuat dongkol daripada membuat senang. Tapi apa boleh dikata, Rania terlanjur terbiasa dengan kehadiran cowok itu di kelas. Dan kemarin cowok iseng itu bilang kalau kali ini mereka tidak sekelas lagi.

Walaupun kesal karena sempat tertipu, Rania bernapas lega juga. Paling tidak di kelas baru itu, ada dua orang terdekatnya di sampingnya. Rania tidak usah takut, apalagi khawatir akan kesepian.

Bukankah ini semua awal yang baik?

* * *

“Ran, Kak Aldo nggak sekolah ya hari ini? Kok nggak nyamperin sama sekali sih?” Shasa bertanya dengan hati-hati sambil mengaduk jus jeruknya. Rania yang sedang asik menikmati baksonya itu cuma mengangkat kedua bahunya cuek.

“Kalian berdua nggak lagi berantem kan?” Shasa kembali bertanya. Aneh, masa di hari pertama Rania resmi jadi murid SMA, Kak Aldo tidak menghampirinya sama sekali? Bilang “welcome” kek, atau paling tidak traktir di kantin gitu! Kan Shasa dan Rangga juga akan kecipratan rejeki!

Rania yang tahu kalau babak interogasi akan segera dimulai hanya bisa mengangkat kedua bahunya sambil meraih jus jeruk Rangga dan menyeruputnya hingga amblas alias ludes alias bersih tak bersisa. Rangga yang kehilangan minumannya hanya bisa pasrah.

“Ya udah nggak pa-pa kalo nggak mau cerita sama aku.. Aku ini apa atuh.. Aku cuma cewek culun yang gak punya temen, yang gak pernah kebagian gosip apa-apa karena gak punya temen…” kata Shasa lesu sambil melanjutkan menikmati soto ayamnya dengan wajah yang disedih-sedihkan. Taktiknya memang selalu menggunakan reverse-psychology. Tujuannya biar Rania merasa tidak enak, dan akhirnya cerita deh!

Hehe… Shasha terkekeh sendiri dalam hati.

Walaupun Rania sudah kenal betul taktik licik si Drama Queen Shasa, Ia tetap selalu jatuh dalam perangkapnya. Tapi memang kali ini tidak ada yang bisa diceritakan. Pertengkarannya kali ini dengan Aldo memang tidak jelas ujung-pangkalnya. Sama sepertu sebelum-sebelumnya. Rania memang tiba-tiba saja ingin bersikap cuek. Selama MOS, Rania tidak pernah membalas SMS atau mengangkat telpon dari Aldo. Selain karena banyak tugas dan kelelahan, Rania memang sedang tidak ingin berbicara dengan Aldo. Entah kenapa. Rania cuma tidak bisa memaksa dirinya untuk berbicara dengan Aldo walaupun sebentar saja. Bukan, bukan karena Rania sudah tidak sayang sama Aldo. Tapi…

Apakah aku pernah benar-benar sayang sama Aldo atau cuma…

Ah, bodo! Rania berdebat dalam hati sambil meremas-remas tisu di tangannya.

Satu-satunya orang yang ingin diajaknya bicara cuma Baskara. Tapi cowok itu malah tidak meliriknya sama sekali. Dengan Baskara, harapan hanya akan tetap menjadi harapan. Rania tahu betul tentang itu, tapi ia tidak bisa mencegah dirinya sendiri.

Yah… Begitulah. Pada akhirnya, setelah hampir 1 minggu digantungin dan dicuekin ga jelas, Aldo yang ngambek. Alhasil, hari ini Aldo nggak menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Tapi sejak kemarin Rania tidak mau ambil pusing. Malahan Rania tidak memikirkan Aldo sama sekali sampai Shasa mengungkitnya barusan. Rania tidak mau merusak kebahagiaan hari pertamanya dengan pikiran atau perasaan negatif.

“Ya biasa lah, Sa. Salah paham kecil doang, palingan besok juga udah baikan. Santai...” Rania menjawab enteng sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling kantin yang ramai dipenuhi oleh anak-anak kelas X yang hari pertamanya penuh dengan jam kosong. Di beberapa meja tampak pula segelintir anak-anak kelas XI atau XII yang kebetulan juga sedang di anugerahi jam kosong. Hati kecil Rania berharap dirinya bisa menemukan sosok yang selalu ditunggu dan dicarinya. Tapi nihil.

“Udah selesai belom? Balik yuk!” Rangga berdiri dari meja mereka dan bersiap membayar makanan-makanan mereka.

***

Rania yang berjalan sambil menunduk mengagumi sepatu hitam barunya yang berkilau terkena cahaya matahari tiba-tiba merasa ada sepasang mata yang sedang memerhatikannya. Ketika Ia mengengadahkan kepalanya, matanya bertemu dengan sepasang mata hitam yang tajam dan dipenuhi dengan ekspresi yang Rania tak bisa kenali pasti.

Kak Baskara.

Cowok itu sedang berjalan ke arah kantin bersama teman-temannya, berlawanan arah dengan Rania dan kedua temannya. Rania tertegun sejenak. Kaget. Senang. Bingung. Semuanya bercampur menjadi satu. Kak Baskara sedang menatapnya! Jantung Rania mulai berdebar dengan cepat, bibirnya terasa kering dan lidanya terasa kelu.

Tanpa sadar Ia meremas rok abunya. Apa yang harusnya aku lakukan? Haruskah aku tersenyum? Menyapa? Yang mana dulu? Rania sudah mengulang momen seperti ini dalam otaknya ratusan kali. Bahkan dirinya sudah berlatih semua kata-kata dan ekspresi yang harus diberikannya saat hal ini terjadi. Tapi apa sekarang? Hati dan otaknya malah sibuk berdebat sampai tanpa disadarinya momen yang tepat telah lewat.

Baskara tidak lagi menatapnya. Sekarang cowok itu malah asik berbincang dengan dua temannya dan lewat di samping Rania tanpa menoleh sedikit pun, seolah-olah mereka tidak pernah saling menatap. Seolah-olah mereka tidak pernah kenal satu sama lain.

Seolah-olah aku hanya angin lalu, yang kehadirannya disadari tapi tidak terlihat, untuk kemudian terlupakan.

Rania menggigit lidahnya untuk mencegah dirinya dari mengeluarkan protes pada Shasa dan Rangga karena kejadian aneh yang baru saja Ia alami. Kedua sahabatnya itu tidak pernah tahu tentang Baskara. Dan Rania tidak berniat mulai memberitahu mereka sekarang. Biarlah ini tetap menjadi rahasianya seorang.

Tapi Rania tidak bisa berhenti mengulang kejadian itu di pikirannya. Rania senang, tolong di-highlight, sangat sangat senang, karena Ia baru saja berpapasan dengan Baskara. Tetapi hatinya juga jadi gundah gulana. Pertemuan itu terlalu cepat, terlalu pendek. Dan terlalu penuh dengan tanda tanya. Apa arti tatapan Baskara itu? Apa cowok itu berusaha mengingat-ingat jika Ia mengenali Rania? Apa cowok itu sudah melupakan Rania sepenuhnya? Apakah waktu perpisahan 3 tahun bisa sekejam itu?

Apakah aku pernah melakukan kesalahan padanya hingga Ia melupakanku seperti ini?

Apakah aku terlalu jelek untuk diingatnya?

Rania menarik napas dalam-dalam. Mungkin. Itu jawaban yang masuk akal. Kalau Baskara masih mengingat Rania, tentu cowok itu sudah menghampirinya saat MOS atau menyapanya tadi saat mereka berpapasan. Paling tidak, tersenyum sedikit? Atau menggangguk ringan? Apapun yang mengisyaratkan kalau Baskara mengingat dirinya. Tapi semua itu tidak dilakukannya. Baskara menatapnya seolah-olah Rania adalah orang asing yang pernah ditemuinya di satu tempat dan satu waktu yang lama sekali. Orang asing tanpa nama, tanpa wajah, tanpa kenangan.

Ya. Sorot mata itu... Itu sorot mata kebingungan, dan keraguan. Seperti seseorang dengan demensia yang kehilangan arah rumahnya. Rania mengangguk pada dirinya sendiri. Akhirnya bisa menginterpretasi sorot mata yang Baskara berikan padanya tadi walau karena itu hatinya jadi makin nelangsa. Seandainya Ia bisa memilih, Ia tidak ingin mengingat cowok itu lagi. Tapi sepertinya hati dan pikirannya berkonspirasi untuk menentangnya, dan menyandera Baskara dalam ruang hati dan ruang pikiran yang tidak bisa terjamah oleh siapapun, atau termakan oleh waktu.

“Eh, itu Kak Aldo lagi turun tangga, Ran!” Shasa menyikut Rania yang lagi-lagi berjalan sambil menunduk. Kali ini bukan untuk memandangi sepatu barunya, tapi untuk berpikir keras dan meratapi hatinya yang sakit.

“Huh? Mana? Mana?” Tiba-tiba Rania menjadi panik. Jantungnya berdebar-debar khawatir. Ia tidak ingin menemui Aldo sekarang. Tidak sebelum dirinya bisa menenangkan hatinya yang kacau setelah bertemu Baskara tadi.

“Itu, Ran! Turun tangga dari kelasnya! Tapi kayaknya dia nggak liat kamu deh! Aku panggil ya! Kak... Hmmpfff.. Hmpppfff...!!!” Rania cepat-cepat membekap mulut Shasa sebelum cewek itu menarik perhatian yang tidak diinginkan.

“Aku nggak mau ketemu dia, please!” Rania memberikan tatapan paling memelasnya Rangga dan Shasa. Tangannya masih membekap mulut Shasa. Rangga yang tentu saja paling mendukung permintaan Rania yang satu ini dengan tanggap menarik tangan Shasa dan Rania, dan mengajak kedua cewek itu berlari kecil menuju ruang kelas mereka.

* * *

 “Nggak mesen makanan nih Bas? Diet yaaaaa?” Rinto menyikut Baskara sambil menaik-naikkan alis kanannya.

“Enak aja! Ngapain!” Baskara meninju ringan lengan Rinto yang mengambil tempat di sampingnya sambil menaruh semangkuk soto panas di meja.

“Eh, pelan-pelan dong, Bas! Hampir tumpah nih!” Rinto protes karena tinjuan Baskara pada lengannya tadi membuatnya kaget.

Bukannya menyesal karena hampir menumpahkan soto Rinto, Baskara malah kembali mengalihkan pandangannya ke pintu kantin.

“Eh, tapi serius deh, Bas. Kan kamu sendiri yang ngajak kita-kita ke kantin. Katanya laper?” Rinto lanjut bertanya sambil menyuapkan sesendok penuh soto ayam ke mulutnya dan mengunyah dengan rakus.

“Udah nggak laper lagi. Lagian jam kosong juga kan, bosan di kelas terus.” Baskara menjawab sekenanya sambil memainkan sebuah sedotan plastik di tangannya.

Nafsu makannya menguap sudah lenyap. Kakinya masih terasa agak lemas dan telapak tangannya berkeringat dingin. Digosok-gosokkannya telapak tangannya pada celana abunya. Jantungnya masih berdegup kencang sampai Ia heran kenapa Rinto tidak bisa mendengarnya.

Kali pertamanya berpapasan dengan Rania yang kini resmi menjadi murid SMA terjadi jauh lebih cepat dari dugaannya. Dan dirinya tidak siap sama sekali. Kalimat-kalimat yang ingin Ia sampaikan masih belum tersusun dengan sempurna. Ia bahkan belum memutuskan harus bagaimana saat bertemu cewek itu. Selama MOS dirinya cuma bisa mengawasinya dari jauh, dan berusaha mati-matian untuk meminimalisasi kontak dengannya. Aku tidak akan pernah siap untuk menemuinya. Tidak akan pernah.

Akhirnya Baskara melakukan satu-satunya hal paling sederhana yang bisa ia lakukan saat berpapasan tadi, menatap gadis yang sedang menunduk itu lekat-lekat. Merekam setiap detail yang ada padanya, takut kalau itu adalah kesempatan terakhirnya. Rambut bergelombangnya yang dikuncir di belakang, anting kecil bulatnya yang berkilau tertimpa sinar matahari, jam tangan kulit cokelat yang melingkar manis di tangan kirinya, seragam putih-abunya yang masih begitu bersih dan baru serta.... matanya yang berbentuk bulan sabit saat tersenyum penuh keramahan, yang tanpa peringatan tiba-tiba menatapnya balik dengan kaget, dan juga bingung.

Apa Rania masih mengingat dirinya? Setelah tiga tahun mendadak berpisah tanpa kontak, apakah gadis itu masih bisa mengenalinya? Terkadang pubertas memang memiliki dampak yang cukup besar pada seseorang sampai membuat orang itu sulit dikenali. Tapi… Baskara tidak yakin dirinya berubah begitu banyak sejak SMP dulu selain tinggi badannya yang mencuat hampir tidak terkendali dan suaranya yang memberat. Tapi sorot mata itu... Rania seperti tidak mengenalinya lagi. Ada begitu banyak kebingungan. Dan dengan berat hati Baskara memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan kekecewaannya dari gadis itu dengan tertawa paksa pada entah lelucon apa yang Rinto lontarkan tadi. Toh ini semua adalah hasil dari kesalahannya sendiri yang dengan pengecutnya pergi tanpa mengatakan apapun pada Rania terlebih dahulu. Apa yang diharapkannya dari perpisahan tanpa tedeng aling-aling seperti itu? Berharap Rania akan menyambutnya dengan hangat? Konyol Bas!

Apapun yang Baskara lakukan, Ia tidak bisa memaksa Rania untuk memaafkannya atas apa yang sudah Ia lakukan pada gadis itu, apalagi memaksa gadis itu untuk menyukainya. Bagaimana bisa Ia dengan lancang berharap seperti itu saat dirinya lah yang memutuskan untuk meninggalkan gadis itu dalam tanya? Tanpa kata perpisahan, tanpa kontak. Tidak ada yang salah selain dirinya sendiri!

Dan Ia tidak boleh terus menerus menyakiti hatinya sendiri. Apalagi kini Rania sudah memiliki pacar. Baskara tidak ingin menempatkan dirinya pada posisi yang akhirnya akan menyakiti hatinya lebih daripada siapapun. Ada begitu banyak hati yang harus Ia jaga saat ini.

Baskara menarik napas dalam-dalam. Hari yang dinanti-nantikannya sekaligus ditakutinya akhirnya datang juga. Hari dimana Rania menjadi adik kelasnya lagi. Lagi. Hari yang menandai awal pertemuan-pertemuannya dengan Rania kembali.

Bertahanlah, Bas. Tinggal satu tahun. Setelah ini kamu akan lulus SMA, dan bisa pergi jauh-jauh dari Rania. Pergi jauh ke tempat dimana gadis itu tidak akan bisa mengusikmu lagi. Ke tempat dimana gadis itu tidak akan berpikiran untuk menyusulmu. Ke tempat dimana akhirnya kamu bisa memaafkan takdir dan benar-benar move on.

Dan memaafkan takdir yang memaksaku untuk meninggalkan cinta pertamaku.

Satu tahun lagi.

* * *

Hujan kembali mengguyur kota kecilnya di waktu yang selalu saja tidak tepat. Seperti misalnya saat ini, hujan turun begitu derasnya saat jam pulang sekolah. Bisa-bisanyaaaaaa…! Perasaan dari pagi langit biru, awan putih, terbentang indah… eh, itu kan lagunya Sherina! Baskara merutuk kesal dalam hati.

Baskara yang memang biasa pulang naik sepeda terpaksa harus berteduh di teras sekolah menunggu hujan agak reda. Percuma saja memakai jas hujan. Jas hujan tipisnya tentu akan tampak begitu bodoh saat menghadapi hujan sederas ini. Apalagi, kondisinya yang saat ini sedang flu. Baskara tidak ingin sakitnya semakin parah.

“Haaa… Hatchiuuuuu‼”

Baskara menoleh mendengar suara bersin yang familiar itu. Dan dirinya menegang.

Rania sedang berjalan ke arahnya, sekotak besar tissue dalam pelukan tangan kirinya, sementara tangan kanannya sibuk menutupi hidungnya. Cepat-cepat Baskara mengalihkan pandangannya, setengah berharap Rania tidak akan berdiri tepat di sampingnya. Apa yang akan terjadi pada jantungnya kalau itu sampai terjadi?

“Kak Baskara?”

Deg. Baskara terperanjat kaget mendengar suara bengek yang baru saja menyapanya. Dengan gugup Baskara menoleh ke kanan, dimana suara itu berasal.

“Oh, hai.” Hanya itu yang bisa keluar dari bibir Baskara yang mendadak terasa kaku. Bahkan senyum pun tidak mampu dibentuknya.

“Lho, Kak Baskara flu juga?” Rania menunjuk sekotak besar tissue berlogo M yang sedang Baskara pegang. Tissue yang sama persis seperti yang kini dipeluk Rania. Tissue merek lokal yang hanya dijual di kantin sekolah dan di beberapa toko kelontong kecil di kota mereka.

Wajah Baskara memerah. Gawat! Apakah aku akan ketahuan?

“Eh? I.. Iya, nih. Sedikit.”

“Ehm.. Ta.. tadi, ada yang memberiku tissue ini…” Rania berkata ragu sambil menunjukkan kotak tissue yang sedari tadi didekapnya. Entah apa yang ingin dikatakannya.

“Lalu?” Baskara berusaha keras memasang ekspresi sepolos dan sedatar mungkin. Walau dalam hatinya panik, panik, panik! Apa yang akan aku lakukan jika sampai ketahuan? Tolongg!

Rania memandang Baskara heran, seperti berusaha mencari sesuatu di ekspresi wajah Baskara. “Engg… gak apa-apa.” Akhirnya Rania menunduk sambil memencet hidungnya kembali dengan tissue. Pasti bukan dia. Rania menggeleng pelan. Jangan ge-er dong, Ran!

“Ran! Belum pulang?” Seseorang menepuk pundak Rania.

“Eh, Hadi. Iya nih, nunggu Papa.”

“Loh!” Hadi terperanjat saat menyadari sosok yang sedang berdiri di sebelah Rania.

“Kenapa, Di?”

“Ini kan kakak yang titip tissue tadi pagi!”

“Hah??!” Rania dan Baskara kompak menoleh pada Hadi. Sejurus kemudian Baskara kembali memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan semburat merah yang mendadak muncul di kedua pipinya. Panas. Jantungnya berdetak begitu kencang. Kakinya terasa agak lemas. Kini. Tamatlah. Riwayatnya.

Mata Rania masih terbelalak kaget. Tidak percaya akan berita yang baru saja dibawa Hadi.

“Ka.. Kamu pasti salah ingat, Di!” Rania tertawa gugup. Sekuat tenaga berusaha menyelamatkan mereka dari suasana canggung yang tiba-tiba menyelimuti ketiganya.

“Jangan pernah ragukan kemampuan memori fotografikku, Ran,” ucap Hadi, si pemenang medali emas Olimpiade Sains Nasional (OSN) Biologi yang terkenal dengan memori fotografiknya itu dengan serius, sembari menepuk pundak Rania mantap.

Rania hanya melongo heran. Tidak sanggup berkata-kata akan situasi yang ditemuinya ini.

Sementara Baskara… Apa yang terjadi padanya?

Baskara hanya menunduk dalam-dalam sambil memencet hidungnya dengan tissue. Malu dan meler di saat yang sama sungguh sebuah kombinasi malapetaka yang tak pernah diketahuinya ada di dunia ini.

***

 

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Let's See!!
2260      962     1     
Romance
"Kalau sepuluh tahun kedepan kita masih jomblo, kita nikah aja!" kata Oji. "Hah?" Ara menatap sahabat kentalnya itu sedikit kaget. Cowok yang baru putus cinta ini kenapa sih? "Nikah? lo sama gue?" tanya Ara kemudian. Oji mengangguk mantap. "Yap. Lo sama gue menikah."
Lullaby Untuk Lisa
5583      1627     0     
Romance
Pepatah mengatakan kalau ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. Tetapi, tidak untuk Lisa. Dulu sekali ia mengidolakan ayahnya. Baginya, mimpi ayahnya adalah mimpinya juga. Namun, tiba-tiba saja ayahnya pergi meninggalkan rumah. Sejak saat itu, ia menganggap mimpinya itu hanyalah khayalan di siang bolong. Omong kosong. Baginya, kepergiannya bukan hanya menciptakan luka tapi sekalig...
Campus Love Story
8434      1911     1     
Romance
Dua anak remaja, yang tiap hari bertengkar tanpa alasan hingga dipanggil sebagai pasangan drama. Awal sebab Henan yang mempermasalahkan cara Gina makan bubur ayam, beranjak menjadi lebih sering bertemu karena boneka koleksi kesukaannya yang hilang ada pada gadis itu. Berangkat ke kampus bersama sebagai bentuk terima kasih, malah merambat menjadi ingin menjalin kasih. Lantas, semulus apa perjal...
The Last tears
918      522     0     
Romance
Berita kematian Rama di group whatsap alumni SMP 3 membuka semua masa lalu dari Tania. Laki- laki yang pernah di cintainya, namun laki- laki yang juga membawa derai air mata di sepanjang hidupnya.. Tania dan Rama adalah sepasang kekasih yang tidak pernah terpisahkan sejak mereka di bangku SMP. Namun kehidupan mengubahkan mereka, ketika Tania di nyatakan hamil dan Rama pindah sekolah bahkan...
START
313      211     2     
Romance
Meskipun ini mengambil tema jodoh-jodohan atau pernikahan (Bohong, belum tentu nikah karena masih wacana. Hahahaha) Tapi tenang saja ini bukan 18+ 😂 apalagi 21+😆 semuanya bisa baca kok...🥰 Sudah seperti agenda rutin sang Ayah setiap kali jam dinding menunjukan pukul 22.00 Wib malam. Begitupun juga Ananda yang masuk mengendap-ngendap masuk kedalam rumah. Namun kali berbeda ketika An...
Dunia Alen
5742      1681     2     
Romance
Alena Marissa baru berusia 17 belas tahun, tapi otaknya mampu memproduksi cerita-cerita menarik yang sering membuatnya tenggelam dan berbicara sendiri. Semua orang yakin Alen gila, tapi gadis itu merasa sangat sehat secara mental. Suatu hari ia bertemu dengan Galen, pemuda misterius yang sedikit demi sedikit mengubah hidupnya. Banyak hal yang menjadi lebih baik bersama Galen, namun perlahan ba...
Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
7652      2529     22     
Romance
Kenangan pahit yang menimpanya sewaktu kecil membuat Daniel haus akan kasih sayang. Ia tumbuh rapuh dan terus mendambakan cinta dari orang-orang sekitar. Maka, ketika Mara—sahabat perempuannya—menyatakan perasaan cinta, tanpa pikir panjang Daniel pun menerima. Sampai suatu saat, perasaan yang "salah" hadir di antara Daniel dan Mentari, adik dari sahabatnya sendiri. Keduanya pun menjalani h...
Negeri Tanpa Ayah
15085      2508     1     
Inspirational
Negeri Tanpa Ayah merupakan novel inspirasi karya Hadis Mevlana. Konflik novel ini dimulai dari sebuah keluarga di Sengkang dengan sosok ayah yang memiliki watak keras dan kerap melakukan kekerasan secara fisik dan verbal terutama kepada anak lelakinya bernama Wellang. Sebuah momentum kelulusan sekolah membuat Wellang memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dia memilih kuliah di luar kota untuk meng...
Dream of Being a Villainess
1391      796     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
Aku Milikmu
2022      894     2     
Romance
Aku adalah seorang anak yang menerima hadiah terindah yang diberikan oleh Tuhan, namun dalam satu malam aku mengalami insiden yang sangat tidak masuk akal dan sangat menyakitkan dan setelah berusaha untuk berdamai masa lalu kembali untuk membuatku jatuh lagi dengan caranya yang kejam bisakah aku memilih antara cinta dan tujuan ?