Yasmine menatap datar notifikasi mobile banking. Beberapa detik yang lalu, sejumlah uang masuk ke rekeningnya. Seperti yang ia duga, kurang dari semenit, pesan dari 'Mas Adam' pun tertera di layar ponsel.
Mas Adam
Uang keperluan dapur sama nafkah kamu sudah aku kirim. Kali ini aku kirim lebih, untuk uang semester.
Embusan napas panjang lolos dari bibir gadis itu. Bukannya senang, Yasmine selalu merasa terbebani setiap kali Adam mengirim uang. Ia merasa telah menyusahkan lelaki itu. Namun, di satu sisi, Yasmine juga tidak punya pilihan selain menerimanya. Karena ia tidak akan bisa melanjutkan hidup jika bukan ditanggung oleh Adam.
“Kenapa, Yas?”
Gadis itu tersentak ketika Ibnu sudah duduk di sampingnya. Laki-laki dengan kemeja flanel biru dan celana jins hitam panjang itu menatap Yasmine dengan penuh kebingungan.
“Enggak apa-apa,” dusta Yasmine seraya menyembunyikan ponselnya ke dalam tas. “Kita pulang sekarang, kan?”
Ibnu mengangguk. “Semuanya udah dapat pasangan buat pulang. Kamu pulang sama aku.”
“Eh, gak usah. Aku pulang sendiri aja,” sergah Yasmine dengan cepat.
“Ini udah malem, Yas. Bahaya kalau kamu pulang sendiri.” Ibnu memamerkan jam tangannya yang menunjukkan pukul 10 malam. “Udah, jangan ngeyel. Aku anterin aja. Biasa juga begitu, kan.”
“Justru karena ini udah malam, Nu. Aku takut ada yang lihat kita berduaan, terus dilaporin ke orang tuanya Mas Adam,” bisik Yasmine. Ia sengaja memelankan suara karena takut teman yang lain mendengarkan ucapannya. “Gak apa-apa, kok. Aku naik taksi online aja.”
Lelaki itu mengembuskan napas panjang. “Oke, kalau itu mau kamu. Nanti aku temenin kamu sampai dapat taksinya.”
Yasmine mengangguk singkat, lalu membereskan alat-alat tulisnya yang masih berserakan di atas meja. Ia baru saja menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah Penciptaan Usaha Baru.
Sebenarnya Yasmine sempat tergiur untuk duduk di jok belakangan motor Ibnu. Namun, kesenangannya harus berakhir, berganti dengan perasaan was-was. Yasmine takut orang tua Adam tahu ia pulang malam dengan seorang lelaki. Tidak ada masalah besar selama 4 bulan ini pun sudah cukup membuat Yasmine lelah. Ia tidak sanggup jika harus berhadapan dengan kekacauan besar dalam waktu dekat.
“Susah, kan?” Ibnu melirik layar ponsel Yasmine yang terus saja gagal mendapatkan taksi. “Udah, sih. Pulang bareng aku aja, yuk?”
“Gak bisa, Nu,” balas Yasmine tanpa melirik lelaki itu. Dia terus menatap ponselnya dengan penuh putus asa. “Kamu pulang duluan aja, sana. Mama kamu pasti nungguin, kan? Bentar lagi juga aku pasti dapat taksinya, kok.”
“Gak salah kamu nyuruh aku ninggalin kamu sendirian di sini? Di jam segini? Jangan ngaco, Yasmine!”
Tidak ada jawaban. Yasmine terus saja fokus pada ponselnya. Diam-diam, kesempatan itu digunakan Ibnu untuk menatap lekukan wajah Yasmine dari samping.
Tidak banyak yang berubah dalam persahabatan mereka setelah Yasmine resmi menikah dengan Adam 4 bulan lalu. Yasmine hanya menjaga jarak dari Ibnu. Ya, hanya itu, tetapi cukup membuat Ibnu tak bisa berbuat banyak sebagai seorang sahabat. Ibnu juga tidak bisa melewati batas yang didirikan Yasmine karena itu bertujuan untuk menjaga kehormatannya sebagai perempuan bersuami.
Yang paling menyesakkan lagi, dibandingkan lebih bahagia, Yasmine justru terlihat banyak murung setelah menjadi istri Adam, lelaki yang seharusnya menjadi kakak iparnya. Selama ini, Yasmine selalu berkata bahwa Adam adalah suami yang baik. Ibnu hanya bisa diam meskipun tahu itu adalah sebuah dusta.
Perhatian Ibnu teralihkan pada ponselnya yang baru saja berdenting. Pesan dari mamanya. Beliau meminta Ibnu pulang cepat dan membelikan obat batuk lebih dahulu.
“Gimana kalau minta dijemput sama suami kamu aja, Yas?” tanya Ibnu sembari menyimpan ponselnya ke saku celana. “Aku diminta beli obat sama mama.”
“Ya udah, kamu pulang aja.”
“Telepon suami kamu dulu,” cetus Ibnu dengan nada tegas.
Yasmine menggigit bibir bawahnya. Dia pun segera mencari kontak Adam dan memanggilnya. Yasmine sangat berharap ia tidak mengganggu pekerjaan lelaki itu.
Napas Yasmine sempat tercekat ketika panggilannya diangkat. “Assalamualaikum, Mas.”
“Waalaikumsalam. Kenapa?” balas Adam dari seberang sana. Seperti yang sudah-sudah nada bicara lelaki itu terdengar begitu dingin.
“Mas bisa jemput aku, gak? Aku baru beres kerja kelompok. Dari tadi gak dapet taksi terus,” lanjut Yasmine. Ia terus berusaha mengatur nada bicaranya supaya terdengar akrab di telinga Ibnu.
“Aku baru banget nyampe apartemen, Yas. Capek. Boro-boro jemput kamu, buat mandi aja aku gak ada tenaga.”
Jemari Yasmine bergerak cepat untuk mengecilkan volume ponsel. Jangan sampai Ibnu mendengar jawaban Adam. “Iya, aku kirim lokasinya sekarang. Cepetan, ya, Mas.”
“Kamu ngomong apa, sih?”
“Hati-hati. Assalamualaikum.”
“Terserah! Waalaikumsalam!” Adam mengakhiri panggilan dengan nada ketus.
Yasmine menyimpan ponselnya ke dalam tas. Ia kembali menghadap Ibnu dengan seulas senyum lebar. “Mas Adam jalan sekarang. Barusan aku denger dia langsung bawa kunci mobil.” Dengan berat hati, Yasmine pun membodohi sahabatnya sendiri. “Udah, kan? Sekarang kamu pulang, sana.”
“Aku tunggu sampe suami kamu datang.”
“Ibnu ...,” panggil Yasmine dengan nada yang begitu lembut. Dia menatap lelaki itu dengan sorot penuh keseriusan. “Jangan bikin mama kamu nunggu lebih lama lagi, kasihan. Mas Adam gak bakal lama, kok.”
Lelaki itu mengembuskan napas panjang. Dengan sangat terpaksa, Ibnu bangkit dari duduknya dan segera menyambar helm. “Aku telepon begitu sampai rumah. Kalau kamu masih di sini, aku balik lagi.”
“Iya,” jawab Yasmine sambil tersenyum tipis.
Setelah mengucapkan salam, Ibnu pun langsung tancap gas. Berulang kali ia menatap kaca spion, memastikan Yasmine baik-baik saja di halte sana.
Sementara itu, Yasmine hanya bisa menatap nanar cincin yang melingkar di jari manisnya. Hari ini tepat 4 bulan cincin pernikahan itu tersemat di sana. Benda melingkar yang seharusnya menjadi ciri sebesar apa kebahagiaan yang Yasmine miliki dalam hidup, diam-diam menjadi tanda sekeras apa Yasmine berusaha bertahan setiap harinya dalam ikatan yang hanya sebatas status. Tidak pernah lebih.
Bukan hanya perkara ranjang dan perut yang Adam batasi secara tegas. Segala urusan pribadi mereka benar-benar tidak tercampur barang sedikit pun. Bahkan, Adam tidak akan peduli Yasmine pulang jam berapa asalkan jangan sampai ketahuan oleh para orang tua. Bukan sebagai kakak dan adik ipar yang tinggal satu atap, mereka adalah orang asing yang terus melakukan sandiwara bahagia di depan banyak orang.
Satu lagi kelakuan Adam yang selalu menuntut banyak kesabaran Yasmine. Setiap tanggal satu, sikap lelaki itu akan lebih dingin dari biasanya.
Di saat Yasmine semakin putus asa karena masih terjebak di halte, tiba-tiba sebuah mobil sedan kuning berhenti di depannya. Jendela mobil itu turun perlahan, menampilkan sosok laki-laki yang duduk di kursi kemudi.
“Mbak Yasmine? Ngapain jam segini di sini?” tanya orang itu.
Yasmine menelan salivanya susah payah. “Emm ... aku baru beres kerja kelompok, Mas. Ini lagi nunggu dijemput Mas Adam.” Lagi, Yasmine mengatakan dusta yang sama.
“Ayo, masuk,” ucap lelaki itu, bersamaan dengan salah satu pintunya yang terbuka.
“Eh, gak usah, Mas. Aku nunggu Mas Adam aja. Kasihan kalau nanti—”
“Masuk, Mbak. Udah malem, bahaya di pinggir jalan sendirian begitu. Nanti telepon Mas Adam aja, bilang kalau Mbak diantar sama aku. Ayo.”
Nada tegas lelaki itu sampai dengan jelas di kedua telinga Yasmine. Tidak ada alasan lagi untuk menolak. Yasmine segera melangkah menuju mobil dan duduk di samping kursi kemudi. Setelah ia memasang sabuk pengaman, kendaraan itu pun kembali membelah jalanan ibukota.
Yang saat ini duduk di balik kemudi adalah Ilyas Abid Mubarak, adik laki-laki Adam. Yasmine baru bertemu dengannya sebulan yang lalu, saat menjemputnya di Bandara Soekarno Hatta. Ilyas baru saja menyelesaikan pendidikan kedokterannya di Singapura. Dia memutuskan untuk melanjutkan kuliah spesialis di Jakarta karena tidak ingin membiarkan kedua orang tuanya kesepian setelah Adam pindah ke apartemen.
“Emangnya gak ada temen yang bawa kendaraan, Mbak, sampai nunggu Mas Adam segala?” tanya Ilyas. Walaupun usianya 4 tahun di atas Yasmine, Ilyas tetap memanggil gadis itu ‘mbak’ untuk menghormatinya sebagai kakak ipar.
“Ada, cuma udah pada pulang. Gak enak juga kalau harus pulang sama laki-laki lain,” jawab Yasmine sembari memainkan ponselnya sesaat, berpura-pura mengirim pesan pada Adam.
“Padahal gak apa-apa. Kalau udah terlalu larut, mending pulang sama temen aja, Mbak. Mas Adam juga pasti paham, kok.” Ilyas melirik Yasmine sekilas, lalu fokus pada jalanan. “Atau nanti Mbak telepon aku aja. Insyaallah aku antar pulang kalau lagi gak ada halangan.”
“Iya, Mas. Terima kasih sebelumnya.”
“Gak usah bilang makasih. Kayak sama siapa aja.” Ilyas tersenyum simpul. “Oh, iya. Umi nanyain, tuh. Kapan Mbak sama Mas Adam mau main ke rumah? Katanya, umi sebel sama kalian, semenjak nikah, gak pernah nginep sekali pun.”
“Aku sama Mas Adam udah berencana buat main ke rumah, kok. Cuma akhir-akhir ini Mas Adam lagi banyak kerjaan di rumah sakit. Nanti aku coba tanyain, deh, siapa tahu Mas Adam senggang akhir minggu ini.” Baiklah, catatan kebohongan Yasmine bertambah lagi. Faktanya, dia tidak pernah memiliki rencana apa pun dengan Adam.
“Oke, deh. Pokoknya Mbak telepon umi aja kalau mau ke rumah. Pasti umi langsung masak lauk kesukaan, Mbak.”
Gadis itu hanya bisa tersenyum simpul menanggapi ucapan penuh semangat dari sang adik ipar.
Umi Inayah, Abi Emran, bahkan Ilyas—yang baru bertemu dengan Yasmine tiga kali dengan ini—sangat baik padanya. Mereka menunjukkan kasih sayang yang luar biasa, seakan Yasmine bukan menantu, melainkan putri di keluarga Mubarak. Mereka semua selalu menyambut baik kedatangan Yasmine setiap kali berkunjung. Hanya satu orang yang tidak bisa bersikap sedikit hangat pada Yasmine, Adam Said Mubarak.
Yasmine menggigit bibir bawahnya begitu masuk lift. Ilyas bersikukuh mengantar Yasmine sampai apartemen. Katanya, ia juga haus, butuh air dingin sebelum pulang. Semoga saja Adam sudah masuk kamar sehingga Yasmine bisa membuat kesimpulan bahwa lelaki itu masih di perjalanan pulang.
Namun, realita tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi Yasmine. Begitu pintu terbuka, Ilyas bisa langsung melihat kakaknya sedang menonton televisi. Wajah Adam tampak segar dengan rambut yang setengah basah. Celana training hitam panjang dan kaus oblong putih juga sudah membalut tubuh tegap lelaki itu. Pokoknya, posisi dan penampilan Adam ini jauh dari kesan ‘hendak menjemput istri’.
“Assalamualaikum, Mas,” ucap Yasmine sembari melangkah masuk. Ia tidak berani melirik Ilyas barang sedikit pun.
“Hmm. Waalaikumsalam,” jawab Adam tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi.
“Nonton apa, Mas?”
Pertanyaan itulah yang akhirnya berhasil menarik perhatian Adam. Ia kaget mendengar suara laki-laki membelai indera pendengarannya. Semakin terbelalak ketika mendapati sang adik sudah duduk di sampingnya.
“Lho? Kamu ngapain di sini?”
“Anterin Mbak Yasmine pulang.” Dengan wajah polos, Ilyas meraih stoples keripik kentang di atas meja.
“Mas Ilyas mau minum apa?” Yasmine menyuarakan pertanyaannya. Walaupun situasinya tidak terlalu nyaman, ia tetap harus menjamu tamu dengan baik.
Lelaki itu menoleh ke arah Yasmine sekilas, lalu menatap televisi yang menampilkan berita terkini. “Gak usah repot-repot. Mbak istirahat aja, sana. Pasti capek, kan, kerja kelompok sampai malem? Mana harus nunggu suami yang katanya mau jemput tapi malah asyik nonton, kan? Urusan minum, aku bisa ambil sendiri.”
Tanpa banyak bicara lagi, Yasmine pun segera melangkah menuju kamar. Ia tak berani bersitatap dengan Adam yang jelas-jelas sedang melihat ke arahnya. Biarlah lelaki itu yang menyelesaikan masalah ini. Sungguh, Yasmine benar-benar butuh mengistirahatkan otaknya yang diperas seharian penuh.
“Sayang!”
Baru saja Yasmine hendak meraih kenop pintunya, teriakan Adam sukses membuat tubuhnya memegang seketika. Ia berbalik, memberanikan diri untuk menghadapi masalah yang terpampang nyata.
“Aku beli sesuatu buat kamu. Ada di atas kasur. Kamu pasti suka,” ucap Adam sembari tersenyum lebar. Matanya terus bergerak ke kanan, memberi interupsi pada Yasmine untuk mengubah tujuannya.
Astagfirullah, kenapa aku bisa lupa? Ya ampun, Yasmine, gegabah banget, sih! gerutu Yasmine dalam hati. Ia pun memaksakan senyumnya. “Oh? Iya. Makasih banyak, ya, Mas.”
“Iya, sama-sama, Sayang.”
Yasmine memutar tubuhnya ke arah kanan. Dia segera masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Aroma maskulin menyeruak ke indera penciumannya, aroma yang selalu Yasmine cium ketika Adam melewati tubuhnya tanpa sepatah kata pun. Bisa dihitung jari berapa kali Yasmine masuk ke kamar utama di apartemen ini. Yang jelas, setiap kali ada anggota keluarga yang berkunjung. Mereka tidak boleh tahu bahwa Yasmine dan Adam pisah kamar selama 4 bulan ini.
Tidak ada yang Ilyas katakan meski sudah beragam berita yang ditayangkan di televisi. Tingkahnya itu membuat Adam dilanda panas dingin. Ia takut apa yang terjadi malam ini sampai ke telinga kedua orang tua mereka, lalu menimbulkan masalah besar. Adam menarik napas dalam-dalam, berusaha memecah keheningan dengan pertanyaan basa-basi.
“Udah tahu mau ambil spesialis di mana?”
“Udah,” sahut Ilyas dengan cepat. “Mau di Universitas Merah Putih aja. Mbak Yasmine juga kuliah di sana, kan?”
“I-iya.” Adam sedikit gagap karena tidak tahu Yasmine benar kuliah di sana atau tidak. Selama ini, ia tidak pernah tertarik dengan apa pun mengenai perempuan itu. “Terus nanti—”
“Bentar, Mas. Aku haus, mau minum dulu,” potong Ilyas sambil melangkah menuju dapur. Tak lama berselang, ia kembali dengan kotak susu dingin rasa cokelat, milik Yasmine. “Mas?”
“Ya?”
“Lain kali, jangan biarpun Mbak Yasmine pulang sendiri malem-malem.”
“Cuma sekali ini doang, kok. Biasanya—”
“Tadi dia duduk sendirian di pinggir jalan, lho.” Lagi-lagi, Ilyas memotong pembicaraan kakaknya. Ia tidak mau dibodohi lagi. “Gimana kalau dia diganggu sama orang gak jelas, dicopet, atau disakitin sama orang jahat? Mas tahu harus bilang apa ke orang tuanya?”
Lidah Adam kelu seketika. Tidak, Adam tidak tahu harus berkata apa jika sampai hal itu terjadi. Adam tidak pernah memikirkan hal buruk terjadi pada Yasmine. Ia tidak pernah menaruh banyak peduli pada gadis itu.
“Mbak Yasmine itu istri Mas sekarang. Keselamatannya adalah tanggung jawab Mas. Kalau sampai terjadi apa-apa sama Mbak Yasmine, Mas bukan hanya harus mempersiapkan jawaban di depan orang tuanya, tapi di hadapan Allah juga.”
Setelah berkata demikian, Ilyas pun pergi dari sana. Tidak ada ucapan salam, karena ia sedang marah. Bukan karena telah dibohongi oleh Yasmine, melainkan karena sikap kakaknya yang jauh dari kesan suami bertanggung jawab.
Adam segera menuju kamar begitu adiknya pergi. Baru saja ia hendak melayangkan pertanyaan, tetapi niatnya harus urung begitu melihat Yasmine terlelap di sofa dekat jendela. Bahkan, gadis itu tak berani menyentuh tempat tidur Adam. Lebih memilih mengistirahatkan tubuhnya dengan posisi meringkuk.
Yasmine itu baik, sangat baik. Namun, entah mengapa, Adam tidak bisa bersikap layaknya pada seorang istri. Keadaan yang tak kunjung membaik membuat hati Adam keras. Luka akibat kepergian Elea masih begitu perih walaupun sudah 4 bulan berlalu.
Oh ternyata Yasmin cuman anak sambung toh....dan ibu tirinya memberikan perlakuan yang berbeda
Comment on chapter 1. Kehidupan Yasmine