“Abi bicara apa, sih?” tanya Adam dengan rahang yang mengetat keras.
Butuh waktu lumayan lama untuknya mencerna maksud pertanyaan terakhir sang ayah. Setelah disambungkan dengan pernyataan awal, Adam mengambil kesimpulan bahwa pernikahan akan berlanjut dengan mengganti pengantin wanitanya. Entah apa yang terjadi dengan abinya sampai bisa berpikir sejauh itu. Mungkin, tadi malah kepala Abi Emran terbentur kepala ranjang saat tidur.
“Kita tidak ada pilihan lain, Dam. Pikirkan kehormatan dua keluarga jika sampai semua orang tahu pernikahan ini batal karena Elea kabur hanya beberapa jam sebelum akad nikah. Sebentar lagi tamu undangan akan mulai berdatangan. Apa kamu gak malu duduk sendirian di pelaminan?” sambung Abi Emran, nada bicaranya memang terkesan tenang, tetapi jelas tak menerima bantahan.
“Tapi enggak dengan cara seperti ini juga, Bi.” Adam menatap abinya dengan frustrasi.
“Terus dengan cara bagaimana? Kamu punya solusi lain? Apa ada jalan keluar yang lebih baik dari ini?”
Adam diam. Otaknya pun buntu, tidak bisa memikirkan apa-apa. Hilangnya paspor dan visa sudah cukup menjadi bukti bahwa Elea memang berencana pergi jauh darinya. Ia bisa meninggalkan rumah tanpa jejak pertanda bahwa kaburnya ini sudah disusun dengan rencana yang matang.
Jika memang Elea ingin meninggalkan Adam, mengapa harus dengan cara seperti ini? Jika Elea tidak yakin untuk menikah dengan Adam mengapa harus menghilang di beberapa jam sebelum mereka menjadi suami istri? Jika memang Adam memiliki kekurangan yang tidak bisa diterima, mengapa Elea tidak membicarakannya terlebih dahulu? Apa Elea sudah tidak cinta lagi? Apa dia sudah berpaling ke lain hati dan pergi dengan lelaki lain?
“Adam ....”
Lamunan Adam buyar karena usapan lembut di bahunya. Ia menatap sang abi dengan penuh putus asa.
“Abi yakin, Yasmine bisa menjadi istri yang baik untuk kamu. Cinta juga bisa tumbuh dengan berjalannya waktu. Asalkan kamu menjadikan agama sebagai pegangan rumah tangga kalian, semuanya pasti akan baik-baik saja,” ujar Abi Emran dengan nada berbisik.
“Tapi kenapa harus Yasmine, Bi? Dia harusnya jadi adik ipar aku.”
“Yasmine kandidat terbaik untuk saat ini. Selain karena adik Elea, dia juga perempuan yang saliha. Walaupun baru beberapa kali bertemu, tetapi tidak ada sikap Yasmine yang membuat Abi kecewa.”
Adam kembali bungkam setelah mendengar penjelasan panjang abinya. Diam-diam, dia melirik Yasmine. Benar juga, Yasmine adalah adik Elea. Bahkan, bisa dibilang dia adalah orang terdekat dan terkasihnya Elea. Menikahi Yasmine sama saja dengan mengikat Elea untuk terus dalam jangkauan Adam.
Jika Abi Emran menarik perempuan lain untuk menjadi kandidat pengantin Adam hari ini, itu sama saja dengan mengakhiri kisah cinta Adam dan Elea. Sebaliknya, jika itu Yasmine, Adam bisa melanjutkan kembali mimpi-mimpinya saat Elea pulang nanti. Mereka bisa melanjutkan pernikahan ketika Elea kembali.
Kedua tangan Adam terkepal, berusaha mengumpulkan keyakinan akan pemikirannya barusan. Setelah menarik oksigen dalam-dalam, ia pun berkata, “Baik, aku bersedia menikah dengan Yasmine.”
Napas Yasmine tercekat saat itu juga. Dia menatap tak percaya pada lelaki yang hanya menggunakan celana training dan kaus putih oblong itu. “Mas Adam, tapi ....”
“Bagaimana? Nak Yasmine mau menikah dengan Adam hari ini?” todong Abi Emran seketika.
“Enggak!” Setelah sekian lama diam, akhirnya Bu Asri bersuara juga. “Gak bisa begini, dong, Pak. Mas Adam itu cuma mencintai anak saya, Elea. Tujuan kedua pihak keluarga juga, kan, untuk menikahkan Mas Adam dengan Elea. Kenapa sekarang malah jadi Yasmine?”
“Tapi siapa yang sekarang menghancurkan rencana kita semua, Bu? Elea sendiri, kan?” sahut Abi Emran dengan cepat. “Bu Asri dan Pak Salim juga sudah menikah lama. Jadi, Yasmine juga anak Bu Asri, bukan hanya Elea.”
Wanita paruh baya itu berdecak. “Iya, sih. Tapi bagaimana ceritanya adik merebut calon suami kakaknya sendiri?”
“Kalau begitu, apa bisa Ibu menghadirkan Elea sekarang juga?”
Bukan hanya Bu Asri, semua orang yang di sana semakin bungkam atas pertanyaan memojokkan Abi Emran. Nada bicara lelaki itu juga sudah sedikit meninggi, pertanda bahwa kesabarannya mulai berkurang.
Bu Asri langsung melotot ketika bertemu pandang dengan Yasmine. Demi apa pun, beliau tidak akan pernah rela jika Yasmine yang menyandang gelar Nyonya Adam Mubarak. Bu Asri tidak akan melepaskan lelaki yang mampu membahagiakan, memberikan kehidupan yang lebih dari layak, dan selalu memberikan cinta yang amat besar untuk putrinya. Elea yang selama 3 tahun ini merajut tali asmara dengan Adam, masa iya Yasmine yang akhirnya menikah dengannya?
“Abi, istigfar,” tegur Umi Inayah sembari mengusap punggung tangan suaminya.
“Kita gak punya banyak waktu, Mi.”
“Tapi masalah ini tidak akan selesai jika kita menggunakan hawa nafsu. Abi jangan emosi. Kita pasti menemukan jalan keluarnya.” Perhatian Umi Inayah beralih pada gadis lugu yang terus menunduk. “Bagaimana, Yasmine? Kamu mau menerima Adam sebagai suami kamu?”
“Aku ....” Yasmine menggigit bibir bawahnya. Ia benar-benar bingung. “Aku gak tahu, Tante.”
“Yasmine akan menikah dengan Mas Adam,” cetus Pak Salim seketika. Sedari tadi, beliau hanya diam dan membaca situasi. Sekalinya bicara, mampu menarik seluruh atensi semua orang. “Saya sebagai ayah dan wali Yasmine, memberi restu untuk Yasmine menikah dengan Mas Adam.”
“Yah ...,” lirih Yasmine.
Pak Salim menatap putrinya dengan penuh kelembutan. Beliau menarik kedua tangan Yasmine dan menggenggamnya erat-erat. “Percaya sama ayah, Nak. Semuanya akan baik-baik saja.”
“Tapi gimana sama Kak--”
“Itu urusan orang dewasa. Kamu gak perlu khawatir,” potong Pak Salim dengan cepat. “Tugas kamu saat ini adalah memenuhi keinginan ayah, Ayah mau kamu menikah dengan Mas Adam.”
“Enggak! Yasmine gak boleh menggantikan kakaknya! Cuma Elea yang boleh nikah sama Mas Adam!” teriak Bu Asri seketika. Dia menarik baju suaminya dengan kekuatan penuh. “Tarik semua kata-kata Ayah barusan! Mas Adam itu calon suaminya Elea, Yah! Yasmine gak boleh mengambil apa yang sudah menjadi milik kakaknya!”
Dengan sekali entakan, Pak Salim berhasil melepaskan cengkeraman Bu Asri pada bajunya. Beliau menengok ke belakang. “Yani, bawa kakakmu ke belakang. Cepat!”
“I-iya.”
Bu Yani segera menarik kakaknya untuk pergi dari sana. Walaupun sudah ditambah dengan bantuan Bu Ika, keduanya cukup kewalahan karena Bu Asri terus memberontak. Tak ada hentinya beliau berteriak, menentang rencana orang-orang yang masih duduk di ruang tamu.
“Nak ....” Pak Salim mengusap puncak kepala putrinya. “Kak Elea dan mama akan menjadi urusan ayah. Apa pun risikonya, akan ayah tanggung. Ayah siap menghadapi semua masalah yang akan datang karena keputusan ini. Yang ayah mau dari kamu hanya kesediaan untuk menikah dengan Mas Adam.”
“Tapi, Yah ....”
“Kehormatan kedua keluarga ada di tangan kamu, Yasmine.”
Lidah Yasmine kelu. Ia membalas sorot penuh harap semua orang dengan tatapan gamang. Yasmine takut ini hanya akan menjadi keputusan ceroboh yang menimbulkan banyak penyesalan di masa depan.
Selama ini, Yasmine selalu berangan menikah dengan lelaki yang dicintainya. Jangankan asmara, untuk bicara santai dengan Adam saja Yasmine tidak mampu. Perbedaan usia yang mencapai 10 tahun juga pasti akan menjadi rintangan. Lebih dari itu, Adam adalah kekasih kakaknya.
Yasmine hendak mengatakan ‘tidak’ setelah beradu pandang dengan Adam. Namun, ketika melihat lelaki itu mengangguk, pertahannya runtuh juga. Adam juga tampak memohon melalui sorot matanya. Adam juga seperti mengharapkan kesediaan Yasmine akan perubahan rencana ini.
“Asalkan semua risiko ditanggung bersama, bukan hanya sama Ayah ....” Yasmine menarik napas dalam-dalam. Dengan kepala tertunduk, dia pun berkata, “Aku bersedia menikah dengan Mas Adam.”
***
Yasmine menatap pantulan dirinya di cermin. Seharusnya tudung melati ini menghiasi kepala Elea hari ini. Seharusnya, riasan sederhana ini mempercantik wajah Elea hari ini. Seharusnya, kebaya yang kini membalut tubuh Yasmine dengan sempurna pun dipakai oleh Elea hari ini. Namun, entah di mana perempuan itu berada. Entah apa yang Elea pikirkan sampai bisa bertindak sejauh ini, sampai ia kuasa meninggalkan semua orang yang menyayanginya dalam kebingungan dan tanda tanya tak berujung.
“Sudah siap?”
Gadis itu menoleh begitu mendengar suara sang ayah dari luar. Suasana yang tadinya ramai, kini terdengar sepi. Yasmine bisa mendengar percakapan dari ruang tengah dengan jelas karena dirinya dibiarkan sendirian di kamar.
“Sudah, Yah,” jawab Adam.
Kegugupan semakin mengendalikan Yasmine. Kedua telapak tangannya mendadak dingin. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Kepalanya terasa kosong, tetapi dadanya begitu sesak. Sungguh, Yasmine tidak pernah segugup ini. Bahkan, ketika melakukan presentase di depan dosen paling ditakuti di kampus pun tidak semendebarkan ini.
“Atur napasnya, Yas.”
Yasmine tersentak ketika sebuah usapan lembut mendarat di bahunya. Dia menoleh dengan mata yang membulat sempurna. “Tante Inayah?”
“Mulai sekarang panggil umi aja, ya?” ujar Umi Inayah dengan penuh kelembutan.
Tidak ada jawaban. Yasmine justru tertunduk karena matanya semakin terasa panas. Tak lama berselang, sebuah cairan beling meluncur, membasahi kedua pipinya.
Sudah Adam, kebaya pernikahan, sekarang Yasmine juga harus mengambil panggilan Elea terhadap Umi Inayah? Demi apa pun, Yasmine tidak mau merenggut apa pun yang bukan miliknya, terlebih dari kakaknya sendiri. Sang mama pasti akan lebih membenci Yasmine. Ia tidak mau hal itu terjadi.
“Yasmine ...,” panggil Umi Inayah sambil mengusap air mata Yasmine menggunakan tisu. “Semuanya pasti akan baik-baik saja, Nak. Kita akan hadapi semua bersama-sama. Umi dan Abi Emran juga tidak akan membiarkan ayah kamu menanggung kesalahan sendirian. Umi juga bisa jamin, Adam akan menjadi suami yang baik untuk kamu. Kalian pasti bisa saling mencintai.”
Saat itu juga, Yasmine langsung mengangkat kepalanya. Dia menggeleng pelan dan berkata, “Aku gak bisa mengambil lebih banyak dari ini, Tante. Aku gak berani mengharapkan cinta Mas Adam.”
“Kenapa enggak? Mulai hari ini, setelah Adam mengucapkan ijab kabul, kamulah yang paling berhak menerima cintanya. Bukan Elea. Dia sudah memutuskan untuk melepaskan Adam dengan kepergiannya ini.”
“Tapi Kak Elea pasti punya alasan yang logis, Tante.”
“Alasan apa yang bisa diterima jika dia pergi tanpa penjelasan apa pun? Di beberapa jam sebelum ijab kabul? Seharusnya, sebesar apa pun keraguan Elea untuk melanjutkan pernikahan ini, dia bisa membicarakannya dengan Adam.” Umi Inayah mengambil napas dalam-dalam, berusaha mendinginkan kepalanya kembali. “Jangan bahas Elea lagi, ya? Kita fokus dengan ijab kabul saja.”
Baru saja Yasmine hendak menimpali, tetapi perkataan Adam di luar sana berhasil menghentikan niatnya.
“Saya terima nikah dan kawinnya Elea Arsyinta binti—”
“Adam,” potong Abi Emran dengan cepat. “Yasmine Nafisah binti Salim Akbar,” sambungnya, mengoreksi kesalahan sang putra.
Lelaki itu terdiam selama beberapa saat. Adam lupa bahwa nama yang harus ia rapalkan dalam ijab kabul sepakat diubah beberapa saat yang lalu. Ia pun menarik napas dalam-dalam dan menjabat tangan Pak Salim kembali. “Kita ulangi, Yah.”
Pak Salim mengangguk. Beliau menarik napas dalam-dalam, lalu berucap, “Adam Said Mubarak, saya nikah dan kawinkan engkau kepada anak saya, Yasmine Nafisah binti Salim Akbar, dengan mas kawin seratus gram emas dan seperangkat alat salat dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Yasmine Nafisah binti Salim Akbar dengan mas kawin seratus gram emas dan seperangkat alat salat dibayar tunai.”
“Sah?”
“Sah!”
“Alhamdulillahiribbilalamiin.”
Yasmine mengangkat telapak tangannya yang bergetar, ikut mengantarkan doa yang dipanjatkan di ruang tengah. Air matanya berderai semakin deras. Lega, sedih, bersalah, entah perasaan mana yang mendominasi dada Yasmine. Semua campur aduk, sampai terasa sesak.
Tibalah saatnya Yasmine menemui Adam, lelaki yang telah sah menjadi suaminya mulai hari ini. Sembari digandeng Umi Inayah, Yasmine mengambil langkah perlahan, melewati orang-orang yang menatapnya dengan penuh kebencian. Pegangan Umi Inayah baru terlepas setelah Yasmine sampai dihadapan Adam.
“Ini istri kamu, Mas. Mulai hari ini, baik buruknya Yasmine akan menjadi tanggung jawab kamu. Perlakukan dia dengan baik. Jangan sakiti hatinya. Jadilah suami yang penuh kasih sayang,” ujar Umi Inayah sembari menyerahkan tangan Yasmine ke hadapan Adam.
Adam menarik jemari lentik itu perlahan. Dengan kepala tertunduk, Adam menjawab, “Paham, Umi.”
Perhatian Umi Inayah beralih pada Yasmine. “Nak, ini suami kamu, namanya Adam Said Mubarak. Mulai hari ini, surgamu ada di tangannya. Bahagia dan sedihmu harus dibagi bersama. Walaupun posisi Adam sebagai pemimpin, dia tetap butuh bimbingan kamu untuk menjadi suami yang baik.”
“Iya, Tan ....” Yasmine langsung menghentikan ucapannya ketika mendapati alis Umi Inayah terangkat tinggi. “Iya, Umi,” lanjutnya.
Selanjutnya, Yasmine dan Adam memasangkan cincin pernikahan di jari manis satu sama lain. Keduanya terkejut ketika cincin pengantin perempuan—yang seharusnya menjadi milik Elea—tersemat begitu sempurna di jari manis Yasmine. Mereka sempat saling bertukar pandang sebelum akhirnya sama-sama membuang muka.
“Anak kurang ajar! Tidak tahu terima kasih!”
Tubuh Yasmine terhuyung ketika hijabnya ditarik tanpa ampun dari belakang. Tanpa semua orang sadari, Bu Asri tiba-tiba keluar dari kamarnya dan langsung menyerang Yasmine. Sorot matanya begitu tajam, memancarkan amarah dan kebencian yang menggunung. Dadanya bergerak naik turun,menandakan emosinya tak bisa lagi dikendalikan.
Pak Salim langsung menarik tubuh istrinya menjauh dari Yasmine. “Kamu apa-apaan, sih?” sentak beliau.
“Apa? Ayah gak suka?” balas Bu Asri sembari berkacak pinggang. Dagunya terangkat tinggi, menantang sang suami tanpa rasa takut sedikit pun. “Emang bener, kan, Yasmine itu anak gak tahu terima kasih. Udah aku besarkan, udah menerima kasih sayang Elea yang begitu besar, dia malah merebut Mas Adam!”
“Astagfirullah .... Ma, aku gak pernah mau ada di posisi ini. Aku sama sekali gak ada keinginan untuk merebut—”
“Alah, munafik!” serobot Bu Asri dengan nada tinggi. “Ngaku aja, deh, selama ini kamu iri dengan apa yang Elea punya, kan? Kamu gak pernah suka Elea bahagia, kan? Kurang apa Elea sama kamu selama ini, Yasmine? Dia sayang sama kamu. Dia selalu kasih apa yang kamu mau. Tapi ini pembalasan kamu? Dengan merebut Mas Adam?”
“Cukup!”
Dalam hitungan per sekian detik, suasana di ruang tengah sunyi senyap. Teriakan Pak Salim mampu mengalahkan segala fitnah tak mendasar yang ditujukan untuk putrinya. Beberapa orang, terutama keluarga Adam, tampak puas melihat Bu Asri tak berkutik saat ini.
Pak Salim menatap istrinya dengan penuh kekecewaan. “Harus berapa kali saya menjelaskan semuanya sama kamu? Keputusan ini diambil untuk menjaga kehormatan kedua keluarga. Yasmine adalah korban di sini. Dia yang paling terluka dan menanggung risiko paling menyakitkan atas situasi ini.”
“Tapi, Yah—”
“Dan berhenti mengatakan omong kosong terhadap Yasmine. Kalau kamu tidak bisa menyayangi dia sebagai anak sambung, hormati Yasmine sebagai anak saya. Dia adalah anak perempuan yang sangat berharga untuk saya. Jika ada yang menyakiti hatinya, sama saja ingin mencari perkara dengan saya.”
Lidah Bu Asri kelu. Ia sangat terkejut dengan sisi murka suaminya. Selama ini, Pak Salim tidak pernah menegur Bu Asri dengan keras jika bertindak yang menyakiti perasaan Yasmine. Beliau cenderung menjadi penengah yang tetap bersikap lembut pada istrinya yang keras. Namun, hari ini, Pak Salim sukses membuat istrinya tak bisa berkata-kata.
“Kalian ganti baju, sana. Sebentar lagi resepsi akan dimulai,” ucap Abi Emran sembari menepuk bahu putranya.
Adam mengangguk. Tanpa banyak bicara lagi, dia segera menarik tangan Yasmine untuk menjauh dari keributan itu, menuju kamarnya. “Kamu sekalian packing. Kita langsung pindah begitu resepsi selesai,” bisik Adam.
“Pindah ke mana, Mas?” tanya Yasmine, ikut berbisik.
“Apartemenku.”
Rongga mulut Adam terasa begitu pahit. Ia sama sekali tidak menyangka akan membawa perempuan lain untuk tinggal satu atap dengannya, bukan Elea.
Oh ternyata Yasmin cuman anak sambung toh....dan ibu tirinya memberikan perlakuan yang berbeda
Comment on chapter 1. Kehidupan Yasmine