Beberapa murid kelas XI ada yang mengikuti ke gedung satu. Asli, Kinan udah mirip kriminal kasus narkoba. Anak-anak pada bergerombol di depan ruangan Pak David.
Nggak lama kemudian mereka layaknya anak ayam yang diusir oleh pemilik kandang. Miss. Deli menyuruh mereka untuk bubar. Tadinya gue kepingin menghampiri Kinan, tapi nggak jadi. Saat keluar, Cutbray langsung memeluk dia kayak temannya baru keluar penjara.
Bukan, bukan itu yang bikin gue ragu. Ada si cowok Korea di belakangnya. Dia menggenggam tangan Kinan dan nggak melepasnya sekalipun. Lagian apa gunanya gue datang ke sana? Mendingan pulang. Gue mau tidur, biar nanti bisa belajar lagi.
***
"Man, gimana Kinan kemaren?" Gamal menyolek bahu Cutbray dari belakang.
Sebenarnya gue kepingin nanya ke si Cutbray. Untung aja sudah diwakili sama si bokerman.
"Man, men, man, men! Ya, nggak gimana-gimana. Kinan udah terbukti nggak salah sih. Cuma Pak David minta saksi bahwa Kinan telat masuk ke kelas. Soalnya dia kan sebelumnya ada di area kolam renang. Katanya sih dia sempat ngelihat ada cowok di situ. Tapi nggak tahu siapa," terang Dayana.
Itu gue, oon! Jadi waktu ujian Matematika, gue belajar dulu di dekat kolam renang. Eh, gue kabur karena Kinan datang. Makanya gue pergi ke depan tempat latihan wushu.
Apa gue datang ke Pak David ya? Ah, ngapain sih gue mikirin ginian? Gue harus konsentrasi ujian Sejarah. Kalau nggak otak gue kusut, tahun-tahun ketuker semua. Bisa gawat!
***
Apalah gue ini. Bilang nggak mau mikirin, tapi sekarang gue udah berdiri di depan ruangan Pak David. Padahal gue udah niat sepulang ujian mau langsung ke parkiran. Eh, tiba-tiba badan gue kayak gerak sendiri. Apa gue kesurupan? Plak! Sakit, anjelo!
Ketika gue mau mengetuk pintu, eh, malah kebuka. Ternyata Pak Heri, wakepsek, yang keluar.
"Mau ke Pak David?" tanyanya.
"Iya, Pak." Gue menyalaminya.
Beliau mempersilakan gue masuk. Pak David menyuruh gue untuk duduk sembari dia menerima telepon. Gue bingung mau ngapain. Gue menatap foto presiden dan wakilnya yang terpajang di belakang Pak David. Kok gue merasa fotonya hidup ya? Gue mencoba menggeser kepala gue ke kanan, terus ke kiri. Tuh, kan matanya ngikutin!
"Iya, ada apa?"
Gue kaget setengah mati. Pasti Pak David mengira gue kurang waras. Kepala gue digoyang-goyangin macam penari reog.
"Saya Rayi Baskara, Pak. Kelas XI Commerce-1. Mau bicara sebentar dengan Bapak. Maaf kalau mengganggu."
"Oh, iya, iya, saya ingat. Kayaknya waktu kapan gitu Ayah kamu ngobrol sama saya soal ujian A level ya. Katanya kamu mau lanjut di Jerman ya? Kenapa nggak ikut Russelia GTC?"
"Sudah ada Om saya yang mengurus, Pak."
"Om kamu lulusan Jerman juga?"
Gue mengangguk.
"Wah, keren-keren. Mudah-mudahan kamu bisa lancar ya ke sana."
"Terima kasih, Pak."
"Terus apa yang mau kamu omongin?"
Gue sempat terdiam. Otak gue sedang merangkai kata. Takut salah ngomong gue.
"Gini, Pak. Soal Kinanthi kelas XI Science-1 yang terkena kasus menyontek. Saya mau memberikan saksi kalau saya melihat dia sewaktu di area kolam renang. Jadi dia baru masuk setelah bel. Kebetulan saya di belakangnya." Akhirnya! Berasa kayak nahan kentut, gila!
Pak David hanya manggut-manggut. "Oke. Urusan ini hanya kesalahpahaman. Nanti akan saya urus lagi. Terima kasih atas penjelasannya. Ada lagi?"
"Nggak ada, Pak."
Gue pamit undur diri dari ruangan. Lega rasanya. Mudah-mudahan si kutu kupret jadi bebas dari tuduhan berkat kesaksian gue.
Namun dari desas-desus yang gue dengar di sekitar lorong kelas XI beberapa hari kemudian, Kinan terbebas dari tuduhan. Tenyata bapaknya si cowok Korea yang menelepon Pak David. Ya, Pak David ciut, karena yang meneleponnya Bapak Walikota. Katanya sampai Kinan ditawari untuk mengikuti Russelia GTC secara gratis atas permintaan maaf.
Nggak nyangka, dia pakai senjata pacarnya. Gue kira Kinan bukan orang yang suka disogok. Mau-maunya dikasih gratis masuk GTC atas imbalan untuk mendiamkan Davina. Kalau gue jadi si kutu kupret, pasti gue tolak dan gue tuntut si Davina.
***
Bapak'e senang banget waktu tahu nilai rapor gue bagus. Ya, walaupun nggak dapat peringkat, seenggaknya masih bisa dibanggakan-lah.
Biasanya Emak yang ambil rapor punya gue. Pokoknya gue nggak mau kelihatan yang lainnya kalau gue saudaraan sama si Bunga bangkai. Eh, tapi Emak lagi pulang ke Cirebon dari hari terakhir ujian. Gue nggak dibolehin ikut, karena Emak takut gue kena remedial. Yah, dia mah pesimis gitu sama anaknya.
Terus gue diminta buat menginap di rumah gedongnya Bapak'e. Idih, gue nggak sudi satu atap sama Bunga bangkai, perempuan jahanam. Apalagi emak sosialitanya. Trauma lahir batin gue. Akhirnya gue disuruh ke rumah nenek di Grogol. Pada lebay banget sih, kayak gue anak TK aja. Eh, gue malah berakhir menumpang di kamarnya Om Brian.
Makanya hari ini Bapak'e mengambil rapor gue dan Bunga bangkai. Gue sengaja melangkahkan kaki lebar-lebar biar nggak jalan bareng. Apalagi ada emaknya Bunga bangkai .
Bukan itu aja yang menyebalkan. Saat di parkiran, Bapak'e memanggil seseorang. Kinan! Ada orangtuanya lagi.
"Halo, Kinan. Gimana kabarnya?" Preett, sok manis banget dia.
"Eh, Om. Baik." Kinan datang menyalami Bapak'e. "Kenalin Om, ini Mama sama Papa."
"Saya mau ngucapin terima kasih. Berkat Kinan, Ray jadi rajin belajar. Nilainya bagus berkat dibimbing oleh Kinan."
"Gue usaha sendiri kali," gumam gue. Eh, Bapak'e menginjak sepatu gue. Gila! Bapak macam apa Anda?
"Katanya Kinan juga mau kuliah di Jerman ya? Belajar bareng juga sama Ray. Kebetulan adik saya lulusan sana. Jadi pada belajar bareng."
Emaknya Kinan terkejut. Begitu pun bapaknya. Lalu emaknya mengucapkan terima kasih berkali-kali kepada Bapak'e.
"Kinan emang sibuk terus bikin essay atau apa itu namanya buat daftar ke kampus-kampus luar negeri. Usaha sendiri dia. Nggak pernah cerita-cerita ke saya," ujar emaknya Kinan.
Ketika Bapak'e sedang mengobrol dengan orang tuanya Kinan, gue cuma terdiam di depan kutu kupret. Terus dia menginjak sepatu gue. Heran, padahal bukan sepatu baru. Kenapa semua orang hari ini pada nginjakin sih?
"Besok lo ada acara, nggak?" tanyanya.
"Ada. Tidur," jawab gue.
Kinan berdecak kesal. "Serius!"
"Tergantung, apa mau lo. Kalau ngerepotin, ya gue bilang sibuk."
"Dasar, anjelo! Gue kepingin ngajakin—"
Tiba-tiba si cowok Korea datang dan merangkul Kinan dengan mesra. "Gue cariin dari tadi. Tahunya di sini. Habis ini, jalan yuk!"
Gue bisa melihat Kinan merasa nggak nyaman dirangkul oleh si cowok Korea. Terus dia gelagapan melihat ke arah bapaknya yang baru saja selesai mengobrol sama Bapak'e. Apa jangan-jangan orangtuanya nggak tahu kalau mereka pacaran? Ah, bukan urusan gue.
"Nanti gue kabarin lagi ya." Kinan melambaikan tangannya. Lalu dia menyalami dua orang yang gue tebak adalah orangtuanya si cowok Korea. Gue pernah lihat tuh bapaknya di televisi.
"Itu pacarnya Kinan?" bisik Bapak'e ketika kita berjalan ke mobil.
Dih, bukannya Bapak'e pernah ketemu si cowok Korea? Gue cuma jawab, "Tahu ah gelap."
"Dasar, cemen kamu. Gitu aja patah hati." Bapak'e malah ketawa lagi.
Sesampai gue di tempatnya Om Brian, gue bete habis. Biasanya gue terhibur dengan nonton YouTube, atau streaming Mobile Legends.
Kemudian di kepala gue muncul sekelebat bayangan Kinan yang dirangkul pacarnya. Gue langsung bangkit dari kasur.
Kampreto! Apa ini yang dinamakan galau? Kalau orang galau, biasanya ngapain sih? Searching ah.
Pertama, mengurung diri. Kayaknya dari dulu hobi gue mendekam di kamar. Ah, nggak valid ini.
Kedua, lebih banyak makan. Gue makan begitu-gitu aja dari dulu. Kata Om Brian, gue cacingan dan lambungnya kayak karung bocor. Makan seabrek enggak kenyang-kenyang dan enggak gemuk. Makanya dia ngomel terus pas gue numpang di sini. Capek kasih makanan.
Ketiga, main musik. Gitar? Nggak bisa gue. Lihat yang lain deh. Bikin puisi? Gue baca satu bait puisinya Chairil Anwar aja kagak paham.
Jadi gue orang galau macam apa?! Ya udahlah tidur aja. Sebelumnya gue baca ayat kursi dulu sama tiga surat qulhu. Biar Kinan nggak muncul di mimpi gue.
Eh, handphone gue bergetar. Ada chat masuk.
Kinan: Besok mau temenin gue nyari hadiah buat Om Brian, nggak? Gue mau ngasih sesuatu sebagai ucapan terima kasih.
Gue melonjak girang dan hampir aja ponsel gue kelempar. Namun gue langsung berhenti ketika mendengar Om Brian bilang, "Kamu selama ini punya penyakit epilepsi?"
Kampreto!