Kalian tahu? Hubungan pertemanan itu seperti gelas kaca, sekali dia jatuh, dia akan pecah. Kalau sudah begitu, akan sulit untuk menyatukannya kembali kecuali kamu memiliki kemampuan Kintsugi[1]. Namun tidak semua artisan mengerti cara melakukannya. Dan itulah yang sedang terjadi dengan Dinda dan Ryo.
Sejak igauan Ryo malam itu, persahabatan sejoli ini jadi canggung. Padahal, sebelum ini, Ryo yang marah dan sengaja menjauhi Dinda. Sekarang kondisinya terbalik.
Dinda sebenarnya sejak tadi tengah berusaha meperbaiki hubungan mereka dengan tetap berada di sisi Ryo. Karena itulah dia sengaja tetap datang di hari Sabtu untuk menemani Ryo latihan basket. Meskipun begitu, tiga jam kebersamaan mereka tidak membuahkan hasil obrolan yang layak untuk dibanggakan.
Bukannya berbicara dengan Ryo—“Din ….”—Dinda malah memancing orang lain yang datang. Dinda meringis sebentar sebelum mengangguk canggung, tidak tahu darimana kecanggungan yang dia rasakan saat melihat Levi muncul dari sisi kanannya.
Mendapat tanggapan begitu, tentu saja membuat kening Levi mengerut. Terakhir kali bertemu dengan Dinda, rasanya tidak ada masalah yang terjadi. Lalu, kenapa cewek ini bertingkah seperti ini?
“Aku bikin masalah?”
Dinda hanya mengangkat bahunya. Ryo sedang menatap ke arah mereka, dan entah kenapa tatapan itu membuat Dinda bingung harus memberikan reaksi seperti apa kepada Levi. Dia juga sekarang bertanya-tanya apakah dia harus menjelaskan keberadaan Levi di sini kepada Ryo juga atau tidak.
“Klub Musik?”
Dinda melirik ke Levi bingung. “Gimana, Kak?”
“Kak?” Levi menatap Dinda dengan alis terangkat sebelah. “Plis, panggil aku Pasa atau Levi aja. Kamu udah tahu siapa aku.”
Dinda menarik napas saat dilihatnya Ryo mendekat. Dinda baru ingat, dia belum memberi tahu Ryo soal Pasa.
“Kita ke klub musik, sekarang.” Tangan Levi menarik lengan Dinda untuk bangkit dari duduknya. Namun, belum bergerak ke mana-mana, lengan Levi kini tertahan oleh Ryo. “Sudah kuduga akan terjadi lagi.”
Ryo menatap Levi tajam. “Lepas tangan lo.”
Keadaan ini lagi-lagi dilihat oleh orang banyak. Posisi mereka yang di pinggir lapangan mau tidak mau membuat Dinda kembali merasa menjadi tontonan. Tangan Dinda yang bebas, kini berusaha menahan tangan Ryo. “Karena kalian, mungkin dalam tiga minggu ini aku bakal jadi cewek paling tenar sesekolah karena diperebutkan dua cowok basket yang paling populer.”
Levi dan Ryo kini melirik Dinda lalu melihat ke sekitar mereka. Itu berhasil membuat mereka melepaskan tangan cewek itu.
Dinda melirik ke Ryo. “Yo, dia Pasa,” ucap Dinda sambil lalu.
Ryo melirik Dinda dan Levi berulang kali. “Bukannya kamu dan Pasa seumuran?”
“Gue dulu emang pendek, puas lo?” Levi mendengkus lalu melirik ke Dinda. “Kamu kan sekarang anggota klub musik. Kalau kamu enggak coba main alat musik, minggu depan kamu udah langsung dikeluarin, loh.”
Dinda menarik napas yang dalam. Dia tahu Levi benar. “Aku bakal ke klub musik satu jam lagi, Kak.”
“Kak?”
Dinda menggeram mendengarnya. “Iya, Pasa. Aku bakalan ke sana sejam lagi. Belum mulai juga, kan?”
Senyum ceria muncul di wajah Levi. “Oke. Aku siap-siap dulu,” ucap Levi sebelum meninggalkan Dinda dan Ryo serta anggota klub basket yang protes karena, lagi-lagi, mereka akan latihan tanpa Sang Kapten.
“Din?”
“Iya, aku memang belum cerita ke kamu kalau aku udah mastiin dia memang Pasa.”
“Kenapa?”
“Karena kamu ngomong sesuatu yang bikin aku kesal.”
“Kapan?”
“Pas kita berantem soal mayfly.”
Ryo melongo mendengar kata-kata itu. “Tapi setelah itu kamu bisa ….”
Dinda memotong ucapan Ryo. “Setelah itu kamu sakit, terus kamu cerita soal orang tuamu yang mau cerai, terus kamu … kamu … kamu ….”
Ryo menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya dengan keras. “Kenapa aku ngerasa kita semakin jauh aja, ya, Din.”
“Mungkin, karena kita udah makin dewasa,” ucap Dinda sambil membereskan barang-barangnya. Dia kemudian berkata, “Aku ke klub musik dulu,” sebelum meninggalkan Ryo yang termenung di pinggir lapangan basket.
***
Dinda melangkahkan kakinya dengan malas ke ruangan klub musik. Sebenarnya, kalau tidak ada masalah antara dia dan Levi atau Ryo, datang ke klub musik hari ini mungkin akan terasa lebih menyenangkan. Dia bisa memainkan alat musik pilihannya, memperkenalkan dirinya dengan lebih mudah ke depan seluruh anggota klub musik.
Seakrang, Dinda agak ragu. Terlebih setelah apa yang dia lakukan di pertemuan pertamanya di klub musik. Semua pecinta musik pasti tahu, meninggalkan ruangan di tengah acara bukanlah hal yang baik. Itu sama saja dengan tidak menghargai tuan rumah. Dan itulah yang Dinda lakukan saat itu.
Dinda menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu ruangan klub musik. Begitu pintu diketuk, Dinda melirik ke dalam. “Permisi, saya ….”
“Ayo, Dinda masuk dulu,” ucap seorang cowok yang dikenali Dinda sebagai ketua klub. “Kamu belum kenal saya, kan? Pasti kamu juga lupa, deh. Kamu kenapa enggak bilang kamu Dinda?”
Dinda menatap si ketua klub dengan bingung. Apakah Dinda pernah bertemu dia sebelumnya?
“Dia pasti lupa, sih, Bam. Mana ada yang ingat cowok berkacamata kayak kita di kelas Miss Baya,” ucap satu orang cowok lagi yang tiba-tiba mendatangi si ketua klub.
Dinda memperhatikan dua cowok itu satu per satu sambil melirik Levi meminta pertolongan. Mereka ada di kelas Miss Baya juga?
Si ketua klub mengulurkan tangannya. “Aku Ibam, pianis berkacamata putih. Dulu aku suka pakai kemeja hitam. Aku partneran sama dia,” Ibam menunjuk teman di sebelahnya, “kami dapet karya pop dari Letto yang Ruang Rindu.”
Teman di sebelah Ibam melambaikan tangan ke Dinda. “Gue Haris. Partner Ibam. Gue main biola.”
Ibam dan Haris? Kenapa Dinda tidak pernah mendengar nama itu?
“Padahal kita berdua ingat kamu, loh!”
Dinda mengerutkan keningnya. “Gimana bisa?”
“Proposal si Pasa waktu itu kan fenomenal banget!” balas Haris sambil tertawa yang diikuti oleh Ibam juga. “Udah kayak mau ngajak nikah aja. Kita masih godain dia sampai sekarang soal itu, loh.”
Dinda meringis. Ternyata kejadian itu bikin dia diingat sama anak-anak di kelas Miss Baya. Entah Dinda harus merasa senang atau sedih. Dia melirik ke arah Pasa yang kini tengah tersenyum ke arahnya.
“Lo pada juga disuruh berhenti enggak bisa, jadi mendingan gue biarin aja, kan?” balas Levi kemudian.
“Halah, lo juga seneng kan diinget-ingetin mulu soal itu. Abisnya, selain ama Dinda, lo cupu si sama cewek!” Haris menjulurkan lidahnya yang disambut Pasa dengan mendelikkan matanya.
“Wah, lo jangan buka aib, dong!”
“Hah?” Dinda melirik Pasa tidak percaya. “Kapten basket paling populer di sekolah cupu sama cewek? Kok agak kontradiktif, sih?”
Ibam dan Haris sontak tertawa mendengar pertanyaan polos Dinda. “Kecupuannya yang bikin dia populer, Din!”
Dinda hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar hal itu. Sepertinya dugaannya salah, mungkin klub musik tidak sepenuhnya menyeramkan.
“Eh, udah-udah. Kalian berdua katany mau denger Dinda main piano lagi, jadi enggak?”
“Jadi, dong!” ucap Ibam dan Haris serentak.
“Kita berdua itu udah nunggu lama buat denger kamu main piano. Di kelas Miss Baya dulu, kamu salah satu jagoan kita tahu, Din. Makanya pas ….”
Pasa langsung berdeham untuk menghentikan ucapan Ibam.
“Sorry, aku kelepasan.”
Dinda tersenyum mendengarnya.
“Anak-anak udah nunggu di dalam. Siap buat performance?” tanya Ibam kepada Dinda.
Dinda mengangguk “Cuma kemampuanku udah berkarat, Kak. Sejak … sejak itu, aku enggak latihan lagi.”
“Kalau gitu, mulai dari dasar, ya. Perform TTLS aja.”
TTLS adalah singkatan dari Twinkle Twinkle Little Star, lagu yang pasti jadi lagu paling pertama dikuasai oleh siapa pun yang bermain alat musik.
Dinda mengangguk. Di kepalanya sudah terbayang interpretasi seperti apa yang akan dia tampilkan untuk lagu itu. Tapi rencana itu buyar saat terlinganya menangkap obrolan dari beberapa anak klub musik.
“Ini Dinda yang HTS-an sam Ryo anak basket itu, kan?”
“Iya. Eh, tahu, enggak sih lo, si Eca kemarin nembak Ryo dan ditolak. Katanya dia udah punya pacar. Eca bilang, diam-diam si Ryo pacaran sama Dinda.”
“Mana dia deket banget sama Kak Levi lagi, ya.”
“Iya. Terus, udah ada tiga cewek yang bilang mau mundur karena dia. Ryo tuh kayak tergila-gila gitu. Bilangnya sih sobatan, Cuma ya nempel ke mana-mana. Apalagi Kak Levi sama Ryo ….”
“Ladies,” Levi menatap tiga anak klub musik yang sedang mengobrol itu, membuat Dinda ikut menoleh ingin tahu apa yang ingin dilakukan oleh Levi, “aku rasa, klub musik udah sepakat enggak akan berubah jadi klub gosip. So, if you know where are we right now, can you please behave?”
Ketiganya mengangguk canggung dan melirik tidak enak kepada Dinda.
Kini, interpretasi Twinkle-Twinkle Little Star Dinda berubah.
Tangannya mulai bergerak menari di atas tuts tuts piano. Bunyi-bunyi not panjang yang membuat pendengarnya merasa jauh dari apa pun yang dimimpikannya. Pelan, sendu, kemudian perlahan semakin jauh … jauh … jauh …. Hingga akhirnya ditutup dengan kegamangan.
Lagu anak-anak yang tadinya ceria, melalui interpretasi Dinda menjadi sebuah lagu yang bertanya-tanya, jenis hubungan seperti apakah yang dia inginkan bersama Ryo. Seperti diamond in the sky yang jauh dan tidak teraih serta kenapa hubungan mereka jadi seperti ini, up above the world so high.
Seiring tuts terakhir menghilang dari pendengaran, air mata Dinda menetes. Dia ingin Ryo mendengar permainannya tadi. Dia ingin Ryo ada di sini. Tapi, jika Ryo ada di sini, Dinda mungkin akan menghalangi apa pun yang Ryo inginkan dalam hidupnya. Sementara, Dinda belum tahu apa yang dia inginkan untuk kehidupannya sendiri. Dan karena itu, hubungan mereka menjauh. Ryo sudah menjadi bintang yang tidak teraih oleh Dinda.
[1] Seni menyatukan barang-barang yang sudah pecah dan menjadikannya kembali berfungsi