Ponselnya berbunyi kembali. Itu sudah panggilan ke sekian yang masuk sejak kakinya melangkah keluar dari ruang klub musik tadi siang, langsung pulang. Panggilan-panggilan yang tidak dia indahkan sama sekali.
Dada Dinda kembang kempis, masih berusaha untuk meredakan sesak yang belum juga hilang. Semua ingatan yang berusaha keras Dinda hilangkan berkelebat cepat di benaknya, membuatnya hampir tidak bisa bernapas. Rasa bersalah itu muncul kembali bagai ombak yang bertubi-tubi menerpa karang.
Samar-samar Dinda mendengar suara Ryo dari luar kamarnya. Sepertinya Ryo berbicara dengan Mama. Dinda menghela napas. Ryo datang pasti karena kesal. Bagaimana tidak kesal? Tadi Dinda langsung pulang begitu saja tanpa berkata apa pun pada Ryo. Padahal biasanya mereka pulang bersama. Mungkin cowok itu menunggunya pulang. Mungkin juga di antara panggilan-panggilan Levi yang tidak diindahkannya, terselip panggilan Ryo di sana.
Sejak kapan, sih, Dinda menyetarakan Levi dengan Ryo? Sudah berapa kali Dinda mengabaikan Ryo karena Levi?
Dinda menghela napasnya lagi. Sudah berapa kali dia menghela napas sejak bertemu dengan Levi? Lengannya bergerak menutup matanya yang silau terkena cahaya lampu.
Bunyi ketukan terdengar dari pintu kamarnya yang dikunci bersamaan dengan suara Ryo. "Din ...."
Hening.
Dinda sedang ingin sendiri.
Ketukan itu terdengar lagi. "Din ...."
Dinda masih tidak menjawab. Dia mencoba fokus pada dirinya sendiri. Selama ini, apa pun tentang Ryo selalu diikutinya. Sekolah? Ikut Ryo. Kelas? Ikut Ryo. Jalan? Ikut Ryo. Hidupnya dipenuhi oleh Ryo, Ryo, Ryo. Bahkan memutuskan untuk masuk ke klub musik pun ... karena permintaan Ryo. Ryo jugalah alasannya meninggalkan panggung itu, dua tahun lalu.
"Apa hidupmu akan terus berputar di sekitar Ryo?"
Terngiang kembali di telinga Dinda kalimat yang diucapkan Levi sebelum menariknya ke ruangan klub musik tadi.
"Dinda ... buka pintunya. Boleh kita ngobrol?"
Pandangan Dinda tergerak ke arah pintu. Suara Ryo begitu lirih. Cukup keras untuk didengar Dinda, tapi begitu lirih hingga membuat Dinda mengerutkan pelipisnya. Dinda duduk dari posisi tidurnya, bergerak ke arah pintu. Tertahan di sana.
"Din ...."
Tangan Dinda menggantung di udara. Ragu membuka pintu itu. Selama ini tidak pernah ada keraguan sedikit pun yang muncul jika itu tentang Ryo, tapi ....
"Levi tadi cerita." Suara Ryo di balik pintu membuat Dinda bergeming menunggu. "Katanya dia mainin satu lagu di ruang musik."
Otak Dinda memutar memori saat Levi memainkan piece kesayangannya itu, membuatnya merasa marah dan sedih di saat yang bersamaan.
"Apa lagu itu ... lagu yang dulu?"
Air mata Dinda menggenang di pelupuk matanya. Tak lama, cairan bening itu mengalir turun ke dagunya. Dinda mengangguk dalam diamnya.
Iya, lagu itu. Lagu yang seharusnya dia mainkan bersama partnernya di panggung yang dia tinggalkan. Lagu yang selalu Dinda pelajari kembali, lagi dan lagi. Lagu yang ingin sekali dia interpretasikan dengan cara yang sama seperti interpretasi mereka dulu. Lagu yang selalu gagal dia mainkan ulang. Interpretasi Dinda saat memainkannya lebih ke lusuh, berantakan, daripada indah.
"Apa dia," suara Ryo menghilang sejenak sebelum kembali melanjutkan, "partnermu?"
Dinda ingin menggeleng dan mengangguk di saat yang bersamaan. Dua tahun rasanya tidak mungkin mengubah seseorang dengan segitu cepatnya. Tapi, interpretasi Levi pada lagu Romance D'Amore tadi siang, meski dimainkan menggunakan instrumen yang berbeda, persis seperti interpretasi partnernya dulu.
"Apa dia Pasa?"
"Aku enggak tahu, Yo."
"Boleh kita ngobrol?"
Dinda menggerakkan tangannya ke pegangan pintu, memutar kuncinya. Begitu bunyi terbuka terdengar, pintu langsung didorong oleh Ryo, membuat Dinda mundur seketika. Melihat Ryo ada di depannya, air mata Dinda langsung tumpah ruah.
"Aku enggak tahu, Yo. Aku enggak tahu dia itu Pasa atau bukan. Pasa enggak setinggi itu. Wajah Pasa enggak semulus itu. Pasa pakai kacamata. Pasa culun. Pasa ... enggak kayak gitu."
Ryo menarik Dinda duduk di sofa kecil samping tempat tidur Dinda. "Lalu?"
"Tapi, Romance D' Amour yang dimainin Kak Levi tadi siang, itu Romance D' Amour yang sama dengan interpretasi Pasa."
Helaan napas dari Ryo terdengar.
Dinda pasrah, dia tidak lagi berusaha menghentikan air mata yang akan turun. Dibiarkannya begitu saja bola-bola cairan itu turun membentuk garis-garis kecil di wajahnya.
Cukup lama Dinda membiarkan jiwa dan raganya mereguk kesedihan sebelum akhirnya dia mengangkat kepalanya.
"Udah nangisnya?"
Dinda mengangguk.
"Gimana?"
"Entah. Aku belum tahu. Nanti aja lah dipikirin."
Ponselnya bernyanyi kembali, membuat keduanya menoleh ke atas kasur Dinda, tempat benda kotak itu kini tengah bersemayam.
"Masih belum mau ngomong?"
Dinda menggeleng. "Aku belum siap. Kalau dia benar-benar Pasa, aku ...."
Ryo tersenyum, tangannya menepuk pelan bahu Dinda. Sesaat kemudian berpindah ke puncak kepala gadis itu, mengacaknya lembut. "Aku pulang dulu. Teriak aja kalau pengen ditemenin. Mau mandi dulu. Bau keringat, nih."
Dinda menatap sahabat yang sudah membersamainya sejak TK itu. "Ryo ...."
Cowok itu berbalik menatap Dinda.
"Makasih udah datang."
"Elah, kayak sama orang asing aja, Din. Dah, mau mandi, nih, geraaah."
Dengan wajah sembapnya, Dinda mengangguk lagi. Ryo keluar dari kamarnya. Sekarang, Dinda kembali sendirian. Dia menarik napas dalam-dalam. Memberi sedikit ruang untuk paru-parunya bernapas.
Jika benar Levi adalah Pasa. Dinda punya hutang besar pada cowok itu. Hutang maaf, hutang terima kasih, hutang penyesalan.
Juga ... hutang penampilan.
***