Hatiku sudah berdebar sedari tadi. Dan waktu berputar sangatlah terasa lambat. Aku mondar-mandir di kamarku, menunggu Reyhan datang menjemput. Tiba-tiba ponselku bergetar. Ada pesan masuk.
Gue di luar, Ayy!
Bibirku langsung menimbulkan lengkungan kecil.
Tenang, Ayyana. Lo musti tenang. Ini bukan kencan, okey? Aku terus berusaha menenangkan perasaanku.
Ponselku terus bergetar. Bahkan beberapa kali juga Reyhan melakukan panggilan telepon.
Bawel!
Aku mengirim pesan itu pada Reyhan lalu bergegas keluar kamarku. Saat aku tiba di ruang tamu, aku begitu terkejut kala melihat Reyhan sudah nangkring di sana bersama Papa dan Ibu. Mereka nampak sangat asyik sekali mengobrol.
Sial! Perasaanku semakin tak enak hati saja melihat kedekatan mereka. Apalagi baru kali ini ada cowok yang dengan santai bertemu dengan orang tuaku. Waktu jalan sama Radit kebetulan, Ibu dan Papa memang sedang tak ada di rumah.
Aku melangkah cepat ke arah mereka.
“Ayy, udah siap?” tanya Reyhan yang langsung menengok ke arahku. Aku menghela napas berat.
“Lo ngapain pake masuk segala?”
“Lah, sayang, kalau temennya ke sini harus masuk dulu lah, kenalin sama Papa sama Ibu.” Ucap Papa sambil menepuk-nepuk punggung Reyhan yang sedang duduk tepat di samping kanannya.
“Apalagi kalau temennya ganteng kaya gini ya, Pah.” Ibu melirik kepadaku. Aku tahu dari sorot matanya Ibu sedang menggodaku.
“Gantengan Reyhan atau Papa, Bu?” ucap Papa yang juga turut menggodaku.
Huft!
“Papa sama Ibu kalau mau muji-muji orang itu salah alamat!” aku berkata sewot. Sedangkan Ibu dan Papa hanya bisa saling melirik penuh kepuasan.
“Jadi mau jalan sekarang atau gimana nih?” tanyaku pada Reyhan yang kayaknya masih betah nempel sama Papa dan Ibu.
“Om dan Tante beneran gak akan ikut?” ucap Reyhan.
What? Apasih ini anak! Gak jelas banget!
Ibu dan Papa menggeleng. “Kalian aja berdua. Masa kita gangguin orang yang lagi ‘kencan’ sih?” ucap Ibu usil. Sambil menekankan sedikit kata ‘kencan’ tadi.
“Ih, Ibu! Kita itu cuma nonton!”
Reyhan terkekeh. “Ya udah Om, Tante. Reyhan izin dulu ajak anaknya jalan-jalan ya.”
“Hati-hati. Om nitip tuan putri ya,”
Huft! Bahkan di depan Reyhan pun, Papa bilang aku tuan putri. Sebal!
***
“Lo mau ngajakin gue jalan, pake motor gede ini?” tanyaku. Reyhan mengangguk.
“Emang kenapa?”
“Kita naik taksi aja! Gue gak suka naik motor gede!”
“Loh? Kemarin aja lo gak masalah kok naik motor gue?”
“Kemarin kan terdesak, Rey. Kalau sekarang beda!”
“Jadi lo maunya naik mobil, gitu?”
“Bukan! Gue gak suka naik motor gede, Rey! Gak nyaman. Gue mendingan di ajak naik motor bebek atau sepeda aja deh, daripada naik motor itu!”
“Jadi gimana? Gue terlanjur bawa yang ini, Ayy!”
“Naik taksi, atau kita gak jadi jalan?!”
Reyhan menghela napas panjang. “Oke, kita naik taksi. Tuan putri.”
“Apaan sih lo?” aku menyeka wajah Reyhan yang kali ini berlaku so manis di hadapanku. “Ayo!”
“Rey!” tiba-tiba, suara Papa terdengar, keluar dari rumah. “Nih!” aku nampak tak paham saat Papa memberikan kunci motor vespa-nya pada Reyhan.
“Apa ini Om?” Reyhan nampak tak mengerti dengan tingkah laku Papaku.
“Kamu bisa naik vespa kan?” kata Papa sambil mengedipkan sebelah matanya. Senyuman Reyhan seketika itu juga merekah. Sedangkan aku masih tak mengerti apa yang sebenarnya sedang ada di pikiran kedua cowok itu.
“Papa apaan sih? Gak jelas banget.”
“Udah sana jalan. Have fun ya.” Kata Papa yang kembali masuk ke dalam rumah.
Aku menghela napas lagi. Mungkin sudah untuk kesekian kali. Reyhan lalu menyerbu ke motor Papaku yang terparkir tepat di halaman depan, berdampingan dengan motornya.
Aku mengambil helm yang di sodorkan Reyhan padaku. Sedangkan Reyhan sudah ada di depan jok motor vespa kesayangan Papa.
“Ini pertama kalinya sih, gue naik vespa.”
“Heh! Seriusan lo?”
“Udah tenang aja, tuan putri. Serahkan semuanya sama pengawal kerajaanmu!”
Gak jelas banget, tapi manis- eh buset gue ngomong apaan sih?! Sadar, Ayyana, sadaaarrrrr!
Aku naik di jok belakang motor Vespa Papa. Rasanya aku kaku sekali dengan kedua tanganku harus bagaimana. Tapi tiba-tiba Reyhan menarik tanganku, melingkarkannya di perutnya. Lalu dia berkata,
“Pengawal kerajaan gak akan biarkan tuan putri jatoh dari atas kuda. Pegangan. Ok?”
Dan aku hanya bisa mengangguk kecil, sambil berusaha mengulum senyumanku agar tak kelihatan sama Reyhan.
Sepanjang perjalanan, Reyhan banyak berbicara. Gak jelas! Tapi aku merasa senang karena setidaknya, dia tak membiarkan suara lalu-lalang kendaraan lebih mendominasi kebersamaan kita. Dia tak membiarkan suara klakson lebih menarik dari kedekatan kita. Dia seakan mampu mengubah dunia yang bising ini menjadi sebuah dunia yang memang patut untuk didengarkan. Dia bisa membuat dunia yang kini didominasi dengan kepalsuan menjadi dunia yang indah dan berwarna. Reyhan. Dia mampu melakukannya.
“Kamu kok jutek banget sih, Ayy?” tanya Reyhan dengan nada suara yang agak berteriak. Dan aku agak terhentak saat dia mengatakan kata, kamu.
“Aku gak jutek kok!” dan sialnya, kenapa seorang Ayyana malah membalas dia dengan kata aku, bukan gue. Aneh kan?
“Jangan jutek-jutek, Ayy. Nanti aku kabur!”
“Bodo amat!”
“Eh, gak akan deng. Pengawal istana kan harus selalu ngelindungi tuan putri-nya.”
Aku tersenyum. Dan sudah pasti Reyhan tak akan bisa melihat senyumanku. Karena aku sedang ada di balik punggungnya sekarang.
“Kita mau nonton apa?” tanya Reyhan.
“Apa aja!” ucapku. Yang penting sama kamu- lanjutku berkata dalam hati.
Siang ini sangat terik, tapi entah mengapa rasanya sangat sejuk buatku.
seruuuuu, alur cerita di awal bikin penasaran. dengan gaya bahasa yang mengikuti jaman jadi asikk bangettt bacanya.
Comment on chapter Bab 1 : Bagian 2