Jurnal Ayyana.
Aku langsung menyerbu masuk ke dalam rumah sakit. Lalu langsung ku tanyai, di mana sosok Pria bernama Adam Nurhidayat . Setelah laporan di reseptionis, aku langsung saja tancap gas untuk segera menemui Papa.
Ruangan Papa ketemu. Dan di saat aku buka pintu itu, aku melihat ada Ibu yang berdiri tepat di samping Papa yang sedang terbaring lemah. Dan mereka sedang nampak mengobrol! Aku sangat lega, Papa tak apa-apa. Seutas senyum tergambar walaupun aku tak bisa memungkiri kalau aku masih tetap khawatir dengan keadaan Papa.
Aku langsung masuk dan memeluk Papa. Merasakan begitu hangatnya bisa memeluk sosok pahlawan di hidupku itu. Papa agak terkejut namun dia lalu mengelus lembut rambutku, sembari memberikanku keyakinan kalau Papa tak apa-apa.
“Papa baik-baik saja!” kata Papa berucap padaku.
Masih dalam pelukan Papa, aku mengucap, “Kenapa bisa kambuh lagi?”
“Namanya juga sakit sayang. Jadi gak tahu kan kapan akan balik lagi?”
Kemudian aku melepas pelukan. “Tapi ini terasa mendadak! Udah hampir dua tahun Papa gak pernah sakit lagi kan?”
“Yaaa mungkin karena Papa terlalu terlena sampai-sampai lupa lagi sama kesehatan Papa. Bukan begitu, Bu?” ucap Papa. Dan Ibu hanya bisa mengangguk kecil.
“Makanya, Papa itu jangan bandel! Kalau disuruh makan ya makan. Lagian kan, Papa makan buat nambah energi, bukan buat diracuni!” aku menggerutu kesal. Karena memang dalam beberapa minggu terakhir yang aku tahu, Papa menjadi kurang makan dan kurang beristirahat karena sedang sibuk untuk mempersiapkan ujian promosi Papa menjadi manager di perusahaan tempat kerja Papa.
“Iya, baiklah sayang, kali ini Papa nurut.”
“Aku mendingan Papa jadi assisten Manager aja selamanya, daripada harus capek-capek ngejar promosi jabatan kalau ujung-ujungnya Papa malah sakit kaya gini!”
“Iya, iya. Maafin Papa ya.”
“Maafin aku, gak bisa jagain Papa lebih baik lagi!” aku kembali memeluk Papa dan kali ini lebih erat dari pelukan yang tadi.
***
“Thanks ya, kak, udah anter gue ke rumah sakit.” ucapku.
“Gue lebih suka lo manggil gue dengan sebutan nama, gak perlu pake embel-embel ‘kak’!”
“Maksudnya?”
“Reyhan! Panggil gue Reyhan, bisa?”
Aku menggeleng.
“Kenapa?”
“Mau gimana pun, lo itu tetep aja kakak kelas gue di sekolah. Umur lo juga lebih tua dari gue!”
“Ya udah panggil gue yang lain?”
“Misalnya?”
“Sayang!”
“Ppffttt!” aku terkekeh. Dia memasang mimik muka heran.
“Kok ketawa?”
“Cuma orang dengan tingkat narsis tinggi yang pengen di panggil sayang sama orang yang padahal bukan siapa-siapa.” Kataku.
“Kalau gitu, gimana kalau kita jadi siapa-siapa mulai dari sekarang?”
Aku melongo. Benar, dia selalu punya cara untuk membalikkan setiap kata-kata yang aku lontarkan.
“Lo aneh! Udah sana pulang, udah sore juga. Pokoknya thanks banget, lo udah bantuin gue hari ini. Dan gue yakin lo hari ini bolos sekolah kan?” kataku sambil terkekeh.
“Gak apa-apa! Udah lama gue gak pernah bolos kaya gini.”
“Hah? Jadi lo pernah bolos juga sebelum ini?” aku agak terkejut mendengar penuturannya. Dia mengangguk.
“Sering! Pas gue masih kelas satu, gue sering banget bolos. Barengan sama sobat gue, kadang juga sama Radit!”
“Hah, kak Radit? Beneran dia juga pernah bolos?” aku sedikit tak percaya.
“Iya! Radit itu emang jagoan genius di sekolah kita. Tapi dia gampang banget dihasut kalau lagi galau soal hubungan percintaannya sama Ara.” Reyhan sedikit bercerita tentang masa lalu. Sebenarnya aku tak tertarik mendengar cerita masa lalu Reyhan, aku lebih tertarik mendengar cerita soal Kak Radit.
“Lo tahu kan, hubungan asmara dia itu rumit?” aku sedikit mengangguk.
“Kadang, gue heran sama mereka yang katanya lebih dewasa dari kita. Kenapa mereka malah memaksakan kehendak soal hati? Kenapa mereka seperti remote control yang bisa mengatur kita seenak mereka? Lo ngerti maksud gue kan?”
“Wow!” aku takjub dengan perkataan yang baru saja di katakan oleh Reyhan.
“Kenapa?”
“Gak apa-apa. Aku kaget, kamu bisa lontarin kata-kata itu.”
“Lah, jadi kita resmi jadian nih sekarang?”
“Loh kok? Gak nyambung ih!” aku mencubit gemas lengan kanan Reyhan dengan sekenanya. Reyhan mengaduh kesakitan sambil terkekeh.
“Salah siapa lo tadi bilangnya ‘aku-kamu’.”
“Siapa? Gue? Salah denger kali!” ucapku berusaha berdalih. Aku bisa memastikan mukaku sudah berubah warna menjadi merah! Karena saking malunya dan baru tersadar kalau aku sudah keceplosan manggil dia dengan sebutan ‘aku-kamu’. Itu aneh banget!
Reyhan terkekeh geli melihat aku yang tertangkap basah. Dia lalu memperhatikan aku dengan mata tajamnya. Kami saling melempar tatapan yang bisa aku bilang adalah tatapan tak biasa. Dadaku berdebar, entah dengan dadanya. Apakah merasakan debaran yang sama sepertiku? Apakah jiwanya sekarang sama sepertiku yang merasakan kepanasan walaupun suhu di luar sedang dingin-dinginnya?
“Gue suka lo, Ayy!” kata-kata itu meluncur deras dari mulutnya. Sampai di telingaku. Dan aku tak tahu harus mengekspresikan perasaan aku seperti apa lagi.
“Tapi gue gak mau lo sampai jatuh cinta sama gue. Karena gue sayang sama lo!”
“Hah?” aku tak mengerti dengan ucapan setelahnya.
Dan tak ada angin, tak ada hujan, dia langsung menyerbu tubuhku. Mendekapku dengan hangat. Mendekapku dengan kuat seakan tak ingin melepaskanku. Aku merasa nyaman dengan pelukan itu. Entah setan apa yang merasukiku, aku memeluk balik dia dengan bahagia. Aku bisa merasakan, jantungnya berdegup amat kencang. Tak bisa di pungkiri lagi, kali ini kami sama-sama saling berdebar. Tapi aku tak bisa mengerti debaran macam apa ini?
“Biarin gue aja yang jatuh cinta sama lo, Ayy! Lo jangan!”
Apasih maksudnya?
Wow spechless
Comment on chapter Bab 6 : Bagian 1