Senja mematung di hadapan Nino dan Daren yang masih beradu mulut terkait kecurigaan Aras. Dia tidak bisa berkata apa-apa selain berusaha memahami pikiran yang datang silih berganti. Entah butuh berapa lama lagi sampai dia bisa menyimpulkan semua kepingan ingatan ini. Segalanya masih abu-abu meski dia yakin sekali kalau kakak-adik di depannya ini adalah target yang tak boleh lepas.
Senja melihat ke belakang, tepatnya matanya tertuju pada Aras yang juga masih berusaha mendengar keributan ini, walaupun terlihat wajah khawatir posisinya akan diketahui oleh Nino karena terlalu dekat dengan pagar. Aras, pacarnya sudah melakukan banyak hal sampai sejauh ini, tetapi dia malah tidak bisa membuat kesimpulan dari apa yang telah dia lihat.
"Udahlah. Lagian Aras bisa apa kalau dia tau yang sebenarnya?" ucap Nino sambil memperbaiki jaket dan meraih kunci mobil dari saku celana, bersiap pergi.
Namun, cekalan Daren membuat kakaknya tertahan. Wajah merah padam cowok itu menunjukkan emosi yang semakin meninggi dan semakin sulit diredam. Senja tidak bisa menjelaskan kondisi ini. Andai saja Daren terlibat, mengapa cowok itu sampai semarah ini? Kalau Nino, Senja bisa paham sebab sikap acuhnya.
"Lo gak ngerti posisi gue, lo mana paham perasaan gue, Bangsat!" Daren hendak melayangkan bogem ke wajah kakaknya, tetapi kepalan tangannya hanya tertahan di udara.
Nino tertawa kecil, lama-lama tawanya semakin kencang. "Kenapa? Kenapa gak lo lanjutin?" Dia menggeleng-geleng sambil berdecak. "Daren, Daren. Gue yakin lo mengaku seberengsek gue. Lo sebenarnya masih suka sama Senja, tapi lebih milih pacaran sama pacar lo yang sekarang demi lupain cewek itu. Miris," ujarnya sambil menyunggingkan senyum miring di akhir ucapan.
Senja mengerutkan kening. Jadi Daren masih menyukainya. Hah, Senja belum bisa memahami ini semua, sedangkan Aras di belakang sana sudah tak terlihat, atau mungkin saja semakin menyembunyikan diri sebab posisinya mulai mudah terlihat jika ada di tempat tadi.
"Lo lebih buruk dari gue, No. Gue gak nyangka lo masih bisa bilang kayak gitu setelah apa yang lo lakuin!"
Nino mengibas-ngibaskan tangannya seraya meringis. "Gue gak peduli. Minggir!"
"Apa lo gak kasihan sama Kak Selena?"
"Gue gak peduli. Lo ngerti bahasa Indonesia, kan?"
Daren tidak habis pikir. Bisa-bisanya Nino adalah saudara kandungnya. Karena tindakan Nino, dia yang menanggung penderitaan ini meskipun dia sama sekali tidak ada di balim rencana Nino. Namun, sebagai saksi mata atas kejadian itu, Daren seakan memikul beban berat hingga detik ini. Tidurnya tak pernah tenang, makan pun tak berselera, dia pun jadi susah fokus. Andai dia mati saja seperti Senja, dia tidak akan diikuti rasa bersalah seperti ini.
"Kalau lo masih nganggap gue keluarga, lo gak bakalan ngomong apa-apa," ucap Nino sebelum masuk ke mobil dan menjalankan kendaraan itu.
Senja yang melihat semua kejadian dan percakapan di depannya masih menganga, tidak percaya. Dia ingin sekali mengajak Daren berbicara, meminta cowok itu menceritakan kejadian sebenarnya. Apa yang telah Nino lakukan? Apakah pacar kakaknya itu telah membunuhnya?
Senja menatap Daren yang kini terduduk di halaman rumah sembari meneteskan air mata. Dia bisa melihat ratapan penyesalan dari mata cowok itu. Senja ikut duduk di depan Daren, berharap cowok itu bisa melihatnya dan menceritakan semuanya. Tak berselang lama Aras datang, ikut bergabung bersama mereka.
"Daren, gue perlu ngomong sama lo."
Suara Aras membuat Daren seketika mendongak, matanya membulat sempurna. Dia buru-buru bangkit dari posisi duduk. Terlihat jelas keterkejutan dan takut bercampur kadi satu di wajah cowok itu. Aras yang selalu melihat Daren arogan dan tersenyum meremehkan ketika di sekolah kini sangat berbeda dengan Daren di depan matanya sekarang. Aras seperti melihat orang lain.
"Lo ... lo dengar semua ...." Daren tidak bisa melanjutkan ucapannya. Berbagai macam pikiran buruk berkelindan dalam benak. Belenggu di hatinya semakin mengerat karena melihat Aras.
Aras menengadah, menatap langit yang perlahan kehilangan sinar terik mentari. Sejam lagi akan berganti malam, dia sebenarnya ingin kembali saja untuk menenangkan pikiran. Semua kejadian barusan membuat isi kepalanya semrawut. Penjelasan semua kejadian yang menimpa Senja tak mungkin dijelaskan saat ini juga.
Beberapa teka-teki harus dijabarkan satu persatu jika Daren tahu. Maka dari itu, Aras menguatkan hati dan fisiknya sekali lagi untuk mendengarkan apa yang bisa Daren utarakan hari ini juga. Selain itu, dia perlu menahan amarahnya, takut kelepasan kalau-kalau saja ada hal yang tidak bisa diberi toleransi ... atau mungkin setiap Daren membuka mulut bisa saja sudab tidak ada toleransi. Hah, rumit.
"Gue harap lo gak ngelak lagi kali ini.", Aras balik badan, enggan menatap Daren.
Cukup lama mereka saling diam, hingga akhirnya Daren buka suara terlebih dahulu. Cowok yang lebih tinggi beberapa senti dari Aras itu berjalan melewati pagar. Dia berhenti sejenak dan memberi Aras tatapan lesu.
"Ikut gue."
Tak butuh waktu lama, Aras segera mengikuti langkah gontai Daren. Dia tidak ingin bertanya ke mana tujuan mereka. Satu yang pasti, mustahil bagi Daren melakukan hal yang tidak-tidak dalam keadaan seperti orang kehilangan semangat dan tertekan.
"Ras, lo yakin pengen ngikutin Daren?" Senja menyikut pinggang Aras sambil terus mengikuti langkah cowok di sampingnya.
Aras yang berdiri di belakang Daren pun menggaruk-garuk rambut. Dia melirik Senja sejenak, lalu mengangguk.
"Kalau dia pengen nyelakain lo gimana?" Kali ini ekspresi khawatir Senja semakin menjadi-jadi.
"Tenang aja. Gak mungkin," bisik Aras sekecil mungkin agar Daren tidak mendengarnya. Namun, dugaannya salah sebab cowok itu ternyata sadar.
Daren berhenti berjalan, dia berbalik menatap Aras. Seandainya Daren bisa melihat wujud Senja, cowok itu akan tertawa mendapati wajah melongo Senja.
"Gue selalu berpikir ada yang aneh sama lo. Awalnya gue mikir kalau emang ada kelainan di otak lo semenjak ditinggal Senja. Tapi, setelah gue pikir mungkin aja gue yang gak bisa ngelihat apa yang bisa lo lihat."
Aras memilih bungkam, membiarkan Daren terus mengeluarkan isi pikirannya. Lagi pula memang sudah tidak perlu menyembunyikan kehadiran Senja di depan Daren jika Daren saja sudah menaruh kecurigaan yang kuat.
"Gue pernah ngeliat lo bicara sendiri di koridor, di depan ruang OSIS, di belakang sekolah, di dalam kelas. Gue bahkan pernah lihat lo ketawa sendiri. Gue mikir lo udah gak waras. Tapi nyatanya lo emang bisa lihat Senja, kan?" Daren berusaha menenangkan napasnya yang memburu. Dipijatnya hidung berulang kali, guna meredakan nyeri di kepala. "Gue gak tau gimana Senja bisa ada di dekat lo, Ras. Tapi gue mau lo jujur, apa emang Senja ada di sini? Dia bisa ngelihat dan dengar kita?"
Aras menunduk sejenak lalu membuang napas pendek. Matanya menatap datar Daren. "Senja ada di sini, bareng kita."
Daren tersenyum sedih, matanya mulai bergerak kiri-kanan, mencoba mencari keberadaan Senja. "Dia di mana, Ras? Senja di mana?"
Aras menunjuk sebelah kirinya dan detik itu juga Daren langsung menerjang ke dekatnya, seolah-olah bisa melihat Senja. Kenyataannya, sekarang mereka berdua memang sedang berhadapan.
"Senja ... Senja kalau lo bisa dengar gue, gue mohon ... gue mohon maafin gue. Maafin gue, Ja. Gue salah karena gak bantuin lo dulu."
Senja menatap Aras kebingungan. "Ras, tolong sampein ke Daren kalau gue gak tau apa yang dia omongin."
Aras mengangguk. "Ren, Senja gak akan tau apa yang coba lo perbaiki. Senja gak akan pernah tau apa alasan lo sampai-sampai harus minta maaf kayak gini. Kehadiran dia di dekat gue karena pengen mengungkap alasan kenapa Senja bisa meninggal. Entah bunuh diri atau ... dibunuh." Dia mengepal, berusaha mati-matian menahan emosinya ketika mengucapkan kata terakhir.
Sedangkan Daren, cowok itu mulai menangis seraya meraup rambutnya. Aras tidak bisa menggambarkan betapa tertekannya Daren saat ini, tetapi benar cowok itu benar-benar tidak bisa mengontrol ketakutannya.
"Ikut gue. Gue bakalan ceritain apa yang gue tau."
Mereka berjalan semakin dalam menyusuri perumahan, sampai ketika Daren berhenti di sebuah taman bermain yang memiliki beberapa tempat duduk dan beberapa tiang lampu yang mulai dinyalakan untuk menyambut malam. Daren duduk di atas rumput, menekuk kakinya sambil menatap langit. Aras ikut menjatuhkan diri di samping Daren sambil mengeluarkan bukti-bukti yang sudah dia kumpulkan. Dari catatan, status akun Facebook yang telah dia cetak, dan beberapa kertas lainnya.
"Sebelum lo cerita apa yang lo tau tentang Senja, gue mau lo jelasin apa maksud semua ini." Aras meletakkan kertas-kertas itu di atas rumput, tepatnya di dekat kaki Daren.
***