Aras menatap foto di linimasa itu cukup lama sambil menduga-duga. Bisa saja akun ini milik orang yang ada di foto dan nama Twilight hanya iseng saja. Namun, ketika dia membuka informasi pribadi akun itu, tanggal lahir yang tertera mirip dengan tanggal lahir Senja.
Mungkin masih banyak fakta yang dapat mematahkan akun ini bukan milik pacarnya, tetapi semakin dipikir Aras malah tidak tahu apa-apa. Selama mengenal Senja, pacarnya sudah sangat lama tidak menggunakan media sosial yang satu ini. Wajar saja kalau dia tidak langsung percaya.
"Lo beneran ingat kalau Senja pernah nanya akun Facebook lo?" Aras menyerahkan kembali benda pipih hitam itu kepada Haifa sambil melempar tatapan penasaran.
Kalau memang Facebook itu punya Senja, ada alasan apa gadis itu memposting foto Daren, cowok yang membuat wajahnya biru-biru, dan Nino, pacar kakak Senja, yang merangkul Daren? Aras menatap Senja yang tengah duduk di sebelahnya, sedari tadi tidak mengatakan apa pun. Mungkin Senja juga bingung sebab tak ada memori yang dapat dia ingat ketika melihag foto itu.
"Iya. Bahkan Senja pernah add aku sebagai teman, waktu itu nama akunnya pakai nama dia aja. Setelah beberapa hari, dia tiba-tiba bilang kalau dia ngehapus akun FB-nya."
Penjelasan Haifa kembali membuat Aras tercengang. Ada sesuatu yang tidak beres di sini. Senja tidak pernah bercerita tentang akun itu kepadanya. Lagi pula kenapa harus Haifa yang mendengar cerita itu? Kenapa bukan dia?
"Lo tau alasan Senja ngeceritain akun FB-nya?"
"Waktu itu dia tiba-tiba minta dibantuin buat akun FB karena aku masih suka main juga di aplikasi itu. Itu aja, sih. Gak ada alasan apa-apa."
Aras terdiam lagi. Jadi Senja meminta bantuan Haifa membuat akun FB. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan kenapa Senja malah memilih Haifa daripada dia karena Aras juga tidak pernah berselancar di aplikasi itu. Akan tetapi, kenapa harus Facebook? Kenapa bukan Instagram? Dengan begitu Senja tidak perlu bantuan, kan?
Senja mencolek pundak Aras sambil garuk-garuk kepala. "Lo pasti mikir aneh-aneh, kan, tentang akun itu? Jangan-jangan lo juga mikir kalau gue selingkuh?" Wajah khawatir Senja membuat Aras bete.
Bagaimana bisa Senja bisa sebebas itu mengatakan hal yang tidak-tidak. Mana mungkin Senja selingkuh menggunakan akun Facebook. Aras mengembuskan napas panjang, tetapi bisa jadi, kan, Senja melakukan itu semua. Fakta tersebut membuat Aras panas, semakin panas lagi karena Senja tidak bisa mengingat apa-apa.
"Kalau gue beneran selingkuh, lo bakal berhenti bantuin gue, Ras?" Nada sedih Senja menarik perhatian cowok itu.
Meskipun wajahnya masam, Aras tetap berujar santai. "Tetap bantuin lo dan gue bakalan buat dia jadi arwah gentayangan juga biar kalian bisa lanjutin perselingkuhan kalian."
Bukannya kecewa atau marah, Senja terbahak sampai memukul lengan Aras berulang kali. Ekspresi kesal dan tidak terima pacarnya sungguh menggemaskan. "Ya jangan, dong. Cukup lo aja yang jadi the one and only sampai lo bener-bener udah gak bisa lihat gue lagi, Ras."
Aras berdecak. Dia benci mengetahui fakta itu, dan lebih benci lagi karena semua terasa begitu rumit. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Senja?
"Ras, Senja bilang apa? Kamu, kok, kayak sebel gitu?" Haifa yang tadinya fokus memperhatikan foto dan beberapa tulisan status di dinding kronologi Senja tertarik mendengar Aras berbicara sendiri.
"Lagi ngelawak. Heran, ternyata demit satu ini hobi banget ngelawak dan jatuhnya malah bikin emosi."
Senja semakin tertawa melihat kekesalan Aras yang semakin mengental. Ada baiknya jika dia menikmati momen ini karena nanti tidak akan ada lagi Aras seperti yang terekam dalam benaknya.
"Senja gak bisa mastiin akun ini punya dia?" Haifa berusaha mengalihkan fokus ke akun itu lagi. Dia juga mulai penasaran tentang Senja.
Aras menggeleng sebagai jawaban. Tidak ada titik temu dari pembahasan mereka. Meski bingung harus melakukan langkah apa untuk selanjutnya, cowok yang masih mengenakan seragam putih-abu itu meminta Haifa membantunya membuat akun Facebook juga. Ini hanya kemungkinan saja, mungkin Senja punya akun lain lagi. Dia harus mengecek dengan teliti.
"Aku juga akan tetap cari tau akun-akun lain yang kemungkinannya Senja."
"Iya, makasih, Fa."
Setelah semua beres, Aras pamit pulang, lebih tepatnya ke rumah Senja. Rasa penasaran yang semakin menggerogotinya tak bisa membuat Aras berhenti bertindak barang sejenak. Omelan Senja kali ini benar-benar tak terdengar.
"Pulang dulu, Ras. Luka lo harus diobati."
"Udah gak pa-pa." Walaupun Aras merespons, Senja sama sekali tidak senang. Aras memilih mengabaikan Senja kali ini karena takut dia kehilangan jejak jika tidak bertindak secepat mungkin. "Luka gue bakalan hilang dan gak ada rasanya karena waktu bisa cepat nyembuhin luka lebam. Tapi, kalau gue gak buru-buru dalam satu bulan ini, dalam waktu singkat itu, lo akan hilang dan rasa kehilangan tetap ada, gak mungkin bisa cepat sembuh."
Motor berhenti di depan rumah Senja yang lampunya sudah menyala. Mobil Selena juga tahu-tahu sudah terparkir sempurna di tempat biasanya. Aras turun dari kendaraan, diekori Senja yang tiba-tiba berhenti mengomel.
Aras berhenti berjalan ketika menginjak rumput halaman rumah, berbalik secepat kilat hingga membuat Senja menabrak dadanya. Aras terkejut, tanpa ada angin atau apa, Senja menangis.
"Ja, lo kenapa nangis?" Aras mengguncang-guncang bahu pacarnya, tetapi Senja memilih bungkam. "Maaf, gue salah ngomong."
"Gak. Lo gak salah apa-apa, Ras. Gue yang salah. Udah gentayangan, gak bisa ingat apa-apa, dan nyusahin lo mulu. Lo pasti gak bahagia kenal gue. Lo harusnya nolak pas gue min--"
"Udah. Gak usah ngomong lagi. Lo ikutin aja gue. Gak usah mikirin hal lain." Aras hendak memeluk Senja, tetapi pintu rumah langsung terbuka dan menampakkan Selena yang sepertinya hendak pergi.
"Eh, Aras. Kamu dari tadi di situ? Kakak denger tadi kamu ngomong. Ngomong sama siapa?" Selena duduk di kursi teras sambil memasang sepatu. Rupanya memang ingin keluar.
Aras gelagapan sambil berjalan patah-patah mendekati Selena. "Gak, Kak. Kak Selena salah denger kali." Embusan napas pelan keluar dari bibirnya. "Kak Selena mau ke mana?" Dia mencoba mengalihkan perhatian dan berhasil.
"Oh, pengen jalan sama Nino. Kamu kalau pengen masuk, ini kuncinya. Kalau pengen pulang, kuncinya di simpan di pot bunga itu aja, ya." Selena menangsurkan kunci itu, tetapi Aras menolak.
Tujuannya kali ini bukan untuk merenung di kamar Senja, melainkan ingin bertanya kepada Selena tentang Nino. Sejenak Aras menengok Senja yang masih sedikit terisak dan memilih duduk di ayunan tak jauh dari pagar.
Aras ingin berlari dan duduk di samping gadis itu, tetapi rasa penasarannya lebih besar daripada harus duduk di sana dan hanya bisa menatap Senja tanpa bisa mengajak berbicara atau memeluk gadis itu karena ada Selena.
"Kak Selena tau Daren?"
Pertanyaan Aras membuat Selena mendongak. Sambil tersenyum tipis, Selena menjawab, "Daren yang satu sekolah sama kamu dan orang yang pernah deketin Senja?"
Aras mengangguk cepat-cepat. "Jadi Kak Selena tau kalau Daren pernah ngejar Senja?"
"Tau, dong. Senja selalu cerita kejadian yang dia alami, termasuk tentang Daren, adiknya Nino."
"Hah?" Aras sungguh tidak mampu menahan keterkejutannya. Jadi Daren adalah adiknya Nino? Kalau akun Facebook itu benar milik Senja, ada apa dengan Daren dan Nino, foto yang Senja kirim? Sayang sekali sebab Senja tidak menulis informasi apa pun tentang foto itu, bahkan isi linimasanya pun hanya ada tiga foto, dan hanya foto Daren-Nino sajalah yang penting. Dua foto lainnya hanya gambar bantal dan latar merah. Memang kiriman itu sedikit ganjil, tetapi Aras masih belum bisa percaya itu akun Senja.
"Iya, Daren itu adeknya Nino."
"Kenapa sama Daren?" Suara itu membuat Aras dan Selena langsung beralih menatap si penutur.
Selena tertawa sambil berdiri dari duduknya. "Gak, Aras nanya Daren itu siapanya kamu. Aku jawab adek kamu."
Nino mengangguk dan menatap Aras santai. "Iya, adek gue. Lo tau cowok sok keren itu pasti di sekolah. Wajar kalau lo benci, anaknya emang songong."
Aras tidak peduli dan langsung pergi begitu saja dari rumah itu, menghiraukan panggilan Selena. Dia melirik ayunan ketika kakinya hampir keluar pagar dan Senja pun langsung ikut turun dari sana dan berjalan di sebelah Aras.
"Maafin gue, Ras."
"Udah, Senja. Sekarang gue harus mastiin banyak hal biar lo bisa tenang. Sekarang jangan mikirin apa pun lagi, percaya gue, Ja."
***