Senja menatap kepergian Aras dengan tatapan bingung dan sedih. Dia bersandar pada pagar sembari terus menatap gang yang kini sudah tak disiram cahaya dari lampu motor cowok itu. Dia memutuskan tidak mengikuti pacaranya kali ini. Ada perasaan berat di dalam hati kala melihat Aras berjuang mati-matian untuk mengungkap kepergiannya dan dia sama sekali tak membantu.
Gadis itu memilih masuk kamar dan mengempaskan diri di kursi belajar. Barang-barangnya mulai berdebu. Dia mengusap buku yang tersusun rapi satu persatu. Tangannya menarik salah satu buku tulis dan membukanya. Guratan senyum langsung terukir ketika melihat tulisannya sendiri. Rapi dan berwarna-warni.
Catatannya terlihat lengkap, bahkan banyak lembar catatan berwarna yang dia tempel di dalam buku sebagai tambahan materi. Sepertinya dia memang ambisius masalah pelajaran. Belum puas satu buku, dia menarik benda bergaris bersambul putih dan membukanya. Lagi-Lagi catatan rapi dan berwana yang menyambut.
"Masa iya orang ambisius dibenci? Bukannya enak punya teman ambis buat dimanfaatin? Apalagi kalau buku catatannya kayak gini. Enak banget kelihatannya." Senja mesem-mesem sambil terus membuka sampai halaman kosong. "Tapi, kalau ternyata gue ambis dan pelit, wajar mereka gak suka gue. Tapi kata Aras, gue cuma ambis, gak pelit." Tangannya kembali merapikan buku-buku dan manarik sepaket sticky note dan satu pulpen.
Dia mengecek sticky note itu sebelum menulis. Lembar pertama memang kosong, tetapi lembar kedua ada tulisan, begitupun lembar ketiga. Hanya sampai di situ saja.
"Potong rambut?" ucapnya ketika membaca tulisan pertama. "Harus tetap senyum," lanjutnya kala membaca lembar berikutnya. "Ini apa, sih?"
Dia mengetuk-ngetuk dagu, otaknya seperti melilit memikirkan penemuannya barusan. Meski berpikir keras, dia mampu menyimpulkan satu jawaban.
"To do list?" Ya, tulisan tadi ditulis berpoin, jadi bisa saja itu adalah kegiatan yang Senja lakukan. Potong rambut? Kalau begitu rambutnya pernah lebih panjang dari sekarang, kan? Atau memang dia belum melakukannya?
"Emang gue kenapa sampai harus tetap senyum? Bukannya gue emang selalu senyum?" Senja mengacak rambutnya, semakin dipikir semakin rumit. Sepertinya memang ada yang tidak beres.
Hah, seandainya dia tetap bisa mengingat semuanya. Namun, dia tidak akan menemui Aras sekarang. Ingin sekali rasanya segera memberitahu cowok itu tentang sticky note ini, tetapi mengingat tampang gusar tadi, dia jadi mengurungkan niat.
"Besok aja kali, yak." Dia kembali mengutak-atik meja belajar, berharap menemukan sesuatu yang lebih jelas lagi.
Akan tetapi, setelah menghabiskan waktu cukup lama, dia hanya menemukan beberapa majalah yang sengaja dihamburkan di lantai kamar. Dia ikut luruh di samping majalah-majalah itu, menatap lembar-lembar kertas tanpa minat.
"Kok bahasannya gini semua? Emang gue suka pembahasan kesehatan mental?" Senja mulai memperbaiki duduknya, menatap isi majalah satu persatu, membandingkan pembahasannya. Tidak jauh berbeda, semua tentang kesehatan mental. "Kayaknya emang gue suka pembahasan kayak gini." Tangannya kembali merapikan benda itu ke tempat semula dan berbaring di kasur.
Tiba-tiba matanya menatap kalender. Dia baru saja teringat sudah dua minggu lebih di sini, tetapi belum ada kemajuan sama sekali. Waktunya semakin menipis. Apa dia pasrah saja, menyuruh Aras berhenti menolongnya? Namun, cowok itu pasti tidak akan berhenti begitu saja.
Di tempat lain, Aras memandang langit-langit kamar sambil menikmati riuh dalam kepala. Banyak sekali pertanyaan bermunculan di sana meminta untuk dijawab, sayangnya dia belum bisa menarik kesimpulan. Sampai-sampai kepalanya kembali berdenyut. Sepertinya memang ada yang salah dari sakit yang selalu dia rasa akhir-akhir ini, mungkin karena kehadiran Senja.
Ngomong-ngomong tentang Senja, gadis itu tidak ikut menganggunya hari ini. Mungkin saja Senja butuh sendiri. Setelah pacarnya, dia loncat memikirkan Nino dan Daren. Mereka berdua saudara? Tentang akun Facebook itu, haruskah Aras memastikannya pada Daren?
Ogah! Dia sudah muak melihat Daren. Wajahnya memang babak belur, tetapi hatinya jauh lebih lebam. Dia tidak suka Senja direndahkan sebab Senja tidak melakukan apa-apa, tidak ada yang salah dari pacarnya.
Aras membuang napas panjang. Entah dengan cara apa dia bisa memecahkan masalah ini. Dia meraih ponsel yang tergeletak tak jauh dari badannya. Ditatap lama aplikasi biru-putih dengan huruf F, Aras sama sekali tidak pernah memiliki akun Facebook. Namun, kali ini dia sudah punya dan memilih berselancar ke akun Twilight.
Foto Daren dan Nino kembali terpampang. Tanggal lahir dan kota yang terinput di akun ini mengindikasikan sosok Senja, apalagi nama akunnya. Dia menekuri layar ponsel cukup lama, membuka daftar pertemanan, dan hasilnya tidak ada teman sama sekali.
"Sebenarnya ada rahasia apa Senja? Apa yang lo sembunyiin? Apa yang gak lo ceritain ke gue?" lirihnya. Dia tidak pernah berpikir Senja akan menyimpan rahasia sebagaimana dia yang selalu menceritakan segala hal ke pacarnya.
Aras kembali mendesah, capek menatap foto yang sama berulang kali. Dia memilih mencari akun lain dengan kata kunci Senja, banyak yang muncul dan sayangnya tidak menunjukkan tanda-tanda akun yang dicarinya. Dia kembali mengetik kata kunci Senjaras, gabungan nama mereka.
Aras tercengang. Ada satu akun sesuai kata kunci yang dia masukkan. Sangat di luar dugaan. Dia cepat-cepat menekan akun itu dan memperhatikan lini masanya. Ada dua buah status dan satu foto.
Status pertama, paling bawah menampakkan sebuah foto bantal putih yang koyak. Status kedua adalah sebuah kalimat yang membuat Aras berpikir.
Tempat berbagi yang sengaja tak terpilih.
"Ini beneran Senja yang nulis?"
Dia kembali fokus ke status terakhir, paling atas. Tulisan kali ini membuatnya termenung.
Manusia tersenyum, terus terbahak, tak pernah samar bahagianya sampai-sampai tak ada waktu berkeluh-kesah. Tidak penting mencari telinga untuk mendengar lantang dukanya. Terlalu bahagia.
Jika tempat berbagi yang sengaja tak terpilih yang Senja maksud adalah dirinya, Aras jadi semakin tidak tenang dan penasaran mengapa Senja tak memilihnya. Kenapa Senja tidak bercerita atau berkeluh-kesah seperti biasanya? Namun, sebelum gadis itu ditemukan tak bernyawa, Senja tidak menunjukkan gelagat aneh pun tetap Senja yang gemar menceritakan banyak hal dengannya.
Setelah diingat-ingat, Aras memang tidak menemukan hal mencurigakan. Dia mengubah posisi dari tidur menjadi duduk, menatap lamat-lamat foto bantal itu. Seketika Aras mengingat sesuatu, di beberapa kesempatan Senja pernah meminta pendapat tentang penampilannya jika berambut pendek, tetapi dia tidak pernah menanggapi. Aras suka rambut panjang Senja. Namun, beberapa hari sebelum Senja meninggal, gadis itu ngotot ingin memotong rambut.
Aras mengizinkan saja, tetapi gadis itu malah diam dan tertawa. Dia mengira Senja hanya bercanda, jadi Aras tidak terlalu menanggapi. Senja memang kadang se-random itu. Apa potong rambut ada kaitannya dengan kematian Senja? Rasa-rasanya tidak mungkin.
***