"Ra, foto box, Yuk!"
"Engga mau!"
"Ayo lah, 'kan sudah berabad-abad kita ga ketemu."
"Lebay, lo." Chayra tidak memedulikan Tafila yang meminta foto bersama.
"Ra sekali deh, ya?"
Tafila menarik tali tas sling bag yang Chayra pakai. Hal itu membuat Chayra hampir tercekik.
"Engga mau."
"Sekali ya ... Ya?" pinta Tafila memelas.
"Ya udah, iya."
Chayra dengan terpaksa menuruti permintaan Tafila. Ya bagaimana lagi, memang sudah lama mereka tidak pernah foto bersama. Chayra memutar tubuh berniat kembali menuju sebuh tempat di mana foto box berada. Namun, langkah Chayra berhenti saat ia merasa Tafila tidak mengikutinya.
Ia membalik tubuhnya lagi. Didapati Tafila sedang berdiam masih pada posisinya. Chayra menghampiri Tafila yang tengah mengamati seorang cewek.
"La, lo ngeliatin siapa?"
Tafila menoleh Chayra dengan pandangan terkejut. Chayra memincingkan mata menatap ke arah Tafila memandang.
"Itu mantan lo bukan si, La?"
"Ha? Bukan nya mantan lo, Ra?" elak Tafila.
"Mantan lo, juga ada kali," protes Chayra. Chayra melangkah maju berusaha untuk memastikan.
Tafila melirik Chayra. "Eh apa lo cemburu, Ra?" ledek Tafila.
Chayra melotot, ia pun mencubit lengan Tafila. Membuat cowok itu merasa kesakitan.
"Apaan si, lo," titah Chayra.
"Iya, 'kan? Jangan bohong deh," tanya Tafila penasaran. Ia menyikut lengan Chayra.
"Sok tahu, lo!" Suara Chayra tidak suka. Ia meninggalkan Tafila sendiri.
"Jadi foto ga? Ga jadi gua tinggal!" pekik Chayra.
"E-eh, tunggu dong!"
"Lho kok gua ditinggal?"
***
"Ra ini bagus deh. Gua upload di Instagram, ya?"
Tafila terlihat bersemangat usai foto bersama dengan Chayra. Tetapi, seseorang yang diajak bicara hanya diam tidak bersuara.
Chayra menopang dagu. Pikirannya sedang melayang-layang tidak berada di tempat yang seharusnya. Manik mata Tafila pun beralih pada Chayra. Tafila menegakkan tubuhnya.
Sudah hampir satu jam mereka berdua terduduk disebuah kafe. Hujan masih turun dengan deras di luar sana. Membuat Tafila dan Chayra memilih udah lebih lama menghabiskan waktu di kafe.
Caramel Machiato pesanan Chayra yang tadinya mengepul panas, kini sudah mulai dingin. Lantaran yang memesan tidak kunjung meminumnya. Tafila tersenyum menatap Chayra. Ia menjentikkan jari tepat di wajah Chayra. Chayra terbangun dari lamunan.
"Ra, diminuman. Dingin nanti kalau ga di minum-minum," ucap Tafila.
Chayra pun melirik. Mengubah posisi duduknya. Chayra meraih Caramel Machiato, lalu meminumnya.
"Ra lo kenapa si, diam aja?" Chayra tersenyum tipis, lalu menatap Tafila.
"Ga apa-apa." Tafila tersenyum miring.
"Bohong! Ga apa-apa cewek adalah sebuah kebohongan."
Tafila menatap cewek dihadapanya itu. Mengusap tangan kanan Chayra berusaha menenangkan.
"Lo, pasti mikirin Alditya 'kan?"
"Engga." Chayra mengigit bibir bawahnya.
"Masa?" sindir Tafila. Kali ini wajah mendekat dan tersenyum jahil.
Chayra menyadarkan tubuh di kursi. Ia bergeming. Tatapan Chayra saat itu menjadi kosong ke arah jendela kafe. Tafila melihat wajah sendu Chayra.
Meskipun sudah hampir satu bulan Alditya memutuskan Chayra. Tetapi, perasaan Chayra masih tersayat. Setiap kali mengingat kejadian di mana Alditya menyatakan cinta padanya. Kemudian, mengingat Alditya yang terlihat akrab bersama seorang cewek yang tidak ia ketahui. Lalu, tiba-tiba saja cowok itu menghilang dan memutuskan Chayra secara sepihak.
"Gua, ga apa-apa kok."
"Udah 'ah jangan dipikirin. Dia aja ga mikirin lo, masa lo pusing mikirin dia?"
Raut wajah Tafila berubah menjadi serius. Sedangkan Chayra mengatupkan bibir, mendengar perkataan Tafila. Chayra tidak tahu harus menjawab apa.
Selang beberapa menit kemudian, Chayra tersentak. Manik mata Tafila menatap Chayra, keningnya berkerut. Chayra menyipitkan mata melihat ke arah depan untuk memastikan apa yang baru saja ia lihat.
"Kenapa, Ra?"
Chayra berdiri dari kursinya. Ia tidak menjawab pertanyaan yang teelontar dari Tafila. Tanpa menunggu waktu lagi Chayra bergegas mengikuti seseorang. Orang tersebut menuju toilet.
"Gua, mau ke toilet bentar."
Tafila dibuat bingung oleh sikap Chayra. Perlahan tapi pasti, Chayra mengikuti seorang cewek yang menuju toilet. Semakin dekat langkah kaki Chayra, debar jantung Chayra berdebar tak berirama. Chayra melangkah pelan agar cewek tersebut tidak menyadari jika ia diikuti.
Chayra menunggu di luar toilet. Dengan kedua tangan dilipat di depan dada dan kaki diketukkan pada dinding.
"Mbak, mau ke toilet?" tanya seorang pelayan kafe pada Chayra. Chayra mengeleng.
"Oh, engga Mbak lagi nunggu teman." Pelayan tersebut pun berlalu.
Lima menit berlalu, Chayra bersekedap ketika cewek yang ia ikuti berjalan keluar toilet. Cewek itu keluar dengan santai tidak menyadari keberadaan Chayra.
"Lo, siapanya Kak Alditya?" tanya Chayra ketika cewek itu sudah melewatinya.
Suasana lorong toilet wanita sedang sepi-sepinya. Hingga suara Chayra terdengar sangat jelas. Cerelia—seseorang yang Chayra maksud. Cerelia berhenti sejenak untuk berbalik menghadap Chayra.
Raut wajah keterkejutan Cerelia sangat terlihat jelas kala itu. Cerelia tidak bisa bersuara, ia melirikkan mata ke kanan dan ke kiri. Memastikan jika, Chayra berbicara dengannya.
"Lo, siapanya Kak Alditya?" ulang Chayra. Matanya kini terasa panas.
"Gua? Pacarnya lah," jawab Cerelia sombong.
"Lo sendiri siapa? Nanya-nanya Alditya. Oh ... Gua tau, lo itu. Mantannya, ya?" ucap Cerelia dengan segaris senyuman sinis. "Kenapa nanya-nanya dia, ha?"
Chayra tampak terkejut ketika Cerelia menjawab. Pasalnya suaranya terdengar mengelegar di lorong toilet. Cerelia menajamkan pandangan menatap Chayra.
"Lo, biasa aja bisa?"
Sudut bibir Cerelia terangkat. Cewek itu pun kemudian, tertawa kencang dan berkata, "Engga!"
"Lo, jauh-jauh dari cowok gua! Kalau gak mau terima akibatnya. Lo, udah merusak hubungan gua sama Tafila. Dan sekarang kita impas, 'kan?" tukas Cerelia dengan lugas.
"Gua, gak nyangka sama lo."
Chayra mengelengkan kepala.
Chayra benar-benar tidak mengerti dengan pikiran Cerelia. Chayra memilih menyudahi obrolan di antara mereka. Buru-buru Chayra melenggang pergi meninggalkan Cerelia.
Chayra sudah berlari kembali menuju Tafila. Ia tidak sanggup jika mendengar perkataan yang sesungguhnya dari cewek itu. Dengan langkah terengah-engah Chayra datang kepada Tafila.
"La, tolong anterin gua pulang!"
pinta Chayra.
"Pulang?"
"Iya, ayo ... Cepetan!" ajak Chayra.
"Kenapa pulang? Lo, kenapa?"
"Udah ayo."
Chayra pun menarik paksa lengan Tafila. Tafila yang tidak mengerti, entah apa yang membuat Chayra bersikap aneh. Chayra terus menarik Tafila mau tidak mau Tafila segera mengikuti Chayra.
"Ra, lo kenapa?" Tafila menyamakan posisi hingga langkah mereka sejajar. Sehingga, Tafila dapat melihat wajah Chayra yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja.
"Chayra?" tukas Tafila memastikan.
"Gua gak apa-apa, La," jawab Chayra.
Penuturan Chayra tidak Tafila gubris. Cowok itu malah menyeringai dan menyipitkan mata. Tangan Tafila pun memeriksa kening Chayra, lalu memutar tubuh Chayra. Memastikan kemungkinan yang terjadi pada Chayra.
"Lo, kenapa? Jawab gua." Tafila menaruh kedua tangan di atas bahu Chayra. "Gua gak akan anter lo pulang, kalau lo gak jawab pertanyaan gua."
Chayra diam, ia tak berani menatap wajah Tafila.
"Hei?" Tafila meraih dagu Chayra agar, Chayra menatapnya. Manik mata sendu terlihat pada Chayra.
"Gu ... gua tadi ketemu sam—" perkataan Chayra terhenti.
Chayra langsung mengalihkan pandangan. Memberi isyarat pada Tafila karena, seseorang yang ia maksud tiba-tiba lewat dihadapan mereka. Beruntungnya seseorang yang dimaksud tidak sadar jika ada Chayra dan Tafila.
"Cerelia, maksud lo?" ungkap Tafila pelan. Sedangkan Chayra pun mengangguk.
Chayra pun refleks menutup mulut Tafila dengan kedua tangannya. Lantaran Tafila yang berbicara cukup kencang. Bisa-bisa cewek yang Chayra maksud tahu dan malah menghampiri dirinya.
Chayra pada akhirnya, terpaksa bercerita perihal kejadian saat di toilet tadi. Tafila mendengarkan. Namun, diam-diam ia teringat akan sebuah alasan mengapa ia putus dengan Chayra. Cerelia terlalu kekanakan, terlalu bergantung pada orang lain dan tipe orang yang membalas dendam.