Alditya memijat pelipis kepala yang terasa pening akibat mendengar celotehan Cerelia. Sejak satu jam yang lalu Cerelia selalu mendominasi pembicaraan. Padahal saat ini bukan hanya ada Cerelia dihadapan Alditya, tetapi ada tiga teman Cerelia juga.
Bibir Cerelia terus-menerus bergosip menceritakan Adit yang bersekandal dengan Serafina—teman sekelas mereka.
Berkali-kali Alditya menarik napas berusaha sabar. Tetapi, telinganya kini sudah tidak sanggup lagi mendengar suara Cerelia. Tidak dapat dipungkiri, setiap kalimat yang keluar dari mulut Cerelia membuat otak terasa ingin pecah.
Alditya pun meraih tas yang ia letakkan di atas meja. Ia berdiri dari kursi. Dan memasukkan ponsel ke dalam saku jaket hoodie-nya.
"Kamu mau ke mana?" tanya Cerelia yang melihat Alditya hendak pergi. Alditya lama tak menjawab pertanyaan Cerelia.
"Yang?" tukas Cerelia meraih tangan Alditya.
"Aku mau ke basecamp LPM dulu ya? Ada urusan mendadak soalnya."
Cerelia menelisik manik mata Alditya, memastikan keseriusan ucapan Alditya.
"Beneran kok, aku ga bohong," bela Alditya.
Desahan napas kasar terdengar dari Cerelia. "Oke, aku percaya."
Alditya mengangguk. "Aku sebentar doang kok, kalau butuh tinggal chat aja, ya?" Alditya mengusap kepala Cerelia perlahan, sebelum ia pergi menuju base camp Lingkar Pena.
Alditya merasa senang bisa terbebas dari Cerelia dan teman-temannya. Kini langkah kakinya menuju basecamp Lingkar Pena. Tempat pelarian terbaik Alditya selagi ada masalah.
Saat Alditya melangkah menuju basecamp. Ia berpapasan dengan Chayra. Sosok yang pernah mengisi hatinya. Dan kala itu Alditya menjadi merasa menyesal akan keputusan yang pernah ia ambil kala itu.
Alditya membuang muka saat dirinya tanpa sengaja bertemu dengan Chayra. Sebisa mungkin Chayra mengontrol segala bentuk emosi yang berkecamuk di dalam batinnya, ia hanya bisa terdiam. Dengan napas naik turun.
Sudah hampir tiga bulan sejak kejadian di mana Alditya berbuat seenaknya pada Chayra. Memutuskan secara sepihak dan mempunyai kekasih baru tanpa rasa bersalah sedikit pun. Dan sejak saat itu juga Alditya menjadi sosok yang tidak pernah Chayra ingin kenal.
Entah terbuat dari apa hati Alditya, mengapa bisa sekejam itu. Bahkan ketika cowok itu berpapasan dengan Chayra. Alditya tidak sedikit pun menoleh pada Chayra dan cenderung membuang wajah jika berpapasan. Chayra masih terdiam, menatap Alditya yang berajak pergi menaiki anak tangga menuju basecamp.
***
"Ra, cepetan nanti kita ga dapat tempat duduk!" kelakar Nindya.
Nindya berlari semakin cepat menuju lantai tujuh. Setelah penanggung jawab kelas atau ketua kelas mengatakan ujian di pindah di lantai tujuh. Semua anak kelas pun dengan cepat mengemasi barang-barang mereka dan segera berlari. Mencari tempat duduk yang berada di belakang. Supaya bisa dengan tenang mengerjakan UAS. Atau mungkin bisa mendapat contekan.
Chayra melambatkan langkah, bukannya tidak ingin mendapat tempat duduk di paling belakang. Tetapi, Chayra lebih sadar jika ia tidak mungkin bisa mendapatkannya. Mengingat teman-temannya sudah lebih dahulu berlari. Chayra kalah cepat.
"Kok ga lari, Ra?" cakap Tafila yang sudah berada di sampingnya.
"Engga. Sadar diri aja. Lo sendiri kenapa ga lari?"
"Males."
"Males?"
"Iya. Buat apa lari-lari kalau kenyataannya sampai sana hanya ada tempat duduk di dekat dosen."
Mendengar itu, Chayra tersenyum. Pikirannya sama dengan Tafila.
"Lo, kenapa senyum-senyum sendiri? Udah gila ya?"
Chayra melotot menatap Tafila. Ia mencebik. Sedangkan Tafila terkekeh, lalu tertawa kencang.
***
"Gua tuh sebenernya ga cinta sama Alditya. Kalian 'kan tau kalau gua udah berkali-kali nolak Alditya." ucap Cerelia berapi-api.
Sesekali ia menyeruput minuman yang ia pesan. Kedua teman Cerelia hanya menyimak ucapan Cerelia.
"Gua nerima dia tuh karena, pengen bales dendam sama orang yang udah merusak hubungan gua sama Tafila. Biar cewek itu tau gimana rasanya, cowoknya direbut!"
"Emang nama cewek itu siapa, Cer?" tanya Sarah yang kepo, siapa cewek yang dimaksud Cerelia.
"Namanya Chayra, anak Saintek."
"Parah lo, Cer. Berarti selama ini lo sama Alditya?"
"Gua, cuma main-main sama dia."
Kedua teman Cerelia mendadak bungkam usai Cerelia berujar seperti itu. Saraht—teman Cerelia berkali-kali melirik mengisyaratkan bahwa ada Alditya di belakang Cerelia.
Cerelia tersenyum simpul. "Yap! Gua cuma menjadi 'kan Alditya sebagai alat. Supaya cewek kegatelan itu juga merasain patah hati kaya gua!"
"Jadi, selama ini lo cuma pura-pura suka sama gua, Cer?" tanya Alditya tegas.
Cerelia mendadak bungkam seribu bahasa, ia meneguk saliva-nya. Menyenggol kaki sarah yang duduk tepat di depannya. Raut wajah Cerelia kesal bukan main. Dalam batinnya, ia bersungut.
'Kenapa kalian gak bilang, kalau ada Alditya?'
Tangan Alditya terkepal kencang. Kalau saja Ceritaku bukan seorang perempuan, sudah ia hajar habis-habisan. Tidak ada ampun.
"Jadi, selama ini lo cuma pura-pura suka sama gua, Cer?!" tanya Alditya dengan nada penuh penekanan.
"Jawab Cer!"
Cerelia berdiri. Ia meraih lengan Alditya. Matanya sudah berkaca-kaca. Kepalan tangan Alditya semakin kuat. Hati Alditya terasa sakit mendengar semua kalimat yang terlontar dari Cerelia.
"Bukan gitu, Yan. Kamu salah denger." lirih Cerelia. "Aku bisa—"
"Gak perlu. Semua sudah jelas!"
Cerelia menghentikan perkataannya saat Alditya menyelaknya. Tidak ingin berurusan dengan Cerelia. Alditya, kemudian membalik tubuh dan pergi. Namun, Cerelia mencengram erat tangan Alditya. Alditya pun menepis tangan Cerelia dengan kasar. Cowok itu pergi meninggalkan Cerelia dengan langkah berat dan hati yang meradang. Ketika sudah seperti ini, ia baru merasa bersalah pada Chayra.
Apa ini karma buat gua?
Sekarang Alditya telah sampai tepat di depan sebuah kedai kopi. Kedai kopi dekat kampus yang sudah langanannya. Alditya melengang masuk ke dalam kedai kopi, ia pun memesan satu buah kopi ekspresso. Kopi yang cocok seperti perasaan Alditya saat ini. Usai memesan Alditya memilih duduk di ruangan khusus perokok. Ia duduk di pojok kedai.