Alditya kini sedang berdiri di depan ruang Lingkar Pena. Seperti seorang Ayah yang sedang menunggu anaknya pulang. Ia pun metukan di atas lantai sambil kedua tangan dilipat di depan dada. Cowok yang sekarang mengenakan hoodie abu-abu itu menatap tajam kepada seorang cewek yang baru saja sampai di depan basecamp.
"Maaf Kak, lama," ucap Chayra, sambil tersenyum kikuk pada Alditya.
"Buruan simpan lagi kameranya."
Chayra mengangguk. Ia pun melepas sepatu di depan basecamp. Kemudian, membuka pintu basecamp di mana suasana sudah sepi tidak ada penghuni. Dengan cepat Chayra memasukkan kamera ke dalam tas yang tersedia. Dan menyimpannya ke dalam lemari.
Setelah itu, ia pun mengambil tas ransel berwarna peach-nya yang berada di atas sofa. Chayra keluar dari basecamp dan mengunci pintu basecamp dengan terburu-buru. Padahal Alditya dengan setia masih menunggu di depan basecamp.
Alditya termangu menatap perilaku Chayra yang terburu-buru menutup pintu basecamp. Alisnya terangkat sebelah.
"Kak, ini kuncinya." Chayra memberikan kunci basecamp kepada Alditya. Tetapi, cowok itu malah terdiam. Membuat bulu kuduk Chayra menaik.
"Kak? Lo gak kesam—"
Chayra mengantungkan ucapan. Ia segera menepuk bahu Alditya. Alditya malah tersenyum tidak jelas. Chayra pun melangkah mundur.
"Eh, lo mau kemana?" pekik Alditya.
"Chayra. Tungguin!"
Chayra memutar tubuhnya ketika Alditya memanggil namanya. Alditya berlari mengejar Chayra, yang saat itu langkah Chayra sudah berhenti kala mendengar Alditya berteriak memanggilnya.
"Udah ditungguin malah ninggalin!" titah Alditya.
"Maaf Kak. Saya kira Kakak kesambet."
"Hush! Ngomongnya dijaga. Ya udah ayo pulang!" lanjut Alditya. Alditya dengan cepat menarik lengan Chayra menuju parkiran kampus.
"Lo lama banget. Dari mana?"
"Dari—" Manik mata Chayra tampak memperhatikan Alditya. Ia menimang ucapannya. "Dari toilet auditorium. Tadi nametag Saya ketinggalan Kak."
Alditya tampak terdiam setelah mendengar penuturan Chayra. Ia pun mengenakan helm dikepala Chayra yang saat itu malah menatap raut wajahnya. Tidak sadar jika ia sudah hampir lama memegang helm.
"Oh gitu. Dasar, nenek-nenek!" tutur Alditya.
Alditya pun menurun kaca helm yang dikenakan Chayra agak kencang. Membuat Chayra mendengus kesal.
"Naik."
Chayra pun menaiki motor Alditya. Ia memegang kedua bahu Alditya sebagai penopang untuk menaiki motor. Setelah Chayra duduk di atas motor. Alditya, lalu mengenakan helm full face dan menyalakan mesin motornya. Mengendarai motor dengan kecepatan lambat menuju pintu keluar kampus sebelum akhirnya berkutat dengan kemacetan Jakarta.
Malam itu jalanan Jakarta tampak lengang. Mungkin, karena saat itu jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Hal biasa jika sudah menjadi mahasiswa apalagi mahasiswa yang sibuk dengan organisasi.
"Makasih ya Kak," tutur Chayra dengan senyum manis, membuat mata sipitnya terlihat menghilang.
Alditya hanya mengangguk. Chayra memberikan helm kepada Alditya. Ia pun merapikan rambut yang sedikit berantakan.
"Hari minggu jadikan?"
"Hah?" Chayra kebingungan dengan ucapan Alditya.
"Jadi apa?"
"Jadi apa prok.. Prok ... Pak Tarno kali," ucap Andrian, ia tertawa geli sendiri. "Jadi ikut Jakarta kepo 'kan?"
Chayra menepuk keningnya. 'Kenapa ia bisa lupa!'
"Oh iya! Jadi Kak."
"Oke. Besok gua jemput ya. Jangan lupa. Jangan pakai high-heels. Kita mau keliling Jakarta."
Kata-kata Alditya berhasil membuat tertawa kecil. Pasalnya selama ini, semua sepatu yang Chayra miliki kebanyakan adalah sepatu sneakers. Dan sepatu perempuan yang ia punya hanyalah flat shoes, itu pun hanya satu.
"Iya Kak."
"Ya udah, gua pamit ya!"
Chayra mengangguk. Setelah Alditya motor yang dikendarai Alditya tidak terlihat lagi. Chayra membenarkan posisi tasnya yang terasa miring. Usai Alditya mengantarnya pulang, Chayra menutup pintu pagar rumah.
Akhir-akhir ini Chayra dan Alditya menjadi lebih dekat. Selain karena mereka sering menjadi satu kelompok. Rumah Chayra yang satu arah membuat Alditya memutuskan untuk mengajak Chayra pulang bersama. Hitung-hitung sebagai teman agar tidak bosan. Meskipun, tidak ada bedanya ketika ia pulang sendiri ataupun bersama Chayra. Sebab, Chayra kebanyakan diam.
Berbicara tentang Jakarta kepo. Jakarta kepo adalah wadah untuk belajar mengenal lebih dalam mengenai Jakarta baik budaya, sejarah, tradisi dan lingkungan.
***
Minggu pagi Chayra telah siap sedia duduk di depan televisi. Bukan untuk menonton kartun Doraemon favorit-nya melainkan untuk menunggu Alditya. Chayra berkali-kali mengecek ponselnya. Sudut bibirnya tersenyum ketika mendapat sebuah pesan dari Alditya.
Ia meraih tas sling bag berwarna hitam dan menyampirkan di atas bahu kanannya. Sementara itu, Alditya menyugar rambut panjangnya dan memandangi wajah dari balik kaca spion motor. Sebelum turun dari motor serta menekan tombol bel di rumah Chayra.
Bel berdenting Chayra pun memanggil Namira—Bundanya untuk berpamitan. Namira yang sedang asik di dapur pun menolehkan kepala.
"Mama... Chayra mau berangkat..." Chayra berjalan menghampiri Namira.
"Iya. Hati-hati ya. Mau bawa bekal?"
Chayra berdecak. "Aku bukan anak TK lagi Ma."
Namira tampak tersenyum, ia membelai pucuk rambut Chayra.
"Siapa tahu aja kamu mau bawa."
"Engga deh Ma. Chayra pamit ya Ma. Kak Alditya udah di depan rumah kayaknya."
Namira mengangguk. Ia mencuci tangan, sebelum menyalami Chayra. Sebab, baru saja memotong cabai.
"Assalamualaikum Ma."
"Wa'alaikum salam."
Chayra melangkah keluar rumah. Ia mengambil sepatu sneakers, lalu berjalan membuka pintu pagar rumahnya.
Setelah Alditya menekan bel rumah Chayra. Tak lama cewek itu
Ketika pintu pagar terbuka menampilkan Alditya yang sudah bersandar pada dinding tembok rumah Chayra sambil senyum. Senyuman yang berbeda.
"Hai!" sapa Alditya. Chayra mengerutkan keningnya.
"Yuk. Udah siang. Pakai helmnya," perintah Alditya, seraya memberikan helm bogo pada Chayra.
Padahal saat itu jam masih menunjukkan pukul delapan pagi. Tetapi, waktu berkumpul Jakarta kepo pukul sembilan pagi. Jadi, wajar saja Alditya berkata seperti itu.
Alditya kemudian menyalakan mesin motor dan menaikkan standar motornya. Sedangkan Chayra kembali menutup pintu pagar rumahnya. Saat sedang menarik pagar, mamanya berteriak dari pekarangan rumah.
"Sayang, jangan ditutup dulu."
Namira berlari menghampiri Chayra yang otomatis membuat Chayra menghentikan kegiatan menutup pagar. Alditya yang melihat Namira menuju mereka langsung kembali menurunkan standar motor dan turun dari motor.
"Mama mau ke mana?" tanya Chayra.
Namira hanya senyum-senyum tidak jelas melihat ke arah Chayra dan Alditya.
"Ma?"
"Tante. Assalamualaikum." Alditya menyapa Namira dan mencium punggung tangannya.
"Wa'alaikum salam. Calon mantu."
Chayra membelalakkan kedua mata kala mendengar jawaban Namira. Ia menyenggol lengan Namira. Memberi isyarat 'Mama, apaan sih!'
"Kamu mau ajak Chayra jalan-jalan kemana? Jagain benar-benar ya. Soalnya, Mama gak ada gantinya lagi kalau dia hilang."
"Mau diajak mengenal Jakarta lebih jauh Tante. Siap Tante!"
Chayra menepuk keningnya pasrah. Namira yang melihat raut wajah putrinya yang tampak kesal memberikan gengiran. Bagai bumi dan langit. Seperti itulah sifat Namira dan Chayra.
"Tante percaya sama kamu kok, Nak!" ungkap Namira bersemangat. "Ya sudah kalau mau berangkat silakan."
Alditya mengangguk. Ia pun kembali menyalami Namira. Begitu dengan Chayra. Alditya menyalakan mesin motornya dan Chayra segera menaiki motor Alditya.
"Berangkat ya, Tante. Assalamualaikum," pamit Alditya dan tersenyum ramah pada Namira. Chayra melambaikan tangan kepada Mamanya. Lalu, Alditya pun melajukan motornya perlahan.
Alditya mengubah posisi kaca spionnya agar dapat melihat raut wajah Chayra. Matanya melihat dengan raut wajah datar seperti biasanya.
"Mama kamu lucu ya?"
"Hah? Kenapa Kak?" Chayra sedikit mendekat kepala ke punggung Alditya.
"Mama kamu lucu. Tapi, kok beda banget ya sama anaknya."
Chayra tidak menjawab. Dalam benak Chayra mengantakan ini orang sedang memuji atau menyindir dirinya sih?
"Eh, ko diem sih? Masih ngantuk ya?"
"Hah? Engga kok, Kak."
Setelah itu keduanya memilih untuk diam. Chayra yang asik menatap sekeliling dan Alditya fokus mengendarai.
Chayra turun dari motor Alditya dan melepaskan helm yang ia kenakan. Sedangkan Alditya memarkirkan motornya disebuah parkiran yang sudah tersedia. Ia memasukkan helm Chayra ke dalam bagasi motor sementara itu, helm yang ia kenakan dititipkan pada sebuah tempat penitipan helm.
"Yuk."
Alditya berjalan terlebih dahulu diikuti Chayra. Namun, Alditya berhenti tiba-tiba membuat Chayra tidak sengaja menabrak punggung Alditya.
"Eh—" Chayra tampak panik. "Maaf Kak."
"Gak apa-apa." Alditya menatap Chayra.
"Udah punya kartu kereta? Kalau belum nanti aku beliin."
Chayra menaikkan sebelah alisnya. "Saya pakai kartu Transjakarta Kak."
Alditya ber oh ria. Mereka pun segera menuju stasiun kereta setelah men-tap tiket elektronik untuk masuk ke peron stasiun. Belum lama menunggu kereta yang ingin mereka naiki hampir tiba.
Alditya yang langsung mengengam tangan Chayra. Chayra berusaha menarik tangannya dari Alditya, meski usahanya sia-sia.
"Jangan dilepas pegangan tangan gua. Tempat ini ramai nanti kalau lo hilang, gua yang repot," ujar Alditya.