HAPPY READING!
Besoknya Bulan tidak bisa mengantarkan Langit untuk kembali pulang ke Bandung. Sudah hari Senin Bulan harus bersekolah alhasil Langit mengirimkan foto dirinya yang berada di kereta.
Bulan jadi senyum-senyum sendiri dan tertawa keras saat melihat fotonya. Bulan yakin dia sudah gila. Bintang yang berada di seberang menatap perempuan yang sebulanan ini tidak pernah tertawa. Cowok itu tersenyum, setidaknya tanpa adanya Langit. Bulan masih bisa tertawa lebar seperti itu.
"Bulan. Nanti mulai belajar matematika ya? Di rumah lo aja." Bulan menutup ponselnya, tidak membiarkan siapapun melihat. Bulan menatap Bintang lalu mengangguk sekenanya. Bintang tersenyum menurutnya ini kemajuan biasanya Bulan akan menatap sinis dan memaki kesal.
[ Sekarang lo di rumah sakit mana Lang?]
Bulan mencoba mencari informasi. Dia juga ingin pergi ke Bandung mengunjungi orang tuanya juga. Langit membaca pesannya lalu mengetikan balasan.
[ Kan gue udah bilang. Lo enggak boleh tau gue dimana ]
Bulan cemberut lalu kembali mengetikan balasan dengan kesal. Membubuhkan capslock agar tau kalau Bulan marah.
[ KENAPA GA BOLEHHHH GUE KAN MAU TAUU ntar gue ke sana, deh bawain lo siomay ]
Langit menghela napas lalu mengetikan balasan dengan hati-hati. Sesekali jarinya berhenti mengetik tidak tau harus membalas bagaimana.
[ Semuanya demi kesehatan Mama gue. Kalau lo inget waktu lo ulang tahun dan mama gue ke sana buat minta uang. Itu karena seseorang yang minta. Mama enggak pernah ngelakuin hal yang seperti itu kalau enggak ada paksaan dari luar ]
[ Udah ya Lan. Gue mau tidur dulu. Kalau udah sampe nanti gue kabarin ]
Bulan membaca pesan singkat yang membuat dia merasa bersalah. Dirinya juga berpikir ada sesuatu yang salah. Bulan berpikir juga tentang tante yang dimaksud oleh pengurus rumah sakit waktu mereka bertemu.
Bulan akan memikirkannya nanti sekarang dia akan mengikuti pelajaran dengan baik dan belajar. Cewek itu menopang dagunya menatap ke papan tulis ketika guru yang mengajar datang.
"Ini coba kerjain nomor dua sama lima. Menurut gue kalau lo bisa ngerjain ini. Lo bisa ngerjain nomor satu sama empat." Bintang menunjuk buku paket matematika lalu menatap lawan bicaranya yang sedaritadi hanya melamun.
"Lan? Ayo dikerjain." Bulan tersadar, segera dia mengambil alat tulis dan mulai mengerjakan.
"Nomor berapa? Terus ini cara ngerjainnya gimana?" tanya Bulan setelah dia mengambil bolpoin miliknya.
"Daritadi loh Lan, gue terangin." Bintang mengusap wajahnya frustasi. Masalahnya kalau Bulan hanya tidak mendengar nomor berapa yang harus dikerjakan Bintang tidak masalah. Tetapi, sudah hampir satu jam Bintang menerangkan dengan serius dan mulut berbusa Bulan masih bertanya bagaimana cara mengerjakannya.
"Ya sori. Terangin lagi deh." Bintang menyerah, akhirnya mau tidak mau dia kembali menerangkan. Nenek Bulan mengintip dari sisi dapur melihat Bulan yang fokus mendengarkan penjelasan Bintang.
Neneknya berharap Bulan sudah tidak ada niat lagi untuk mencari Langit saat dirinya sudah melihat Bintang. Cukup untuk dua hari kemarin untuk Bulan setidaknya mengikhlaskan Langit agar tidak berada di sisinya.
"Lang, lo harus bantu gue sesuatu." Bulan berbicara sementara Bintang menatapnya bingung.
"Lang?" tanya Bintang memastikan pendengarannya. Bulan menepuk dahinya lalu meminta maaf.
"Maksud gue Bintang. Nama kita hampir sama sih jadinya sering salah manggil," ucap Bulan meringis berharap Bintang tidak memperpanjang masalah ini.
"Minta bantuan apa? Jadi pacar lo kayak yang Langit lakuin dulu?" Bintang bertanya dengan sinis membuat Bulan menatap laki-laki itu tidak suka.
Niat untuk meminta tolong langsung pudar apa-apaan cowok menyebalkan yang ada di depannya ini. Bulan menutup bukunya menatap Bintang segit.
"Pulang aja lo." Bulan berdiri sambil membawa buku miliknya. Masuk ke dalam kamar dan menguncinya.
Bintang memukul meja dan mengumpat kasar. Lagi-lagi mereka bertengkar hanya karena masalah Langit. Apa sih bagusnya Langit-langit itu. Sialan. Bintang berdiri membereskan bukunya lalu melangkah ke kamar Bulan. Mengetuknya.
"Maaf, gue mau pamit pulang dulu." Bintang pergi dari sana pulang menaiki mobil dengan supir yang setia menunggu daritadi.
Bulan menatap kepergian Bintang dari jendela kamarnya. Baguslah kalau cowok itu pergi. Walaupun sedikit rasa bersalah muncul tapi, inilah Bulan cewek yang tidak pernah mau kalah dan tidak peduli dengan perasaan orang lain.
Bulan memikirkan banyak cara agar mengetahui seseorang yang mengganggu keluarga Langit. Seseorang yang bisa melihat dan memata-matai.
Dukun?
Bulan langsung menggeleng ketika jawaban itu yang terlintas di kepalanya. Bisa gila juga lama-lama kalau tidak menemukan jalan keluar.
Mata-mata?
Ya, kan. Bulan gila. Bagaimana mungkin ada mata-mata di dunia nyata ini yang mau dibayar untuk memata-matai manusia yang tidak jelas. FBI bakal memenggalnya kalau Bulan meminta untuk mematai orang yang bahkan wajahnya saja Bulan tidak tau.
Baru asik melamun dan bertengkar dengan pikirannya sendiri. Pintu kamar Bulan di ketuk dari luar.
"Nona, ini saya. Anda diminta oleh nenek anda untuk ke ruangannya." Bulan menggerutu pasti ini masalah Bintang yang baru saja dia usir.
Bulan membuka pintu kamarnya menatap El manusia yang selalu mengabdi di keluarga ini. Kepercayaan keluarga yang tiada bandingnya. Semua permasalahan keluarga dia yang tau dan yang menyelesaikan. Manusia paling banyak koneksi.
Tunggu, banyak koneksi? Bukankah berarti El bisa membantu dia untuk mencari seorang mata-mata untuk mencari tau siapa yang menganggu kenyamanan dan keamanan Langit?
Mata Bulan berbinar sebentar. Tangan Bulan memanggil El untuk mendekat.
"Bisa minta tolong sesuatu?" El langsung mengangguk. "Beri saya perintah, Nona. Saya akan melaksanakannya."
"Gini, jadi harusnya lo tau masalah gue sama Langit." El mengangguk. "Katanya, Langit diganggu sama seseorang. Gue mau minta bantuan lo buat nyari siapa orangnya. Tapi, jangan bilang nenek. Gimana?" El mengangguk. Bulan langsung tersenyum saat melihat anggukan El.
"Oke, bagus. Gue ke ruangan nenek dulu." El mengangguk lalu menatap Bulan yang berjalan dengan langkah ringan dengan sesekali loncatan kecil karena sedang merasa senang.
El berbicara di radio dan memasang alat bicaranya. Berbicara dengan orang yang ada di tempat lain. Setelah mendapat jawaban El langsung pergi ke posisinya menunggu instruksi dari keluarga Bulan.
Sekitar dua minggu kemudian El mengetuk lagi pintu kamar Bulan. Bulan membuka pintunya sedikit melirik siapa yang berada di luar.
"Saya membawakan ber–" Bulan langsung meminta El untuk diam. Setelah dipastikan El menutup mulutnya Bulan mengambil berkas yang dibawa oleh El.
"Saya sudah melaksanakan tugas. Ijin untuk kembali." El menundukan badannya lalu pergi dari sana. Bulan menutup pintu kamarnya.
Segera melompat ke kasurnya dan membuka berkas yang dilapisi oleh map cokelat satu per satu. Banyak lembaran disana dan Bulan membacanya perlahan.
Fakta yang dipaparkan sangat membuat Bulan terkejut. Ini melebihi sangat melebihi dugaannya.