HAPPY READING!
Kalau Bulan berkata dia tidak merindukan laki-laki yang berada di depannya saat ini sudah bisa dipastikan cewek itu berbohong.
Neneknya menatap Langit enggak suka walaupun akhirnya Bulan meminta untuk menyetujui dia pergi bicara sebentar dengan Langit.
Langit tersenyum ketika Bulan akhirnya keluar. Langit mengajaknya menuju taman saat perjalanan mereka tidak ada yang berbicara. Larut dalam masalah masing-masing.
"Mau bilang apa?" Bulan dengan wajah datar dan menatap Langit tidak suka. Dia agak kecewa karena Langit tidak mau mendengar penjelasan yang ingin dia katakan dan dengan seenak hatinya tiba-tiba manusia ini muncul.
"Bisa kita makan dulu?" Langit mengubah pembahasan dan pertanyaan Bulan yang tidak ingin dia jawab sekarang. Langit terlalu malu untuk memulainya.
Langit menarik tangan Bulan menuju ke dalam rumah makan sederhana yang bahkan Bulan tidak pernah sadar ada tempat makan seperti itu.
"Nasi sei sapinya dua sama teh tawarnya dua." Langit mengungkapan pesanannya sementara Bulan hanya diam.
"Emang lo yakin gue suka pesanan lo itu?" tanya Bulan ketus membuat Langit berpikir Bulan benar-benar sudah menyesal bertemu dengannya.
"Gue tau lo enggak suka makan sayur. Menurut gue menu itu enak." Langit berbicara kembali sementara Bulan hanya menghela napas.
"Gimana kabarnya sebulan ini?" Langit bertanya lagi, Bulan menatap Langit bingung. Apa memang wajar kalau pertanyaan klasik akan dilontarkan saat perpisahan mereka saja tidak dengan kesan yang baik.
"Enggak tau dan harusnya emang lo enggak tau. Lo sebenernya mau ngomong apa sih?" Bulan sudah kesal, Dia tidak butuh kata-kata halus dan wajah yang datar dari Langit. Dia hanya butuh penjelasan.
"Habis makan. Gue cerita." Bertepatan dengan Langit berbicara makanan mereka dihidangkan.
Mau tidak mau akhirnya Bulan makan. Menghabiskan semuanya hingga bersih. Langit yang sudah selesai makan langsung beranjak pergi membayar. Bulan mengikutinya hingga keluar dari sana.
Langit meraih tangan Bulan berjalan menuju ke taman. Dia memilih untuk duduk di rerumputan meminta Bulan juga ikut duduk di sana.
"Selama sebulan ini gue ada di Bandung. Gue harap lo enggak cari gue setelah ini karena ada alasan tertentu yang gue enggak bisa ceritain ke lo sekarang. Gue enggak lanjut sekolah dulu karena gue emang secara finansial aja enggak bisa bayar." Langit menjelaskan sementara Bulan hanya diam saja, mendengarkan semua cerita Langit.
"Mama sehat udah enggak ada gejala apapun yang memungkinkan untuk kambuh lagi. Gue juga udah dapet kerja dan hasilnya lumayan. Oh iya, makasih juga karena lo udah minjemin gue uang yang banyak banget." Langit tersenyum lalu merebahkan tubuhnya di rerumputan menatap langit yang sudah mulai menggelap.
"Kalau lo memang enggak mau gue nyari lo. Kenapa lo harus balik ke sini dan nyari gue?" Bulan tidak bisa menatap Langit dia hanya bisa memalingkan wajahnya sambil terus mengusap air matanya yang sudah turun sejak tadi.
"Karena cerita lo. Karena kata-kata lo. Setelah baca gue ngerasa kita punya beban yang sama. Gue tau perasaan lo. Ditinggal orang yang lo udah percaya dan sayang." Langit kembali duduk menangkupkan wajah Bulan sambil terus menatapnya menghapus bulir-bulir air mata yang bercucuran.
"Kenapa nangis? Gue jahat banget ya Lan?" Bulan menyingkirkan kedua tangan Langit lalu menutupi wajahnya sendiri. Langit membiarkan Bulan menangis bahkan suara tangisnya semakin besar. Langit menepuk punggung Bulan untuk menenangkannya sambil terus berkata. 'gue jahat ya Lan'
"Gue pamit pergi," ucap Langit di depan pintu pagar rumah Bulan. Bulan yang tangisnya sudah merada sejak tadi langsung mencekal pergelangan tangan Langit.
"Jangan pergi." Bulan dengan wajah sembab dan merajuk membuat Langit gemas.
"Gue baru tau Lan. Lo selucu ini." Langit tertawa lalu mengacak rambut Bulan gemas.
Bulan langsung merubah ekspresi menjadi wajah kesal. "Pergi sana." Langit mengulum senyumnya, kembali menggoda Bulan.
"Yakin? Tadi minta jangan pulang," goda Langit membuat Bulan cemberut lalu menghentakkan kakinya hendak menginjak kaki Langit. Langit menghindar membuat suara detuman keras tercipta.
"Galak banget Lan. Galak-galak tapi nangis." Bulan mencembikan bibirnya mendorong Langit untuk keluar dan memgunci pagarnya membiarkan Langit di luar sendirian.
"Buka blokiran gue. Besok pagi jangan pulang dulu. Gue mau ajak lo ke suatu tempat." Bulan melangkah menjauh setelah berbicara. Meninggalkan Langit di luar sendirian.
Setelah beres-beres Langit menatap kamar lamanya padahal baru satu bulan. Tapi, dia sangat rindu dengan semuanya. Langit duduk di mejanya meraih gitarnya yang sudah agak berdebu memainkannya sebentar menguji apakah tangannya masih bisa dia gunakan untuk memetik gitar.
Langit membuka ponselnya dia membuat vidio dan menyanyikan sebuah lagu dari awal hingga selesai. Setelah puas Langit melakukan ritual mandinya dan tidur untuk memenuhi ajakan Bulan besok.
***
Langit menatap tempat ini kagum bersama Bulan tentunya. Langit menatap Bulan kebingungan dia pikir hanya dia yang terlihat kampungan saat melihat tempat ini. Tapi, nyatanya Bulan juga.
"Bagus banget Lang." Bulan jingkrak-jingkrak dan memotret banyak hal sementara Langit mengikuti di belakang nya.
Banyak ikan di sana membuat Langit dan Bulan terlihat seperti anak umur sepuluh tahun yang baru melihat dunia.
"Ada gurita Lang. Aaa lucu banget." Bulan mengetuk-ngetuk akuarium besar yang ada dengan hati yang berbunga-bunga.
"Itu bukan gurita Lan. Itu cumi-cumi," ucap Langit memprotes. Mereka berdebat panjang membahas perbedaan antara cumi-cumi dan gurita membuat pengunjung yang lain menatapnya kebingungan.
"Cumi-cumi itu yang ada di piring. Kalau hidup. gurita." Bintang berbicara masih dalam bahasan yang sama.
"Lo enggak lulus sekolah dasar atau gimana? Cumi-cumi sama gurita itu mirip tapi ada bedanya. Bukan gurita yang di goreng itu namanya berubah jadi cumi-cumi. Gue goreng juga lo biar sama-sama gue makan." Bulan memukul Langit kesal perdebatan selesai setelah Bulan melotot menyuruh Langit untuk diam.
Bulan mengajaknya untuk berfoto di akuarium yang besar berisi banyak macam ikan. Bulan meminta seseorang yang lewat untuk memotretnya.
"Pose yang bener. Kalau enggak bener gue hajar." Bulan berbisik dengan nada ancaman ketika melihat Langit mengeluarkan jempol andalannya.
"Ini pose gue. Emang harus pose gimana?" Langit memprotes dengan suara kecil mengikuti Bulan yang tadi berbisik.
"Gaya normal." Bulan bahkan tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan gaya normal akhirnya tangan Langit memegang pundak Bulan merangkulnya.
Membuat sang empu terkejut tidak menyangka Langit akan memeluknya. Padahal yang disebut gaya normal adalah gaya foto KTP alias berdiri tegak dan tersenyum.
Setelah foto bahkan Bulan masih terdiam Langit mengambil ponselnya dan mengucapkan terimakasih kepada orang yang tadi iklas membantu mereka berfoto.
"Lan, woi jangan kesambet ikan cupang." Langit mengibaskan tangannya meminta Bulan dasar dari lamunannya.
"Gaya normal yang lo pikirin itu ngerangkul orang? Hah? Kalau sebelah lo bukan gue tapi cewek lain, lo juga ngerangkul gitu? Gila lo." Setelah sadar Bulan malah mengamuk lalu dengan langkah besar berjalan pergi meninggalkan Langit.
"Hah? Lah, gue salah dimana? Dasar cewek." Langit mengikuti Bulan dan membujuknya untuk tidak marah lagi.