“Gimana, Sa? Kara bisa dibujuk?”
Baru saja Aksa masuk ke ruang sekretariatan yang hanya ada Novan, Galen, Sagara, Agam, Krisna dan beberapa anggota lain, Aksa sudah diserang dengan berbagai pertanyaan dari Agam. Setelah menyimpan kembali gitar di tempat yang seharusnya, Aksa meloncat ke bagian sofa kosong. Merasakan kenikmatan tubunya yang mendarat di empuknya sofa. Malam itu, Aksa dan yang lainnya belum pulang. Karena dia baru selesai mengerjakan sesuatu dengan kelompoknya dari sore tadi setelah bernyanyi bersama Lengkara di rooftop.
“Sa, gimana?”
“Gue baru tanya sekali, katanya gak tahu. Itu jawaban dari Kara.” Jawab Aksa.
“Gak ada jawaban lain?”
Aksa menggeleng. “Belum. Gue belum sempet.” Dan tadi pemuda itu melupakan tugasnya ketika bercengkrama dengan Lengkara cukup lama.
Agam menghela nafas. Ia ikut bersandar mengikuti Aksa. Menatap lurus ke depan dengan pandangan cemas. Di kepengurusannya ini ada beberapa angkatan 2019 yang memilih keluar dengan beragam alasan. Agam sampai bingung harus berbuat bagaimana lagi untuk mempertahankan struktur pengurusnya secara utuh sampai akhir kepengurusannya.
“Gue harus gimana lagi, Sa? Gue bingung. Tinggal 5 bulan lagi padahal, tapi kenapa malah makin rumit masalahnya. Apa gue salah selama ini dalam memimpin?” Agam mengacak-acak rambut frustasi.
Dengan iba pada teman seangkatannya itu, Aksa menepuk punggung Agam berniat menyalurkan energi semangat pada Agam. Ia merubah posisi dari merebahkan diri di sofa menjadi duduk kembali. “Namanya juga organisasi, pasti ada masalahnya. Tinggal lo diskusiin sama BPH atau pengurus inti yang lain, gimana baiknya. Kalau menurut gue, cara lo memimpin kita semua itu udah tepat. Untuk urusan mereka mau keluar, pasti mereka punya alasan tersendiri, Gam. Lo pasti bisa kok ngelewatin ini. Kita semua bantu lo.”
“Bener, Gam. Urusan itu kita pasti bantu.” Sahut Novan.
“Lo jangan khawatir. Kita itu tim, kita itu keluarga, kita sama-sama mau mewujudkan UKM taekwondo jadi UKM paling bagus di kampus.” Kini Sagara yang berbicara. Sedangkan yang lain mengangguk penuh arti.
Agam tersenyum haru, ia tak jadi menangis. Ia bersyukur memiliki teman seperti mereka yang juga adalah pengurus UKM yang ia pimpin. Agam berharap bisa menyelesaikan tugasnya sampai akhir. Sampai dimana ia dapat bernafas lega dengan segala kewajiban yang telah ia laksanakan dengan baik. Meski sesekali Agam mengeluh dan merasa lelah dengan semuanya. Namun berkat dukungan dan bantuan teman-temannya, Agam siap bertahan dan berjuang sekali lagi. Bukan untuk dirinya, akan tetapi untuk UKM Taekwondo dan orang-orang di dalamnya.
.........
Kamis pagi pukul 9 tepat, semua anggota Taekwondo telah memenuhi GOR yang disediakan oleh pihak kampus. Lebih dari 40 anggota berkumpul dalam ruangan luas itu. Termasuk para pengurus UKM taekwondo yang telah bersiap dengan dobok mereka.
“Lo gak ikut ujian aja, Sa? Padahal mau ke Dan III.” Kata Novan.
Aksa memasang sabuk hitamnya dan berbicara tanpa melihat Novan. “Gue belum siap sampe sana, Nov.”
“Lah kenapa, bukannya itu impian lo?” Sagara tertarik untuk bergabung dalam obrolan.
“Emang, tapi gue pikir-pikir dulu.” Saat mata Aksa mengedar, melihat seluruh mahasiswa dan anggota luar kampus yang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing sebelum berlatih, matanya terpaku pada satu gadis yang baru saja memasuki GOR.
Kenapa baru sekarang gue lihat dia ada di sini ya? batin Aksa.
Ia berjalan seorang diri dengan pandangan yang mengedar. Tanpa Aksa sadari, pemuda itu terus mengikuti arah Lengkara berjalan menuju kamar mandi. Sampai teman-temannya menyadarkan Aksa, menyelamatkan pemuda itu dari keterpakuannya.
“Ngelihatin siapa lo? Ngaku!” Galen berseru.
Sagara menyimpan sabuk merahnya di pundak, bukannya dipakai. “Di antara banyaknya anggota taekwondo di sini, pasti ada satu yang bikin kulkas ini rusak kan?” katanya memberikan julukan itu untuk Aksa.
“Apa sih kalian!” Aksa menjauhkan diri dari mereka yang merangkulnya. “Gue lagi lihatin semua anggota.” Kilahnya cepat.
“Ah bohong.” Novan menaikturunkan alisnya. “Pasti lihatin satu cewek kan?”
“So tahu kalian!” Aksa berbalik, bergabung dengan anggota lainnya yang bersabuk tinggi sebelum berbaur dengan sabuk hijau ke bawah. Sebab Aksa selalu ditunjuk untuk menjadi asisten pelatih.
Pemanasan dimulai sesuai dengan interupsi dewan pelatih. Dari banyaknya anggota yang mengikuti latihan hari ini, dewan pelatih memutuskan untuk memberi tugas kepada para sabuk tertinggi untuk menjadi asisten pelatih. Di antaranya ada Aksa, Agam dan Siska. Aksa kebagian sabuk hijau, sementara Siska kebagian sabuk putih dan Agam kebagian melatih sabuk kuning. Dan sisanya yakni sabuk biru, merah, dan hitam akan dilatih oleh dewan pelatih.
Aksa sempat tertegun saat ia kini berhadapan dengan Lengkara yang berada di barisan paling depan. Gadis yang bersabuk hijau itu menatapnya tanpa ragu. Aksa sedikit salah tingkah karenanya. Entah apa yang dirasa, tiba-tiba saja seperti itu. Sementara Lengkara tidak asing atau terkejut lagi melihat Aksa. Sebab setiap latihan Aksa selalu menjadi pusat perhatiannya. Namun senyum tak terlukis, mengkhianati hati yang tengah senang.
“Kalian semua udah hafal taegeuk II-jang?”
“Siap sudah!” jawab semua serentak.
“Baik. Coba praktekan sekarang dengan komando saya.” Ucapnya dengan tegas. “Satu!”
Semua anggota yang bersabuk hijau polos dan hijau strip mengikuti komando Aksa.
“Dua!” Aksa berjalan memutari mereka semua, melihat gerakan demi gerakan yang mereka lakukan. Sesekali Aksa membenarkan gerakan anggota yang tidak tepat. “Tiga!” Hingga gerakan terakhir, semua berteriak sesuai dengan interupsi Aksa. “Ada beberapa yang masih kurang tepat di taegeuk II-jang ini. Seharusnya kuda-kuda kaki apseogi tuh kayak gini.” Aksa mempraktekan gerakan yang ia katakan agar semua anggota bersabuk hijau dapat memahami dan melakukan posisi yang sesuai.
“Oke untuk sekarang bawa target dan cari pasangannya.” Interupsi Aksa. Seluruh anggota sabuk hijau berlari menuju tempat di mana alat-alat latihan diletakan. Belum satu menit, semua telah siap dengan targetnya masing-masing dan baris berhadapan dengan pasangan latihannya. Hanya satu yang masih kebingungan mencari pasangan karena kebetulan anggota taekwondo bersabuk hijau jumlahnya ganjil.
“Kamu, Kara, sama saya.” Kata Aksa. Pemuda itu selalu profesional dalam melatih, meski hatinya berkata lain. Lengkara sempat grogi, sebab ini kali pertamanya berlatih bersama Aksa. Namun Lengkara tak ingin memperlihatkan salah tingkahnya dan fokus pada latihan.
“Yang pertama, kita lakukan dwi chagi atau tendangan belakang. Nah caranya gini, pasti kalian udah bisa tapi ada beberapa yang belum bisa. Pelan-pelan dulu, angkat kaki ke arah belakang lalu tendang kuat target dengan menggunakan tumit kaki. Gini, Kara pegang yang kuat.” Ujarnya yang diangguki Lengkara. Kemudian Aksa mempraktekannya dengan kuat sampai target yang Lengkara hampir terlempar apabila Lengkara tidak memegangnya dengan tenaga yang kuat.
Lengkara sempat memejamkan mata dengan jantung yang berdegup kencang karena tendangan Aksa yang begitu bertenaga. Jika tangannya terbuat dari plastik, sudah dipastikan akan putus karena tendangan itu.
“Seperti itu ya. Coba sekarang kita lakukan. Posisi siap!”
........
Dua jam berlalu, semua anggota mulai bersiap untuk pulang. Ada beberapa yang sengaja tidur dengan tubuh terlentang di lantai GOR yang dingin. Ada beberapa pula yang sibuk mengobrol. Sementara Lengkara sibuk memerhatikan Aksa yang tengah berkumpul mengelilingi dewan pelatih. Aksa tampak serius di sana mendengarkan seluruh perkataan dewan pelatih.
Hingga Lengkara tersenyum tipis dibuatnya. Sebenarnya Lengkara telah mengagumi Aksa sedari awal dia memasuki UKM taekwondo. Hanya saja Aksa yang tidak menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari anggota dan pengurus UKM ini. Aksa yang cuek dan tidak terlalu berbaur dengan seluruh anggota dan pengurus, membuat Aksa baru mengetahui dan mengenali Lengkara yang sedari dulu satu lingkungan dengannya.
Kemudian mata Lengkara beralih pada seorang gadis yang menatapnya sinis sekilas. Lalu pergi begitu saja tanpa memberikan penjelasan atau sapaan. Lengkara menarik nafas dalam. Ia tak bisa melakukan apapun selain memaklumi sikap gadis itu. Sebab inilah yang Lengkara mau. Hidupnya semenjak kabar itu sangat kacau. Ia harus kehilangan keharmonisan dalam rumah dan teman serta sahabat dekat yang dulu selalu ada untuknya.
......
Sore ini, hujan turun begitu lebatnya. Aksa yang terjebak setelah bertransaksi dengan penjual minuman, terpaksa harus berteduh di warung sampai hujannya reda.
“Tadi perasaan cerah-cerah aja.” Gerutu Galen.
“Kita gak bisa nebak perasaan datangnya kapan, sama kayak hujan.” Balas Aksa santai dengan sorot mata teduh pada intensitas air yang turun ke bumi.
Galen terkesiap dengan apa yang Aksa katakan. “Widih! Orang gak pernah pacaran kayak lo bisa sepuitis ini!”
“Puitis gak harus pacaran dulu kali.” Tukasnya. Aksa meminum air yang ia beli tadi sampai jakunnya naik turun. Rasanya segar saat melewati tenggorokan.
Saking penasarannya dengan Aksa yang nyaris tak pernah dekat dengan perempuan, sebuah pertanyaan menelusup pada diri Galen. “Kalau boleh tahu, alasan lo belum pernah pacaran apa sih, Sa? Padahal ya lo tuh ganteng, banyak yang suka juga, mana yang nge-crushin lo cewek cantik semua.”
“Gak tahu.” Jawab Aksa singkat. Matanya sibuk memerhatikan jumlah air yang turun dari langit ke bumi. Pertanyaan Galen sesungguhnya adalah bagian dari pertanyaan yang tidak penting untuk ia jawab.
“Ayolah, Sa! Pasti ada alasannya. Apa jangan-jangan lo—“ perkataan galen terpotong saat tiba-tiba Aksa menuju pemilik warung.
“Mas ada payung?” tanya Aksa pada pemilik warung.
“Ada.” Kemudian pemilik warung memberikan payungnya.
“Pinjem dulu ya, mas. Nanti saya kembalikan.” Ujarnya diangguki pemilik warung.
“Eh mau ke mana, Sa?”
“Bentar, lo tunggu di sini atau mau duluan ke sekre, terserah.” Aksa membuka payung dan berjalan meninggalkan Galen seorang diri di sana.
“Etdah gue ditinggal sendiri.” Gerutu Galen.
Aksa berjalan cepat menyusul Lengkara yang lagi-lagi berjalan di bawah hujan. Tak peduli seragam dobok yang ia pakai menjiplak. Beruntung Lengkara masih memakai celana panjang dalam dan baju pendek. Namun tetap saja bagi Aksa, hal itu menjadi pusat perhatian orang-orang.
Lengkara merasa aneh sebab hujan tak lagi membasahi tubuhnya. Begitu menengadah, gadis itu baru menyadari bahwa ada sebuah payung yang melindunginya. Lantas Lengkara menoleh ke belakang, melihat Aksa yang sedari tadi mengikutinya berjalan.
“Lo kenapa suka banget hujan-hujanan sih? Mana masih pake dobok. Lo mau disebut manusia gak waras karena hujan-hujanan?” Omel Aksa.
“Lo sendiri kenapa malah terus peduliin gue? Terserah gue kek mau gimana juga!” balas Lengkara dengan ketusnya.
Aksa terkejut dengan perubahan sikap Lengkara. Padahal kemarin mereka baru saja akrab dan menyanyikan lagu bersama di rooftop. “Kar, lo gak takut sakit?” Aksa menahan gadis itu saat hendak pergi. “Seenggaknya ganti dulu baju lo.” Aksa melepas jaketnya dan menutupi punggung Lengkara. “Ikut gue, kita ke sekre.”
“Ngapain? Gue mau pulang!”
“Lo boleh pulang, tapi gak boleh dalam keadaan kayak gini.”
Lengkara menghentakkan tangan Aksa yang memegang tangannya. “Bukan urusan lo gue sakit atau gue jadi pusat perhatian orang lain! Mending lo pergi dan urus aja urusan lo sendiri!” sentaknya dengan sorot mata menajam.
Aksa menatap Lengkara, tak percaya begitu keras kepalanya gadis ini. Padahal lain dengan cara gadis itu menatapnya dan caranya berbicara kemarin. Aksa tak mengerti dan tidak tahu penyebab Lengkara menjadi seperti ini. Pasti ada sesuatu hal yang membuat gadis ini bertindak seenaknya.
“Kar, please, gue gak mau lo kenapa-napa.”
“Emang lo siapa?”
Aksa menarik nafas jengah dengan mata terpejam. Ia sudah muak dengan keras kepalanya Lengkara. Kemudian, terpaksa, Aksa menggendong Lengkara layaknya mengangkat karung beras, menuju ruang kesekretariatan melalui jalan pintas. Tak peduli orang-orang kini menatap mereka dan Lengkara terus berteriak sambil memukuli punggung Aksa.
“Lepas! Aksa! Lepasin gue!” pekik Lengkara. Ia malu kini tengah menjadi tontonan orang-orang di bawah hujan. Aksa berkeluh kesah dalam hati, tadinya ia sengaja berteduh di warung agar ia tak basah. Namun karena Lengkara, ia harus basah kuyup seperti ini.
“Gue bakal lepasin lo pas hujan reda dan lo pulang dalam keadaan kering.” Serunya dengan langkah yang semakin dekat menuju gedung UKM.
“TAPI GAK KAYAK GINI CARANYA, AKSA! TURUNIN GUE!!!”
Aksa menghela nafas sebelum menaiki tangga. “Cuman dua lantai, Sa, cuman dua lantai.” Ujarnya meyakinkan diri sendiri agar kuat menggendong Lengkara menuju lantai dua.
Lengkara melemah. Ia kehabisan tenaga untuk meronta. Akhirnya ia pasrah dan membiarkan Aksa benar-benar membawanya ke ruang kesekretariatan. Esoknya, atau mungkin hari ini juga ia harus siap digosipkan dengan Aksa. Mukanya memelas, seperti tak ada gairah untuk hidup di dunia ini lagi. Belum sampai menuju ruang kesekretariatan UKM Taekwondo, Aksa menurunkan Lengkara tepat di depan sekretariat UKM Jurnalistik yang hanya berjarak 5 meter menuju ruang sekretariat UKM Taekwondo.
“Lo tunggu di sini, jangan kabur. Gue mau ke sekre dulu ambil baju gue.” Ujarnya kepada Lengkara, mewanti-wanti.
Lengkara memutar kedua bola matanya. “Iya!”
“Inget jangan pergi!”
Lengkara mendengus dan memberikan tekanan pada balasannya. “Iya!”
Aksa lalu berlari kecil menuju ruang kesekretariatan untuk mengambil beberapa bajunya yang tertinggal sewaktu Aksa menginap di kampus.
“Mau ke mana lagi, Sa?” tanya Novan.
“Eh si Galen mana? Jangan-jangan dia nyangkut sama pacarnya lagi. Mana gue nitip minuman ke dia.” kata Sagara menyadari bahwa Aksa datang seorang diri padahal sebelumnya pergi bersama Galen ke warung depan kampus.
Aksa abai, ia langsung keluar dari ruangan menuju tempat di mana ia terakhir meninggalkan Lengkara. Saat sampai, ia memberikan baju itu kepada Lengkara. “Pake ini, ntar pulangnya gue anterin ke rumah.”
Lengkara tidak langsung mengambil baju Aksa. Ia malah melihat Aksa dan baju yang dipegang pemuda itu secara bergantian.
“Kenapa malah dilihatin doang? Pake!”
“Kenapa sih lo kayak gini ke gue? Kita baru kenal beberapa hari, tapi lo udah sebegitunya ke gue!” pertanyaan yang keluar dari mulut Lengkara tepat sasaran yang lantas membuat Aksa membeku.
Aksa terdiam beberapa detik, baru menyadari dengan apa yang ia lakukan. Aksa tak sadar bahwa perlakuannya membuat Lengkara terus memikirkan Aksa setiap waktu. Perhatiannya, cara menatapnya, membuat Lengkara tak bisa menepis rasa yang perlahan tumbuh di hatinya untuk Aksa. Meskipun Lengkara sendiri selalu menepis pikiran dan perasaannya itu.
“Pake aja! Jangan banyak tanya. Gue gak mau lo sakit, anggap aja perhatian ini karena gue senior lo di organisasi dan senior lo di lapangan!” tangkas Aksa.
Benar dugaannya, seharusnya Lengkara memikirkan hal ini kala Aksa memberikan perhatian kepadanya. Lengkara tidak boleh gegabah dan asal menebak perlakuan seseorang padanya. Tidak semua orang yang berlaku sama memiliki rasa yang seperti sering ia lihat dalam film atau dunia nyata.
Dengan terpaksa, Lengkara mengganti pakaiannya dengan pakaian Aksa. Saat bercermin, Lengkara melongo karena ternyata baju Aksa cukup besar di tubuhnya. Ingin sekali melepas, namun dia sendiri tak kuasa memakai baju basah sampai pulang ke rumah. Apalagi dirinya tidak membawa kendaraan ke kampus.
“Udah?” ternyata Aksa sedari tadi menunggu Lengkara di luar kamar mandi.
“Makasih, besok gue balikin.”
Aksa mengangguk. “Sekarang mumpung hujannya reda, lo mau pulang?”
Lengkara mengangguk.
“Gue anter.”
“Gue bisa sendiri.”
Aksa berbalik, menatap Lengkara lekat. “Selain gue tegas di organisasi dan di lapangan, gue gak suka dapat penolakan.”
Lengkara menelan salivanya kuat. Ia tak bisa menolak atau berkata apapun lagi jika Aksa sudah berubah menjadi lelaki dingin dan tegas. Maka dengan mulutnya yang bungkam, Lengkara diantar Aksa menuju rumahnya, untuk kedua kalinya.