Sebelumnya Aksa tak pernah sepenasaran ini terhadap seseorang. Ia cenderung bersikap tidak peduli pada siapapun itu. Namun sekarang seorang gadis yang baru dikenalinya dua hari ini begitu berani untuk mengusik benaknya yang tenang. Aksa jadi tak fokus pada tugas kuliahnya. Sebab, Lengkara terus memutari isi kepalanya. Aksa menghela nafas dalam, satu-satunya yang bisa menetralkan pikirannya adalah dengan bermain gitar. Menyalurkannya pada melodi-melodi yang mengalun indah. Ia lantas meraih gitar yang 3 tahun lalu menjadi hadiah ulang tahun dari bapak di usianya yang 18. Gitar yang Aksa inginkan dari dulu akhirnya diwujudkan oleh bapak.
Beranjak dari kamar, Aksa menarik kursi dekat balkon. Sengaja ia buka tirai jendela supaya angin dapat leluasa untuk masuk ke dalam ruangan. Membiarkan dirinya menikmati malam tanpa terbatas sekat. Aksa merenung, masih membayangkan sosok Lengkara yang menurutnya kini—hal baru yang mengusik pikirannya. Atas kejadian 2 jam yang lalu, Aksa mengingat momen di mana ia menemukan Lengkara tengah menangis di rooftop seorang diri, bersamaan dengan itu ingatan melintas mengenai Lengkara menangis ketika baru saja mendengar bentakannya. Sebenarnya Aksa merasa bersalah karena membentak Lengkara. Namun kata gadis itu, tangisnya bukan karena Aksa. Lantas karena apa dan siapa?
Aksa menarik kemungkinan bahwa Lengkara sedang tidak baik-baik saja. Tidak hanya secara langsung—ia memergoki Lengkara menangis, dalam catatan sang gadis pun menyiratkan banyak sekali duka yang ia tumpahkan dalam tulisan. Paragraf-paragraf penuh sirat menyakitkan, membuat Aksa sendiri dapat berspekulasi seperti itu. Akan tetapi Aksa tak ingin menuduh hal yang belum tentu benar. Bisa saja itu hanya imajinasi Lengkara yang ia tuangkan dalam buku catatannya.
Karena pemikiran itu, secara otomatis lahirlah nada dari tangan lihainya saat memetik senar gitar. Alunan yang begitu menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Aksa sendiri tidak memahami, mengapa harus nada sedih yang ia mainkan tatkala mengingat segala kemungkinan yang terjadi dengan Lengkara? Bukankah ia terlalu lancang berspekulasi begini pada gadis yang baru ia temui beberapa hari yang lalu?
Nalar sedang tak berpihak pada dirinya saat ini. Seakan tengah berupaya menyelaraskan hatinya daripada logika yang seringkali Aksa gunakan. Aksa dibuat patuh oleh berbagai hal mengenai Lengkara. Nurani bahkan tengah terkekeh melihat Aksa tenggelam dalam pemikiran yang tidak perlu bagi Aksa. Larut dalam segala kemungkinan, menebak tentang keadaan Lengkara yang begitu ingin ia tahu. Namun beberapa menit kemudian, logika menguasai kembali, menyisikan hati yang hampir berhasil menguasai dirinya. Ia lantas masuk kembali ke dalam kamar dan pergi tidur. Menepis semua hal tentang Lengkara yang tak ingin kembali ia pedulikan.
Siapa dia? Mengapa aku harus peduli dan memikirkannya?
........
Melangkah menuju kelasnya, Aksa tak sengaja mendapati Lengkara tengah duduk seorang diri sambil membaca buku. Aksa menautkan keningnya, apa bertemu dengan Lengkara terus-menerus secara kebetulan adalah bagian dari skenario Tuhan? Mengapa baru sekarang? Maksudnya tidak sedari dulu agar semua nampak biasa saja untuk Aksa. Padahal mereka satu organisasi, namun baru akhir-akhir ini ia sering melihat Lengkara.
Tadinya Aksa tak ingin bertegur sapa dengan gadis itu. Lelaki yang sering disebut sebagai kulkas berjalan ini memang tak begitu ramah pada siapapun bahkan kepada seorang perempuan. Aksa cenderung akan bersikap seolah tak melihat—atau melihat pun dia akan menganggukan kepala, tanda menyapa, tanpa melayangkan senyuman manisnya. Namun mengingat amanah dari Agam selaku ketua UKM taekwondo yang meminta bantuan padanya tempo lalu, Aksa terpaksa harus melipir untuk sekedar melaksanakan tugasnya.
“Ngapain di sini? Bukannya ini wilayah angkatan 2018?” Aksa duduk di samping Lengkara. Memberi jarak agar Lengkara tidak risih.
Lengkara yang terkejut, mengerutkan alisnya karena Aksa tiba-tiba duduk dan bertanya. “Emang gak boleh?” tanyanya balik.
“Bukan. Gue cuman nanya.”
Lengkara kembali fokus pada novelnya. “Lagi nungguin temen, seangkatan sama lo.”
Emang gak ada sopan-sopannya nih adek tingkat. “Siapa?”
“Kenapa emang?” tanya Lengkara. Dia merasa Aksa terlalu ingin tahu urusannya. Meski sebenarnya Aksa hanya basa-basi sebagai pembuka dari pertanyaan yang akan ia ajukan kepada Lengkara.
“Gapapa. Lo anggota dan pengurus taekwondo, tapi kenapa kita baru ketemu beberapa hari ini ya?” tanya Aksa, beruntung ia mengingat pertanyaan yang begitu ingin ia ajukan kepada Lengkara. Sebagai bagian dari rasa penasarannya akhir-akhir ini.
“Pas gue rajin latihan, lo gak ada. Gue tahu kok, lo panitia open recruitmen taekwondo waktu itu.” katanya. Aksa manggut-manggut.
“Gue kira lo baru masuk banget.”
“Udah lama.”
“Terus, soal.. kenapa lo bisa ada di rooftop? Lo dapet kode kuncinya darimana?”
Lengkara sempat tertegun dengan pertanyaan Aksa selanjutnya. Apa lelaki itu tahu jika dirinya tengah menangis di sana?
“Hei?” Aksa melambaikan tangan tepat di wajah Lengkara. Menyadarkan Lengkara dalam lamunan hingga membuatnya tak bergerak.
“Oh itu, kebetulan salah satu satpam kenalan gue. Jadi gue gampang minta kode kunci rooftop-nya.” Lengkara berharap dalam hati, Aksa tak menanyakan perihal kenapa dirinya menangis saat itu. Beruntung ia dapat menyampaikannya tanpa terputus, meski sebenarnya degup jantung sudah lebih cepat berdetak daripada sebelumnya.
Aksa ber OH ria, pertanyaan keduanya kini telah terjawab. Setidaknya Aksa tidak perlu dibebankan dengan sosok Lengkara di dalam pikirannya. Kemudian Aksa melancarkan aksinya untuk membantu Agam. “Gue mau tanya lagi, kok lo mau keluar dari UKM taekwondo, kenapa?”
Lengkara menoleh kepada Aksa. Lelaki itu pagi itu terlalu banyak bertanya. “Gue pengen berhenti aja.”
“Kenapa? Pasti ada alasannya dong.”
Untuk sesaat Lengkara terdiam, seperti tengah menyembunyikan sesuatu yang membuat Aksa penasaran. “Gak tahu, pengen aja.” Tetapi justru kalimat itu yang keluar dari mulutnya.
“Jangan gitulah—“
“Gue pergi dulu ya, kak,” kata Lengkara sembari berdiri, kala dari kejauhan seseorang memanggil namanya. “Bye.”
Aksa menatap kepergian Lengkara yang semakin lama tubuhnya semakin mengecil karena jarak. Ia biarkan pertanyaan mengambang di udara begitu saja. Aksa terpaksa harus menunda dulu pertanyaan mengenai alasan Lengkara ingin hengkang dari UKM taekwondo. Sebab ia yakin, Lengkara punya alasan mengapa ia kukuh ingin keluar.
.......
Kelas hari ini selesai dengan cepat. Untuk meredakan pening di kepalanya karena mendapatkan banyak sekali materi yang cukup membuat puyeng, Aksa memutuskan untuk pergi ke rooftop dengan membawa gitar yang ada di sekretariat UKM taekwondo. Sekalian melanjutkan membuat nada pada lirik lagu yang telah ia buat sendiri, sebelum nantinya akan ia produksi menjadi lagu yang akan ia posting di channel youtube miliknya. Aksa sebenarnya iseng mengerjakan ini, sebab ini adalah hobinya. Namun karena lagu yang Aksa ciptakan sangat bagus ditambah suaranya yang begitu merdu dan syahdu, banyak orang yang menonton dan mensubscribe channelnya. Membuat Aksa mendapat keuntungan dari hasil isengnya itu.
Kembali, Aksa menemukan Lengkara yang duduk seorang diri di kursi yang biasa di duduki Aksa saat berada di rooftop. Gadis itu merenung di sana tanpa melakukan apapun. Pantas saja pintu rooftop dalam keadaan tidak terkunci meski pintunya tertutup. Aksa tak menyadari bahwa ia menatap lekat sosok Lengkara di sana tanpa bergerak sedikitpun. Helai rambut Lengkara tersapu angin sehingga membuat kecantikannya semakin terpancar. Semesta seakan sengaja melakukan hal itu untuk membuat lelaki yang tak pernah mencintai perempuan lain, selain ibunya, terpesona dengan Lengkara. Sampai keterpakuan itu berakhir saat Lengkara menoleh pada Aksa. Pemuda itu lantas gelagapan sendiri karena dipergoki tengah menatapnya.
Aksa memutuskan untuk mendekati Lengkara, daripada berbalik untuk pergi dari rooftop. Itu hanya akan menunjukkan salahtingkahnya sendiri karena ketahuan menatap Lengkara. “Ngapain di sini?”
Lengkara masih menatap Aksa, heran. Mengapa akhir-akhir ini ia selalu bertemu tanpa sengaja dengan pemuda ini. Pertama karena hujan kemarin, kedua di koridor fakultas tadi pagi dan sekarang di rooftop. Ia tak memahami rencana apa yang semesta atur untuk pertemuan mereka berdua.
“Diem. Kakak?”
“Gue emang biasa diem di sini kalau istirahat atau selepas beres kelas.” Aksa memangku gitar yang ia bawa. Ia mulai mengatur nada sambil berbincang dengan Lengkara yang ia kira akan pergi tapi ternyata tidak. “Lo sekarang jadi suka diem di sini atau gimana?”
“Baru beberapa kali sih.” Jawab Lengkara. Gadis itu kembali pada posisi awal, menatap lurus ke depan seraya menikmati sentuhan angin yang menerpa wajahnya.
“Kenapa milih di sini?”
“Kakak sendiri, kenapa suka di sini?”
Aksa mengerti maksud pertanyaan Lengkara. Gadis itu hanya ingin melemparkan jawaban. “Setiap orang punya alasan tersendiri yang gak bisa disamakan. Kalau gue suka di sini, ya karena di sini gue bisa cari inspirasi buat nulis lagu dan bikin nada. Kalau lo, Kar?”
“Suka aja.” Singkatnya.
“Kenapa milih tempat ini? Bukannya ada tempat lain yang lebih nyaman daripada di sini? Kepanasan, kehujanan.”
“Di sini lebih tenang dan gak ada siapapun.”
“Kecuali kita.” sambung Aksa tanpa menatap Lengkara. “Gue anggap lo di sini tuan rumah baru. Karena sebelumnya, hanya ada gue di sini, kemudian lo masuk.” Ujarnya.
“Gue gak akan lama kok. Suatu hari nanti gue bakal pergi dari sini.”
Aksa menautkan kening, tak memahami maksud Lengkara. “Maksud lo?”
“Ya nanti juga gue bakal pergi. Jadi jangan khawatir dan ngerasa wilayah lo ini gue ambil.”
Aksa tak menghiraukan perkataan Lengkara. Ia memejamkan mata, mengingat sampai mana nada yang baru ia rangkai kemarin malam sebelum merenungi Lengkara tanpa seizin gadis itu. Diam-diam Lengkara memandangi Aksa. Pemuda itu terlalu hanyut dalam lautan imajinasinya sampai tak sadar bahwa gadis yang duduk di sampingnya tengah memandangi tiap lekuk wajah Aksa. Jujur, Lengkara sempat dibuat terpesona oleh ketampanan Aksa. Pantas saja banyak mahasiswi yang terang-terangan mengidolakan bahkan berharap bisa menjadi kekasih pemuda itu.
Seorang mahasiswa cerdas, meraup banyak kejuaraan dalam perlombaan akademik dan non akademik, dan yang paling bergengsi yang membuatnya di kenal sampai keluar kampus adalah Aksa yang menjadi juara bertahan dalam pertandingan taekwondo. Namun sayang, belum ada satu pun perempuan yang bisa meluluhkan lelaki dingin seperti Aksa.
“Kenapa? Ganteng ya gue?” Aksa ternyata baru menyadari bahwa Lengkara tengah menatapnya sedalam dan selama itu.
Lengkara gelagapan, ia memalingkan pandangan dengan gerakan tubuh yang menggemaskan. Membuat Aksa tersenyum simpul tanpa Lengkara ketahui. “Nggak kok, gue—gue lihat lo main gitar.”
“Oh gitu.” Aksa menerima alasan itu, meski ia tahu betul bagaimana cara Lengkara menatapnya tadi. “Oh iya gue mau tanya sesuatu.”
“Apa?”
“Lo suka nulis ya? Semenjak gue dengan lancang baca buku harian lo, gue kira lo penulis. Tiap bait yang lahir di sana, bikin gue lupa bahwa itu catatan biasa. Bukan sebuah novel utuh.”
Lengkara tertegun. Ini pujian pertama yang ia dapat dari seseorang. Sebelumnya tak ada yang memujinya seperti ini. Sebab, tak ada yang tahu jika Lengkara suka menulis dan melahirkan tulisannya pada buku sederhana yang sengaja ia beli. Lengkara terlalu tertutup pada siapapun.
“Gue bahkan ngerasa kalah—karena tulisan lo indah banget. Gue jujur, bukan memuji karena gue pengen deketin lo. Gue juga suka nulis dan baca buku.” Jelasnya cepat, tak ingin Shena salahpaham dengan yang dikatakannya.
Lengkara mengerutkan kening kala Aksa mengulurkan tangan hendak berjabat. “Maksudnya apa? Bukannya kita gak perlu kenalan lagi?”
“Ini perjanjian dari gue, kalau gue gak akan pernah bilang ke siapapun soal isi buku catatan lo itu. Dan ini sebagai perkenalan gue sebagai lelaki suka menulis dengan perempuan yang juga suka menulis. Hobi kita sama.” ujarnya diakhiri senyum lebar yang menumpahkan manis secara cuma-cuma. Dengan ragu, Lengkara menerima jabatan itu.
“Sejak kapan suka nulis? Udah pernah ngehasilin karya entah itu dari di publish di internet atau buku?” Aksa mulai antusias. Baginya membahas tentang hobi adalah topik pembicaraan paling menyenangkan. Mungkin pembahasan yang lain juga akan menyenangkan untuknya dibahas bersama rekan atau teman. Namun membahas dunia kepenulisan, Aksa akan rela larut begitu dalam meski ia tak sepandai sastrawan untuk menuliskan kata yang bermakna dan indah. Aksa hanya pemuda yang gila dalam kata namun banyak diam dalam suara.
“Belum lama ini.” jawab Lengkara.
Aksa manggut-manggut. Ia kembali memetik gitar menghasilkan alunan indah yang seakan merayu seorang gadis di sampingnya.
“Kalau lo sendiri?” tanya Lengkara.
“Dari dulu. Ibu gue penulis sejak SMA. Dia ngajarin gue untuk mencintai dunia sastra. Di sela waktu senggang, ibu gue selalu membuat naskah yang ketika dibaca, membuai siapapun sampai lupa dengan dunia nyata. Padahal yang diciptakan oleh tangannya itu adalah hasil imajinasinya.” Aksa menyandarkan dagunya pada gitarnya. “Hal yang bikin gue akhirnya tertarik untuk mengikuti jejak ibu, yaitu ibu selalu menulis tentang isi hatinya. Makanya kenapa buku-buku hasil karyanya selalu hidup.”
Hal yang luar biasa bagi Aksa. Sebelumnya ia tak pernah berbicara panjang lebar seperti ini pada seseorang, dan tak pernah menceritakan hal ini pada siapapun. Itu Aksa lakukan tanpa disadarinya. Entah apa yang membuat dirinya tiba-tiba membuka diri.
Lengkara menanggapinya dengan tersenyum lebar. “Keren.”
“Mau nyanyi bareng?”
“Gue..”
“Gue tahu lo bisa nyanyi, Kar. Gue masih inget isi buku lo itu, ada sebagian yang menceritakan bahwa menyanyi adalah hal yang paling sering lo lakuin.” Potong Aksa, ia kembali pada posisi untuk memainkan gitarnya. “Lo suka lagu apa?”
Dengan malu-malu Lengkara mengatakan, “Fana Merah Jambu—Fourtwnty.”
“Kebetulan gue juga suka.” Aksa mulai memetik gitarnya, mengawali sesuai instrumen lagu Fourtwnty. “Kita bareng-bareng.” Interupsinya yang disanggupi Lengkara.
Aksa dan Lengkara bernyanyi bersama-sama sembari menatap indah semburat orange di ujung sana. Menikmati sore yang secara perlahan ditarik paksa oleh malam gelap yang akan bertengger di langit. Mereka hanyut dalam alunan gitar yang Aksa mainkan sampai berganti pada lagu-lagu lain sesuai keinginan Lengkara.
........