Aksa merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Matanya menerawang ke langit-langit kamar. Membayangkan sekaligus memikirkan kejadian barusan. Mengapa ia harus seperhatian itu kepada Lengkara? Mengapa ia harus sampai menggendong Lengkara tanpa memedulikan bagaimana orang-orang melihat adegan itu? Kenapa dirinya harus bersikeras untuk menyuruh Lengkara agar berhenti berjalan di bawah hujan? Bukankah itu hak Lengkara? Mengapa ia harus ikut campur?
Pertanyaan demi pertanyaan itu menyerang nurani Aksa. Pemuda itu dibuat bingung oleh perlakuannya sendiri. Saat Aksa bersama Lengkara, entah mengapa berbagai tindakan yang tak pernah ia lakukan, ia lakukan kepada Lengkara. Padahal sebelumnya ia tak pernah seperti itu kepada orang lain, terlebih perempuan. Ia tak mengerti lagi dengan dirinya sendiri dan apa yang sebenarnya terjadi. Apa dirinya mulai jatuh hati kepada gadis yang bernama Lengkara itu?
Jika memang jatuh cinta? Mengapa harus secepat ini? Pada gadis yang bahkan selalu membuatnya bingung dan penasaran dengan tingkah lakunya. Gadis yang memberikan teka-teki secara tidak langsung dan memenuhi kepalanya dengan banyak pertanyaan. Gadis yang selalu dengan sengaja melintas dalam benaknya, hingga jari jemarinya refleks memetik gitar dan menghasilkan nada sesuai isi hatinya. Beginikah rasanya mulai jatuh cinta? Atau ini bukan cinta?
Aksa mendengus. Ia lelah berperang dengan dirinya sendiri. Ia merasa kewalahan menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang tak berhenti memutari kepalanya seakan menuntut jawaban yang pasti. Padahal dirinya sendiri bingung dengan perasaan di hatinya. Merasa diam adalah kesempatan untuk memikirkan berbagai hal mengenai Lengkara, Aksa meraih buku dan pulpennya yang selalu berada di atas kasur. Karena sesekali Aksa selalu menuliskan hal yang tak terduga dalam pikirannya.
Konspirasi apa yang sedang semesta rencanakan kepadaku kali ini? Mengapa seorang gadis yang hadirnya bahkan memberikan jutaan teka-teki, bisa tinggal dalam kepala dan sewaktu-waktu muncul ketika diri ini tenggelam dalam nestapa penuh kebimbangan. Seistimewa itu kah ia sampai memiliki tempat bernaung dalam kepala? Jika ini memang jatuh cinta, mengapa rasanya begitu membingungkan alih-alih mendebarkan? Atau kah hanya penasaran yang muncul tatkala belum menemukan jawaban akhir dari teka-teki yang secara tidak langsung ia suguhkan pada diri ini?
Kepada gadis yang hari ini entah di mana, cepat beritahu diriku, sihir apa yang kau berikan sehingga bayangmu begitu asik bertengger dalam ingatan?
Aksa
........
Lengkara mulai gelisah bercampur resah kala bayang demi bayang momen tak terduga bersama Aksa berputar dalam kepala. Lengkara gusar, takut benar-benar menjatuhkan hatinya terhadap Aksa. Hal yang paling Lengkara hindari, pun selain dengan Aksa. Lengkara berupaya untuk tidak dekat dengan siapapun karena ia takut suatu hari orang yang mencintai dan menyayanginya merasakan kehilangan yang mendalam karena kepergiannya. Lengkara tak ingin menyakiti siapapun yang berhak bahagia tanpa beban. Meski dirinya sendirilah yang harus berperang dengan berbagai hal yang kini mendekapnya erat-erat.
Mengalihkan pada berbagai kegiatan agar tak memikirkan Aksa, tetap saja rasanya percuma. Sebab perlakuan Aksa padanya terus saja melintas bagai sebuah vidio yang tak bisa diberhentikan. Lengkara mendengus kesal, membanting buku yang tengah ia pegang. Lantas Lengkara mengambil kunci motor sang kakak yang tergeletak sembarang. Pergi tanpa berpamitan pada kedua orangtuanya atau penghuni rumah yang lain, Lengkara menelusuri malam seorang diri. Melawan dinginnya udara tanpa menggunakan jaket sebagai pelindung. Tempat yang kini ia tuju adalah GOR di kampus. Biasanya malam-malam begini tak ada siapapun di sana.
Sesampainya di GOR, Lengkara memutuskan untuk lari menelusuri tiap sudut GOR bagian dalam. Tak peduli seberapa lelah dirinya nanti, yang penting sosok Aksa dan segala macam yang bertengger dalam pikiran terhempas hilang mengudara bersama angin.
........
Bahkan hari ini, Aksa kembali menemukan Lengkara tengah berlari mengelilingi lapangan di GOR seorang diri. Padahal sebelumnya ia tak pernah kedatangan siapapun di sini di luar jadwal latihan. Aksa memang selalu berlatih seorang diri—kadang bersama teman-temannya untuk mempersiapkan diri menghadapi kejuaraan selanjutnya. Dan kini, seseorang hadir tanpa ia duga. Gadis yang secara tak sengaja masuk ke dalam dunianya.
Berinisiatif, Aksa kembali keluar menuju kantin yang berada di sekitar GOR. Setelah selesai bertukar uang dengan dua botol air mineral, Aksa kembali ke GOR dan masih mendapati Lengkara yang berlari tanpa henti dan tak menyadari bahwa sedari tadi Aksa memerhatikannya.
Sudah 10 menit berlalu, namun Lengkara tak juga berhenti. Aksa yang telah menyelesaikan ganti pakaian dan pemanasan merasa heran dengan tingkah Lengkara yang diluar dugaan.
“Hei!”
Lengkara abai, gadis itu terus berlari tanpa henti.
“Lo gak sadar ada gue di sini daritadi?”
Lengkara tak menoleh sedikitpun meski ia tahu sedari tadi ada Aksa. Dalam hati ia menggerutu, kenapa harus selalu ada Aksa?
Aksa menghela nafas jengah, lagi-lagi Lengkara bersikap seperti ini padanya. Karena kesal, Aksa memutuskan untuk menghadang gadis itu. “Lo budeg?” semprot Aksa saat berhasil membuat Lengkara berhenti berlari. Hampir saja Lengkara menabrak Aksa, jika dirinya tidak langsung mengerem.
Gadis itu ngos-ngosan. Keringat telah memenuhi wajahnya dan membasahi dada serta punggungnya. Namun yang membuat kening Aksa berkerut adalah Lengkara nampak pucat. Lebih pucat daripada seseorang yang keletihan karena berolahraga.
“Kenapa lo lari malam-malam gini? Sendirian lagi.” Decak Aksa pada gadis yang masih susah payah mengatur nafasnya.
Dengan nafas yang masih terengah-engah sembari mengelap keringatnya, Lengkara bertanya balik, “Kenapa lo ada di sini? Lo selalu ngikutin gue ya?” Lengkara menatap Aksa dengan tatapan menelisik.
“Lo kali yang ikutin gue.” Bantah Aksa. “Kalau untuk soal hujan-hujanan itu, gue emang gak sengaja lihat lo. Tapi soal rooftop dan latihan di sini, gue gak ngikutin lo. Gue emang setiap hari diem di rooftop dan setiap malam kamis olahraga sendirian di sini.” Jelasnya, tak ingin Lengkara sampai salah paham.
Lengkara memutar kedua bola matanya. Memutuskan untuk kembali melanjutkan larinya untuk menghilangkan apapun yang mengusik pikirannya. “Awas, gue mau lari lagi.”
Aksa menahan lengan gadis itu, “Lo udah pucet gini masih mau lari? Apa lo gak cape?” omelnya.
Lengkara menggeleng tanpa menatap Aksa. Ia menepis tangan Aksa yang memegangnya.
Aksa mendengus. Bukan ada maksud lain, namun jika terjadi sesuatu dengan Lengkara, sementara ia ada di sini, otomatis ia yang akan bertanggung jawab. “Gue gak mau ambil resiko kalau lo kenapa-napa.” Ancam Aksa, ia kembali menghadang Lengkara.
“Emang gue siapa lo? Emang pas gue hujan-hujanan, gue sakit, gue bakal nyalahin lo, gitu?” cecar Lengkara. Bersamaan dengan nafasnya yang masih memburu, Lengkara tumpahkan kekesalan di dalam dirinya kepada pemuda di hadapannya. Lengkara tak ingin terjebak dalam suasana seperti ini. Suasana yang mengusik pikiran dan hatinya, dan membuatnya resah setiap waktu karena ketidakmampuan untuk menerima apapun. Termasuk perasaan yang perlahan tumbuh di hatinya karena perlakuan Aksa akhir-akhir ini.
Aksa lantas bungkam, ia tiba-tiba diserang dengan fakta yang Lengkara lontarkan.
“Gue gak pernah minta pertanggungjawaban lo dari dulu juga. Lo nya aja yang suka banget ikut campur sama urusan orang lain.”
“Tetep aja, masa gue harus biarin adik tingkat gue hujan-hujanan sampai sakit? Apalagi kejadian waktu itu malam-malam. Kalau lo kenapa-napa, sementara gue sempet lihat dan cuek ke lo, gue termasuk orang jahat dong!”
Lengkara mendengus, bagaimana Aksa tidak melekat dalam pikirannya jika pemuda itu selalu berlaku seperti ini padanya? Perhatian, padahal bukan siapa-siapa.
“Sekarang gue tanya sama lo. Lo tuh kenapa sih? Hobi banget hujan-hujanan sambil nangis, ngelamun sambil nangis dan sekarang olahraga di malam hari tiba-tiba banget. Lo sebenernya ada masalah apa? Apa ini semua karena lo merasa tertekan di organisasi? Atau ada masalah lain yang—“
“Cukup ikut campur urusan gue. Sekalipun gue mati, lo gak akan rugi.” Ketus Lengkara membuat Aksa melongo. “Sa, gue minta tolong sama lo, jangan lo campurin urusan gue. Jangan so-soan perhatian ke gue. Lo dan gue gak ada ikatan apapun, gue gak punya hutang apapun sama lo, dan lo sendiri gak punya hutang sama gue. Jadi dari sekarang, cukup ikut campur kehidupan gue!”
Kemudian dengan kesal Lengkara menyenggol tubuh Aksa saat dirinya berjalan melewati Aksa. Sehingga satu botol minuman dalam genggaman pemuda itu jatuh ke lantai. Setelah mengambil tasnya, Lengkara memutuskan untuk pulang dan meninggalkan Aksa seorang diri dengan berbagai pertanyaan yang kembali hinggap di kepalanya.
Aksa menyadari bahwa tindakannya bodoh. Mengapa ia harus peduli pada seorang gadis yang bahkan baru ia kenali beberapa hari ini? Tapi pada kenyataannya, Aksa telah begitu tenggelam dalam rasa yang tak bisa ia pastikan. Aksa selalu menyangkal dan mempertahankan logika daripada isi hatinya. Di sisi lain, Aksa tetap teguh pada keyakinannya jika ada sesuatu dibalik semua hal yang Lengkara lakukan akhir-akhir ini.
Sementara di luar, Lengkara mulai menangis seiring langkahnya menjauh dari GOR. Jika saja bisa, mungkin Lengkara akan sebahagia layaknya gadis yang tengah jatuh cinta saat Aksa selalu memberikan perhatian untuknya. Mungkin saja dirinya akan dengan senang hati menerima kehadiran Aksa meski belum pasti. Namun segala kemungkinan itu tak akan pernah terjadi. Sebab ada sebuah benteng yang menjulang tinggi membatasi Aksa dan Lengkara. Benteng yang sengaja Lengkara buat sendiri agar siapapun termasuk Aksa tak masuk ke dalam hidupnya yang menyedihkan ini.
Bersamaan dengan itu, nyeri di kepalanya mulai kambuh kembali dan cairan merah muncul dari hidungnya. Lengkara sampai meringis dan pertahanannya rubuh, ia mengelap dengan asal mimisannya itu. Gadis itu duduk di atas marmer dingin dengan tangis yang tak berhenti. Seandainya ia bisa memilih, Lengkara tak ingin hidupnya menjadi semenyakitkan ini. Kadangkala Lengkara ingin hidup normal kembali, namun Sang Pecipta tak memberi kesempatan itu lagi.
Dan seharusnya, dia tak datang kemari malam ini.
Di dalam GOR Aksa menghela nafas dalam. Dipandanginya botol minuman yang tadinya akan ia berikan kepada Lengkara. Hatinya berseru mendukung Aksa untuk menjemput Lengkara, namun logikanya menahan dirinya untuk duduk di kursi ini. Ia kembali terjebak dalam pikirannya sendiri. Mengenai rasa yang tak mampu ia pastikan terhadap Lengkara. Benarkah ini hanya penasaran? Atau benarkah Aksa mulai jatuh hati? Seperti inikah jatuh hati untuk pertama kali pada seorang perempuan? Atau hanya rasa sepintas saja yang bisa sewaktu-waktu menghilang?
Namun, apapun rasa yang bertengger di dalam diri Aksa, botol minuman yang ada digenggamannya itu menjadi jawaban.
Niatnya berolahraga tak Aksa laksanakan. Pemuda itu malah memangku kepala dan memijitnya secara perlahan. Tak bisa apapun sebab kembali sosok Lengkara menguasai dirinya.
Lengkara,
Bilamana dirimu tak memiliki sihir apapun untuk menjebakku dalam sosokmu yang selalu bersemayam nyata di ingatanku
Lantas apa yang menarik dalam dirimu sehingga membuatku tertarik?
Kepada Semesta,
Rencana apa yang Kau susun untuk kami berdua?
Kenapa Kau membuat kami tenggelam dalam bimbang tak berujung?
Ingin rasanya aku berenang ke daratan
Menjauh dari rasa yang semakin menenggelamkan
Rasa yang sampai saat ini belum bisa kupastikan
Entah jatuh cinta atau hanya sekedar rasa penasaran saja terhadap gadis yang nyaris tak pernah menampakkan senyum tulusnya
Aksa
........
Kepada Sang Pembolak-balikan Hati,
Bilamana takdir ini tlah membelenggu diri
Tak memberi celah untuk kembali merasakan kebebasan semesta
Tak diberi kesempatan dua kali untuk merasa bahagia
Tolong, jangan Kau tumbuhkan rasa yang menjebak diriku untuk melampaui batasanku
Cukup rasa sakit ini yang membelenggu
Untuk cinta, kumohon jangan
Sebab akan sulit bagiku untuk melepas
Saat waktu yang tak pernah ditunggu itu tiba
Lengkara