Seusai menyemangatinya. Vitto pun menghilang sementara Bee melanjutkan menulisnya. Selain menulis, ia biasanya membersihkan rumah seperti biasa, memberi pakan tujuh kucingnya—yang ada di rumah dan di penggilingan padi seraya membersihkan litter box mereka karena itu sudah tanggung jawabnya sebagai majikan. Apalagi menjadi majikan baik seperti dirinya dan Dee. Mereka berdua sejak sedari kecil sangat menyukai kucing—cat lovers. Ia dan Dee akan merawat dengan sebisanya walaupun tidak pernah membawa kucing-kucingnya ke dokter hewan. Bagi mereka, mereka sangat ingin membawanya ke dokter hewan yang jarak dari rumah agak jauh. Mereka paham, dari segi finansial saja tidak cukup untuk membiayai ketujuh kucing mereka. Bee menyebut dirinya sebagai "Majikan Miskin."
Kalaupun ada sedikit uang, ia sebisa mungkin akan membeli kebutuhan kucing-kucingnya. Terutama obat-obatan yang dibutuhkan. Dari segi memang dirinya terbilang kurang. Namun apa daya. Bila memiliki rezeki lebih, ia akan membelikannya dan sisanya akan digunakan untuk tabungan esok atau kasarnya mendesak. Kerap sang ibu meminjam uang padanya hanya untuk membayar gerabah yang dibeli, uang itu kurang. Dengan enggan, Bee akan meminjamkannya biar tidak ikhlas. Dan di kemudian hari uang itu ditukar kembali. Berbanding jauh dengan ketiga adik sepupunya yang uang tidaklah butuh alias bisa dicari. Dengan menjentikan jemari. Walaa!
Seperti Harry Potter mengancungkan tongkat sihirnya dengan menggumamkan mantra Reparo ke barang yang rusak dan rapuh, lalu barangnya dalam sekejap kembali utuh dan baru. Apa pun keinginan mereka bisa terpenuhi dan memilikinya secara utuh. Barang atau sesuatu yang diinginkan. Barang malah sekalipun, ketiga adik sepupunya mampu untuk membeli dengan bermodal meminta kepada sang papa. Ia? Meminta? Jangan untuk meminta, pasti tidak akan dituruti. Uang saja ia berhemat, apalagi meminta kepada orangtuanya? Pasti dari pembaca Wattpad ada yang pernah, sering, atau pun mirip dengannya? Kalau iya, acungkan tangan kalian ke atas. Untuk uang yang ia dapatkan dari honor dari cerpennya saja tidak cukup. Pernah, mencoba mencari pekerjaan di internet, tetapi yang diminta D3 (Diploma 3) dan S1 (Sarjana 1). D1, di tempatnya pun tidak banyak, jarang sekali ditemui. Paling D1 hanyalah pangkat paling terendah. Mungkin diterima sebagai office girls, bakal terima.
Ia iri. Iri terhadap saudara-saudaranya. Bisa sekolah sampai tinggi. Di Universitas terkenal. Universitas negeri maupun swasta.
Aku enggak mungkin bisa seperti mereka. Seusaha apapun itu aku enggak bisa seperti mereka, pikirnya.
Masih beruntung dapat menjenjang sekolah yang tinggi, tapi tidak tinggi amat sih. Cuma berpangkat D1 ia seakan bersyukur kepada Tuhan dirinya bisa melanjutkan sekolah. Tunduklah, lihatlah mereka yang masih di bawahmu. Yang sama sekali tidak bisa sekolah karena keterbatasan biaya. Yang sekolahnya hanya lulusan SMK dan SMA, kepingin kuliah saja juga tidak bisa. Apalagi seorang anaknya yang dari lahir sudah terkenal pintar, mendapatkan beasiswa. Sah-sah saja. Asalkan giat dan tekun. Bukan seorang anak yang tidak ingin sekolah dengan alasan tidak betah dan sampai dua bulan tidak pernah masuk, tidak merasakan keluarganya yang mengurusinya jatuh-bangun! Menghabiskan berjuta-juta biaya yang dikeluarkan orangtuanya. Coba? Kalian berpikir, apakah itu saat disayangkan! Sangat disayangkan!
"Untungnya aku sekolah enggak sampai kayak begitu," gumamnya, mengelus dada.
Dulu, sewaktu masih SMA, menginjak kelas satu, pernah di benaknya, berpikiran ke sana—tidak betah dan ingin betah. Dipikir ulang, ibunya yang bersusah payah banting tulang bersama ayahnya membiayai mulai dari mendaftar, membeli seragam dan atribut hingga membayar SPP-nya yang ditotal hampir satu juta. Bayangkan uang segitu bisa untuk membiayai sekolahnya. Sekolahnya memang dulu terkenal di masa tahun 90-an. Sekolah yang ia belajar adalah sekolah bekas ibunya dulu. Dulu, muridnya ribuan. Seiring tahun ke tahun, sekolahnya yang berdomisili di Kota Kepanjen. Di masa kelas satu hingga kelas tiga akhir, ia menjalani hari-harinya seperti murid sekolahan pada umumnya. Sebisa mungkin bersosialisasi. Bersosialilasi dengan penghuni sekolah, membuatnya tidak merasa suka. Bukannya tidak merasa suka, di kelas, teman-temannya kerap mengolokinya. Ada yang bilang anak mama, kayak anak kecil, dan ada yang bilang, ia berkenalan dengan seorang cowok dari media sosial, terutama masih boming-boming-nya handpone BBM dan Twitter. Apa salahnya ia berkenalan dengan seorang cowok, dari ranah jauh, berbaik hati berteman dan berkenalan dengan. Selama ia kuliah,sampai ia lulus, putus kontak dengannya. Menjadi pengangguran sampai sekarang, teringat ia masih memiliki teman dari SMA dulu dari Twitter. Sekadar iseng, ia pernah memutuskan untuk mencari temannya lewat akun Twitter barunya. Setelah ketemu, beranjak mencarinya lewat akun Instagram-nya. Tak heran, namun yang ada kaget, ternyata, teman yang selama ini sudah putus kontak dengannya berhasil ia temukan! Tanpa menunggu, langsung meng-chat lewat DM. Alhasil, tanpa diduga, besoknya, temannya membalas DM-nya! Menanyakan kabarnya. Berlanjut meminta nomor WhatssAp, yah, dia sudah menikah, Bee jarang kontak dengannya agar menjaga jarak. Tunggu dulu, nomornya masih disimpannya. Kadang kala menanyakan kabar. Sekarang, temannya itu melanjutkan kuliah yang mengambil S2. Hebat, kan? Setelah lulus, temannya itu langsung diterima kerja di pabrik pembuatan cokelat di Kota Jember. Ia mengakui, selama berteman, temannya itu ternyata sepintar Hermione Granger. Sinar muncul bersinar di belakangnya. Sinar itu memperlihatkan sosoknya yang mungil dan wajahnya yang imut.
"Hallo, Bee!" sapanya. Menghampirinya. Duduk di atas kursi kayu.
"Hai," jawabnya.
"Kamu habis ngapain?"
"Tuh, habis nyapu-nyapu. Selepannya kotor."
Sehabis dari rumah, Bee dan adik kembarnya berangkat menuju penggilingan padi. Seperti biasa mereka membukanya. Memberi pakan dan air matang untuk keempat kucingnya dari rumah. Ketujuh kucingnya sengaja sebagian ia letakkan di penggilingan padi. Karena di tempat itu, sering sekali banyaknya tikus. Dulu, sang ayah memelihara seekor anjing. Dua anjing. Seiring memeliharanya, yang ada dalam keadaan mati akibat diracun orang. Mirip yang dialami dua kucingnya, Aming dan Albus Dumbledore. Sangat disayangkan, kedua kucing jantan mereka yang sangat disayangi telah mati. Albus Dumbledore, mati di dalam kandang di samping rumah. Mereka memberinya susu beruang. Naas, tidak tertolong. Pamannya pernah menawarkan untuk membawa si Albus ke dokter, dengan membiayainya. Ia dan adik kembarnya menolak dengan halus. Tidak ingin merepotkan atau ikut campur, terlebih itu meminta, membelikan kepada paman mereka. Sementara Aming, yang beberapa hari masih sehat dan bermain di penggilingan padi, sempat bermanja pada Bee (ia mengelus kepalanya). Keesokannya di depan rumah sering tercium seperti bau bangkai. Saat menjemur pakaian, ia mengira bangkai tikus. Namun besok-besoknya saat menyapu di samping rumah, tercium bau bangkai itu. Penasaran, memeriksa dan mencari asal baunya. Ternyata, saat ditemukan, ia menemukan kucing berbulu hitam-putihnya yang memiliki tompel di bawah hidung sudah menjadi bangkai. Sontak ia berteriak menangis mengetahui kucingnya telah mati mengenaskan dengan wajah yang tidak dikenali lagi dengan perut menggembung membesar.
Khalisya menatap keempat kucing milik Bee melahap makanannya.
"Mereka kelaparan," katanya.
"Memang mereka kelaparan," jawab Bee melanjutkan menyapunya.
"Bee," masih menatap keempat kucing."Katanya Bang Vitto, kamu enggak nge-chat lagi ya, sama temanmu yang suka kucing itu?"
"Enggak lagi."
"Katanya Bang Vitto lagi, kamu ngerawat kucing-kucingmu sebisa, semampumu."
"Iya."
"Seandainya aku bisa membantu dari segi finansial... Tapi, itu enggak mungkin... Aku—kami itu cuma karakter fiktif, walau ada uang, uang itu juga fiktif..."
Bee tersenyum."Iyalah. Aneh kamu!"
"Misalkan ada uang, kami bakal membantumu, kok. Jangan untuk membantu, kami akan selalu menemanimu. Kamu pastinya masih sebal karena temanmu itu memberi saran, tapi kamu enggak pernah mendengar saran darinya. Bang Vitto bilang, kamu mendengar saran dari temanmu dan temanmu tahu kamu kekurangan dari segi finansial. Kami akan menyemangatimu. Kamu mau menulis, kamu kirimkan ke penerbit besar atau mencari usaha yang lain sekiranya cocok buat kamu kuasai."
"Enggak apa-apa. Sudah cukup kalian menyemangatiku. Apalagi menemaniku setiap hari."
"Kamu enggak sendirian! Masih ada kami yang menemanimu! Biar saja saudara-saudaramu atau orang lain yang mengataimu enggak memiliki teman."
Bee masih menyunggingkan senyumnya. Di kala ia sendirian, masih ada teman yang masih menerima dan menemaninya hingga kini.