Loading...
Logo TinLit
Read Story - Gray November
MENU
About Us  

[Joshua’s pov]   

 

March 14th, 2002

Selama ini kupikir status sosial adalah segalanya. Bagaimana aku bisa dikelilingi murid-murid lain yang dengan mudah mengubah opini mereka setiap suatu pemikiran terlontarkan dari mulutku atau Louis. Ketika mendapat nilai ujian yang tidak memuaskan pun, guru yang mengajar akan memanggil ke ruang para guru, tidak langsung menceramahi di depan kelas seperti murid lainnya.

Namun, pagi ini ketika kelas baru saja dimulai, seorang figur pemberontak menarik semua kesetiaan yang Louis dan aku dapatkan. Augustine Howard. Wali kelas kami, yang juga guru pengajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, menunjuk salah satu murid bernama Hannah di sebuah kelompok yang nilainya paling rendah hingga mengharuskan seluruh anggotanya menggantikan kelompok yang bertugas piket hari ini.

“Maaf, Pak, setiap anak sudah cukup memikul beban akan dimarahi orangtua di rumah karena nilai ulangan, kenapa harus menambah beban itu di sekolah?” Semua pasang mata mengarah pada Augusta yang masih mengacungkan tangan dengan sorot tatapan nyalang kepada pria paruh baya yang terlonjak kaget di meja gurunya. Dorothea yang duduk di sebelahnya pun tidak kalah terkejut dengan sikap sahabatnya. Berbeda dengan Este yang terang-terangan berseru ‘wah!’

Pak Samuel berdeham singkat sebelum menjawab protes Augusta, “Kerja sama adalah sesuatu yang penting untuk diasah sejak usia dini, Augustine.”

“Lantas apa tujuan dibentuk kelompok piket dan kelompok presentasi di setiap pelajaran, Pak? Menunjuk seseorang berarti sama saja menumbalkannya sebagai satu-satunya penyebab sebuah kegagalan, dimana letak kerja sama yang Bapak maksud? Kerja sama harus berjalan beriringan dengan saling mengerti satu sama lain, Pak.” Suara Augusta terdengar bergetar di akhir kalimatnya, tetapi ia tetap melanjutkan ketidaksetujuannya sebelum Pak Samuel sempat menyela, “Bukankah sekolah adalah rumah kedua bagi seorang anak? Jangan beri harapan palsu kalau Bapak dan guru-guru lain memperlakukan kami sebagaimana keluarga di rumah.”

Seolah mendapat alasan pengelakan yang bagus, Pak Samuel tersenyum tipis dan terlihat lebih tenang dari sebelumnya, “Augustine jangan gabungkan urusan rumah dengan sekolah--”

“Maaf, Pak Sam,” potong sang ketua kelas, Alessandra James atau biasa dipanggil AJ, sembari tersenyum mengatakan pendapatnya yang setuju dengan tanggapan Augusta. “Kalau bukan di sekolah, dimana lagi kami menikmati masa remaja yang sebentar lagi harus dipendam karena perkuliahan semakin dekat? Menurut saya dan juga Augusta, tidak perlu lagi membentuk kelompok ujian seperti ini, kita bisa mengumpulkan suara dari setiap anak di kelas—siapa yang setuju dan tidak setuju.” AJ dan Augusta mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi tanpa menoleh ke teman-teman sekelas yang masih terpana dengan sikap keduanya. Tidak lama kemudian, Marjorie turut melakukan hal yang sama, disusul Dorothea, Este, wakil ketua kelas, sekretaris, bendahara, dan Hannah.  

Sesi jam pertama bersama wali kelas kami diakhiri dengan seluruh murid di kelas mengacungkan tangan masing-masing, termasuk diriku dan Louis. Kesepakatan pun telah jelas. Tidak ada lagi pembagian kelompok untuk ujian Pendidikan Kewarganegaraan.

Namun, aku bisa melihat jelas rahang Louis mengeras saat ikut melakukan simbol non-verbal untuk pengumpulan suara tadi. Tatapan teman sebangkuku itu bahkan tidak lepas dari Hannah yang mendatangi meja Augusta bersama Marjorie yang mengikutinya dari belakang. Louis masih sangat kesal pada Augusta, sepertinya bukan hanya karena insiden perkelahian sebulan yang lalu. Namun, kedekatan yang muncul di antara Marjorie dan Augusta.

“Aku bahkan tidak pernah memegang tangan Majie...!” desis Louis bertepatan saat ini Augusta sedang meraih tangan Marjorie untuk menanyakan nama produk cat kuku yang dikenakan gadis itu.

“Kamu benar-benar menyukai Marjorie, ya?” tanyaku berusaha terdengar biasa saja.

Mendadak raut wajah Louis terlihat mendung dan ia mengeluarkan buku pelajaran berikutnya dengan ogah-ogahan. “Bukan rasa suka secara romantis, kamu, Augusta, atau siapapun itu tidak akan mengerti.”

Aku terhenyak mendengar ucapan Louis. Kata sepupu atau kerabat jauh sudah tersemat di pikiranku setelah mendapatkan informasi yang tidak pernah kuduga itu. Louis menyakiti Marjorie ... karena perempuan itu bukan seseorang yang bisa disukai dan dimiliki sebagai pasangan? Apakah Louis sengaja memukul Marjorie untuk melampiaskan amarahnya? Tetapi kenapa ia kesal Marjorie dekat dengan orang lain? Seolah—ia masih ingin berhubungan sebagai keluarga dengan tetanggaku itu.

 

June 24th, 2006

Adik tiri. Ha.” Suara hatiku mencemooh tidak percaya fakta yang baru saja kudengar.

Pandanganku mengamati lekat gelak tawa yang terlepas begitu saja dari kedua insan itu. Louis seakan lupa teman hidupnya berada tepat di sampingnya—berupaya keras tidak melempar gelas pada sepasang saudara tiri yang menjadikan perayaan kecil ini menjadi reuni dadakan. Este menekan kuat-kuat makanan di piringnya dengan garpu yang ia genggam. Dorothea bahkan tidak menahan diri mengungkit masa lalu antara Louis dan Marjorie.

“Seharusnya kalian ceritakan sejak dulu.”

Kupikir kalimatku barusan mampu mengakhiri topik pembicaraan yang berpusat pada Louis dan tamu yang tidak diundang itu. Nyatanya, Este pun tidak bisa mengontrol kecemburuannya dan bertingkah defensif melalui nasihatnya pada Louis untuk tidak perlu selalu memanggil Marjorie dengan sebutan Kakak. Memang benar, panggilan itu hanya menciptakan kecurigaan lainnya. Dari reaksi yang ditunjukkan Este, sudah pasti ada sesuatu yang bermakna lebih dari ikatan keluarga. Aku pun tidak akan lupa bagaimana Louis selalu memperhatikan Marjorie dari kejauhan semasa bersekolah dulu.

Obrolan tentang Louis dan Marjorie pun masih berlanjut ketika aku mengantar Dorothea pulang. Awalnya, ia bilang ingin menemani Este yang masih berada di toko bersama dua pegawai lainnya, tetapi adiknya itu sendiri yang memaksaku untuk membawa sang kakak pulang.

“Marjorie itu pemain yang tidak mudah menyerah,” ucap Dorothea setelah sepuluh menit kami berdua terdiam di bawah guyuran hujan malam itu. “Dia tertawa bahagia dengan Louis saat kamu memperhatikan, lalu melirikmu diam-diam begitu aku memojokkan adik tirinya itu.”

Aku menghela napas berat, mulai lelah dengan asumsi dan perdebatan tentang Marjorie. Tidak bisakah sekali saja aku menjalani hidup tanpa memikirkannya? Aku mungkin memang akan bertanya langsung pada Marjorie, nanti. Ia adalah teman masa kecilku, ralat, sahabat yang terkadang bermain bersama dan berbagi cerita. Jika berada di dekat Louis adalah suatu keterpaksaan, aku akan membantunya.

“Marjorie jelas-jelas menggunakan Louis untuk membuat kamu cemburu, dan sebaliknya!” Suara Dorothea mulai meninggi seiring derasnya tetes hujan di luar sana.

“Dia bahkan tidak mengajakku berbasa-basi,” gumamku. Kupikir suaraku teredam gemuruh petir, tetapi Dorothea mendengar jelas semua ucapanku.

“Dan kamu merasa kesal, kan? Tapi kamu tidak sepintar itu untuk menutupinya dariku dan Marjorie, Josh. Dia sengaja tidak mengobrol hal sepele denganmu untuk membuatmu merasa dilupakan, lalu kamu akan mulai berspekulasi ‘tidak mungkin mereka hanya bersaudara’ dan akan menanyakannya hal itu langsung pada Majie.”

Napasku tertahan karena Dorothea menebak jalan pikiranku. Terlihat sejelas itu? Dorothea masih bisa melihat aku masih tidak bisa melupakan Marjorie....

Sesampainya di depan gerbang rumah, Dorothea masih duduk diam di kursi penumpang dengan tatapan tertuju kosong keluar kaca jendela mobil. Aku baru akan menyadarkannya, tetapi hal itu tidak diperlukan karena Dorothea sudah lebih dulu mengejutkanku dengan permintaan yang membuat hatiku sesak.

“Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini, Josh, baik itu sebagai kekasih atau calon istri seperti yang dibicarakan keluargamu.”

“Tolong, Dori, aku tidak akan bertanya apa-apa pada Majie, kenapa kita harus membawa Louis dan Majie ke hubungan kita?”

“Persaudaraan mereka tidak berpengaruh apa-apa pada kita, Josh! Tapi Este ... kamu pun masih memiliki perasaan untuk Majie, kan?”

Ini gila. Dorothea mengorbankan hubungan kekasih yang telah dibangun bertahun-tahun supaya Marjorie bersamaku. Amarahku sudah tidak lagi bisa terbendung dan terdengar jelas dari suaraku yang memenuhi ruang dingin mobil yang kami tumpangi. “Lalu kamu pikir pernikahan Louis dan Este bisa terselamatkan? Bagaimana kalau akar permasalahnnya ada pada Louis, dan bukan Majie?”

Dorothea terkekeh sinis dengan kedua mata yang sudah berani menatapku balik. “Dengarkan dirimu sendiri, Josh, kamu bahkan masih membela salah satunya, padahal sudah jelas keduanya sama-sama bertindak salah.”

“Aku tidak akan menyerah dengan hubungan kita, Dori, dan begitu juga kamu!” Dorothea kembali terdiam dan tidak lagi melihat ke arahku. Sebelum tangan kekasihku menarik knop pintu mobil, aku meraih lengannya terlalu kasar sampai ia menoleh dan melihat lurus ke arah kedua netra milikku. Kulepaskan genggamanku sambil berucap maaf, lalu kembali berkata, “Setidaknya, cari alasan selain Marjorie, Louis, dan Este untuk mengakhiri hubungan kita. Aku tidak terlalu lama mengenal Este, tetapi sepertinya dia bukan tipe seorang adik yang rela kehidupan orang lain terusik karena dirinya, apalagi kamu adalah kakaknya.”

“Kakak tiri,” koreksi Dorothea dingin. “Aku tidak pernah keberatan Este lebih memikirkan dirinya sendiri daripada kakaknya.”

 

March 1st, 2008

Iya, aku sudah tidur.

Isi pesan dari Dorothea yang kudapatkan kurang dari lima menit. Dorothea tidak pernah menjawab secepat itu, atau menggunakan tanda titik dalam pesan yang ia ketik. Dorothea pernah bilang tanda titik yang biasa dituliskan seseorang pertanda ia sudah tidak ingin membicarakan hal apa pun degan lawan bicaranya.

Kubuka kembali rekaman suara yang dikirimkan Dorothea tadi siang.

Aku tidak perlu berusaha untuk membuat Joshua menyayangiku, Tia. Aku, memang pantas mendapatkan kasih sayang itu.

Begitukah?

Selama ini aku tampak terlihat begitu mudah sekali dibaca. Dibandingkan Ratu, Menteri, Kuda, bahkan Raja sekalipun, aku memang pion terbaik yang pantas ditumbangkan di awal permainan. Tidak menutup kemungkinan Marjorie juga menceritakan tentangku pada Louis, mereka pasti terus menertawakanku di belakang.

Dan Dorothea? Cara ia membalas tatapan memuja Augusta dengan penuh sayang membuatku tersadar. Hanya aku yang berjuang melupakan masa lalu. Hanya aku yang percaya kebahagiaan lain menunggu di depan sana. Apa gunanya berbaik hati mengajak orang yang tersakiti untuk pergi bersama?

Kedua manik mataku yang telah tertutup embun penyesalan yang sangat perih memandang nanar tempat tidur Dorothea yang kosong.

Marjorie ataupun Dorothea. Keduanya menganggap perasaan dan komitmen yang kubangun dengan serius hanyalah angin lalu. Terlalu mudah untuk dihempas, karena seperti itulah diriku yang mereka kenal. Menyingkirkan ego supaya semuanya berjalan sederhana tanpa masalah.

 

Keesokan harinya aku menunggu Dorothea keluar dari gerbang rumah Augusta. Wanita itu keluar dengan sahabat—ah, maaf maksudku kekasih barunya yang berdiri sembari bersandar di pagar kayu yang setengah terbuka. Augusta mungkin tipe orang yang berpikir bahagia selalu dirasakan setelah berhasil memenangkan suatu hal. Salah, kebahagiaan itu hanya datang bagi seseorang yang bisa melepaskan.

“Kamu butuh cincin Mama untuk seseorang yang lebih pantas,” ujar Dorothea seraya meletakkan benda mungil berkilap itu di atas telapak tanganku. Aku mengulas senyum masam mendengar Dorothea merendahkan harga dirinya sebagai sebuah alasan. Tidak heran ia rela kembali pada seorang otoriter seperti wanita di belakangnya itu.

“Kamu selalu pantas bersanding dengan siapa pun, Tia,” tuturku lembut. Sesak di hati itu perlahan terangkat seiring senyum yang kuusahakan terlihat ramah terbalas ekspresi Augusta yang terperangah. Kuangkat cincin Mama dengan ibu jari dan telunjukku. “Aku butuh cincin ini tersemat di jari seseorang yang memahami masa lalu sebagai kenangan, bukan impian.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta Dalam Diam
757      501     1     
Short Story
Kututup buku bersampul ungu itu dan meletakkannya kembali dalam barisan buku-buku lain yang semua isinya adalah tentang dia. Iya dia, mungkin sebagian orang berpendapat bahwa mengagumi seseorang itu wajar. Ya sangat wajar, apa lagi jika orang tersebut bisa memotivasi kita untuk lebih baik.
Tyaz Gamma
1604      972     1     
Fantasy
"Sekadar informasi untukmu. Kau ... tidak berada di duniamu," gadis itu berkata datar. Lelaki itu termenung sejenak, merasa kalimat itu familier di telinganya. Dia mengangkat kepala, tampak antusias setelah beberapa ide melesat di kepalanya. "Bagaimana caraku untuk kembali ke duniaku? Aku akan melakukan apa saja," ujarnya bersungguh-sungguh, tidak ada keraguan yang nampak di manik kelabunya...
Mengapa Harus Mencinta ??
3718      1197     2     
Romance
Jika kamu memintaku untuk mencintaimu seperti mereka. Maaf, aku tidak bisa. Aku hanyalah seorang yang mampu mencintai dan membahagiakan orang yang aku sayangi dengan caraku sendiri. Gladys menaruh hati kepada sahabat dari kekasihnya yang sudah meninggal tanpa dia sadari kapan rasa itu hadir didalam hatinya. Dia yang masih mencintai kekasihnya, selalu menolak Rafto dengan alasan apapun, namu...
Apakah Kehidupan SMAku Akan Hancur Hanya Karena RomCom?
4142      1191     1     
Romance
Kisaragi Yuuichi seorang murid SMA Kagamihara yang merupakan seseorang yang anti dengan hal-hal yang berbau masa muda karena ia selalu dikucilkan oleh orang-orang di sekitarnya akibat luka bakar yang dideritanya itu. Suatu hari di kelasnya kedatangan murid baru, saat Yuuichi melihat wajah murid pindahan itu, Yuuichi merasakan sakit di kepalanya dan tak lama kemudian dia pingsan. Ada apa dengan m...
KILLOVE
4692      1447     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...
TENTANG WAKTU
2109      900     6     
Romance
Elrama adalah bintang paling terang di jagat raya, yang selalu memancarkan sinarnya yang gemilang tanpa perlu susah payah berusaha. Elrama tidak pernah tahu betapa sulitnya bagi Rima untuk mengeluarkan cahayanya sendiri, untuk menjadi bintang yang sepadan dengan Elrama hingga bisa berpendar bersama-sama.
Memeluk Bul(a)n
22964      3931     28     
Fantasy
Bintangku meredup lalu terjatuh, aku ingin mengejarnya, tapi apa daya? Tubuhku terlanjur menyatu dengan gelapnya langit malam. Aku mencintai bintangku, dan aku juga mencintai makhluk bumi yang lahir bertepatan dengan hari dimana bintangku terjatuh. Karna aku yakin, di dalam tubuhnya terdapat jiwa sang bintang yang setia menemaniku selama ribuan tahun-sampai akhirnya ia meredup dan terjatuh.
Manusia Air Mata
1364      800     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...
Faith Sisters
3239      1528     4     
Inspirational
Kehilangan Tumbuh Percaya Faith Sisters berisi dua belas cerpen yang mengiringi sepasang muslimah kembar Erica dan Elysa menuju kedewasaan Mereka memulai hijrah dari titik yang berbeda tapi sebagaimana setiap orang yang mengaku beriman mereka pasti mendapatkan ujian Kisahkisah yang relatable bagi muslimah muda tentang cinta prinsip hidup dan persahabatan
Rewrite
9665      2792     1     
Romance
Siapa yang menduga, Azkadina yang tomboy bisa bertekuk lutut pada pria sederhana macam Shafwan? Berawal dari pertemuan mereka yang penuh drama di rumah Sonya. Shafwan adalah guru dari keponakannya. Cinta yang bersemi, membuat Azkadina mengubah penampilan. Dia rela menutup kepalanya dengan selembar hijab, demi mendapatkan cinta dari Shafwan. Perempuan yang bukan tipe-nya itu membuat hidup Shafwa...