[Dorothea’s pov]
June 24th, 2006
Kedua belah bibirku baru saja mengecap sedikit wine dari bibir gelasku sampai sebuah suara yang familiar tertangkap indra pendengaranku. Posisi duduk yang berhadapan dengan adik perempuanku dan suaminya tidak menyulitkan untuk melihat jelas tamu yang terlambat datang, meskipun aku belum tahu jelas siapa yang mengundangnya. Namun, Este tampak tidak berniat menoleh untuk menyambut tamunya, hanya sang suami—Louis yang bangkit dan memeluk Marjorie.
Joshua sendiri hanya tersenyum kecil dan menyapa ‘hai’ pendek untuk teman masa kecilnya itu. “Majie ke sini bukan hanya bergabung untuk merayakan promosimu di kantor, Josh,” ujar Louis setelah menarik salah satu kursi dari meja lain untuk wanita yang membalut dirinya dengan rhinestone sheer dress semata kaki dan syal bulu memeluk kedua bahunya. Pakaiannya jelas bukan untuk makan malam kasual kami, tetapi ada hal lain yang akan dilakukannya setelah ini.
“Kamu terlihat seperti wanita karir yang sibuk, Majie, selamat datang dan maaf harus membuatmu ikut pesta kecil seperti ini,” ucapku sembari memberikan segelas wine untuknya. Tiba-tiba sisa rasa anggur di lidahku terasa pahit ketika ekor mataku melihat Este membuang muka ke jendela toko rotinya.
“Aku merasa tidak cocok bekerja untuk seseorang,” jawab Marjorie. Gerak mulutnya menegak minuman terhenti hanya untuk membuka satu kancing atas kemeja Louis dan bergumam cukup jelas, “Kalau dikancing semua jadi kelihatan culun!”
“Jadi kamu mengundurkan diri?” Joshua menimpali pertanyaanku tentang pekerjaan dan karir mantan tetangganya itu.
“Oh iya!” Marjorie bertepuk tangan sekali setelah meletakkan gelas miliknya, lalu berseru penuh semangat dengan kedua mata berbinar tertuju padaku, “Aku memutuskan menekuni kemampuan menari dulu di SMA, adik tiriku yang merekomendasikan tempat mengajar ... Sanggar Nataraja!”
“Adik tiri?” ulangku kebingungan. Benar-benar kebingungan dengan segala hal baru dimulai dari kedatangan mantan primadona di sekolah dulu hingga perubahan karirnya dari seorang Account Executive menjadi guru? Terlebih lagi di tempat mengajarku!
“Louis adalah adik tiri Majie,” ucap Este yang sejak tadi diam. Ketiga orang lain di meja itu mungkin hanya melihat Este kesal karena ada orang baru diundang tanpa pemberitahuan, tetapi aku bisa melihat tangannya bergetar saat mengambil sepotong pizza dari loyang.
“Seharusnya fakta ini diberitahu sejak kami kuliah, tapi saat itu Majie sangat membenciku,” lanjut Louis tanpa melepas kontak matanya pada Majie yang sedang melempar senyum pada Joshua.
Aku berusaha menekan rasa tidak nyaman yang semakin menggelenyar di perutku. Namun, aku berhasil mengeluarkan pertanyaan yang selama ini mejadi salah topik obrolanku dan Joshua selama kami berpacaran, “Karena itu kamu memukulnya sampai babak belur di sekolah?”
Joshua menyikut lenganku, tetapi aku tidak peduli dan lebih memilih menatap nyalang Louis dengan sorot mata seolah berkata ‘Kuharap aku memukulmu sama seperti yang Ivy lakukan!’
Louis tidak terpengaruh dengan raut wajah kakak iparnya ini da menyahut santai, “Semua itu salah paham.” Louis melempar pandangan ke Marjorie yang kemudian menceritakan bahwa ialah yang menyakiti dirinya sendiri karena tidak percaya Louis masih tulus menjadi saudaranya dengan latar belakang keluarga mereka yang rumit.
“Seharusnya kalian ceritakan sejak dulu,” ucap Joshua membuatku berdecih pelan. Sejak awal aku tidak mengharapkan akhir yang indah dari hubungan terburu-buru dengan Joshua.
Louis terkekeh sembari menoyor pelipis sang kakak tiri yang sedang menegak habis sisa winenya. Menghiraukan layangan protes Marjorie, Louis kembali berkata, “Sejak dulu Kak Majie memang konyol!”
Tiba-tiba Este tertawa hebat. Melebihi kencangnya tawa canda Louis dan Marjorie. “Ahahaha! Ya, ampun, aneh sekali! Wahahahaha!”
Ketika Louis benar-benar berhenti tertawa, Marjorie bertanya pada adik perempuanku hal aneh apa yang membuat tawanya memenuhi seisi gedung toko itu. “Suamiku sangat lucu!” imbuh Este di akhir gelak tawanya. “Kamu tidak perlu terus memanggilnya Kakak untuk meyakinkan kami semua, Sayang!”
Jelas ada hal yang tidak beres, tetapi diketahui dan terjadi antara tiga orang di depanku. Sejak menyetujui status pacaran dengan Joshua, aku tidak pernah memiliki ekspektasi akhir yang bahagia antara kami berdua. Namun, sejak Este kecil datang ke rumah dan dideklarasikan sebagai adikku ... mulai saat itu aku bertekad akan mendedikasikan seluruh hidupku pada satu-satunya keluarga yang kumiliki.
Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya? Jas formal dan kalung di kerah kemeja Louis tampak sangat senada dengan penampilan Marjorie. Berbanding terbalik dengan gaun malam satin biru muda Este yang membuatnya menjadi orang asing di dekat sepasang saudara tiri itu.
Kemudian, seperti yang kuduga. Louis mengantar Marjorie pulang, melewatiku yang sedang menunggu Joshua mengambil mobil dari bengkel. “Este tidak ikut?” Pertanyaanku menghentikan langkah kedua kakak-beradik tanpa hubungan darah itu. “Kamu hanya perlu menurunkan Majie, kan?” tambahku tidak sabar karena kedua orang itu masih setia memunggungi orang yang sedang bertanya pada mereka. Tidak sopan.
Louis tampak memberikan kunci mobilnya pada Marjorie dan menyuruh wanita itu menunggunya di mobil. Pria itu kembali menaiki tangga kecil di teras toko hingga berdiri tepat di hadapanku. “Sebagai kakak, kamu paham sifat introvert Este yang energinya cepat terkuras jika berlama-lama di keramaian, kan? Mana bisa aku langsung pulang tanpa bersilahturahmi dengan Ibu Kak Majie?”
Aku mulai setuju dengan perkataan Este beberapa menit yang lalu. “Berhenti memanggilnya Kakak.” Louis mengangkat satu alisnya heran.
“Dia memang kakakku,” kekehnya.
Kubalas dengan seringai miring dan sorot tatap ‘memperingati’, “Tapi kamu terlihat tidak ikhlas memanggilnya seperti itu.”
December 24th, 2006
“Menurutmu, apa aku tampak lebih tua daripada Marjorie?”
“Apa?” tanyaku terkejut sampai kedua tanganku yang sedang menguleni adonan roti berhenti total. “Kenapa kamu sampai membandingkan diri dengan dia begini?”
“Dia ... selalu tampak anggun—wanita yang pantas dikejar dan dikagumi...,” bisik Este sia-sia karena aku mendengar keluh kesahnya itu dengan jelas. Ketika Este bercerita dengan nada suara pelan, itu tandanya ia hanya butuh didengarkan. Itulah sebabnya aku hanya bungkam dan kembali membanting adonan di atas meja yang telah dibaluri tepung.
“Um! Enak!” seruku senang begitu indra pengecapku merasakan garingnya kulit dan bumbu rempah dari ayam panggang buatan Tante Sarah, Ibu Joshua. Beliau kembali menawarkan untuk menambah makanan yang sudah hampir habis ke piringku.
Pandanganku menjelajah ke sekeliling meja makan yang dipenuhi dua keluarga lain dari pihak Ibu Joshua. Di dalam hati aku sangat takjub pada ketiga keponakan Joshua yang masih berusia sekitar empat atau lima tahun, tetapi memiliki table manner yang dilakukan para orang dewasa di depan mereka.
Tiba-tiba Tatiana, adik perempuan Joshua, yang duduk tepat di sebelahku berdesis lelah, “Kalau makan dengan keluarga besar, aku dan Kakak jarang bisa berkomentar atau mengobrol ringan seperti di rumah.” Kulihat Tatiana yang menegak segelas air untuk kesekian kalinya. Berbanding jauh dengan sang adik perempuan yang tidak betah, Joshua tampak menikmati makan malam itu.
“Lho, Kak Majie?” Tatiana menyebut nama orang yang baru datang memasuki rumah orangtuanya dengan keheranan. Berhubung Tatiana duduk dekat lorong teras, turut bermain scrabble dengan para keponakannya, maka ia menjadi orang pertama yang menyambut Marjorie. Wanita itu mengenakan cable sweater dan slit satin yang berwarna senada. Padahal aku berharap ia berpakaian lebih mewah dari reuni dadakan kami di toko Este.
Aku langsung bangkit dari sofa yang kutempati bersama Tante Sarah dan Joshua dan mempersilahkan Marjorie duduk di sana. Saat Joshua ikut bangun untuk mengantarkanku ke depan rumah, ia bertanya dengan ekspresi masam, “Jadi ini rencanamu setelah memintaku mengundang Majie?” Aku mengiyakan tebakan Joshua tanpa ragu. Wanita yang telah memiliki segalanya sejak dulu itu telah merendahkan harga diri adikku di depan teman-teman kami, maka aku akan melakukan hal yang sama---dengan jumlah audiens yang lebih banyak.
Me: Duduk yang nyaman ya di kursiku, kamu juga bisa mencoba cincin yang kukembalikan pada Joshua. Aku mengirimkan pesan singkat sebelum memasuki taksi yang baru saja berhenti di hadapanku. Bibirku tersenyum bahagia membayangkan raut wajah tidak suka Tante Sarah saat Marjorie datang. Sepertinya persahabatan yang terasa seperti persaudaraan itu hanya terjadi di antara Joshua dan Marjorie. Itu bagus. Karena malam Natal yang seharusnya terasa hangat dan menyenangkan akan berubah menjadi mimpi buruk bagi wanita itu.