[Joshua’s pov]
June 24th, 2003
Begitu sesi berfoto dan salam perpisahan usai, aku mengendap-endap ke belakang panggung tempat yang kujanjikan dengan Marjorie untuk bertemu sahabat masa kecilku itu. Hari ini aku akan jujur. Walaupun aku telah memprediksi jawabannya, ia berhak mengetahui bagaimana perasaanku sebelum memutuskan pilihannya di masa depan. Kuharap setelah ia mengambil keputusan ... ia memilihku sebagai pendampingnya.
Tiba-tiba aku menahan napas setelah memastikan tidak tersandung tirai hitam yang tadi dipakai untuk menutup persiapan para pengisi acara. Marjorie duduk memunggungiku, tetapi ada hal lain yang lebih mengejutkan. Bukan hanya kami berdua yang berada di sana.
“Berhenti bermain tarik ulur denganku, Este!” geram suara yang sangat kukenal akrab. Louis, teman sebangku selama sisa waktu di tingkat akhir pendidikan menengah atas. Sepertinya mereka sedang berada di dalam ruang kubik kecil tanpa atas sebagai ruang touch up sebelum tampil. Pandanganku kembali beralih pada Marjorie yang masih duduk tanpa bergeming. Tetanggaku itu pasti juga tengah fokus menyimak percakapan Louis dan Este. ‘Kenapa Majie peduli? Bukannya dia benci Louis karena laki-laki itu berani macam-macam tanpa izin?’
Saking terhanyut dalam pikiran, aku tidak sadar Marjorie sudah bangkit dari posisi duduknya dan menghadap ke tempatku berdiri. “Kamu—sudah lama di sini?”
Belum sempat aku menjawab, Louis dan Este berjalan menaiki tangga kayu—ke arah kami—hendak keluar dari balik panggung.
“Marjorie! Eh, hai, Joshua....” Este terlihat jelas bingung menyapa karena ia dan kami memang tidak dekat.
“Kalian sudah resmi berpacaran, ya!” Aku mengernyit heran mendengar perkataan ceria Majorie yang terdengar dipaksakan sekali. Sejak kapan perempuan ini menguping?
“Ah, tidak—Louis hanya memberiku selamat karena--”
“Mendapat nilai tertinggi dari jurusan IPS,” potong Marjorie lantas melirik Louis yang juga balas menatapnya tanpa ekspresi. Seperti ada yang janggal di antara teman sebangku dan tetanggaku itu. “Sebaiknya cepat dimasukkan ke vas berisi air,” ujar Marjorie lagi sembari memetik satu kelopak mawar putih pemberian Louis yang dipeluk sebelah lengan Este. “Kalau tidak, mawarnya akan layu dan mati.”
Este tersenyum manis menanggapi perkataan aneh Marjorie sambil berkata, “Tidak apa, setiap hari aku sudah sering menikmati hidupnya bunga-bungan di florist milik kakaknya Louis!”
Marjorie hanya bergumam tidak jelas sambil membuang wajah. Kebiasaan Marjorie jika sudah tidak bisa memberi tanggapan atau reaksi pada lawan bicaranya.
“Sepertinya kamu tidak rajin menyiram bunga ya, Majie,” ucap Louis setelah sekian lama menahan mulutnya berbicara. “Joshua sangat memahamimu,” kekeh Louis sebelum mengajak Este pulang usai mengangkat setangkai mawar merah palsu yang kugenggam sejak tadi.
Setelah kepergian teman kami, aku menghela napas dan menyembunyikan bunga yang kubawa ke balik punggung. “Maaf, Majie ... aku enggak bisa kasih mawar as--”
Aku terkejut bukan main ketika Marjorie menarik tanganku dan mengambil mawar merah dengan kelopak yang dibuat dari kain dan plastik itu. Terhitung cukup lama Marjorie memandang setangkai mawar yang telah berpindah ke tangannya.”Semoga persahabatan kita selalu awet seperti mawar ini ya, Jo,” tuturnya sendu.
Perkataannya itu bagaikan jarum yang menghujam hatiku sangat dalam. Tidak akan berhasil. Mungkin memang sudah sepantasnya perasaanku ini tidak membutuhkan tekad sia-sia untuk diungkapkan.
Akan tetapi, aku masih tidak mengerti mengapa Marjorie harus cemburu pada Este. Apakah mungkin kamu bisa memiliki perasaan pada orang yang memukulmu saat kamu hanya diam? Aku bukan Augusta yang membantu Marjorie memberikan pelajaran tidak terlupakan pada Louis, tetapi aku pun tidak bisa mengenyahkan rasa penasaran dan marah yang tiba-tiba muncul ini.
Pukul 17:20 WIB. Minimarket dekat sekolah.
Aku melewati pintu kaca minimarket yang ditahan pengunjung lain sambil berucap ‘terima kasih’ singkat sebelum berjalan ke arah rak yang menjual berbagai merek dan rasa mi instan. Orangtuaku langsung kembali sibuk bekerja tepat setelah upacara kelulusanku selesai, sedangkan Tatiana akan menginap di rumah temannya. Aku menjadi merasa sangat malas untuk pulang ke rumah.
Baru saja kulangkahkan kedua tungkai kurusku ke arah kasir, ekor mataku menangkap seseorang berbalur hoodie biru dongker sedang menyeruput kuah mie cupnya yang ketiga. Bisa kulihat samar pantulan wajah orang itu di kaca jendela minimarket.
“Dorothea?”
Benar saja, perempuan berhoodie itu menoleh dan menurunkan tudung kepalanya—memperlihatkan jelas wajah yang sedang kepedasan. “Hei, minum!” Kutunjuk botol mineral dingin yang ada di samping tangan kanan Dorothea.
Usai membayar lima bungkus mi instan dan empat kaleng soft drink, aku menghampiri lagi tempat Dorothea yang kini membuka mie cup keempat. “Bibirmu akan lebih besar dari mata kalau kamu tidak minum,” ujarku bersungguh-sungguh sembari meraih botol mineral Dorothea dan membukakannya untuk temanku itu. “Kamu ini kepedasan atau menangis?”
Dorothea tersedak di sela-sela meminum air mineralnya. “Hah?”
Aku menunjuk tenang ke arah sepasang matanya yang merah dan sedikit bengkak. “Kalau kepedasan yang jadi merah bibir, kan, kok...?”
“Oh—haha ... iya pernyataan cintaku habis ditolak seseorang,” kekeh Dorothea sembari melahap sisa mi yang masih setengah cup.
Kedua mataku membulat tidak percaya seorang pendiam yang kukira hanya memikirkan nilai bagus baru saja menyatakan perasaan, walaupun ditolak. ‘Jadi dia sengaja makan mi pedas supaya orang lain tidak melihatnya habis menangis,’ batinku tidak bisa melepas tatapanku dari arah pandang Dorothea ke makanannya.
“Jangan merasa kecil hati, yang sudah kamu lakukan itu berani sekali, Tia!”
Dorothea balas melihatku dengan mulut yang masih sibuk mengunyah. Begitu tenggorokannya menelan barulah ia berbicara, “Kamu sendiri bagaimana?”
“Ada apa denganku?” tanyaku balik, tidak mengerti.
Dorothea menanyakan apakah aku telah mengumpulkan keberanian untuk mengakui rasa sukaku pada Marjorie—yang besok akan berangkat ke Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia. Kujawab bahwa Marjorie sudah kuanggap sebagai kakak perempuan sendiri. Jadi, kepergiannya membuatku sedih karena tidak ada lagi yang kusapa di jendela kamar seberang.
“Kenapa waktu perpisahan sesama murid kamu menolak pelukan Marjorie dan malah menjabat tangannya?”
Aku menumpukan dagu pada lipatan kedua tanganku di atas meja. Kutatap kosong jalanan di malam hari yang mulai sepi kendaraan. “Kami bukan akan kecil lagi yang bisa sebebas itu berekspresi.”
“Menurutku kamu tipe orang yang sangat ekspresif,” ujar Dorothea. Perempuan itu mengulas senyum kecil. Tampaknya Dorothea sudah tidak lagi merasakan pedas di lidah karena ia kembali berkata, “Mungkin karena kamu sudah teralu lama menutup diri sejak pertama kali bertemu Majie, jadi sekalinya ada laki-laki lain bisa lebih dekat dengannya—wajahmu langsung menjadi keruh dan terlihat jengkel.”
“Terima kasih untuk deskripsinya,” jawabku kesal kepada Dorothea yang sudah berbalik badan dan melambaikan tangannya singkat.
August 19th, 2006
Terhitung genap tiga tahun hubunganku sebagai kekasih Dorothea berjalan. Di hadapan seluruh anggota keluarga dan teman-teman, Kutekuk salah satu lutut tanpa melepas kontak mataku dengan Dorothea yang masih terduduk mematung di kursinya. Kulihat netra hazel cantik kekasihku itu yang bergulir pelan mengikuti arah tanganku yang mengeluarkan sebuah kotak berwarna navy beludru.
Di balik tutup kotak itu, terpasang apik cincin pernikahan milik mendiang nenekku. Cincin perak dengan batu ruby. “Tia, apa kamu bersedia bersamaku selama sisa waktu nanti?”
Bibir Dorothea tertarik membentuk senyum manis dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Ia menyambut tanganku yang bebas untuk memasangkan cincin itu ke jari manisnya. Selama memasangkan benda kecil peninggalan nenekku--yang memiliki kisah cinta manis dengan kakek—pada jari Dorothea, aku bisa mendengar deru napas Dorothea yang tidak beraturan. Namun, gemuruh detak jantungku berdentum tidak karuan seolah berteriak tindakanku ini tidak benar. Ada keraguan besar saat aku mengusap cincin yang sudah tersemat di jemari kekasihku di tengah seruan heboh dan ucapan selamat dari seluruh anggota keluarga. Berkali-kali kukatakan pada diri sendiri untuk tidak menoleh ke arah Marjorie, ataupun Louis dan Este.
Setelah makan malam bersama selesai, Dorothea mengajakku ke mobil untuk berbicara. Dorothea meminta maaf karena telah berbohong di depan keluargaku dengan menerima lamaran padahal jauh di dalam lubuk hatinya, ia masih belum mencapai tujuan hidupnya.
Tidak lama aku mengutarakan juga perasaan gundahku saat melamar kepada Dorothea. Aku melihat Dorothea sebagai perempuan kuat yang sangat peduli pada keluarganya, Este, dan bekerja dengan sangat tekun. Aku akan merasa sangat bersalah jika Dorothea tidak bisa memenuhi impiannya, tetapi di sisi lain aku tidak ingin muncul kesempatan dimana Dorothea pergi.
“Simpan dulu, ya,” lontar Dorothea tersenyum simpul sembari menjejalkan cincin tadi ke telapak tangan kiriku. “Kamu harus bisa lebih sukses dari apa yang kamu janjikan ke Mama.”
August 19th, 2003
“Aku ... mau kita lebih dari teman, Tia--” Aku meneguk ludah melihat Dorothea berhenti menjilat es krimnya untuk menatapku dengan sorot terkejut dan bingung. “Ka—kalau kamu tidak keberatan,” lanjutku sembari menggaruk belakang telingaku yang tidak gatal sama sekali.
Tanpa kuduga Dorothea menjawab, “Iya, boleh.”
“Ya-yang benar, Tia?” Kedua mataku membelalak tidak percaya mendengar jawaban perempuan itu. Dorothea tertawa jenaka, lalu mengangguk tegas.
Aku bertanya lagi padanya haruskah aku memanggilnya dengan nama berbeda karena kini kami menjadi sepasang kekasih. Dorothea meledekku yang memiliki banyak permintaan padahal belum genap lima menit kami berpacaran. “Mulai sekarang aku panggil kamu Dori, ya!”
Seketika senyum di wajah Dorothea sirna digantikan sorot mata tajam dan suara yang meninggi ketika bertanya, “Kenapa harus memanggilku Dori?”
“Aku ingin kita menjadi lebih dekat, melebihi---”
“Melebihi persahabatanku dengan Augustine Howard?” Aku kaget mendengar Dorothea menyebut nama asli perempuan tomboy itu, untuk pertama kalinya. “Kalau kamu ingin menjadi pacarku hanya untuk merasa dihargai, lebih baik tidak usah, aku tidak ingin berpacaran dengan orang yang tidak bisa menghargai dirinya sendiri.”