Khalisya bertanya,"Ketiga adik sepupumu sifatnya seperti apa?"
"Mereka manja," kata Bee."Mereka kurang mandiri. Apa-apa harus diarahkan dulu. Itu kata ibuku."
"Untungnya aku enggak, ya. Aku enggak pernah digituin sama Mama Ros. Kamu pasti sudah tahu dari VITTO."
"VITTO pernah memberitahuku, kok. Aku juga enggak suka ngelihat anak manja, cara bicaranya sok dan apa-apa dimanja karena uang."
"Mereka dimanja karena apa?"
"Mereka dimanja karena uang. Enggak seperti aku. Aku mana pernah. Pastinya aku dimarahi. Apalagi dimarahi sama ayah. Kamu tahu kan, ayahku galak, sama sifatnya yang bertampramental?"
"Iya."
"Dipikir-pikir, enak seperti ini. Biasa-biasa saja. Enggak disayang pun sama dua tanteku aku enggak masalah."
Bee seperti yang sebelumnya. Ia tak disayang oleh kedua tantenya di pihak ibunya maupun tante dan kedua budhenya dari pihak ayahnya. Ia serasa seperti orang lain di keluarganya dan tak ada sama sekali yang menyayanginya. Anak-anak tante dan budhenya sering meninggi-ninggikan derajat anaknya dengan dirinya. Bahkan pernah disuruh seperti mereka. Ia tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Benar ia culun, bodoh dan tidak bisa seperti mereka. Tetapi ia tetap seperti dirinya sewaktu diajarkan oleh orang tuanya agar hidup tidak manja dan tidak sombong seperti mereka. Hidupnya lebih dari cukup. Ibu pernah memberitahunya. Ia masih punya bakat dan hidup layak. Lihatlah ke bawah, masih ada anak-anak seusianya yang masih di bawahnya, tidak hidup layak seperti dirinya. Ia harus selalu bersyukur. Ia diejek sekalipun, ia akan tetap cuek dan tidak peduli. Sekali ia hidup di atas bahkan lebih, ia tidak akan berubah. Hidupnya tidak mewah, tapi hidup dalam kesederhanaan. Tak ada makanan mewah seperti halnya burger dan pizza yang pernah dibelikan oleh pamannya. Bila pamannya pergi ke Malang karena urusan atau jalan-jalan bersama dua anaknya. Kerap kali membawakan makanan tiap kali pulang. Adik bungsunya paling menyukai makanan penuh dengan keju Mozarella—Lansacna, selain pizza dan burger yang harganya mahal sekalipun. Yang menurut pamannya dengan sekali jentikan dibelinya. Ibu pernah mendapatkan rezeki, sisa uangnya yang pernah dibelikan pizza, bukan pizza asli melainkan pizza rumahan kebanyakan. Rasanya? Rasanya enak-enak saja. Yang penting bisa makan makanan enak.
"Hidup sederhana seperti ini. Jalan-jalan sekadarnya atau waktu kepingin saja."
Khalisya mengangguk. Dia menyukai sisi sederhana sang pengarangnya ini."Yang terpenting jadilah dirimu sendiri, Bee. Ingatlah sewaktu kamu dulu hidupmu susah. Aku yakin, Tuhan akan selalu memberikanmu rezeki dan hidup yang baik."
"Ya, amin. Terima kasih."
Khalisya turun dari rak bagian bawah lemari.
"Aku harus kembali. Aku akan ke sini lain waktu," katanya, melambaikan tangan kanannya."Bye!"
"Bye!" ia membalas lambaiannya.
Tubuh Khalisya dipenuhi oleh cahaya terang. Seperti mengisapnya. Cahaya itu meredup digantikan lemari itu kosong. Ia tersenyum lalu berpikir. Hidupnya memang biasa-biasa saja, tanpa orang terdekatnya. Mungkin tahun selanjutnya bahkan di masa depan, ia bisa belajar hidup tanpanya, belajar move on. Sampai kapan pun ia akan terus mengingatnya. Meraih handpone mungilnya lagi, menuliskan sebuah chat. Chat-nya itu sudah lama diketiknya. Dikirimnya.
Tante, kemarin suamimu belikan pizza buat di rumah. Dedek kemarin yang minta. Dibelikan dua kerdus panjang. Terus ya, kemarin sore, Caca bingung soalnya dikasih surat pernyataan dari pihak Kampus UMM. Eh, dia malah tanya ke Tante Mamanya! Dee agak marah sama dia. Kok ya enggak ngomong ke ibu (padahal budhenya sendiri). Aku masih ingat betul, Te, waktu Tante WA ke ibu dulu waktu mau daftarin Caca ke UMM... Kan, Tante bilang, ibu jadi gantinya Tante sebagai walinya.
Terkirim:
07:04:14
07-01-2022
—————
Pengiriman telah gagal
Tante Lidyawati
085xxxxxxxxx
Setelah mengirim pesan kepada tantenya, handpone-nya diletakkan kembali di rak seraya menutup novelnya.
End