Lagu berjudul “Sampai Jumpa” milik Endank Soekamti mengalun penuh haru di acara pentas seni yang digelar di sekolah Sandi. Awalnya, dia menyangsikan kemampuan sang kakak dalam memberikan masukan sekaligus ide brilian untuk acara akbar ini. Akan tetapi, Ravi mampu membuktikannya dengan menjadi salah satu pengisi acara. Walaupun tak banyak yang Ravi berikan, setidaknya itu sudah lebih dari cukup bagi Sandi.
Petikan gitar yang berasal dari Ravi berhasil membuat para siswa ikut menyanyikan lagu yang tak asing di telinga mereka itu. Ravi sengaja tampil sebagai seorang penyanyi solo di akhir acara. Suaranya memang tidak sebagus para penyanyi kondang, tetapi sekali lagi, apa yang dilakukan Ravi benar-benar membuat Sandi bersyukur karena memiliki kakak sepertinya.
“Gila si Ravi! Dia sok tebar pesona gitu, Ka. Coba kamu lihat, deh,” oceh Karla, mengamati Ravi yang masih berada di atas panggung. Apa pun yang dilakukan oleh cowok itu seakan membuat Karla ingin berkomentar.
“Mahasiswa seni, lho. Nggak bisa diragukan lagi, itu.” Danika cekikikan menanggapi. Rasanya lucu saja setiap kali mendengar ocehan Karla.
Beberapa saat kemudian, Ravi sudah tak terlihat di atas panggung. Tugasnya saat ini sudah selesai, tinggal membereskan hal-hal penting yang sempat tertunda. Mungkin saja memulihkan hubungan persahabatan dengan Danika juga termasuk di dalamnya, bahkan menjadi poin utama yang ingin Ravi lakukan.
“Aduh, sorry banget aku telat. Tadi motor mogok,” kata Jaka yang tiba-tiba datang dengan napas terengah-engah.
“Udah kelar acaranya. Lagian tadi aku ajakin bareng malah nggak mau,” celetuk Danika, melipat tangannya di dada.
“Udah, nggak apa-apa. Nggak aneh juga lihat Ravi manggung mah. Untung aja ini yang nonton pada nggak muntah karena dia.” Lagi-lagi Karla berkomentar konyol mengenai Ravi. Sontak ledakan tawa Danika terdengar.
“Udah, ah. Dari tadi ngejek Ravi mulu, nih. Mending kita temuin dia di sana, yuk!” Danika meliarkan pandangan, memastikan kalau Ravi masih ada di dekat panggung.
“Ciee, nggak terima nih, pacarnya diejek,” goda Karla. Namun, Danika tak terlalu menanggapinya dengan serius. Ketika langkahnya semakin dekat dengan Ravi, tiba-tiba Danika bergeming. Dari jarak ini dia bisa melihat hubungan persaudaraan yang begitu akrab antara Sandi dan Ravi. Dari sisi lain, ayah mereka juga terlihat hadir di sana. Samar-samar Sandi menyeka sudut matanya. Danika paham, adik Ravi satu-satunya itu merasa begitu bangga pada sang kakak.
“Kak Danika, sini!” Sandi memanggil, setelah mengakhiri pelukan persaudaraannya dengan Ravi.
“E-eh? Iyaa.” Danika mulai gelagapan. Di kepalanya, ia sibuk merangkai kalimat apa yang akan diucapkan pada mereka, khususnya Ravi. “Apa kabar, Om? Lama nggak ketemu,” sapanya, menyalami ayah Ravi.
“Alhamdulillah, baik. Danika sendiri apa kabar?” Pak Gio balik bertanya. Kegugupan Danika semakin menyerang ubun-ubunnya.
“Alhamdulillah juga, Om.”
“Ah, syukurlah. Ya udah, Ayah ke mobil duluan, ya,” pamitnya, “Danika, Om duluan, ya.” Pandangan Pak Gio beralih pada Danika, kemudian beringsut meninggalkan mereka. Danika hanya tersenyum malu sambil mengangguk menimpali.
Kini hanya ada Ravi, Sandi, dan Danika di antara ramainya para siswa. Jaka dan Karla, sepertinya tidak begitu tertarik untuk menemui Ravi. Buktinya saja mereka lebih memilih berkuliner ke setiap stan yang ada di sana.
“Makasih udah dateng ke sini, Kak.” Sandi tersenyum penuh ke arah Danika. “Kak Ravi, aku rasa udah waktunya Kakak jujur sama Kak Danika. Nggak baik lho, bohongin orang terus,” ujar Sandi kemudian.
“Jujur? Soal apa?” Mata hitam Danika menyusuri wajah Sandi, mencari jawaban dari pertanyaannya. “Ada apa, Rav?” Dia mengalihkan pandangan pada Ravi yang menggaruk tengkuk bingung.
“Ada banyak hal yang selama ini aku sembunyiin dari kamu.” Ravi tersenyum tenang, walau lawan bicaranya sudah mengerutkan kening berulang kali.
***
Danika merasa degupan jantungnya sudah tidak senormal biasa. Dia baru saja selesai memutar video Ravi yang sengaja dibuat untuknya dan dikirimkan oleh Esa melalui Jaka tempo hari. Sebenarnya, ini sangat terlambat karena seharusnya Danika langsung memutar video itu sebelum Ravi mencarinya ke rumah. Bukan Danika namanya jika selalu on time ketika dikirim chat melalui WhatsApp.
Handphone jadul yang sering menjadi bahan ledekan teman-temannya, kini sudah jarang Danika pakai. Namun, bukan berarti dia akan melupakan handphone penuh kenangan itu begitu saja. Danika hanya akan memakai handphone baru untuk sekadar mengirim dan menerima WhatsApp, sesuai janjinya pada Ayah waktu itu. Selebihnya, handphone ganjelan pintu masih menjadi barang antik kesayangan Danika.
Pekerjaannya sehari-hari sebagai mahasiswa sudah cukup menguras waktu Danika. Belum lagi dia yang memang menjadi inti bagian dari komunitas sastra di kampus, mengharuskannya selalu berkutat dengan berbagai kesibukan.
“Ravi nggak bohong. Dia bener-bener jujur sama aku,” gumam Danika, masih tak bisa melepaskan perhatiannya dari video yang sengaja diputar berulang kali. “Tapi selama ini dia udah bohongin aku soal kuliahnya.” Danika mendesah, memorinya kembali berputar pada sore tadi.
Selepas acara di sekolah Sandi, Ravi mengajak Danika berbincang serius seperti yang Sandi usulkan. Awalnya Danika pikir kalau Ravi hanya akan menceritakan alasannya pergi setelah kejadian “baku hantam” di rumah sakit itu. Ternyata perkiraannya salah. Ravi justru mengatakan bahwa dia sengaja membohongi orang-orang mengenai kuliahnya.
Pertama kali mendengar pengakuan ini, Danika merasa terkejut bukan main. Sampai akhirnya sebisa mungkin tetap mendengarkan apa pun yang Ravi katakan. Setiap orang pasti memiliki alasan atas apa yang mereka lakukan. Begitu pula dengan Ravi, cowok yang sudah mengangkat harga dirinya dengan mengakui sebuah kebohongan. Di satu sisi, Danika tak terlalu mempermasalahkan kebohongan Ravi selama ini. Namun di sisi lain, ada ketakutan yang menerobos celah-celah hatinya. Tentang Ravi yang mungkin berniat pergi meninggalkan Bandung seperti dulu.
Gambar sebuah aplikasi e-mail muncul pada layar ponselnya. Menandakan jika ada satu pesan yang menyesaki deretan pesan lainnya, kemudian disusul dengan e-mail kedua yang datang. Danika yang awalnya terfokus pada video Ravi, kini beralih pada notifikasi e-mail itu. Sebelum membuka pesan, Danika melirik jam dinding yang berada tak jauh dari tempatnya saat ini. Pukul 22.10 WIB.
Makasih banyak buat waktunya. Semoga kita (kembali) bahagia.
Sederet kalimat semacam itu terpampang pada layar. Sekeras mungkin pikiran Danika berusaha mencerna maksud dari kalimat yang dikirimkan atas nama officialsendu@gmail.com. Satu kata yang membuat Danika tertegun adalah kata “kembali” yang dibubuhi tanda kurung. Apakah ini artinya sang pengirim pernah menciptakan kebahagiaan bersama Danika atau … ah, Danika sulit melakukan diskusi dengan kepalanya sendiri.
***
“Awaas, oi!” teriak Danika, sibuk memencet klakson karena seseorang menghalangi jalannya. Pagi ini dia memang terlambat berangkat kuliah karena semalaman memikirkan ucapan Ravi.
“Stop!” Orang itu berteriak, menyadari motor Danika dengan bebas menerobos gerbang kampus. Akan tetapi, tabrakan itu tak bisa dihindari. Ban motor berputar-putar di atas, sedangkan sang pemilik mengaduh kesakitan di bawahnya. Danika terjatuh tepat di area kampus, hingga beberapa mahasiswa yang melintas, menjadikannya bahan tontonan konyol pagi hari.
“Aduh, motor aku benjol.” Dalam situasi memprihatinkan begitu saja, Danika masih mengatakan hal-hal konyol.
“Kamu nggak apa-apa, Ka? Sorry banget, aku kira kamu nggak akan nabrak begini,” kata orang yang menjadi penyebab Danika terjatuh.
“Nggak apa-apa jidatmu! Lihat, nih! Motor aku sampai benjol begini,” balas Danika sambil berusaha bangkit. Celananya terlihat kotor, ditambah earphone yang melilit ke sembarang arah. “Kamu ngapain pagi-pagi udah ada di sini? Nggak ada jam kuliah, ha?”
Ravi, orang yang ditanya oleh Danika itu malah cekikikan. “Aku bolos hari ini. Soalnya aku pengen bahas sesuatu sama kamu.”
“Penting, nggak? Kalo enggak, mending balik, deh. Aku ada mata kuliah pagi ini, mana udah telat, lagi.” Danika mengomel tanpa peduli siapa lawan bicaranya. Parahnya lagi, dia berlalu meninggalkan motor yang masih “benjol” akibat kejadian tadi. Ravi melongo melihat sikap Danika, tetapi tak lama malah tersenyum sendiri. Kehadirannya pagi ini benar-benar tidak memengaruhi semangat Danika mengikuti perkuliahan.
***
Ketukan pulpen pada buku terdengar cukup jelas. Beberapa mahasiswa yang duduk di dekatnya sesekali melirik, memastikan kalau dia masih terjaga. Kebiasaan buruk yang kadang terjadi saat mata kuliah berlangsung adalah tidur. Danika sang mahasiswi ajaib dengan segudang keunikannya itu terlihat murung di tempat duduk. Di sebelahnya ada Jaka yang tak henti memberi isyarat agar Danika berhenti memainkan pulpen. Namun, isyarat itu tidak terlalu dipedulikan. Danika terus memainkan pulpen sampai satu SMS dari Karla masuk pada handphone jadulnya.
Miss Karla
Aku WA beberapa kali, tapi nggak ada yang delive satu pun. Nggak ada cara selain hubungin lewat SMS kayak gini. Serasa zaman Meganthropus, tau, nggak! Aku tunggu di basecamp.
Dari kalimatnya, jelas saja Karla mengomel pada Danika yang lagi-lagi mempermasalahkan tentang handphone. Danika mengedikkan bahu sebelum membalas SMS Karla. Kemudian pandangannya beralih pada Jaka yang terlihat begitu khusyuk memperhatikan penjelasan dosen. Sangat kontras dengan Danika yang memilih mengeluarkan sebuah kertas origami, menuliskan sesuatu di sana, lalu melipatnya menjadi sebuah pesawat mainan. Danika tetap tak pernah berubah.
***
Kertas-kertas berisi ungkapan imajinasi itu memenuhi sebagian besar meja yang ada di ruang sekretariat komunitas sastra. Pukul sebelas siang, Danika baru saja keluar dari kelas. Mengakhiri masa-masa membosankannya karena terjebak dalam mata kuliah yang tidak disukai. Pandangan Danika memendar ke sekitar, seperti sedang mencari sesuatu.
Tak berapa lama matanya tertuju pada amplop cokelat yang tergeletak di samping jendela. Langkahnya beringsut mendekat, di bagian depan amplop terdapat penggalan puisi yang pernah dibacanya tempo hari dengan inisial penulis “RG”. Lagi-lagi inisial itu yang Danika dapatkan.
“Parah, Ka! Udah kesiangan, nggak konsen pula di kelas.” Ucapan itu mengalihkan perhatian Danika.
“Ngantuk , pagi-pagi udah nabrak orang. Terus, inisial ini kok ada di sini, sih? Apa jangan-jangan, si RG ini kamu, ya? Ngaku nggak, Jak!” selidik Danika, memasang tampang serius.
“Dih, bukan. Kok jadi aku, sih?” decak Jaka, menaruh tasnya di dekat pintu, “Eh, beneran nabrak orang? Terus, orangnya gimana? Patah kaki? Patah tulang?” Jaka melanjutkan dengan segudang pertanyaan.
“Enggak. Tapi dia patah hati.” Danika mengangguk-angguk serius.
“Haha, masa ditabrak jadi patah hati? Serius dong, Ka!” decak Jaka, pipinya terasa pegal karena terus tertawa.
“Kamu tuh nanya, tapi nggak percaya.” Terdengar dengkusan dari Danika. “Ya ampun! Aku lupa, Jak!” serunya kemudian, membelalakkan mata.
“Lupa? Apaan?”
“Orang yang aku tabrak itu Ravi! Iya, si Ravi!” pekiknya, buru-buru memasukkan amplop berinisial tadi, lantas berlari keluar ruangan. Sepanjang menyusuri koridor, napas Danika terengah-engah. Hatinya merutuk karena bisa melupakan Ravi yang sudah ditabraknya pagi tadi. Bagaimana kalau seandainya Ravi terluka, tetapi Danika tidak sempat mengetahuinya? Ah, kacau!
“Cari siapa? Kok lari-lari? Mending minum dulu.” Sebuah botol minuman terlihat disodorkan dari arah samping.
Mata Danika terpusat pada botol yang disodorkan, lebih tepatnya tangan sang pemberi. “Ngeselin! Kamu masih di sini, ternyata!” umpatnya memukul lengan Ravi. Akhir-akhir ini, Ravi memang sering menemui Danika. Mereka yang pernah saling menjauh, perlahan tapi pasti malah semakin dekat. Dari dekat parkiran, seseorang memperhatikan keduanya. dia tersenyum dan berharap akan selalu melihat kedekatan itu selamanya.
***
Kecanggungan seolah-olah menjadi raja pada pertemuan kali ini. Mereka saling terdiam satu sama lain, tidak ada yang berani mengawali pembicaraan. Sekian lama tak pernah bersama, rupanya cukup memengaruhi kehangatan di antara keempatnya. Dua botol minuman pun masih tersegel rapi, bahkan tidak tersentuh sama sekali. Benar-benar keadaan yang asing.
“Guys, maafin semua keegoisan dan kesalahan aku selama ini. Aku udah bikin kalian sakit hati, bahkan mungkin saling mengasingkan diri. Di sini aku bener-bener tulus minta maaf, terutama sama kamu, Kar. Aku udah rusak kebahagiaan kamu sama Gani. Padahal seharusnya aku nggak pernah ngelakuin hal bodoh kayak gitu. Kamu mau kan, maafin aku, Kar?” ujar Esa, tetapi tidak direspons sama sekali.
“Selama kita nggak sama-sama, aku banyak belajar tentang kehidupan. Aku juga membandingkan hari-hari yang dijalani ketika ada kalian dan enggak. Sumpah, rasanya beda! Tadinya aku pikir bisa mengubah takdir yang aku terima. Aku bisa dapetin hati Karla, kayak Ravi yang dapetin hati Danika. Tapi semakin aku coba, semakin besar pula rasa bersalah itu. Nggak seharusnya aku berpikir picik cuma buat dapetin apa yang aku mau.”
Esa tertunduk di hadapan ketiga sahabatnya yang masih bergeming mendengarkan. Di samping Danika, Karla malah membuang muka. Dia tak ingin melihat wajah Esa yang menyedihkan pada saat meminta maaf barusan.
“Kalo setelah ini kamu mau benci sama aku, aku terima, Kar. Aku pantas dibenci karena kelakuan aku sendiri.” Isakan penuh penyesalan pun pecah. Esa sudah tidak bisa menahan sesak yang terus merambati hatinya.
“Udah, lah. Aku dan yang lain udah maafin kamu, Sa. Nggak perlu dibahas lagi. Setiap orang punya kesempatan membuat kesalahan.” Ravi menyentuh pundak Esa sambil tersenyum. Keakraban di antara mereka kembali terlihat kali ini, meski pernah ada keretakan yang terjadi.
“Makasih banyak, ya. Aku terharu punya sahabat kayak kalian. Bener kata Ibu waktu masih ada. Ibu bilang, jangan sampai aku kehilangan kalian bertiga. Ibu juga seneng kalo aku barengan sama kalian terus.” Secara panjang lebar, Esa berkata-kata. Danika dan yang lainnya hanya tersenyum penuh kebahagiaan karena persahabatan yang pernah hancur itu akhirnya kembali baik-baik saja. Mereka saling berpelukan satu sama lain, melebur semua rasa sakit hati yang pernah ada.
***
“Curut, curang, nih! Iseng banget tuker kartu orang,” omel Esa, tak terima kartu UNO-nya zonk karena ditukarkan oleh Karla.
“Ya lagian, kamu mah kayak nggak niat main. Banyak ngelamun,” celetuk Karla, masih asyik mengecek kartu UNO mana yang akan dia keluarkan untuk mengalahkan ketiga sahabatnya.
“UNO!” seru Ravi tertawa. Dia mengacak-acak kartu yang masih tersisa, kemudian mencolek bedak basah yang sengaja disediakan bagi yang kalah.
“Yah! Ravi menang lagi. Muka aku jadi kayak donat begini.” Hidung Esa mengembang.
Pukul lima sore, mereka masih asyik di basecamp. Sudah bukan hal aneh ketika keempatnya bersama, pasti akan lupa waktu. Bukan hanya lupa waktu, tetapi juga lupa kalau ada hal penting yang harus diselesaikan.
“Aku nggak nyangka kita bisa kumpul kayak gini lagi.” Tiba-tiba Karla menyela dengan mengatakan hal semacam itu. Suasana berubah hening.
“Aku juga nggak nyangka. Selama ini aku udah banyak bohongin kalian, terutama Danika.” Mata Ravi tertuju pada Danika yang menyeringai. “Ternyata cinta udah bikin kita kayak bocah. Aku sendiri malah sulit ngendaliin diri semenjak Danika tampar aku malam itu.”
Esa melongo, lalu bertanya, “Nampar? Danika seriusan nampar Ravi?”
“Iya, aku nampar dia. Soalnya waktu itu aku refleks, Sa. Aku takut Ravi nggak bisa tahan diri buat suka sama aku lebih dari sahabat. Sejujurnya aku juga kepikiran omongan Esa waktu pertama kita kumpul itu.” Pandangan Danika tertuju pada mereka satu per satu.
“Ah! Ini semua gara-gara aku, kan? Maafin, ya,” ujar Esa, tertunduk. Dia tidak menyangka jika ada drama tamparan antara Danika dan Ravi.
“Udah, aku udah lupain itu semua. Mulai sekarang kita nggak boleh saling rahasia-rahasiaan. Harus jujur satu sama lain.” Sebuah senyuman mengembang di wajah Ravi.
“Setuju!” seru yang lain, begitu kompak.