Seminggu sudah Danika menanti balasan pesan dari Ravi. Namun, semuanya hanya sia-sia. Ravi tak pernah memberi tahu keberadaannya sedikit pun, entah melalui Karla atau Esa. Ravi benar-benar hilang tanpa kabar.
“Danika! Cepet buka pintunya!” Karla menggedor pintu cukup keras. Sore-sore begini, dia malah membuat Danika semakin tidak paham dengan hidupnya. Dikelilingi orang-orang aneh bin ajaib, tetapi bodohnya Danika tetap menyayangi mereka.
“Apaan, sih? Kayak mau BAB aja kamu teh,” kata Danika malas sambil bersandar pada pintu kamar.
“Kamu kudu ikut! Ayo, buruan!” Tanpa memberikan alasan yang jelas, Danika ditarik paksa oleh Karla. Motor hitam yang dikemudikan oleh Karla melesat meninggalkan halaman. Danika berdecak, mengira jika Karla sedang kesurupan.
Setengah jam perjalanan, motor tadi berhenti di parkiran rumah sakit besar di Kota Bandung. Danika mengerutkan kening, menerka maksud Karla membawanya ke tempat menyeramkan itu. Sejak kecil, Danika sangat benci dengan rumah sakit. Sementara itu, di hadapannya Karla sigap melepas helm dan menarik Danika menyusuri koridor rumah sakit. Napasnya terengah di antara beribu tanya yang hinggap di kepala Danika.
Tiba-tiba langkah Karla berhenti. Dari kejauhan, Danika bisa melihat Esa tengah duduk seorang diri di sana seraya memeluk lututnya.
“Esa??” Danika berlari, kemudian bersimpuh di hadapan Esa. Tangan sahabatnya itu terasa dingin, diliputi ketakutan yang begitu dirasakan oleh Danika.
“Ibu Esa koma.” Karla menjawab dengan suara bergetar. Esa langsung memeluk keduanya penuh tangisan.
“Sakit apa?” tanya Danika mengelus punggung Esa.
“Kanker usus besar.” Kalimat sesingkat itu harus berlomba dengan sesak yang ada. Esa terus menangis meluapkan kesedihan yang tak pernah diharapkan. Mendengar penuturan Esa, Danika jadi teringat pada mendiang ibu Ravi.
Suasana sedih terasa mengisi lorong di sekitar mereka. Karla, Esa, dan Danika duduk berjajar dengan bersandar pada tembok. Selama menunggu kedatangan ayah Esa, pikiran Danika tidak tenang. Dia benar-benar tidak menerima kabar dari Ravi. Pikirannya bercabang ke mana-mana hingga Danika frustrasi sendiri.
“Ka, dapet kabar dari Ravi, nggak?” Seolah tahu apa yang sedang dipikirkan Danika, Karla melemparkan pertanyaan itu.
“Enggak. Udah lama aku nggak tau kabar dia.” Sebisanya Danika bersikap biasa di hadapan Karla dan Esa.
“Kalo kamu?” Mata Karla beralih pada Esa, lantas dibalas dengan gelengan. “Dia ke mana sebenernya, ya?”
Pertanyaan Karla menguar di udara tanpa direspons oleh siapa pun. Mereka sama-sama sibuk dengan pikiran sendiri. Sesekali Esa melirik pada Danika yang terlihat sangat berbeda dari biasa. Luarnya memang tetap ceria, semangat, dan “Danika banget”. Namun, Esa merasa ada sesuatu yang sedang tersembunyi di dalam jiwa Danika.
“Sa! Sorry, aku telat!” Suara seseorang membuat Danika terbangun karena sangat mirip dengan suara Ravi. Namun ternyata itu Gani, pacar Karla.
“Gimana keadaan ibu kamu?” tanya Gani memandang mereka satu per satu.
“Belum ada perkembangan dari tadi.” Esa bangkit memeluk Gani. Kehilangan seorang ibu adalah hal yang tak ingin dia rasakan. Melihat Ravi dahulu saat ditinggal ibunya saja, perasaan Esa sudah berantakan, apalagi jika hal itu terjadi pada dirinya sendiri.
“Pasti baik-baik aja. Nggak ada yang bakalan lebih parah dari ini.” Gani menepuk punggung Esa sebagai cara menguatkan. “Eh, Ravi mana? Lama banget aku nggak ketemu sama dia,” lanjut Gani mengarahkan pandangan pada Danika.
“Kenapa? Aku nggak tau dia di mana,” kata Danika cuek.
“Kali aja kamu dikabarin sama dia. Kamu kan paling de–”
“Eh, aku ke toilet dulu, ya. Kebelet.” Ucapan Gani sengaja dipotong dengan alasan itu. Danika bergegas mencari toilet, padahal sama sekali tak ingin buang air.
Dengan cepat Danika beranjak menyusuri koridor rumah sakit seorang diri. Danika berhenti menatap sekitar penuh pertanyaan. Ravi menghilang setelah malam itu tanpa kepastian kabar. Mungkinkah salah satu kamar di sini tengah merawatnya? Cih! Danika segera merutuki pikiran buruknya sendiri.
“Danika!”
Kepala Danika memutar ke arah suara, ternyata Gani. “Kenapa?” tanyanya.
“Kamu khawatir sama Ravi, kan? Tadi sebelum ke sini, aku ketemu sama dia di jalan. Kayaknya dia mau ke Jogja lagi, deh.” Gani memberi informasi penting itu diselingi beberapa gumaman.
Kota pelarian Ravi saat SMA kembali disebut-sebut oleh Gani. Secepat kilat Danika berlari ke arah pintu keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Jantungnya berdegup tak beraturan, menyusuri halaman rumah sakit dengan cepat. Pada saat berada di bahu jalan, dia menghentikan sebuah angkot. Danika tak ingin Ravi kembali ke Yogya lagi. Baru beberapa minggu di Bandung, tetapi akan kembali ke sana? Ah, yang benar saja!
Mentari yang sebentar lagi akan tenggelam di peraduan, menjadi saksi saat langkah Danika terseok mencari keberadaan Ravi. Sialnya, dia tidak membawa handphone karena tadi Karla menariknya begitu saja. Danika tahu persis kalau Ravi tak akan tega meninggalkannya lagi. Sudah cukup tiga tahun terpisah dengan jarak puluhan kilometer. Jangan terulang untuk sekarang.
Danika berjongkok mengatur napas setelah berkeliling mencari Ravi. Satu hal yang belum dilakukan olehnya adalah bertanya pada petugas tentang jadwal keberangkatan kereta ke Yogya. “Keretanya sudah berangkat lima belas menit yang lalu,” kata petugas berusia sekitar 45 tahun itu begitu serius.
Remuk, hancur, nyeri hingga ke tulang. Danika melongo mendengar penuturan petugas tanpa ingin bertanya lebih banyak lagi. Kali ini dia benar-benar akan kehilangan Ravi, juga perasaannya selama ini. Bodoh! Seharusnya Danika lebih mengikuti apa kata hatinya dibanding memedulikan ucapan Esa saat itu.
***
“Puas kamu, Sa! Ravi udah pergi ke Jogja ninggalin aku, dan semua gara-gara kamu!” Emosi Danika benar-benar sudah ada di puncak kepala. Dia kembali ke rumah sakit hanya untuk menemui Esa dan mengumpatnya habis-habisan.
“Kenapa nyalahin aku? Ravi pergi karena kemauannya sendiri!” tandas Esa melepaskan cengkeraman Danika.
“Kenapa kamu seegois ini, Sa?” Danika menjatuhkan diri di hadapan Esa. Baru kali ini dia merasakan kehilangan yang teramat menyiksa.
“Harusnya aku nggak peduli sama omongan kamu waktu di kosan. Kamu nggak ngerti apa-apa soal perasaan aku sama Ravi, Sa!” tambah Danika, menangis sesenggukan.
“Nggak ngerti, katamu?! Aku kayak gini karena aku juga punya perasaan yang sama kayak Ravi! Aku sayang sama Karla lebih dari seorang sahabat! Aku sayang dia, tapi aku pendam semuanya. Karena apa? Karena aku menjunjung tinggi apa itu perjanjian. Dari awal kita sahabatan, kita sepakat bikin peraturan nggak boleh saling cinta satu sama lain.
“Tapi ternyata perasaan aku kalah sama Karla! Aku sakit nanggung semuanya sendirian cuma buat bikin persahabatan kita tetep utuh. Aku juga udah jelasin semuanya sama kamu waktu di kosan. Apa itu kurang jelas, Danika?” Esa mengakhiri ucapannya setelah merasa puas mengutarakan penyiksaan batin yang selama ini dialaminya seorang diri. Karla adalah seseorang yang selalu Esa sayangi dalam ikatan persahabatan. Dia sengaja mengatakan memiliki pacar seorang adik kelas hanya untuk menutupi rasa sakitnya.
Tanpa diduga, Gani mendengar semuanya dengan jelas. Tadinya dia berencana untuk pamit pada Esa karena Karla sudah mengeluh sakit perut di parkiran. Perasaan Gani campur aduk. Rasanya tak bisa menentukan sebuah pilihan, sekalipun pilihan itu akan membuatnya bahagia. Baginya, Esa adalah sahabat yang baik. Akan tetapi, bagi hatinya, Karla adalah satu-satunya orang yang bisa membuat hidupnya berwarna kembali. Gani tak tahu harus bersikap seperti apa pada diri dan hatinya sendiri. Semua terasa sulit, terlebih jika harus kehilangan Karla.
***
Danika menatap Karla penuh sendu. Rasa-rasanya tak tahu harus berbagi tentang kesedihan kepada siapa lagi. Semalam, selepas menemui Esa di rumah sakit, Danika meminta maaf pada Karla. Entah apa salahnya, tetapi Danika tetap ingin meminta maaf. Sebenarnya, Danika tak ingin menyalahkan Esa sepenuhnya, meskipun di lain sisi, dia tahu bahwa apa yang dilakukan Esa demi menjaga keutuhan persahabatan mereka.
Esa tak ingin segala hal tentang K’DER yang sekian lama dibangun akan hancur hanya karena sebuah perasaan. Akan hancur? Haha! Sejujurnya K’DER sudah hancur di tangan Esa sendiri. Lihat, betapa busuknya perasaan yang didasari dari persahabatan, bukan?
“Kar, buat kamu.” Selembar kertas origami diberikan Danika pada Karla siang itu. “Kamu tau kan, kalo Tuhan ciptain banyak hal di langit sana?” Pandangan Danika beralih pada langit dengan beberapa gumpalan awan.
“Kamu bisa ceritain semua kesedihan di kertas itu. Aku sering ngelakuinnya, Kar. Nih, pesawat aku udah jadi,” tambah Danika menunjukkan dua pesawat origami berwarna biru dan hijau. Masing-masing dari warna itu adalah kesukaan Ravi dan Danika.
“Semalam Gani bilang sama aku kalo Ravi ke Jogja lagi. Kamu nggak sedih?” Karla ingin memastikan saat melihat keceriaan tampak di wajah Danika. Dia memang belum tahu apa yang terjadi semalam antara Esa dan Danika di rumah sakit. Begitu pula dengan perasaan Esa padanya yang justru malah lebih dulu diketahui oleh Gani.
“Enggak. Nanti juga dia balik lagi. Emang kenapa harus sedih segala? Kita kan sahabat, jadi sejauh apa pun, pasti selalu terhubung.”
“Serius?”
“Heem. Kamu sendiri gimana, Kar? Pasti tersiksa karena orang yang kamu sayangin pergi lagi,” kekeh Danika.
“Hah, maksudnya?”
“Ravi. Emang siapa lagi? Kalian saling suka, kan? Buktinya waktu itu kamu bilang mau tagih janji dia.” Nada bicara Danika sedikit tertahan. Perasaannya terasa ngilu tak berbentuk, seakan sejuta kesesakan sedang menghantamnya.
“Kamu salah. Aku emang punya janji sama Ravi.” Karla membolak-balikkan kertas origami yang diberikan Danika. “Eh, ini aku tulis harapannya di sini?” lanjutnya, menunjuk pada origami.
“Iya. Bawel banget dari tadi nanya mulu. Cepetan tulis harapan di sana. Nih, pulpennya aku kasih.”
Karla menuruti perintah Danika tanpa memprotesnya lagi. Sebuah harapan dia tulis dengan penuh permohonan. Setelah selesai, dia mengubah bentuknya menjadi pesawat kertas kemudian menarik tangan Danika untuk segera menerbangkan di halaman belakang. Pesawat itu terbang ke angkasa, membawa banyak harapan dari Danika dan Karla.
Danika pun tersenyum sembari berbisik di dalam hatinya, Cepet ke Bandung lagi, aku sayang sama kamu, Rav.
***
Semenjak mengetahui isi hati Esa, Gani menjadi banyak melamun. Hati dan logikanya berperang melawan kenyataan. Seorang sahabat menyayangi sahabatnya sendiri lebih dari apa yang dia lihat selama ini. Esa bukanlah orang asing bagi kehidupan Gani. Sebab, melalui Esa-lah dia bisa mengenal Karla.
Saat kelas 2 SMK awal mula Gani melihat Karla. Kebetulan hari itu ada acara bazar buku yang diperuntukkan bagi umum. Esa datang dengan Karla dan Danika. Kesan pertama yang dirasakan oleh Gani adalah degup jantungnya seperti sedang maraton. Karla memang cantik, tetapi bukan alasan itu semata yang membuat Gani menyukainya. Di mata Gani, Karla adalah sosok pengganti mendiang Rere.
Gani masih ingat bagaimana terpuruknya dia saat adik semata wayangnya itu dinyatakan meninggal. Rere tak hanya sekadar adik, melainkan sahabat yang selalu memberikan nasihat menenangkan meskipun usianya berbeda dua tahun. Kedatangan Karla pada saat rasa terpukulnya benar-benar membunuh, sontak membuat Gani kembali semangat. Menatap masa depannya tanpa terlalu meratapi kepergian Rere.
Mengapa ketika dia begitu menyayangi Karla, kenyataan pahit harus didengarnya? Esa yang telah mengenalkannya pada Karla, justru bertaruh perasaan sekian lama hanya demi membuatnya bahagia. Sedangkan jauh di sana, Esa terpuruk melihat kemesraan Gani dan Karla hingga berani membuat drama telah memiliki pacar seorang adik kelas. Bulshit!
Huh. Kepala Gani terasa sakit memikirkan semuanya. Pertentangan hati dan logika memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Hubungannya dengan Karla sudah menginjak satu tahun. Terlalu banyak kenangan manis yang sulit dilupakan, seandainya dia benar-benar melepaskan Karla untuk Esa. Ya, semacam lagu Slank yang judulnya “Terlalu Manis”.
Di tengah kegusaran, nama Esa terpampang jelas di layar handphone-nya. Sebelum mengangkat panggilan itu, Gani terlebih dahulu melongok ke arah jam yang menunjuk pukul dua siang.
“Halo, Sa? Kenapa?” Gani mengusap wajahnya kasar, berusaha mengenyahkan hal-hal buruk yang berada di kepalanya.
“Aku mau tanya, kamu pernah ketemu Ravi lagi, nggak?” tanya Esa, langsung pada intinya. Gani bergeming mendengar pertanyaan itu. Bagaimana bisa dia mengatakan pada Esa tentang keberadaan Ravi? Itu sama saja dengan mengingkari janji yang sudah disepakatinya dengan Ravi.
Please, jangan ngasih tau siapa pun tentang keberadaan aku yang sebenernya, Gan.
Kalimat permohonan itu bergentayangan di kepala Gani dengan begitu lincah. Masih jelas terlihat bagaimana raut wajah Ravi yang terpuruk setelah menceritakan tentang apa yang terjadi antara dirinya dengan Danika. Saat itu, Gani hanya bisa mengiakan permintaan sahabat pacarnya tanpa berani bertanya lebih banyak lagi.
“Gan, denger, nggak? Aku butuh bicara sama Ravi.” Suara Esa sedikit lebih meninggi dari sebelumnya. Gani terkesiap dan buru-buru merangkai jawaban di kepala.
“Aku nggak tau, Sa.”
“Serius?” Esa mendesak dengan halus, membuat Gani bergeming.
“Aku nggak tau, Sa. Serius, deh.” Gani bersikukuh memegang janjinya pada Ravi untuk tetap bungkam mengenai keberadaannya saat ini.
“Gan, ini soal Danika,” ujar Esa lagi.
Nama Danika yang disebut oleh Esa berhasil meluluhkan hati Gani. Akhirnya dia berkata, “Ravi ada di rumahnya. Aku terpaksa bilang kalo Ravi ke Jogja biar Danika nggak nyariin dia lagi. Sesuai permintaan Ravi sendiri.”
“Makasih, Gan,” kata Esa, menutup sambungan telepon dengan cepat.
Napas kasar dibuang paksa oleh Gani. K’DER yang dia tahu sangat kompak, saling menjaga, dan memiliki satu sama lain, kini tak lebih seperti para pembohong hati. Esa bersikap baik pada Gani sekalipun Gani telah merenggut Karla darinya. Kemudian Ravi memutuskan menjauh dari K’DER karena perasaannya pada Danika. Mengapa Tuhan menciptakan persahabatan di antara mereka, jika akhirnya hanya untuk saling menyakiti dalam rasa diam-diam saja?