Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta Pertama Bikin Dilema
MENU
About Us  

Rumah Ravi terlihat berdiri megah. Esa berniat untuk mencari informasi apakah Danika dan Ravi sudah berpacaran atau justru saling menahan perasaan seperti yang dilakukan olehnya pada Karla. Ya, Esa ingin memastikan K’DER tetap utuh tanpa ada bumbu cinta di dalamnya.

“Permisi, assalamualaikum,” seru Esa mengetuk pintu. Keadaan rumah Ravi begitu sepi.

“Assalamualaikum.” Esa berharap kali ini ada seseorang yang menyahut. Sampai suaranya hampir serak, tak ada yang menyahut apalagi membukakan pintu untuknya. Esa beranjak melongok ke dalam garasi. Motor Ravi ada di sana. Itu artinya, Ravi ada di rumah. Namun, mengapa kedatangannya tak digubris oleh Ravi? Benar-benar menyebalkan.

Suara petikan gitar menarik perhatian Esa. Kepalanya mendongak menatap ke arah balkon atas. Dilihatnya Ravi tengah duduk sembari bermain gitar seorang diri. Membiarkan angin mengacak rambutnya dengan perasaan tak tentu arah. Seketika Esa merasa bersalah karena telah membuat Ravi jadi begitu.

“Ravi!” panggilnya berteriak. Ravi tak merespons karena begitu khusyuk memetik gitar sambil bernyanyi. Merasa kehabisan cara, akhirnya Esa melepas sepatu kanan, lalu melemparkannya pada Ravi. Tepat sasaran!

“Woi, gelo siah![1]” Ravi bangkit mencari pelaku yang sudah berani melemparinya dengan sepatu. Sangat tidak sopan!

“Rav, ini aku! Sini balikin sepatu aku!”

“Esa? Ngapain di sini? Seharusnya nungguin ibu kamu di rumah sakit. Malah kelayapan mulu. Nggak ada akhlak!” Tak jauh berbeda dengan Danika, Ravi selalu nyerocos tanpa memberikan kesempatan pada lawan bicara untuk menjawab.

“Sialan, malah ngatain. Kamu nggak sopan banget teriakin tamu kayak gitu, Rav. Bukain pintunya, kek.” Sekarang giliran Esa yang nyerocos.

Tiga menit kemudian, pintu depan terbuka. Ravi keluar menemui Esa sembari menenteng sepatu yang tadi dilemparkan padanya. Dari pandangan Esa, Ravi sedang tidak baik-baik saja. Dia pun memutuskan duduk di kursi dekat tembok, menyandarkan kepala.

“Ngapain ke sini, Sa?” tanya Ravi memetik gitarnya secara acak.

“Kamu ke mana aja selama ini, Rav? Kamu ada masalah sama Danika? Waktu itu dia marah-marah sama aku, katanya kamu ke Jogja lagi.” Esa menatap penuh selidik pada sosok di hadapannya. Hati Ravi terasa nyeri mendengar nama itu disebut lagi, padahal tujuannya menghilang dan berbohong kembali ke Yogya adalah untuk melupakan Danika.

“Nggak ada masalah, sih. Maaf ya, aku belum sempet nengok ke rumah sakit.” Bahu Esa ditepuk berulang kali oleh Ravi. Sejauh ini, dia masih menyembunyikan segala perasaannya pada Danika dari Esa ataupun Karla.

“Aku tau kamu bohong. Eh, kamu tau ibuku di rumah sakit dari mana? Bukannya hp kamu nggak bisa dihubungi, ya?” Esa berbasa-basi, padahal sudah tahu jika Ravi mendapatkan informasi itu dari Gani.

“Waktu itu aku nggak sengaja ketemu Gani di jalan. Dia buru-buru, katanya ibu kamu masuk rumah sakit.” Ravi mengatakannya dengan pandangan tak terlalu fokus pada Esa.

“Terus, kenapa nggak ikut Gani ke rumah sakit?” tanya Esa lagi.

Ravi menggeleng. “Aku buru-buru karena ada urusan, Sa.”

Esa mengangguk-angguk. Jauh di dalam hati, dia merasa sedang menikam Ravi hingga ke bilik-bilik jantungnya. Persahabatan yang dijaga sejak SMP, perlahan dirusak olehnya hanya karena perasaan yang tak bisa diutarakan pada Karla.

“Kamu suka sama Danika? Maksud aku, lebih dari sahabat?” tanya Esa langsung pada inti yang ingin dibahasnya saat ini.

“Haha, enggak. Aku biasa aja sama Danika. Nggak suka lebih dari sahabat. Apaan sih, Sa!” kekeh Ravi memukul lengan Esa cukup keras. Mendengar pengakuan itu, Esa menyeringai. Mulut Ravi memang mengatakan tidak menyukai Danika lebih dari sahabat, tapi matanya mengatakan hal lain. Ravi berkaca-kaca seolah ada beban berat yang tengah menindihnya.

“Syukurlah. Aku kira kamu suka sama Danika.”

“Emang kenapa? Kamu suka sama Danika? Oh Tuhan, jangan jadi playboy, Sa! Pacar kamu mau dikemanain?” Ravi geleng-geleng diikuti decakan. Berakting sedemikian sempurna adalah hobi barunya sejak dia tahu Danika melarang untuk mencintainya.

“Apalagi aku! Enggak, lah.” Esa berdecak mengayunkan tangannya sebagai tanda penolakan terhadap pertanyaan Ravi.

Obrolan itu berlangsung dengan diselingi banyak candaan. Persahabatan nyatanya memang tak selalu tentang kejujuran. Ravi maupun Esa, mereka melakukan semua hanya untuk menyelamatkan orang lain. Namun salahnya, mereka mengorbankan hati sendiri hingga remuk perlahan-lahan. Mencintai sahabat sendiri berubah menjadi menyakiti diri sendiri.

***

Danika dan Karla tak henti tertawa sejak pulang dari tempat makan beberapa menit yang lalu. Pasalnya, Danika salah masuk toilet. Dia malah masuk ke toilet cowok, hingga para cowok yang sedang buang air menatapnya kaget dan menyebut Danika cewek mesum. Bukan hanya salah toilet, Danika juga membuat Karla malu setengah mati saat mereka hendak membayar makanan. Karena tak ada uang kes, alhasil Danika memilih membayar menggunakan kartu debit. Bukannya menyerahkan kartu debit, dia malah menyerahkan KTP. Pantas saja kasir itu menahan tawa melihat kebodohan Danika.

“Lain kali kalo mau ke toilet, baca dulu depan pintunya. Kamu nggak buta, kan?” Karla tak henti meledek Danika. Rasanya senang bisa melakukan hal gila dan memalukan seperti tadi.

“Untung aja aku nggak digebukin cowok-cowok di toilet.” Raut wajah Danika santai saja menanggapi ledekan Karla. Sudah bukan hal aneh saat dia dijadikan bahan bully-an sahabat-sahabatnya.

“Sumpah, ya. Aku kira setelah kepulangan Ravi ke Bandung, otak kamu bakalan bener, Ka. Tapi tetep aja kayak begitu.”

Deru motor membuat obrolan mereka berhenti. Senyum Karla melebar melihat siapa yang datang dengan motor besarnya itu. Sejak mereka bertemu di rumah sakit, Karla tak pernah mendapat kabar dari Gani. Satu hal yang selalu Karla tekankan, mungkin Gani sibuk hingga tak ada waktu untuk memberinya kabar.

“Hei, kalian,” sapa Gani, segera turun dari motornya.

“Ya ampun, Gan. Ke mana aja? Sibuk banget, ya?” Karla langsung mendekat, memeluk Gani cukup erat. Perasaan yang sedang ditumbuhi luka itu semakin bertambah ngilu saat Karla memeluknya.

“Kamu sehat, kan?” Gani melepaskan pelukan Karla.

“Sehat banget! Malah ini baru pulang makan sama Danika.” Tak hentinya Karla tersenyum lepas. Kalau-kalau besok lusa kemantapan hati Gani untuk melepaskannya semakin besar, apakah senyumnya akan selepas saat ini?

Danika yang berdiri agak jauh dari mereka, menatap Gani penuh tanya. Tingkat kepekaan yang dimilikinya memang keren, sampai-sampai bisa memahami bahwa Gani sedang tidak baik-baik saja. Ya, sekalipun cowok berhidung mancung itu tetap tersenyum dan sesekali diiringi candaan.

“Aku mau ngajak kamu jalan.”

“Sekarang?” Mata Karla langsung berbinar senang. Kerinduannya pada Gani memang sudah bersarang hebat di dalam hati.

“Iya, Karlaaa.” Sebuah senyuman tulus terlukis di wajah Gani.

“Oke, mandi dulu. Tunggu sama Danika, ya,” pekik Karla begitu antusias mendengar ajakan pacarnya. Sementara itu, Gani beringsut duduk di kursi halaman bersama Danika. Mereka saling diam, tak ada perbincangan seolah bahan pembahasan sudah benar-benar habis. Gani mengeluarkan handphone dari saku celana, kemudian memainkannya tanpa bersuara.

Situasi ini membuat Danika tambah berpikir dan yakin jika Gani sedang terpuruk. Sebisa mungkin dia berusaha membuka celah agar Gani mau bicara. Setidaknya kalaupun tidak menceritakan masalah yang dimiliki, Gani bisa sedikit meredam kegelisahan yang kini ada di dalam hatinya.

“Apa yang bakalan kamu lakuin buat bikin orang yang kamu sayang bahagia?” Pertanyaan itu meluncur dari Gani sebelum Danika berhasil merangkai pertanyaan lain. Pandangan Gani yang sedari tadi tertuju pada handphone, kini beralih serius pada Danika.

“Aku nggak akan sia-siain orang itu,” jawab Danika sekenanya. “Btw, thanks ya, buat info tentang Ravi di rumah sakit itu.”

“Nggak apa-apa, santai aja, Ka. Aku tau kok, permasalahan apa yang terjadi antara kamu sama Ravi.” Gani memutar bola mata seolah sedang mencari sesuatu.

“Ada masalah apa sama Karla? Aku lihat, kamu aneh hari ini.” Tanpa ingin membahas Ravi lebih lanjut, Danika mengalihkan arah pembicaraan.

“Jujur, ini sakit buat aku, Ka. Aku sayang banget sama Karla. Tapi di sisi lain, aku ngerasa udah nikam Esa.” Nada bicara Gani berubah menjadi sendu. Suaranya bergetar, seperti sedang menahan air mata.

“Kamu udah tau?” gelagap Danika hati-hati karena tak ingin Karla mendengar perbincangan mereka.

“Iya, aku udah tau semuanya. Malam itu aku balik ke tempat ibunya Esa dirawat buat pamitan pulang. Tapi ternyata, kamu sama Esa lagi debat. Aku denger semuanya.”

Seketika Danika membekap mulut tak percaya. Rahasia itu terlalu cepat untuk diketahui oleh Gani. Seandainya saja waktu bisa lebih lama menyembunyikan tentang perasaan Esa pada Karla, mungkin Gani tak akan merasa sedang menikam Esa saat ini.

“Apa yang harus aku lakuin sekarang, Ka? Kamu sahabat Karla, pasti tahu apa yang bakalan bikin Karla bahagia.” Gani menggenggam tangan Danika. Memohon agar Danika bisa memberikannya jalan keluar dari segala pergolakan batin yang ada.

Gemelatuk gigi terdengar jelas dari Danika. Jangankan membantu Gani menyelesaikan sekelumit lukanya. Dia sendiri pun sedang kepayahan menahan perasaan pada Ravi, apalagi sekarang Ravi sudah kembali ke Yogya. Begitulah kenyataan yang Danika tahu tentang Ravi.

Danika menarik tangannya dari genggaman Gani, lalu menutup wajah dengan frustrasi dan berharap bisa menemukan jalan keluar yang baik untuk semuanya.

“Kenapa kamu nggak terima Ravi? Apa karena Esa?” Lagi-lagi Gani mengalihkan pembicaraan pada Danika. Tangan yang tadi dibuat menutup wajah, berangsur diturunkan oleh Danika sembari menelan salivanya berulang kali.

“Aku lemah soal memilih. Cinta atau persahabatan, dua-duanya sama-sama bikin aku hidup. Kalo aku pilih salah satunya, itu sama aja aku hidup tapi nggak bisa gerak.” Mata Danika berkaca-kaca. Rasa-rasanya sudah tidak tahan jika terus-terusan dihujani pertanyaan seputar perasaannya pada Ravi.

“Kamu tau dari siapa soal perasaan Ravi? Apa dia cerita sama kamu, sebelum pergi ke Jogja?” tambah Danika, memandang Gani cukup intens.

“Iya. Ravi bilang kamu nampar dia karena pernyataannya waktu itu. Dia sayang lebih dari sahabat, tapi malah dapet tamparan dari kamu.” Gani menunduk sejenak, seakan rasa bersalah karena kebohongannya itu tengah melilit perasaan.

“Aku bingung, Gan,” ujar cewek yang kini benar-benar menunduk.

“Aku ada di posisi kamu juga, Ka. Antara Esa dan Karla.”

***

Danika merenungi nasibnya seorang diri di dalam kamar. Pikiran, perasaan, dan kenyataan, sama-sama membuatnya tertampar. Handphone yang biasa mengantarkan pesan gila dari Ravi, kini benar-benar menunjukkan jika ia hanyalah sebuah benda mati. Tak ada pesan yang sama, apalagi telepon dengan suara berteriak-teriak layaknya orang gila.

Pikiran Danika melompat dari satu orang pada orang lain. Kenangan demi kenangan pun bermunculan kembali di pelupuk matanya. Danika ingin mengakhiri pergulatan tak tentu tujuan ini sebelum masa kuliahnya tiba. Dia sudah memutuskan untuk mengambil S-1 Sastra Indonesia di salah satu universitas di Bandung.

Mau tidak mau, Danika memilih berkuliah di sana atas mimpinya. Sepahit apa pun hidup yang dialami, Danika tak ingin melewatkan usianya dengan sebatas menjalani tanpa bermimpi. Hatinya selalu yakin jika sebuah impian akan menjadi satu kenyataan saat seluruh tubuh bergerak untuk mewujudkannya. Menjadi penulis adalah mimpi besar yang harus diimbangi dengan usaha besar pula.

Bunda. Wajah wanita paruh baya itu menyergap pandangannya seketika. Sudah sangat lama Danika tak pernah menemui Bunda. Sikap egoislah yang memaksanya melakukan hal sejahat itu pada wanita yang telah membuatnya ada di dunia. Di mata Danika, Bunda adalah pilar yang tangguh dan selalu menjadi penjaga saat Ayah berada di luar kota untuk mengurusi bisnis. Kerinduan itu benar-benar nyata hingga dadanya terasa sesak.

Di tengah rasa tak karuan, Danika bangkit meraih kertas dan pulpen. Menumpahkan segalanya pada benda putih polos itu. Kali ini, bukan puisi atau prosa yang biasa dia tulis, melainkan sebuah lagu sederhana pengantar kenangan K’DER yang sudah tak lagi utuh. Satu baris, dua baris, hingga akhirnya lagu itu selesai. Beberapa kali Danika menyeka air mata saat mencurahkan kenangan demi kenangan bersama sahabatnya. Dia sadar, persahabatan yang dicampuri dengan percintaan akan berakhir menyedihkan, terlebih bila perasaan itu adalah pada cinta pertama. Persis dengan apa yang dirasakannya sekarang.

 

[1] Gila kamu!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Let's See!!
2506      1070     1     
Romance
"Kalau sepuluh tahun kedepan kita masih jomblo, kita nikah aja!" kata Oji. "Hah?" Ara menatap sahabat kentalnya itu sedikit kaget. Cowok yang baru putus cinta ini kenapa sih? "Nikah? lo sama gue?" tanya Ara kemudian. Oji mengangguk mantap. "Yap. Lo sama gue menikah."
Aku Milikmu
2317      1023     2     
Romance
Aku adalah seorang anak yang menerima hadiah terindah yang diberikan oleh Tuhan, namun dalam satu malam aku mengalami insiden yang sangat tidak masuk akal dan sangat menyakitkan dan setelah berusaha untuk berdamai masa lalu kembali untuk membuatku jatuh lagi dengan caranya yang kejam bisakah aku memilih antara cinta dan tujuan ?
Konfigurasi Hati
1046      622     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Listen To My HeartBeat
635      393     1     
True Story
Perlahan kaki ku melangkah dilorong-lorong rumah sakit yang sunyi, hingga aku menuju ruangan ICU yang asing. Satu persatu ku lihat pasien dengan banyaknya alat yang terpasang. Semua tertidur pulas, hanya ada suara tik..tik..tik yang berasal dari mesin ventilator. Mata ku tertuju pada pasien bayi berkisar 7-10 bulan, ia tak berdaya yang dipandangi oleh sang ayah. Yap.. pasien-pasien yang baru saja...
Rewrite
10260      3096     1     
Romance
Siapa yang menduga, Azkadina yang tomboy bisa bertekuk lutut pada pria sederhana macam Shafwan? Berawal dari pertemuan mereka yang penuh drama di rumah Sonya. Shafwan adalah guru dari keponakannya. Cinta yang bersemi, membuat Azkadina mengubah penampilan. Dia rela menutup kepalanya dengan selembar hijab, demi mendapatkan cinta dari Shafwan. Perempuan yang bukan tipe-nya itu membuat hidup Shafwa...
Who are You?
1481      685     9     
Science Fiction
Menjadi mahasiswa di Fakultas Kesehatan? Terdengar keren, tapi bagaimana jadinya jika tiba-tiba tanpa proses, pengetahuan, dan pengalaman, orang awam menangani kasus-kasus medis?
Sekotor itukah Aku
428      328     4     
Romance
Dia Zahra Affianisha, Mereka memanggil nya dengan panggilan Zahra. Tak seperti namanya yang memiliki arti yang indah dan sebuah pengharapan, Zahra justru menjadi sebaliknya. Ia adalah gadis yang cantik, dengan tubuh sempurna dan kulit tubuh yang lembut menjadi perpaduan yang selalu membuat iri orang. Bahkan dengan keadaan fisik yang sempurna dan di tambah terlahir dari keluarga yang kaya sert...
Selepas patah
224      183     1     
True Story
Tentang Gya si gadis introver yang dunianya tiba-tiba berubah menjadi seperti warna pelangi saat sosok cowok tiba-tiba mejadi lebih perhatian padanya. Cowok itu adalah teman sebangkunya yang selalu tidur pada jam pelajaran berlangsung. "Ketika orang lain menggapmu tidak mampu tetapi, kamu harus tetap yakin bahwa dirimu mampu. Jika tidak apa bedanya kamu dengan orang-orang yang mengatakan kamu...
Langkah yang Tak Diizinkan
336      280     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
After School
3847      1600     0     
Romance
Janelendra (Janel) bukanlah cowok populer di zaman SMA, dulu, di era 90an. Dia hanya cowok medioker yang bergabung dengan geng populer di sekolah. Soal urusan cinta pun dia bukan ahlinya. Dia sulit sekali mengungkapkan cinta pada cewek yang dia suka. Lalu momen jatuh cinta yang mengubah hidup itu tiba. Di hari pertama sekolah, di tahun ajaran baru 1996/1997, Janel berkenalan dengan Lovi, sang...