Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta Pertama Bikin Dilema
MENU
About Us  

Jaket berbahan levis, celana jeans, dan kaus bergambar Keroppi menjadi pilihan Danika malam ini. Seperti janjinya dengan Ravi, dia akan menemani calon musikus andal membeli senar gitar. Di punggung Danika meringkuk tas kecil berwarna cokelat dengan gantungan kunci bergambar pesawat. Dia juga berniat akan membeli kertas origami untuk stok beberapa waktu ke depan.

Setelah cukup lama bersiap, Danika bergegas pergi tanpa berpamitan pada Karla. Sejak sore tadi saat Karla bilang akan keluar sebentar, Danika memang tak bertemu dengan Karla lagi. Tanpa sepengetahuan Danika, sebenarnya Karla ada di dalam kamar. Tertidur sangat pulas demi menebus insomnia yang mengganggunya setelah tadi berhasil masuk indekos tanpa diketahui Danika.

“Hei, Rav! Sorry lama,” sapa Danika berdiri di hadapan Ravi. Bukannya menjawab, Ravi justru mengamati Danika dengan raut tak biasa. Matanya bergulir dari atas ke bawah, kemudian kembali lagi ke atas.

“Ngapain, sih?” Danika merasa risi diperhatikan sedetail itu oleh Ravi. Kontan, Ravi tergelak tanpa alasan.

“Apa malam ini aku mesti bawa kamu dengan tampilan yang–” ledek Ravi, di sela-sela gelak tawa.

“Yang apa? Kampungan? Norak?” potong Danika dengan cepat.

“Haha, ya ampun, Ka. Masa tampilan kamu masih kayak gini? Ini juga, hp kamu kenapa nggak ganti aja? Jadul banget, Tuhan!” Ravi mengacak rambut Danika gemas. Sahabatnya yang satu itu seolah dibutakan dengan model pakaian dan kemajuan teknologi zaman sekarang.

“Aku denger kamu ngomong gitu lagi, nih melayang!” Kepalan tangan begitu jelas ditujukan pada Ravi. Untuk itu, Ravi menghentikan tawanya sembari menyerahkan helm dan melayangkan permintaan maaf.

Tempat yang akan mereka tuju kali ini ada di kawasan Braga. Motor Ravi melesat meninggalkan perempatan, membelah jalanan Bandung tanpa ada obrolan apa-apa lagi. Pikirannya selalu fokus pada jalan setiap kali menyetir. Dia tak mau mencelakakan orang lain hanya karena kecerobohannya.

Di boncengan, Danika sibuk mengotak-atik handphone jadulnya. Mungkin perkataan Esa sore tadi saat menyuruh pulang ada benarnya juga. Bunda pasti rindu pada Danika, seperti apa yang dirasakan olehnya saat ini. Tak terasa buliran hangat itu mengalir di pipinya saat mengingat Bunda di rumah. Sejujurnya, Danika tak pernah membenci Bunda karena kepergiannya ke tempat Karla hanya untuk mencari ruang ketenangan saat berkarya.

“Nyampe.” Ravi menghentikan motor dan membuyarkan alam bawah sadar Danika. Kepalanya terantuk helm karena Danika tidak tahu jika Ravi akan mengerem motor.

“Ngerem motornya pake perasaan, dong. Masa iya jidatku dibikin benjol juga,” omel Danika seraya melepas helm, lalu turun dari boncengan.

“Dih, ngelamun, ya? Ngelamunin apa, sih? Pasti … ngelamunin kenapa aku sekeren ini.” Wajah Ravi tampak penuh percaya diri. Danika berdecak melihat sikap Ravi yang selalu percaya diri tanpa memberikan komentar apa-apa lagi.

***

Dua jam berkeliling dari satu toko ke toko lain, akhirnya Ravi mendapatkan apa yang diinginkan. Beberapa senar dan sebuah stand gitar baru. Sudut-sudut bibirnya membentuk senyuman lebar, sedangkan Danika mendengkus melihat jam tangannya sudah menunjukkan pukul 9 malam. Cukup lama juga dia bersama dengan Ravi kali ini.

“Ngantuk?” tanya Ravi dengan tangan penuh belanjaan.

“Enggak. Cuma lagi mikir aja gimana cara bawa barang-barang itu?” desis Danika menyumpal telinga dengan earphone-nya.

Sebuah saluran radio menjadi pilihan Danika. Hobi mendengarkan radio memang sudah tertanam di dalam jiwanya sejak lama. Pada saat orang-orang memilih membeli handphone keluaran teranyar, lain hal dengan Danika yang masih mempertahankan handphone jadul kesayangannya. Hanya ada radio, gim bounce, SMS, dan telepon. Selain aplikasi itu, Danika tak pernah memilikinya.

“Nggak niat beli hp baru, Ka?” Ravi menyelidik handphone Danika. Dahulu, dia juga memiliki handphone serupa, tetapi sekarang sudah rusak dan dijual ke tukang loak. Terlalu kolot.

“Ini aset mahal, tau! Nggak akan ada hp canggih kayak punya kamu, kalo nggak berawal dari hp ganjel pintu milik aku ini,” tunjuknya pada handphone Ravi yang lebih keren.

“Haha, Tuhan. Kamu paling bisa kalo soal ngeles, ya.”

“Udah, deh. Jadi barang-barangnya mau dibawa ke mana? Jangan bilang aku disuruh bawa stand gitar. Yang bener aja!”

“Aku udah pesen jasa angkutan. Tuh, mobilnya nunggu di seberang. Tunggu di sini, ya.” Ravi bersiap membawa barang-barang miliknya ke arah seberang.

Ravi Ganendra, sahabat terdekat yang Danika miliki. Hubungan mereka sudah seperti kakak dan adik. Saking dekatnya, terkadang Danika merasa terluka setiap kali melihat Ravi murung, apalagi saat kabar meninggalnya Bu Oki, ibu Ravi.

Sebulan lamanya Ravi menutup diri dari lingkungan. Di sekolah pun jadi tak banyak bicara. Berbagai cara dilakukan hanya untuk menghibur Ravi meski semuanya sia-sia. Kesakitan kehilangan orang terkasih berhasil meruntuhkan Ravi yang dahulu; ceria, semangat, dan tak ada yang menandingi bagaimana dia membuat setiap momen K’DER selalu berkesan.

“Danika! Kebiasaan deh, kalo udah ngelamun,” seru Ravi yang tiba-tiba sudah kembali. Danika terperanjat, hampir memukul Ravi dengan keras.

“Ngeselin, ya!”

Lho, kok malah ngambek? Makan dulu, yuk! Di Asia Afrika lagi ada acara pameran jajanan. Pasti kamu seneng.” Ravi menarik tangan Danika ke tempat motornya diparkir saat pertama kali sampai.

Beberapa menit dari tempat sebelumnya, mereka pun sampai di Asia Afrika. Ravi dan Danika disambut begitu banyak makanan dari harga sepuluh ribu sampai tiga puluh ribu yang dijajakan dengan sangat unik. Stan pertama yang didatangi Ravi adalah penjual batagor. Makanan khas Bandung dengan kuah ataupun bumbu kacang ditambah kecap, timun, dan jeruk nipis. Cocok dimakan saat cuaca dingin seperti sekarang.

“Kamu duduk manis di sini, biar aku yang pesenin. Mau batagor kuah apa kering?” Ravi memberikan penawaran sembari siap mencatat di kertas menu.

“Batagor kuah, tapi nggak pake ceker. Minumnya jus alpukat sama teh manis.” Danika menyebutkan pilihannya tanpa melirik pada Ravi sedikit pun. Pandangannya lurus pada handphone yang dipegang.

“Kamu manusia apa duyung? Minumnya dua jenis segala,” decak Ravi, meraih catatan untuk pesanan. Walau begitu, tak ada pilihan bagi Ravi selain mencatat apa pun yang Danika inginkan.

Selama menunggu, Danika mengetuk meja dengan jari. Pesan yang diterima lima menit lalu benar-benar membuat hatinya goyah. Bunda sakit ketika Danika belum siap untuk pulang. Sebab, sejauh ini mimpinya itu masih terkesan abu-abu. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Bunda tentang seorang penulis. Tak ada apa pun yang dihasilkan dan patut dibanggakan dari hanya mengandalkan sebuah tulisan. Jika mengingat hal itu, hati Danika seperti sedang diremas-remas. Dia menulis bukan hanya mengejar hal begitu, tetapi ada bagian terpenting yang ingin diraihnya.

“Rav, apa yang bakalan kamu lakuin saat mimpi terbesar kamu diketawain banyak orang?” Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari Danika saat Ravi baru saja kembali dengan membawa pesanan tadi.

Hm, aku bakal berusaha nunjukin sama mereka kalo apa yang mereka ketawain itu hal yang bisa bikin aku jadi orang hebat.” Ravi tersenyum menatap Danika, lantas sibuk menuang sambal dan saus ke dalam mangkuknya.

“Kalo seandainya gagal, apa yang bakalan kamu lakuin? Tetep berjuang atau malah mengakui hinaan mereka?” Sekali lagi Danika melontarkan pertanyaan yang selama ini tak pernah ingin didengarnya.

Ravi menghentikan kegiatan mengaduk batagor, lalu tangannya menyentuh punggung tangan Danika. “Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu? Ada masalah?” tanya cowok itu dengan raut khawatir. Danika menggeleng, berusaha melemparkan senyum pada Ravi meski hatinya penuh dengan kebimbangan. Semoga Bunda cepet sehat, katanya dalam hati.

***

“Makasih banget udah traktir batagor, jus, teh manis, sama es krim. Perut aku kenyang!” Rasanya ini adalah kesempatan langka yang selalu ditunggunya karena bisa makan gratis dengan puas.

“Besok-besok, aku yang ditraktir, dong,” kikik Ravi tak beranjak dari motornya. Melihat Danika tertawa seperti itu adalah salah satu hal yang selalu dirindukan selama berada di Yogya.

“Haha, siap! Udah ya, aku masuk dulu. Kamu buruan pulang, udah larut nih. Takut banyak begal.” Lambaian tangan Danika mengisyaratkan bahwa dia harus segera masuk dan istirahat.

“Aku harap tiap hari kita bisa bareng-bareng kayak tadi, Ka. Jangan pernah takut buat mimpi kamu itu. Ada aku yang bakalan setia biar mimpi kamu jadi nyata. Aku sayang sama kamu, Ka.”

Langkah Danika terhenti seketika. Jantungnya terasa akan copot karena perkataan Ravi barusan. Danika memutar pandangan, menghampiri Ravi dengan tatapan berkaca-kaca. Hati yang memang tak terlalu baik sejak kabar Bunda, kini bertambah tak baik dengan pernyataan Ravi.

“Sayang sebagai sahabat, kan?” Suara Danika bergetar dengan pandangan yang masih tak lepas dari Ravi. Secara intens, Danika memperhatikan mata Ravi begitu saksama.

“Enggak.”

Satu tamparan keras mendarat di pipi kanan Ravi. Entah kekuatan dari mana hingga Danika bisa berbuat sejauh itu, padahal bukan tipe orang yang temperamen. Seketika pernyataan Karla saat pertama kali mengabari kepulangan cowok itu pun bergentayangan di kepala Danika. Dia tidak mengerti, apa yang sedang terjadi antara Karla, Ravi, dan mungkin sekarang termasuk dirinya sendiri. Cinta segitiga?

“Kamu boleh tampar aku sebanyak yang kamu mau. Tapi kamu nggak bisa bikin hati aku benci sama kamu. Aku sayang sama kamu, Ka.”

Plak!

Sekali lagi tamparan itu mendarat pada pipi yang sama. Tangan Danika gemetar. Wajahnya pucat pasi diiringi bulu kuduk yang berdiri. Pernyataan gila itu selalu dihindari oleh Danika selama ini. Terlebih dari Ravi, sahabatnya sendiri.

“Kamu nggak boleh sayang sama aku lebih dari sahabat, Rav. Kamu nggak boleh ngelakuin itu!” Danika mencengkeram lengan Ravi sangat kuat. Air mata yang jarang merembes pun tiba-tiba menjadi pemandangan menyakitkan bagi Ravi.

Tak ada perbincangan apa-apa lagi di antara mereka. Danika meninggalkan Ravi dengan perasaan yang tak karuan. Bodoh sekali cowok itu yang sudah berani menyayanginya lebih dari sahabat. Deru knalpot dari motor Ravi pun mendarat di telinga Danika beberapa detik setelahnya. Menegaskan jika Ravi memang sudah pulang meninggalkan halaman indekos. Rasanya perasaan Danika seperti teriris berulang kali. Langkah Danika gontai memasuki kamarnya tanpa bertemu dengan siapa-siapa termasuk Karla. Suasana indekos memang sudah sangat sepi.

Getaran handphone Danika memunculkan satu pesan masuk dari Ravi. Setengah malas, Danika membuka pesan itu dan berharap Ravi mengumpat, lantas menarik ucapannya tadi.

Sekeras apa pun kamu nampar aku, sekeras itu pula aku bakalan ngejar kamu. Kamu boleh ngelakuin apa pun buat nyakitin aku. Tapi kamu nggak bisa ngelakuin apa-apa saat Tuhan ngasih perasaan istimewa ini sama aku. Selamat istirahat.

Danika melempar handphone-nya dan mengunci pintu. Dia hanya bisa memeluk lutut sembari menunduk, kemudian menangis. Apa yang harus dikatakan pada Esa dan Karla? Lantas, bagaimana reaksi Esa jika dia tahu Ravi mengatakan hal itu? Sungguh, Danika bingung dibuatnya.

***

Hari ini memang ada pertandingan sepak bola pukul empat sore. Seperti biasa, K’DER mengadakan nonton bersama di rumah salah satu dari mereka. Khusus untuk pertandingan ini, tempat indekos Karla menjadi pilihan terakhir. Mau tidak mau, Karla harus disibukkan dengan mempersiapkan banyak camilan. Untung saja Gani bisa membantu karena sedang ada waktu luang.

“Gan, minumannya udah siap, kan?” tanya Karla menatap Gani serius.

“Udah, kok. Tinggal nunggu antek-anteknya dateng,” goda Gani mencoba merayu pacarnya itu.

“Untung aja kamu ada di sini, Gan. Kalo enggak, aku repot sendirian. Danika nggak keluar kamar dari semalem.” Karla duduk di karpet biru yang baru selesai digelar untuk acara nobar.

“Kenapa emang? Dia sakit? Udah coba diketuk pintunya?” Gani menatap heran. Selama berpacaran dengan Karla dan mengenal Danika, rasa-rasanya baru kali ini dia mencium hal aneh dari Danika.

“Nggak ada jawaban.” Wajah Karla putus asa. Matanya memandang penuh harap pada pintu kamar Danika. Berharap kalau sahabat gilanya itu akan keluar, kemudian menari hulahup seperti tempo hari.

Di dalam kamar, Danika bisa mendengar perbincangan Karla dengan Gani walau samar-samar. Semalaman dia menangis memikirkan perkataan Ravi. Akan tetapi, hari ini pertandingan sepak bola tiba-tiba digelar. Danika putus asa untuk menemui mereka, apalagi Ravi. Rasa bersalah begitu menghantui perasaannya.

Sejak SMP, Danika sudah mengenal Ravi dan yang lainnya. Bagaimana keseharian mereka sampai hal apa saja yang tak disukai, Danika bisa menghafalnya di luar kepala. Tepat satu minggu sebelum acara puncak perpisahan SMP, Ravi datang menghampiri Danika di ruang mading. Ravi mengutarakan segala perasaannya pada Danika dan berjanji akan segera kembali ke Bandung setelah SMA-nya selesai.

“Semoga setelah lulus SMA, kamu masih jomblo ya, Ka.” Ravi terkekeh mengatakan hal gila ini.

Danika masih ingat sebaris kalimat yang Ravi sampaikan setelah menyatakan menyukai Danika, cewek pertama yang berhasil membuatnya jatuh hati. Di sisi lain, Danika juga tidak menyangka kalau Karla memiliki janji pada Ravi. Apa yang seharusnya Danika lakukan pada mereka? Danika tak ingin merusak persahabatan yang sudah terjalin cukup lama itu.

“Danika, kamu nggak apa-apa, kan? Ini aku, Gani.” Suara Gani terdengar jelas di balik pintu. Danika bangkit mengakhiri ingatannya pada masa lalu.

“Aku kurang enak badan, Gan. Mau tidur aja,” kata Danika membuka pintu dan menyentuh kepalanya.

“Kamu pucet banget, Ka. Sini, mending ketemu sama Karla dan minta dia beliin obat,” ajaknya, menarik Danika keluar kamar. Karla bangkit melihat Gani dan Danika dengan penampilan berantakan. Rambutnya gimbal seperti orang tidak pernah keramas, ditambah baju kodok yang dipakai Danika, semakin menambah kesan aneh pada cewek itu.

“Dia nggak enak badan, Kar. Katanya mau tidur aja,” ujar Gani menggiring Danika duduk di dekat pintu.

“Aku nggak apa-apa, kok. Ribet banget pacar kamu ini, Kar.”

“Kamu sakit? Kenapa nggak bilang sama aku?” Karla merengkuh tubuh Danika dan memeluknya. Membiarkan Danika berada di pelukan Karla sama halnya dengan membuat rasa bersalah Danika semakin besar. “Kamu makan dulu, ya. Bentar, aku ambilin dulu di dapur.”

“Enggak. Aku cuma mau tidur, Kar.” Cekalan tangan Danika berhasil menghentikan gerakan Karla yang hendak beranjak ke dapur.

“Haloo, sepadaa!” teriak seseorang dengan nada konyol. Pemilik suara tadi memarkirkan motor dan bergabung dengan yang lainnya. “Kamu kenapa, Ka? Sakit?” tanya Esa memandang teliti pada Danika.

“Enggak. Aku baik-baik aja,” seru Danika melepaskan pelukan Karla. Melihat kehadiran Esa, hatinya bergetar takut. Penjelasan Esa sore itu benar-benar menampar Danika tanpa henti.

“Sendirian aja? Ravi mana?” Karla celingak-celinguk mencari keberadaan Ravi.

“Iya, biasanya sepaket, nih,” timpal Gani ikut-ikutan celingak-celinguk.

“Tadi aku ke rumahnya. Tapi kata Om Gio, Ravi nggak pulang dari semalem. Malah dikiranya Ravi nginep di rumah aku,” terang Esa, membuka sepatunya. Mendengar ucapan Esa, Danika melongo cukup lama. Jika Ravi tidak pulang, lantas ke mana? Apa ada hubungannya dengan kejadian semalam?

“Aku ke kamar dulu, ya. Nanti ke sini lagi,” kata Danika terkesan buru-buru. Teman-temannya hanya mengangguk sambil saling berpandangan satu sama lain, bingung. Di kamar, Danika segera meraih handphone di dekat laptop dan memilih pesan paling atas yang tentunya itu dari Ravi.

Rav, Esa bilang semalem kamu nggak pulang? Terus kamu juga nggak ada di rumah hari ini. Kamu di mana, Rav?

Walaupun Danika merasa kesal, dia tetap ingin memastikan keadaan Ravi baik-baik saja. Masa bodoh dengan reaksi Ravi saat menerima pesannya. Danika akan tutup telinga dan menenggelamkan wajahnya di balik helm saja.

Lima menit, sepuluh menit, sampai nyaris satu jam pesan itu tak ada balasan. Sorak-sorai para sahabatnya di luar menambah daftar kegelisahan Danika hari ini. Patut diakui, sejak pengutaraan rasa dari Ravi saat SMP itu, Danika pun merasakan hal yang sama. Selama Ravi menempuh SMA di Yogya, rindu yang kerap datang begitu membunuh perasaan. Danika sering berusaha menghapus segala yang tak semestinya dirasakan. Ya, walau akhirnya dia kembali gagal membuang nama Ravi di kotak sampah bertuliskan “hanya sahabat saja”.

Setiap hari Danika selalu menulis kerinduannya melalui pesawat origami. Hatinya percaya, sejauh apa pun jarak memisahkan dengan Ravi, mereka tetap melihat langit yang sama. Biru, penuh awan, dan saat senja datang akan membawa ketenangan. Semesta memang tak pernah ingkar atas sebuah keyakinan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Lantas?
41      41     0     
Romance
"Lah sejak kapan lo hilang ingatan?" "Kemarin." "Kok lo inget cara bernapas, berak, kencing, makan, minum, bicara?! Tipu kan lo?! Hayo ngaku." "Gue amnesia bukan mati, Kunyuk!" Karandoman mereka, Amanda dan Rendi berakhir seiring ingatan Rendi yang memudar tentang cewek itu dikarenakan sebuah kecelakaan. Amanda tetap bersikeras mendapatkan ingatan Rendi meski harus mengorbankan nyawan...
Let Me be a Star for You During the Day
1060      580     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
FLOW in YOU (Just Play the Song...!)
3443      992     2     
Romance
Allexa Haruna memutuskan untuk tidak mengikuti kompetisi piano tahun ini. Alasan utamanya adalah, ia tak lagi memiliki kepercayaan diri untuk mengikuti kompetisi. Selain itu ia tak ingin Mama dan kakaknya selalu khawatir karenanya. Keputusan itu justru membuatnya dipertemukan dengan banyak orang. Okka bersama band-nya, Four, yang terdiri dari Misca, Okka, dan Reza. Saat Misca, sahabat dekat A...
F I R D A U S
752      498     0     
Fantasy
Frasa Berasa
66727      7414     91     
Romance
Apakah mencintai harus menjadi pesakit? Apakah mencintai harus menjadi gila? Jika iya, maka akan kulakukan semua demi Hartowardojo. Aku seorang gadis yang lahir dan dibesarkan di Batavia. Kekasih hatiku Hartowardojo pergi ke Borneo tahun 1942 karena idealismenya yang bahkan aku tidak mengerti. Apakah aku harus menyusulnya ke Borneo selepas berbulan-bulan kau di sana? Hartowardojo, kau bah...
Anak Magang
122      114     1     
Fan Fiction
Bercerita sekelompok mahasiswa yang berusaha menyelesaikan tugas akhirnya yaitu magang. Mereka adalah Reski, Iqbal, Rival, Akbar. Sebelum nya, mereka belum mengenal satu sama lain. Dan mereka juga bukan teman dekat atau sahabat pada umumnya. Mereka hanya di tugaskan untuk menyelesaikan tugas nya dari kampus. Sampai suatu ketika. Salah satu di antara mereka berkhianat. Akan kah kebersamaan mereka ...
After School
3314      1362     0     
Romance
Janelendra (Janel) bukanlah cowok populer di zaman SMA, dulu, di era 90an. Dia hanya cowok medioker yang bergabung dengan geng populer di sekolah. Soal urusan cinta pun dia bukan ahlinya. Dia sulit sekali mengungkapkan cinta pada cewek yang dia suka. Lalu momen jatuh cinta yang mengubah hidup itu tiba. Di hari pertama sekolah, di tahun ajaran baru 1996/1997, Janel berkenalan dengan Lovi, sang...
Konfigurasi Hati
542      377     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Mr.Cool I Love You
136      120     0     
Romance
Andita harus terjebak bersama lelaki dingin yang sangat cuek. Sumpah serapah untuk tidak mencintai Andrean telah berbalik merubah dirinya. Andita harus mencintai lelaki bernama Andrean dan terjebak dalam cinta persahabatan. Namun, Andita harus tersiksa dengan Andrean karena lelaki dingin tersebut berbeda dari lelaki kebanyakan. Akankah Andita bisa menaklukan hati Andrean?
KEPINGAN KATA
516      330     0     
Inspirational
Ternyata jenjang SMA tuh nggak seseram apa yang dibayangkan Hanum. Dia pasti bisa melalui masa-masa SMA. Apalagi, katanya, masa-masa SMA adalah masa yang indah. Jadi, Hanum pasti bisa melaluinya. Iya, kan? Siapapun, tolong yakinkan Hanum!