Part 1-Pandemi Telah Tiba
Bulan Desember 2019, dunia maya dihebohkan dengan ledakan virus yang bersumber dari Wuhan, Cina. Beberapa video pendek yang disebarkan beberapa orang di wa story, memperlihatkan hiruk pikuk suasana rumah sakit dengan lalu lalang tenaga medis membawa pasien kesana kemari di Cina. Berita tersebut pun mengabarkan bahwa tenaga medis kewalahan dengan banyaknya pasien yang menderita virus baru di jagad raya bernama Covid-19. Namun, berita itu kemudian sepintas lalu, aku pun hanya melihatnya sekilas dengan harapan semoga tidak pernah menjangkit di Indonesia.
Beberapa bulan kemudian, virus tersebut mulai menyebar ke negara-negara tetangga. Berita di media sosial pun semakin menghebohkan jagad maya maupun nyata. Aku masih belum memahami apa yang terjadi, sampai suatu hari pada bulan Maret 2020, virus mengerikan itu benar-benar telah memasuki wilayah Indonesia. Semua sektor kehidupan mulai goyah. Terserang rasa cemas dan takut akan dampak yang akan terjadi. Pelbagai isu pun bermunculan semakin memperkeruh suasana.
Semakin hari pemberitaan yang ada semakin mencemaskan, ada kabar simpang siur yang mulai menyatakan bahwa virus itu telah menjangkit warga negara Indonesia. hingga suatu hari terdengar kabar, telah ada korban jiwa akibat terpapar virus ini di Indonesia. Beramai-ramai semua aktivitas perekonomian dihentikan, sekolah-sekolah diliburkan, alat-alat transportasi tidak beroperasi, seakan semua sendi kehidupan telah terhenti entah sampai kapan semuanya akan berakhir, padahal saat itu peristiwa tak biasa baru saja dimulai.
Aku pun tidak memikirkan apa-apa, hanya saja hari itu aku lebih waspada, dan sedikit lebih cemas dari biasanya. Apalagi kalau mengingat kabar-kabar yang beredar bahwa di kota tempat aku berdomisili sudah ada indikasi penyebaran virus corona dari orang-orang yang pulang dari luar negeri. Terlebih, aku tidak mempersiapkan hand sanitizer saat itu, sebab terdengar kabar, banyak orang yang panic buying baik terhadap kebutuhan pokok maupun masker serta handsanitizer ketika tersiar kabar corona masuk Indonesia. Banyak orang yang khawatir tidak kebagian akhirnya memborong semua stok yang ada. Celakanya adalah orang-orang yang kurang mampu atau orang yang datang belakangan, mereka sudah tak kebagian apa-apa. Kala itu pun sudah banyak himbauan dan anjuran yang isinya mengajak masyarakat menjaga pola hidup sehat serta rajin mencuci tangan. Namun, belum ada keharusan memakai masker, karena saat itu langka dan hanya diperuntukkan bagi mereka yang sedang sakit agar tidak menularkan kepada orang yang sehat. Setiap kali memegang HP selalu saja berita-berita itu yang muncul, aku semakin gelisah. Apalagi keesokan harinya aku masuk kampus seperti biasa. Belum berapa lama, pemberitaan di internet dan wa story berubah menjadi pengumuman libur selama 14 hari bagi siswa dan mahasiswa dari berbagai instansi. Rupanya banyak dari temanku yang sudah diliburkan karena khawatir akan terjadi penyebaran virus corona di lingkungan pendidikan. Aku semakin gelisah, galau, dan merana. Sampai suatu malam, aku pun mengobrak-abrik lemariku mencari semua botol semprot, lalu kubersihkan dan kuisi cairan sabun pencuci tangan untuk kubawa ke kampus esok pagi.
Rasanya kecemasan itu menghantui jiwaku setiap waktu. Terkadang sesekali kutarik nafasku, untuk mengecek apakah aku merasa sesak napas atau tidak. Sebab, membaca pesan siaran kemarin, salah satu tanda mengecek paru-paru dari virus adalah menarik napas lalu menahannya 10 detik dan merasakan apakah terjadi sesak napas atau tidak. Padahal, belum ada dasar yang jelas apakah pernyataan itu benar adanya. Selain itu, aku mendengar berita bahwa virus itu bisa mati ketika rajin meminum larutan garam. Akhirnya aku pun membiasakan meminumnya. Semakin hari, semakin cemas. Sungguh aku dihantui rasa takut kala itu.
Hari ini hari Senin, pertemuan pertama pasca UTS biasanya pembelajaran lebih santai. Seperti biasa, jam 6 pagi aku sudah berdandan merapikan jilbabku. Tiba-tiba,
“Universitas lain libur semua, kita kok masih masuk sih?” kata teman se-kostku.
“Ada baiknya kita masih masuk, supaya ga ketinggalan pelajaran” jawabku sampil mengecek buku-buku di dalam tas. Temanku pun berpaling dengan muka kecut menuju kamar mandi. Memang biasanya, ketika aku sudah berangkat dia baru mandi. Tertawa geli aku dibuatnya.
Sampai di kampus semua masih berjalan seperti biasa. Hanya saja, para dosen yang mengajar kerap kali memperbincangkan bagaimana kebijakan kampus yang belum terbit terkait fenomena corona ini. Mereka pun menasihati bahwa tidak perlu terlalu cemas, yang terpenting adalah menjaga diri sebaik-baiknya. aku masih saja cemas, sesekali aku cuci tanganku bahkan setiap aku memegang benda-benda yang ada di kampus. Aku benar-benar membatasi interaksi dengan teman-temanku. Sampai pulang dari kampus, belum juga ada kejelasan bagaimana langkah selanjutnya. Aku semakin gelisah tiada tara.
Setiap kali menelpon, Mamak pun menanyakan bagaimana kebijakan kampus terkait hal tersebut. Aku pun dengan sedih menyatakan belum ada pengumuman sama sekali. Ingin sekali aku segera meluncur ke rumahku. Mendekap erat Mamak dan bercerita tentang hari-hariku selama di sini. Tapi sabar dulu, tunggu semuanya jelas.
Hari pun menjelang sore, selesai kurapikan kamar dan mempersiapkan rencana kepulanganku jika sewaktu-waktu ada pengumuman libur, aku pun jeda sejenak. Kubuka Hpku, beberapa berita bermunculan dan akhirnya muncul surat edaran tertandatangani pimpinan kampus tertanggal 16 Maret 2020. Alhamdulillah, akhirnya aku bisa pulang besok. Rasanya hatiku plong sekali. Segera kuambil ponsel dan ketelepon Mamak bahwa aku siap berangkat. Mamak terdengar girang sekali ketika itu.
Keesokan harinya, setelah tiga puluh menit aku menunggu, akhirnya sang sopir segera memedal gas dan akupun meluncur ke kampung halaman. Sepanjang jalan kusempatkan melihat pemandangan kanan kiri jalan. Di sebelah kanan tinggi menjulang gunung-gunung dan tebing, sedangkan di sebelah kiri aliran sungai lengkap dengan bebatuan yang indah. Jalur perjalananku memang hanya itu, tetapi entah mengapa selalu ada kesan istimewa tiap kali aku melintasinya. Tak hanya menyoal pemandangan yang indah, tetapi ada pula pemandangan lain yang menarik untuk dicermati. Selama perjalanan beberapa kali kulihat para penambang pasir sedang memarkir truknya di dasar sungai. Ada juga tukang batu yang bekerja memecah batu untuk dijual dan digunakan untuk batuan penahan longsor tebing-tebing di kanan jalan. Tak jarang kulihat para petani sedang berada di ladang mereka yang terletak di kanan kiri jalan. Sering pula kulihat seorang ibu yang menggendong pakan ternak dan hal itu membuat aku menitikkan air mata karena teringat Mamak di rumah.
Semua penampakan yang kulihat itu memberikan aku pelajaran bahwa keadaan hidup setiap orang-orang itu benar-benar berbeda sesuai dengan kadar dan alur yang diberikan Sang Pencipta. Lebih dari itu, mereka yang notabene adalah orang tua begitu susah payah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup supaya keluarga terutama anak-anaknya hidup sejahtera. Mereka adalah cerminan betapa keras dan kejamnya dunia. Maka, aku harus bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi dunia nyata itu. Pelajaran-pelajaran dari perjalanan yang kulalui membuat aku tersadar bahwa tak selayaknya aku mengeluhkan keadaanku. Tak pantas rasanya aku mengeluh ketika balik kost untuk kuliah yang kurasa jauh dari orang tua. Mereka telah menyadarkanku bahwa proses kehidupan harus tetap dijalani bagaimanapun keadaannya. Karena proses itulah yang menjadi anak tangga untuk bisa mencapai tahap kehidupan selanjutnya.
Lamunanku buyar seketika ketika penumpang bus satu per satu mulai penuh sesak. Oh tidak..., bagaimana ini? Aku tidak bisa menjaga jarak dengan mereka. Terpaksa aku memberikan tempat duduk di sisiku untuk seorang nenek. Tak mungkin aku tega membiarkannya berdiri. Di angkutan umum, memang sulit nampaknya untuk menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Namun, harus bagaimana lagi mau tidak mau aku harus mau agar aku bisa cepat cepat sampai di rumah. Aku hanya berdoa semoga selamat sampai rumah. Setelah dua jam perjalanan, akhirnya beberapa menit lagi aku sampai di terminal akhir. Segera kuambil ponsel dan kukirim pesan pada kakakku.
“Mbak, lima belas menit lagi aku sampai di terminal, jemput yaa..” pesanku.
“Oke, kalau aku belum sampai tunggu bentar ya...” jawabnya.
“Oke, siap.” Akhirnya sampailah di rumah tercinta.
Part 2- Daring Vs Farming
Suasana rumah yang hangat walaupun sederhana selalu membuatku rindu. Memang benar kata orang, rumah adalah tempat pulang yang selalu bisa menjadi tempat berteduh kapanpun dan dalam suasana seperti apapun. Kepulanganku memang sangat dinanti-nanti oleh Mamak, mengingat pemberitaan yang membuat dunia semakin mencekam terasa dimana-mana. Namun, di balik kepulanganku aku menyimpan rasa khawatir, sebab aku tak tahu bagaimana kondisiku. Badan yang terasa sehat belum bisa menjadi indikator aku terbebas dari virus. Terlepas dari kecemasan itu, ingin kubuang rasanya prasangka buruk itu. Aku optimis bahwa aku sehat dan tidak membawa bencana buruk di balik kepulanganku bagi keluarga. Harapanku yang selalu terselip dalam setiap doa, semoga orang-orang tercintaku selalu diberi kesehatan dan panjang umur, agar aku bisa memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk membuat mereka bahagia selalu. Aamiinn.. Ya Allah.
Tiba di rumah, aku segera mandi dan membersihkan semua barang-barang yang kubawa. Bahkan setelahnya, aku selalu memakai masker bahkan di dalam rumah sekalipun. Empat belas hari waktu yang diberikan untuk karantina di rumah tampaknya akan sangat panjang jika hanya kulalui di dalam rumah. Ternyata, saat itu masa panen tiba, sehingga waktu libur ini menjadi waktu yang tepat untuk membantu aktivitas Mamak di sawah.
Dua hari kemudian, badanku terasa hangat dan kepalaku berat. Badan pun terasa pegal-pegal. Aku pun tersentak sejenak dan mulai berpikiran buruk, jangan-jangan aku...? Ah.., tidak, tidak, tidak, semoga saja tidak seperti itu. Aku hanya sakit biasa dan tidak ada sangkut pautnya dengan itu. Stop berpikiran buruk, dan tanamkan pikiran aku baik-baik saja, ini sakit biasa. Aku mencoba menenangkan diri dan membuang pikiran-pikiran buruk itu. Aku pun tak berani pergi ke klinik, khawatir jika mereka akan menduga-duga bahwa aku tertular penyakit itu, apalagi aku punya riwayat perjalanan dari luar kota. Aku memilih beristirahat sejenak selama dua hari untuk memulihkan keadaan pikiran dan badanku. Mungkin juga aku kelelahan.
Hari ini aku sudah sembuh dan sehat kembali, meskipun Mamak sempat khawatir karena aku terserang demam dan sakit kepala dua hari belakangan. Kali ini, Mamak mengajakku pergi ke sawah belakang rumah. Hujan beberapa hari silam nampaknya membuat Mamak khawatir, sebab tanaman padinya bisa ambruk terkena hujan.
“Aduh..Ma, Tanaman padi Mamak ambruk semua karena hujan semalam,” gumam Mamak sambil melihat ke arah sawah melalui jendela belakang yang berhadapan langsung dengan hamparan sawah kami. Kulihat wajah Mamak menjadi murung karena tanaman padinya yang ambruk rata dengan tanah, Mamak nampak khawatir sebab akan sangat sulit memanen padi yang sedemikian rupa keadaannya.
Mamak pun memutuskan untuk mengajakku pergi ke ladang yang agak jauh dari rumah. Kata Mamak, tanaman padi di sana sudah cukup umur untuk dipanen. Aku pun senang sekali mengantarkan Mamak ke sana. Kalau aku ada di rumah, tentunya Mamak sedikit terbantu karena aku bisa mengantarkan ke ladang naik motor. Sehingga, beban kelelahan Mamak sedikit terkurangi.
“Wahh, sudah siap panen.., besok sepertinya kita sudah mulai panen.” ujar Mamak kepadaku dengan wajah sumringah sambil memerhatikan hamparan padi yang sudah menguning dari sudut utara sampai selatan ladang Mamak yang lumayan luas itu.
“Iya Mak.., alhamdulillah..” aku senang sekali karena tanaman Mamak berhasil dipanen dan nampak butiran padi menjuntai menandakan isinya berbobot dan penuh.
Tidak menunggu esok hari, siang itu pun Mamak sudah mulai memanen padinya. Aku pun tak mau kalah, berbekal baju panjang dan celana panjang, jilbab, masker, caping, kaos kaki, serta kaos tangan, aku bersiap ikut turun langsung ke ladang.
“Nak, memangnya kamu mau ikut Mamak ke ladang panen padi?” tanya Mamak ketika hendak berangkat sambil membawa untaian tali dari bambu, bekal, dan sabit.
“Iya Mak, aku ikut. Mumpung aku masih libur Mak, biar bisa bantu-bantu Mamak.” Jawabku sambil membetulkan kaos kakiku. Maklum, kalau ke ladang harus ekstra tertutup rapat agar kulitku tidak cepat kusam, meskipun nyatanya kusam juga, malah menghitam. Tertawa aku dibuatnya. Namun, Mamak menatapku dengan rasa iba kemudian memelukku.
“Mamak tidak ingin kamu menderita seperti Mamak, apalagi susah payah seperti ini.”
“Tidak Mak, aku tidak apa-apa, aku senang sekali jika bisa membantu Mamak sedikit-sedikit sebisaku.” jawabku sambil melempar senyum ke Mamak. Semua rela aku lakukan demi Mamak, apapun itu. Ucapku dalam batin. Kami pun segera berangkat menuju ladang di belakang gedung SD tempatku sekolah dahulu.
Siang itu matahari bersinar amat terik. Panas yang terpancar melalui radiasi rasa-rasanya bak membakar punggung. Belum apa-apa keringat sudah bercucuran hingga membasahi punggung. Tetapi tak apa-apa, semangat-semangat dan semangat. Lihat Mamak, yang selalu kuat dan semangat, masa sih aku mau menyerah baru terserang panas matahari beberapa menit. Panas matahari tak akan menyurutkan semangatku. Kali ini pekerjaanku membantu Mamak memanen tanaman padi dengan cara membabat tanaman padi itu. Dalam bahasa Jawa, disebut “ngarit”. Hamparan padi yang menguning itu semuanya harus dibabat untuk kemudian dikumpulkan dan dirontokkan butiran gabahnya. Perlahan tapi pasti kubabat tanaman padi itu, sekuatku dan semampuku. Meskipun pancaran sinar mentari tak mau sedikit menundukkan sinarnya, aku tetap meneruskan pekerjaanku.
Sinar mentari perlahan mulai meredup dan segera singgah di peraduannya. Pertanda sore telah tiba dan menyambut datangnya malam. Pekerjaanku dan Mamak sudah lumayan luas. Padi yang sudat dibabat kemudian dikumpulkan dan diikat dengan tali sehingga membentuk apa yang disebut “bongkokan”. Biasanya setengah hari aku dan Mamak bisa menghasilkan 20 lebih bongkok padi. Bongkokan inilah yang kemudian menunggu untuk dirontokkan gabahnya dengan cara digepyok, yaitu pohon padi yang sudah dibabat di pukulkan pada papan dari kayu agar butiran gabah rontok dan terkumpul. Mamak itu perempuan tangguh yang tiada banding semangat dan tekadnya. Sosok yang selalu menguatkan dan menjadi inspirator terbesar dalam hidupku. Setelah bongkokan padi itu dikumpulkan dan ditutup dengan terpal, kami segera pulang.
Rembulan nampaknya masih malu untuk menunjukkan sinarnya. Setelah menyapu di teras rumah, segera kuambil buku catatan tugasku di meja belajar. Beberapa lembarnya menunjukkan beberapa tugas dan deadline yang mesti kukerjakan. Segera kubuka laptop tersayangku yang telah menemani sekian banyak tugas yang kukerjakan selama ini untuk menggarap semua tugas yang belum kukerjakan.
“Mamak kan sudah bilang, tidak usah ikut ke sawah. Mamak cuma minta tolong di antar atau dijemput itu saja kalau kamu tidak repot. Sekolahmu lebih penting Ma..,” sapa Mamak tiba-tiba ketika melihatku serius mengerjakan tugas.
“Mak.. tidak apa-apa kok, tugas-tugas ini bisa segera aku selesaikan. Mamak tidak perlu khawatir aku bisa membagi waktu dan tenagaku agar semuanya bisa sama-sama berjalan kok Mak.” jawabku sambil memegang tangan Mamak yang sedang duduk di sampingku menemani aku belajar. Mamak tampak sangat khawatir jika aku sampai mengabaikan pelajaran kuliahku. Apalagi jika sampai tertinggal hanya karena membantu Mamak di sawah. Aku pun tidak masalah dengan itu, kurasa aku bisa menyeimbangkan keduanya agar sama-sama bisa terlaksana dengan baik. Walaupun terkadang aku harus mengerjakan tugas hingga larut malam dan tidur hanya sekitar empat jam. Tetapi aku tidak merasa keberatan meskipun tetap merasa ngantuk juga sih.., wkwkwk.
Tak hanya melalui musim panen, aku pun membantu mamak saat musim tanam entah menanam padi, jagung, ketela, ataupun kacang. Salah satu komoditas yang paling berharga menurut kami ialah kacang tanah. Betapa tidak, proses menanam yang terbilang tidak terlalu sulit begitupun ketiga panen. Senang sekali rasanya ketika musim panen kacang tanah. Sebab, harga kacang tanah bisa dibilang cukup tinggi di pasaran.
Bahkan, demi mengejar kegiatan kuliah aku sering mempelajari materi di gubuk ladang Mamak. Sembari menemani Mamak, aku belajar sekaligus mengerjakan tugas di sana. Bagiku, tak masalah belajar dimana saja dan kapan saja asalkan dengan niat yang tulus menimba ilmu.
Hari-hari dan kegiatan seperti itu berlangsung selama kurang lebih dua tahun. Aku cukup menikmatinya. Begitu banyak hikmah yang kupetik dari adanya pandemi ini. Kuliah terlaksana tapi juga bisa membantu Mamak di rumah. Meskipun terkadang banyak kesempatan dari kegiatan kampus yang terpaksa kulewatkan. Selain karena keadaan pandemi, juga karena rasa khawatirku kalau meninggalkan Mamak untuk beberapa saat itu. Tapi, Allah selalu menghadirkan banyak kejutan dalam hidupku. Meskipun banyak kegiatan kampus dan organisasi yang tidak kuikuti, aku mendapat kesempatan belajar dan mengembangkan diri dengan cara yang lebih fleksibel dan menyenangkan. Ya, pandemi ternyata berdampak pula pada transformasi kegiatan yang semula digelar secara offline menjadi serba online, mulai dari kompetisi, webinar, workshop, pelatihan, hingga program magang. Grup-grup event bermunculan bak jamur di musim hujan. Menarik memang, bisa mengikuti kegiatan lintas daerah alias tingkat nasional hanya melalui udara dan menatap layar laptop. Dari sinilah aku gemar mengikuti pelatihan dan kompetisi terutama dalam bidang kepenulisan. Ya, aku memang hobi membaca sekaligus menulis. Bisa dibilang “aji mumpung”, jika ada pelatihan, kelas menulis, dan perlombaan online apalagi yang gratis tapi berhadiah, wkwkwk. Sungguh menyenangkan bukan??? Tentu saja.
Part 3- Mutiara Pandemi
Dari sekian banyak peristiwa yang kualami selama pandemi, ternyata bisa mengajarkanku banyak hal. Aku tidak menutup mata dari kenyataan bahwa dampak negatif pandemi begitu nyata dalam semua aspek kehidupan. Namun, bukan berarti aku harus menilai semua kejadian itu buruk semata, melainkan aku harus mengambil hikmah dalam setiap kejadian yang terjadi. Pandemi ternyata mengajariku apa artinya kebersamaan dan berharganya waktu yang sesungguhnya. Bahkan, aku merasa banyak berubah setelah adanya pandemi ini, entah berubah dalam sikap maupun perasaan. Mungkin karena lebih banyak waktu bersama Mamak yang selalu menasehatiku banyak hal. Pandemi bagiku mengajarkan bahwa belajar yang sejati tidak melulu soal materi kuliah dan duduk di bangku kampus. Namun, belajar yang sesungguhnya adalah belajar tentang kehidupan dan segala tentangnya. Terus terang aku lebih mengerti bahwa belajar bisa tentang apa saja, kapan saja, dan dimana saja. Rugi sekali orang yang menganggap bahwa belajar hanyalah perihal pendidikan formal dan materi pelajaran. Padahal, sesungguhnya kehidupan ini isinya adalah pelajaran hidup dan kita semestinya belajar tentang itu. Buktinya, dalam keadaan pandemi, kita bisa belajar dari mana saja sekaligus mengamati keadaan sosial lingkungan sekitar dan membantu pekerjaan rumah tangga. Tak hanya itu, pekerjaan sampinganku di bidang pertanian ternyata juga membuka wawasanku akan masalah, peluang, dan tantangan yang dihadapi petani saat ini. Bahkan, mungkin bisa menggugah minat untuk menjadi petani muda milenial yang mampu mengatasi permasalahan petani konvensional masa kini. Sesuai judul kisah nyata ini, pandemi memang mengajarkanku Daring (belajar via jaringan) Vs Farming (berkebun).