“Aku sedang menyukai seseorang.”
“Apa?” Ia menoleh dari buku yang sebenarnya tak dibacanya dan membetulkan posisi kacamatanya sebelum benar-benar menatapmu. “Apa yang baru saja kaukatakan? Kau menyukaiku?” Salah satu sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas ketika ia berujar, “Terima kasih.”
“Sayangnya tidak. Aku bilang aku sedang menyukai seseorang,” koreksimu.
“Kata seseorang memiliki banyak makna. Bisa saja si A, bisa saja si B, dan bisa saja seseorang itu adalah aku,” ujarnya, tak tampak kehilangan rasa percaya diri.
“Mungkin karena pekerjaanmu ialah seorang penulis, tetapi kau terlalu berlebihan dalam menafsirkan sesuatu,” ejekmu. “Aku tidak menyukaimu. Aku menyukai orang lain,” ujarmu lagi, kali ini dengan penuh penekanan di setiap kata.
“Wah, kau membuatku patah hati,” sahutnya dengan nada sedih yang dibuat-buat seraya memengang dadanya, seakan-akan ia benar-benar sedang patah hati. Dasar hiperbola.
Kau sedang ingin mencurahkan isi hatimu kepada laki-laki ini. Meskipun terkadang ia sok hiperbola untuk bercanda, tetapi ia sosok pendengar yang baik dan dapat diandalkan, jadi kau memilih mengabaikan reaksinya dan mengulangi kata-katamu, “Pokoknya, aku sedang menyukai seseorang.”
“Apa ia orang yang baik?”
Kau terdiam sejenak, berpikir-pikir. “Ia orang yang baik dan memiliki selera humor yang bagus.”
“Lalu, apa masalahnya?”
“Ia menolakku.”
“Ah.” Laki-laki itu mengangguk-angguk, kemudian berujar, “Cinta sepihak keenam, hm?”
“Kau mengejekku?” tanyamu kesal.
“Apa itu terdengar seperti ejekan bagimu?” Ia malah balik bertanya. Setelah terdiam selama beberapa detik, ia berkata, “Kalau begitu aku minta maaf.”
“Jadi, intinya, aku menyukainya dan ia menolakku,” katamu, mengabaikan kata-katanya. “Aku ditolak oleh enam pria.”
“Kau hanya ditolak oleh enam pria,” sahutnya santai. “Ada begitu banyak manusia di muka bumi ini. Enam pria bukanlah apa-apa.”
“Aku jadi ingin tahu, dari sekian banyak manusia yang tersebar di muka bumi ini, yang manakah jodohku dan di manakah ia berada?” Kau mengerjapkan matamu beberapa kali. “Teman-temanku sudah mulai menikah satu per satu, sedangkan aku masih saja menjomlo. Temanku bahkan menyarankan untuk menggunakan aplikasi kencan daring karena ia takut aku tak menikah di masa depan.”
“Itu bukan saran yang buruk,” ucapnya. “Namun, kurasa lebih baik kau melakukan apa yang kaurasa nyaman.”
“Aku tidak nyaman dengan aplikasi kencan daring, jadi aku tak melakukannya.”
Ia mengangguk paham. “Kata orang, jodoh itu bagian dari misteri.” Ia menatapmu tepat di mata dan berkata. “Jodoh itu tak selalu datang dari seseorang yang kausukai. Bisa saja ia datang dari seseorang yang menyukaimu.”
Matamu melebar menatapnya. “Begitukah?”
“Kau tak akan pernah tahu, bukan?”